• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relatif Rendahnya Potensi Pendapatan Perpajakan di SulBar

Penting terlebih dahulu menganalisis perkembangan indikator- indikator makro dan mikro yang mempengaruhi perkembangan penerimaan di SulBar, khususnya sumber dari perpajakan dalam kaitannya bahwa daerah ini sebagai daerah hasil pemekaran terakhir yang terjadi di Pulau Sulawesi. Dengan keadannya tesebut maka

akan dapat dievaluasi sejauh mana daerah ini sebagai daerah baru setelah lepas dari SulSel akan dapat membiayai pembagunannya sesuai kapasistasnya, apakah jauh lebih baik dari daerah induknya atau tidak.

Karena logikanya, seharusnya sejak adanya perpisahan tersebut, maka Sulbar akan lebih baik kapasitasnya dalam menyerap potensi fiskalnya dibanding sebelum Otoda sehingga kapasitas keuangannya dalam membiayai dirinya sendiri dapat meningkat.

Dalam kurun lima tahun terakhir, perkembangan beberapa indicator ekonomi makro tetap dalam kondisi baik. Pertumbuhan ekonomi Sulbar relative tinggi, diatas 6% y.o.y lebih tinggi dari nasional. Dari sisi permintaan, pertumbuhan PDRB dipacu oleh kontribusi dominan sektor pengeluaran Rumah Tangga, 52%, diikuti PMTB 30% , dan pemerintah, 16%. Sedangkan dari sisi penawaran, struktur PDRB didominasi oleh sektor pertanian, 44%, kemudian perdagangan 11%, industri pengolahan, dan lainnya 16%. Inflasi cukup stabil dan relatif rendah sejak tahun 2018 hanya dalam kisaran 2,7%-3,5%. Kualitas hidup masyarakat SulBar mengalami perbaikan, tercermin dari capaian IPM, 64,30 pada bulan April 2018, meskipun masih lebih rendah dari nasional.

Kondisi ketenagakerjaan , tingkat penganggurannya yang terendah se Indonesia, 2,45% pada bulan Februari 2018 dengan jumlah 19,7 ribu orang atau dengan TPAK 71,5. Kondisi in berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan, 10,19%, termasuk membaiknya nilai Gini Ratio, 0,35, termasuk meningkatnya NTP, 112,17.

Kondisi faktor-faktor ekonomi tersebut baik langsung atau tidak jelas telah mempengaruhi posisi pelaksanaan APBD dan APBN di SulBar. Sebagai gambaran umum tentang perkembangan dan analisis pelaksanaan APBD, APBN dan Konsolidasinya, berdasarkan data tahun 2017, berikut ini akan dijelaskan tentang ketiga hal tersebut secara ringkas.

Realisasi penerimaan APBD tahun 2017 mencapai Rp 7,5 triliun atau 96,95 %, atau meningkat dari target pendapatan daerah, 0,55% yang didorong oleh penerimaan PAD hinga 34,49%. Sedangka alokasi belanja APBD 2017, Rp 8,09 triliun dengan realisasi Rp 7,4 triliun atau hanya 92,4%. Penyerapan belanja modal yang menjadi faktor dominan rendahnya kinerja penyerapan tersebut.

Berdasarkan perbandingan pendapatan daerah, proporsi realisasi PAD tahun 2017 mencapai 10,62%, Pendapatan Transfer sebesar 82,28%, Dana Desa sebesar 5,93% dan pendapatan daearh lainnya 1,17%.

Sehingga menujukkan bahwa tingkat ketergantungan pemerintah dalam membiayai pembangunannya berupa dana transfer masih sangat tinggi. Jika memperhatikan data perkembangan data rasio kemandirian keuangan Daerah di SulBar selama lima tahun terakhir, mengalami dua kali kenaikan yaitu pada tahun 2013-2014 sebesar 4,16% dan 2016-2017 sebesar 1,74%. Sedangkan dua tahun yang lain mengalami dua kali penurunan yaitu 2014-2015 sebesar 0,42% dan 2015-2016 sebesar 1,23%.

Sehingga tren rasio kemandirian keuangan daerah Sulbar menunjukan adanya peningkatan.

Persoalan lain lain adalah rasio efektifitas Realisasi PAD di SulBar hanya sekali dalam lima tahun terakhir meningkat, tauan 2014, mencapai 8,79%, atau 98,51%, tapi setelah itus uterus menurunecara signifikan hingga hanya 87,60% pada tahun 2017. Ini menunjukkan bahwa penetapan target PAD tidak maksimal terutama pada sektor retribusi daerah dan PAD lainnya. Pada tahun 2017 realisasi pajak daerah naik sebesar Rp 20,6 miliar, atau 6,84% dibanding tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar diperoleh dari Pemprov, SulBar, sebesar 79,63% didorong oleh penerimaan dari sektor Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraaan Bermotor mencapai Rp 118,3 miliar atau 94,67% dari total target pendapatan. Berdasarkan gambaran data-data Penerimaan pajak dari pelaksanaan APBD khususnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Tax Ratio masih dalam kisaran yang sangat rendah dalam skala seluruh daerah di propinsi SulBar, yakni hanya mencapai 1,46%.

Kemudian dari analisis perkembangan dan pelaksanaan APBN di tingkat regional SulBar, tahun 2017 alokasi pagu pendapatan pemerintah pusat di SulBar menurun sebesar 3,52% dibanding tahun sebelumnya yang disebabkan penurunan target PNPB. Sedangkan alokasi belanja negara meningkat sebesar 1,72% disumbang oleh peningkatan belanja pemerintah pusat dan transfer ke Daerah.

Pendapatan perpajakan pemerintah pusat di SulBar bersumber dari pendapatan pajak dalam negeri. Kinerja realisasi pedapatan perpajakan

pemerintah pusat ini terhadap target mencapai 70,84%, kurang dari traget periode sebelumnya 10,19%. Secara umum meski telah terjadi kenaikan realisasi jenis pajak lainnya dua kali lipat, tapi realisasi jenis pajak PPh, PPN, dan PPnBM tidak mampu mencapai target seperti periode sebelumnya. Sehingga dapat diketahui bahwa kinerja perpajakan, dengan indikator Tax Ratio dari sisi penerimaan pajak di APBN dibanding PDRB SulBar tahun 2017 mengalam penurunan, 1,53% dari periode sebelumnya, 1,87%. Berarti masih begitu banyak potensi penerimaan pajak yang belum mampu diserap, karena dengan pertumbuhan ekonomi SulBar yang menapai 6,67% tidak seiring dengan perkembangan realisasi pendapatan pajak bahkan merosot.

Selanjutnya, tentang perkembangan dan analisis pelaksanaan Anggaran Konsolidasi (APBD dan APBN) dapat dilakukan dengan mengurai secara umum tentang laporan keuangan pemerintah konsolidasi Sulbar.

Pada tahun 2017, Pendapatan Negara Konsoldasi Sulbar sebesar Rp 1,61 triliun, sedangkan belanja negara konsolidasi mencapai Rp 10,57 triliun. Jadi secara presentasi, kenaikan pendapatan lebih besar dari pada belanja negara. Namun secara nominal penambahan belanja lebih besar dari penerimaan, sehingga terjadi defisit anggaran konsolidasi Rp 8,96 triliun. Dari jumlah pendapatan konsolidasi, kontribusi pendapatan Pemerintah Daerah lebih besar, 59,09%, sisanya 40,91%

merupakan pendapatan Pemerintah pusat. Mengurai kontribusi per jenis pendapatan, khususnya dari perpajakan sumbangan terbesar dari pendapatan Pemerintah Pusat, berasal dari PPh, PPN, yang masing terealisasi Rp 279,51 miliar dan Rp 283,47 miliar. Sedangkan pendapatan Bukan Pajak, bersumber dari pemerintah daerah sekitar 88,63%, terutama dari sub jenis pendapatan Retribusi Jasa Layanan Kesehatan di Mamuju, Rp 24,8 milar. Hal ini cukup menggembirakan untuk mengkompensasi penurunan pendapatan pajak yang cenderung menurun, meskipun rasionya terhadap PDRB relatif masih sangat kecil, 0,39%.

Berdasarkan data-data tersebut di atas maka kinerja pajak yang dihitung dari perbandingan antara Pendapatan Perpajakan Konsolidasi terhadap PDRB SulBar mengalami penurunan dari 3,55% tahun 2016, tahun 2017 hanya dalam kisaran 3,17%. Nilai tersebut jelas relatif rendah

dimana total pendapatan SulBar yang masih ditopang oleh pendapatan perpajakan mencapai kisaran 57,78%.

Hal ini mengindiksikan bahwa walaupun kegiatan ekonomi masyarakat SulBar cukup baik perkembangannya sesuai indiktor ekonomi makro, tapi sepertinya tidak dtemukan hubungan langsung dengan faktor pendapatan penerimaan perpajakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hal tersebut dimungkinkan oleh banyak faktor yang belum teridentifikasi, terutama belum optimalnya upaya kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan perpajakan. Atau mungkin, belum berkembangnya sektor ekonomi mikro riil yang potensial yang dapat dikenakan pajak, misalnya sektor pertanian, konstruksi maupun industri pengolahan.

Selanjutnya perlu dilakukan analisis singkat kondisi rasio pajak per kabupaten di SulBar. Dari enam kabupaten di Sulbar, ternyata kabupaten yang mempunai posisi Tax Ratio terendah terdapat di Mamuju Utara, yakni hanya 1,69% pada tahun 2017. Diikuti Polewali Mandar, 2,29%, kemudian Majene, 3,46%, selanjutnya ketiga tertinggi Mamuju tengah, 3,94%, dikuti yang kedua teringgi di Mamuju, 4,40% dan yang tertinggi di Mamasa, 5,01%. Hal ini dimungkinkan karena Mamasa memiliki PDRB nominal terendah, yakni Rp 1.952,95 miliar dibanding pendapatan pajaknya, sedangkan Mamuju Utara terendah karena memiliki nominal PDRB yang cukup besar, Rp 6.878,74 miliar dibanding pendapatan pajaknya yang terbatas. Meski demikian masalahnya tetap berada pada rendahnya kapasitas fiskal dari masing-masing daerah dalam memungut potensi pendapatan pajaknya.

Khusus kasus Mamuju Utara, berarti Pemerintah daerahnya mempunyai tantangan besar untuk menaikkan tax ratio-nya, karena mempunyai PDRB terbesar di SulBar. Utuk itu Pemdanya, selain membenahi kebijakan intesifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah, Pemdanya sepertinya membutuhkan dukungan Pemerintah pusat, diantaranya menyediakan Kantor Bea Cukai karena keberadaannya di daerah perbatasan SulTeng. Termasuk perlu mengadakan regulasi- regulasi khusus dalam rangka meningkatkan jumlah wajib pajak masyarakatnya yang relatif terbatas.

Kemudian, terkait dengan hal lainnya yang perlu diketahui yakni sejauh mana besaran partisipasi per kapita masyarakat dalam membayar pajaknya, melalui telaah atas rasio pajak per kapita per kabupaten di SulBar. Berbeda dengan tax ratio, pajak per kapita tertinggi di SulBar pada tahun 2017, ada di Mamuju, Rp 1.176.902, tertinggi kedua Mamuju Utara, Rp 709.061, kemudian Majene, Rp 639.925, selanjutnya Mamuju Tengah, Rp 625.628, terendah kedua Mamasa, Rp 620.099, dan yang terendah Polewali Mandar, Rp 431,251. Dari gambaran tersebut berarti masyarakat masing-masing kabupaten mempunyai kewajiban perpajakannya yang berbeda-beda, dan secara rata-rata pembayaran rata per kapita perpajakannya hanya Rp 688.358, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan besarnya belanja rata-rata per kapita yang terima mereka, yang relatif masih tinggi, sekitar Rp 3,5 juta.