• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat Hidup Ath-Thabarî

اللَْءاَش

E. Profil Singkat Imam Qirâ‟ât „Âshim Riwayat Hafsh dan Imam Qirâ‟ât Nâfi„ Riwayat Warsy

1. Riwayat Hidup Ath-Thabarî

Ibn Jarir Ath-Thabarî yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja`far.

Beliau lahir di Amul (kota beasar Thabaristan). Mayoritas sejarawan mengatakan bahwa imam Ath-Thabarî dilahirkan pada tahun 224 H.

Namun, sebagian dari mereka mengatakan bahwa ia dilahirkan pada akhir tahun 224 H, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa ia dilahirkan pada awal 225 H. Pendapat ini dinisbatkan kepada muridnya yang bernama al-Qâdhî Ibnu Kamîl yang menceritakan bahwa suatu hari ia pernah menanyakan hal itu kepada gurunya, yakni Ath-Thabarî.90

Ath-Thabarî tumbuh dewasa dalam keluarga yang religius dan mementingkan pendidikan. Ayahnya yang tergolong orang berada dan dikenal sebagai pecinta ilmu dan ulama, ia pun senantiasa memotivasi putranya untuk menuntut ilmu. Hal ini yang menjadikan beliau tertarik untuk mencari ilmu pengetahuan dan mempelajari ilmu-ilmu agama, dari sinilah terlihat tanda-tanda kecerdasan dan kepiawaiannya sejak awal menuntut ilmu.91 Terbukti beliau telah menghafal Al-Qur`an ketika berusia 7 tahun, menjadi imam shalat diusia 8 tahun, dan diusianya yang belum genap 9 tahun beliau sudah

90Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 7

91Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), h. 8

43 mulai menulis sebuah hadis.92 Tanda-tanda kegembiraan yang pernah dilihat dalam mimpi ayahnya menjadikan Ath-Thabarî semakin semangat untuk menuntut ilmu. Sebagaimana yang ath-Thabari katakan bahwa ayahnya pernah bermimpi melihatnya berada di hadapan Rasulullah Saw, dan ditangannya terdapat sebuah kantung yang dipenuhi dengan batu dan ia pun melemparnya ke hadapan Rasulullah Saw. Mendengar hal itu ahli ta‟bir mimpi mengatakan kepada ayahnya bahwa kelak ketika ia dewasa, ia akan menjadi seorang „alim yang mengabdi kepada agamanya. Setelah ayahnya mendengar penjelasan dari ahli ta‟bir tesebut, ayahnya pun semakin bertambah semangat untuk mendorong putranya dalam menuntut ilmu, meskipun pada saat itu Ath-Thabari masih sangat belia.93

Pertama kali Ath-Thabarî mentuntut ilmu di tanah kelahirannya yaitu di Amul. Kemudian ia pindah ke negeri tetangga dan mencari para ulama guna menimba ilmu dari mereka. Ia pun mengerahkan seluruh kepampuannya, mulai dari mendengar penuturan guru secara langsung, menghafalnya, hingga membukukannya. Sebagai halnya tradisi para ulama sejak masa para sahabat dan tabi„in, ath-Thabarî pun mengembara ke berbagai negeri lainnya guna menuntut ilmu.94 Ath-Thabarî terus melanjutkan perjelanannya mencari majelis ilmu dan menjumpai para ulama, tidak peduli dengan pejalanan yang jauh dan melelahkan serta bekal yang tidak mencukupi. Segala yang mahal dinilai murah olehnya untuk mendapaikan ilmu pengetahuan.

Setelah dari Mesir Ath-Thabarî kembali ke Baghdad, dan dari

92Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Cet. ke-1, h. 1

93 Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), h. 8-9

94 Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed),h. 9

Baghdad ia pergi ke Thabaristan.95 Beliau bermukim sebentar hingga beliau pergi ke Baghdad dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 310 H.96

Dalam rangka mencari ilmu, imam Ath-Thabarî tidak cukup hanya dengan usaha yang keras dan sabar, akan tetapi beliau dinilai sebagai sosok yang jujur, ikhlas, zuhud, wara‟, dan amanah. Hal ini terlihat dari karyanya, yakni kitab Adab An-Nufus. Beliau meninggalkan gemerlap kehidupan dunia.97

Sisi kehidupan Ath-Thabarî yang spesifik ini dicatat oleh para sahabat dan ulama lain sejaman, mereka mengatakan, “Tidak ada seorang pun dari para ulama yang mengingkari ketinggian ilmunya, kezuhudannya di dunia dan sifat qana„ahnya dengan sedikit harta yang diterimanya dari peninggalan ayahnya di Tabaristan. Ketika Al Khaqani menjabat sebagai menteri, beliau mengirimkan sejumlah harta kepada Ath-Thabarî, namun Ath-Thabarî enggan menerimanya.

Ia pun ditawari untuk menduduki jabatan qadhî, namun Ath-Thabari menolaknya”. Ketika itu para sahabat mengeluh dengan keputusan Ath-Thabarî yang menolak penawaran tersebut, karena mereka berpendapat jika Ath-Thabarî menerima tawaran itu maka Ath- Thabarî dapan menghidupkan Sunnah yang telah Ath-Thabarî pelajari. Mendengar keluhan tersebut Ath-Thabarî malah menghardik dan mengatakan, “Aku pikir jika aku menerima posisi ini, kalian justru akan melarangku!.”98

95Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), h. 11-12

96Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Cet. ke-1, h. 1-2

97 Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 3

98Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), h. 13

45 Suatu ketika sang menteri meminta untuk membuat sebuah buku tentang fikih, maka ia pun mengarang Kitab Al-Khafif untuknya, dan dikirimlah untuknya uang seribu dinar sebagai hadiah, namun, Ath- Thabarî menolaknya.

Kisah-kisah ini membuktikan bahwa sidat zuhud, wara‟ dan qana„ah telah terpatri dalam diri Ath-Thabarî, dimana beliau merasa sangat takut mengkonsumsi makanan yang haram atau syubhat.

Beliau takut jika menjabat sebagai qadhî akan berlaku tidak adil hingga dapat menodai kesucian ilmu yang didapatnya. Sebagian orang mungkin senang memangku jabatan dalam pemerintahan karena memperoleh harta dan kedudukan, lain halnya dengan orang- orang shalih seperti Ath-Thabarî justru beliau akan merasa takut dan menjauhinya, Karena beliau takut kepada Allah Swt.

Demikianlah Ath-Thabarî enggan menerima harta dan kedudukan, bahkan enggan menerima jabatan yang berkaitan dengan kapasitas keilmuannya semata-mata karena takut terjerumus dalam jurang kehancuran. Mungkin berusaha berlaku adil, namun adanya suatu yang menghalanginya, atau berusaha menghindar dari aniaya, namun, malah terjerumus ke dalamnya tanpa sengaja. Oleh karenanya Ath- Thabarî dan ulama sekelasnya lebih memilih menjauh dan tidak menerima jabatan yang berat semacam ini. Dalam hal ini beliau memiliki teladan yang baik.99

Thabari terus menekuni pola kehidupan zuhud dan berhati-hati, beliau tidak lupa membatasi dirinya, yaitu mengambil apa yang menjadi haknya dan menolak yang lebih dari itu meskipun halal.

Ketika Ath-Thabari masuk ke kota Baghdad, pada salah satu

99 Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), h. 13-14

perjalananya di kota ini, beliau membawa sejumlah barang perbekalan lalu dicuri orang, maka beliau pun menjual beberapa helai pakaiannya. Lalu salah seorang sahabatnya menawarkan padanya untuk memberi pelajaran khusus (private) kepada anak-anak salah seorang menteri, sehingga pada akhirnya Ath-Thabarî menerimanya dengan sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan waktu belajar, ibadah dan istirahat.

Setelah disepakati, Ath-Thabarî pun mulai mengajar dengan sangat optimal sampai sang menteri merasa puas dan gembira dengannya. Ia pun diberi hadiah yang sangat banyak, namun semuanya ditolaknya dengan mengatakan, “aku telah menetapkan syarat tertentu, dan aku tidak akan mengambil yang lebih dari itu.”

Dalam kesempatan lain ketika mereka meminta agar menerima hadiah tersebut dan menyedekahkannya, Ath-Thabarî menolak kembali dengan mengatakan “kalian lebih membutuhkannya dan lebih mengetahui kepada siapa selayaknya disedekahkan”.100

Demikianlah Ath-Thabarî melengkapi dirinya dengan ilmu dan perilaku, sehingga pantas menjadi guru dalam berbagai disiplin ilmu.

Kehebatannya telah diakui oleh semua orang. Ath-Thabarî yang tidak suka membedakan antara satu muridnya dengan yang lainnya. Ath- Thabari tidak suka melebihkan seseorang dari yang lain dalam masalah ilmu, dan inilah sifatnya. Ath-Thabarî enggan menyampaikan pelajaran dalam majelisnya apabila salah seorang muridnya tidak hadir, dan jika ada yang meminta diajari lalu tidak hadir, maka ia tidak akan mengajarinya sampai datang kembali, kecuali tentang fatwa, kapan saja ditanya ia langsung menjawabnya.

100Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, (ed), h. 14

47 Hal ini secara sekilas seperti hadiah bagi yang tidak hadir dan hukuman bagi yang hadir, namun tidak demikian beliau bermaksud agar semua muridnya merasa bertanggung jawab dengan sesame saudaranya.101

Dokumen terkait