Azhar.21 Atas usulan Haji Yusuf Ahmad, kuliah subuh Hamka yang mengupas tafsir Al-Qur‟an untuk dimuat kedalam Majalah Gema Islam secara teratur. Kemudian Hamka memberikan nama tafsirnya dengan nama Tafsir Al-Azhar karena tafsir ini di ajarkan pertama kali di Masjid Agung Al-Azhar.22 Ceramah-ceramah Hamka sehabis shalat subuh yang mengupas tafsir Al-Qur‟an terus dimuat secara teratur hingga bejalan sampai januari 1964.23
Di samping itu kesibukan Buya Hamka juga mulai meningkat, dari memberikan ceramah-ceramah di kalangan jamaah yang bukan jamaah Masjid Agung Al- Azhar, serta memenuhi undangan ceramah di luar kota, juga memberikan kuliah di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, menjadi guru besar pada Pusroh Islam Angkatan Darat mengakibatkan penulisan tafsir berjalan lambat.24
Kemudian tanpa diduga sebelumnya, setelah Hamka memberikan pengajian yang rutin dilakukan di Masjid
21 Afif Hamka, dkk. , Buya Hamka, cet. 1, hlm. 94
22 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juzuu’ 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 48
23 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, cet.
III, hlm. 56
24 Afif Hamka, dkk. , Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), cet. 1, hlm. 94
Al-Azhar bertepatan pada tanggal 27 Januari 1964 Hamka ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan oleh penguasa orde lama. Penangkapan itu dilakukan atas dua tuduhan. Pertama, Hamka melakukan pertemuan gelap bulan oktober 1963 di Tangerang yang dalam rapat itu direncanakan usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri serta merencanakan coup d’etat. Kedua, Hamka dalam kuliah umum di hadapan mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menghasut para mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Karto Suwiryo, Daud Beureueh, M.
Natsir dan Syarifuddin Prawiranegara.25 Sebagai tahanan politik Hamka di tempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan puncak, yakni Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Megamendung dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka mempunyai kesempatan untuk meneruskan penulisan tafsinya. Karena kondisi kesehatan Hamka yang terus menurun, kemudian Hamka dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Selama perawatan ini pun Hamka meneruskan penulisan
tafsirnya. Setelah orde lama runtuh, kemudian orde lama pun bangkit di bawah pimpinan Soeharto yang kemudian Hamka terbebas dari tuduhan. pada tanggal 21 Januari 1966. Kesempatan ini pun dipergunakan Hamka untuk memperbaiki dan menyempurnakan Tafsir Al-Azhar yang sudah pernah ditulis sebelumnya selama berada di tahanan.26
Penerbitan pertama Tafsir Al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan Haji Mahmud pada tahun 1967.27 Cetakan pertama diterbitkan oleh Pembimbing Masa, dengan menyelesaikan penerbitan dari juz 1-4. Kemudian diterbitkan pula juz 30 dan juz 15 sampai dengan juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya dan juz 5-14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.28 2. Motivasi penulisan
Yang memotivasi Hamka dalam menulis tafsir Al- Azhar pertama ialah karena ia melihat bahwa mufasir- mufasir klasik sangat gigih atau ta'ashub (fanatik)
26 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, cet.
III, hlm. 56
27 Afif Hamka, dkk. , Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), cet. 1, hlm. 95
28 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, cet.
III, hlm. 57
terhadap madzhab yang mereka anut, bahkan ada di antara mereka yang sekalipun redaksi suatu ayat nyata- nyata lebih dekat kepada satu madzhab tertentu, akan tetapi ia tetap menggiring pemahaman ayat tersebut kepada mazhab yang ia anut. Kedua tafsir ini dibuat dalam suasana baru, yakni di negara yang penduduk Islamnya lebih besar jumlahnya dari penduduk yang lain, sedang masyarakatnya haus akan bimbingan agama dan besar keingintahuannya akan rahasia Al-Qur‟an maka Hamka menulis sebuah tafsir yang berupaya untuk menguraikan makna ayat dari lafazh bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dengan menerangkan maksud ayat yang terkandung di dalam Al-Qur‟an.29
3. Sumber Penafsiran dan Referensi Utama
Dalam menyusun tafsirnya Hamka menggunakan sumber penafsiran bil ra’yu yang tetap menampilkan sumber bil ma’tsur. Penafsir memelihara hubungan antar naql dan akal yakni antara riwâyah dengan dirâyah.
Hamka tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang terdahulu tetapi juga mempergunakan
tinjauan dan pengalaman sendiri. Namun tidak semata- mata menuruti akal sendiri seraya melalaikan apa yang di nukil dari orang yang terdahulu.30 Terlihat ketika Hamka menafsirkan Q.S Al- Baqarah [2]:158:
...
)
Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu merupakan sebagian syiar syiar (agama) Allah...” (QS.
Al-Baqarah [02]: 158)31
Menurut Syaikh Muhammad Abduh ayat ini masih urutan dari masalah peralihan kiblat, meskipun pada tafsir-tafsir yang lain seakan-akan telah terpisah.
Menyebutkan dari hal Sa'i di antara Shafa dan Marwah setelah memperingatkan menyuruh sabar dan shalat, guna menerima segala penyempurnaan nikmat Tuhan kelak, dan supaya tahan menderita segala macam percobaan, maka dengan ayat ini dibayangkanlah pengharapan, bahwa akan datang masanya mereka akan berkeliling di antara bukit Shafa dan Marwah. Betapa pun besarnya
30 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juz 1, hlm. 53
31 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah, 2012), Cet. ke-10, h. 24
kesulitan yang tengah dihadapi, namun pengharapan mesti selalu dibayangkan. Apalah lagi kalau yang membayangkan pengharapan Allah Ta'ala sendiri.32
Selanjutnya Hamka menjelaskan: Bahasa kita Indonesia telah kita perkaya juga dengan memakai kalimat syi'ar. Kita telah selalu menyebut syiar Islam.
Syiar artinya tanda. Kata jamaknya adalah sya'air . Sya'âirillah artinya tanda-tanda peribadatan kepada Allah. Ketika mengerjakan haji banyaklah terdapat syiar itu. Unta-unta dan lembu yang akan dikurbankan waktu habis haji dilukai tengkuknya, sebagai tanda. Melukai itupun dinamakan syiar. Shalat di makam Ibrahim adalah termasuk syiar ibadat.. Tawaf keliling Ka'bah wuquf di Arafah dan di ayat ini disebut berjalan atau Sa'i di antara Shafa dan Marwah itupun satu di antara syiar-syiar (Sya'âir) itu pula, dan melempar jamrah di Mina. Syiar- syiar demikianlah adalah termasuk ta'abbudi, sebagai imbangan dari ta'aqquli. Ta'abbudi artinya ialah ibadah yang tidak dapat dikorek-korek dengan akal mengapa dikerjakan demikian. Ta'aqquli ialah yang bisa diketahui dengan akal. Kita mengetahui apa hikmahnya
mengerjakan shalat, itu namanya ta'aqquli. Tetapi kita tak dapat mengakali mengapa zuhur empat rakaat dan subuh dua rakaat. Itu namanya ta'abbudi.33
Lebih lanjut Hamka mengemukakan, menurut Hadits Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas, syiar sa'i adalah kenangan terhadap Hajar (Isteri muda Ibrahim) seketika Ismail dikandungnya telah lahir, sedang dia ditinggalkan di tempat itu oleh Ibrahim seorang diri, sebab Ibrahim melanjutkan perjalanannya ke Syam, maka habislah air persediaannya dan nyaris keringlah air susunya, sedang sumur untuk mengambil air tidak ada di tempat itu.
Anaknya Ismail telah menangis-nangis kelaparan, hingga hampir parau suaranya. Maka dengan harap-harap cemas, setengah berlarilah (Sa'i) Hajar itu di antara kedua bukit ini mencari air, sampai 7 kali pergi dan balik. Anaknya tinggal dalam kemahnya seorang diri di lembah bawah.
Tiba-tiba kedengaran olehnya suara dan kelihatan burung terbang. Padahal tangis anaknya kedengaran pula meminta susu. Selesai pulang balik 7 kali itu diapun berlarilah kembali ke tempat anaknya yang ditinggalkannnya itu. Dilihatnya seorang Malaikat telah
33 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juz 2, hlm. 35-36
menggali-gali tanah di ujung kaki anaknya, maka keluarlah air. Dengan cemas dipeluklah air itu seraya berkata: Zam! Zam! Yang artinya, berkumpullah, berkumpullah!34
Penafsiran Hamka terhadap Q.S Al-Baqarah (2): 158 di atas jelas merupakan perpaduan antara tafsir bi al-ra'y dengan bi al-ma'tsur, yang di mulai dengan menjelaskan munasabah ayat dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh. Kemudian menjelaskan kosa kata ayat Sya'âir secara rasional. Setelah itu, memberikan penjelasan dengan hadis Rasulullah saw. Akan tetapi, karena penafsiranpenafsirannya yang lebih dominan dalam tafsirnya adalah ra'yi-nya „pemikirannya‟, maka itulah kemudian Nasrudin Baidan mengklasifikasikan bahwa Tafsir al- Azhar merupakan tafsir yang menggunakan bentuk ra'yu atau „pemikiran‟.35
Kemudian, yang menjadi rujukan dalam tafsir Al- Azhar adalah Tafsir al-Manâr karangan Sayid Rasyid Ridha yang berdasar kepada ajaran tafsir gurunya.
34 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juzuu’ 2, hlm. 36-37
35Malkan, “Tafsir Al-Azhar (Suatu Tinjauan Biografis dan
Setelah Tafsir Al-Manâr yang menjadi rujukan, terdapat pula tafsir lain yang menjadi rujukan dalam tafsir Al- Azhar yaitu Tafsir al-Marâghi, Tafsir al-Qasimi dan Tafsir Fi Zhilâl Al- Qur’an karya seorang wartawan yang penuh semangat Islam yaitu Sayyid Quthub. Tafsir karangan Sayyid Quthub merupakan tafsir yang sangat mempengaruhi penafsiran Hamka dalam tafsir Al- Azhar.36
4. Corak, Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir Al- Azhar
a) Metode Penafsiran
1) Sebelum menafsirkan Hamka memberikan pendahuluan pada awal surat yang berisi informasi seputar surat yakni berkenaan dengan turunnya surat, munasabah surat, jumlah ayat pada surat, dll.
2) Menuliskan beberapa ayat yang merupakan satu tema dengan memberikan judul tema pada ayat-ayat tersebut.
3) Menerjemahkan ayat-ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
36 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juz 1, hlm. 55
4) Menafsirkan ayat per-ayat.
5) Menambahkan penjelasan tafsir dengan menampilkan sebuah hadits, dalam menyebutkan hadits Hamka hanya menyebutkan sahabat yang membawa hadis tersebut dan mukharijnya.
6) Hamka dalam melakukan penafsiran mengikuti urutan ayat-ayat dalam Alquran dan menjelaskannya secara analitis.37
Dilihat dari metode penafsirannya dapat diambil kesimpulan bahwa Hamka dalam penafsirannya menggunakan metode tahlili yakni menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Kemudian metode tahlili tersebut menggunakan dua bentuk yakni metode tahlili
dengan bentuk bi al-matsûr dan metode tahlili dengan bentuk bi al ra’yi.38
b) Corak Tafsir
Mengamati penafsiran-penafsiran Hamka dalam Tafsir Al- Azhar-nya, ditinjau dari segi corak penafsiran, di mana ia senantiasa merespons kondisi sosial masyarakat dan mengatasi problem yang timbul di dalamnya, maka jelas dalam penafsirannya ia memakai corak Adab ijtima'i (sosial kemasyarakatan). Sebab corak Adab ijtima'i sendiri adalah corak tafsir yang menerangkan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur‟an yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya untuk menanggulangi masalah-masalah mereka dengan mengedepankan petunjuk-petunjuknya.39
38 Nahruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), cet. 1, hlm. 68
39Malkan, “Tafsir Al-Azhar (Suatu Tinjauan Biografis dan Metodologis)”, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.3, Desember 2009, h. 371
c) Sistematika Penulisan
Dilihat dari penafsiran-penafsiran Hamka, dapat dikemukakan bahwa sistematika penafsiran dalam Tafsir Al- Azhar adalah sebagai berikut:
(1) ayat
(2) terjemahan (3) munâsabah,
(4) tafsir ayat / kosa kata, (5) asbâb al-nuzûl
(6) kandungan ayat/kesimpulan.
Sebelum menulis ayat dan terjemahannya, Hamka terlebih dahulu mencantumkan nama surat dan terjemahannya, urutan surat, jumlah ayatnya dan tempat turunnya, kemudian ia menulis ayat dan terjemahannya. Kelompok ayat yang ditampilkannya biasa terdiri atas beberapa ayat, seperti 7, 6, 5, 4, 3 atau 2 ayat dengan disertai terjemahannya masing-masing. Kemudian ia memberi pendahuluan yang isinya menjelaskan sebab penamaan surat tersebut, menyebutkan jumlah ayatnya lagi, menjelaskan sedikit sejarah yang mengantar cakupan pembahasan surat itu, dan
ayat, ia terlebih dahulu memberi judul pembahasan yang akan disorot dalam ayat tersebut, namun terkadang ia juga tidak memberinya. Setelah itu ia mengemukakan munâsabah ayat (pada awal surat Al-Baqarah itu ia tidak menjelaskan munâsabah- nya), kemudian mencantumkan terjemahan ayat yang akan ditafsirkan, lalu diikuti dengan penjelasan, ayat yaitu dengan menjelaskan kosa kata yang penting dalam ayat tersebut. Selanjutnya ia menjelaskan asbâb al-nuzûl ayat itu bila ada, dengan mengemukakan hadis untuk memperkuat penafsirannya. Kemudian ia menjelaskan kandungan atau kesimpulan ayat tersebut, meskipun tidak selamanya ia lakukan hal itu.40
Melihat lebih jauh penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, tampaknya ada yang spesifik dan sekaligus menjadi karakteristik penafsirannya dibanding mufasir-mufasir yang lain, yaitu ketika ayat yang ditafsirkannya itu relevan dengan apa yang pernah ia alami dalam kehidupan maka pengalaman yang ia alami sendiri itu
40Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juz I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 140-156
dikemukakannya dalam rangka memperkuat penafsirannya.41
135
PENAFSIRAN HAMKA TENTANG AYAT-AYAT RADIKALISME
DALAM AL-QUR’AN
A. Penafsiran Hamka tentang Ayat-Ayat Radikalisme