• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISIS MUNÂSABAH ÂYÂT DALAM SURAH YÂSÎN

3. Fadhîlah atau Keutamaan Surah Yâsîn

Kemudian dibawah ini akan penulis uraikan Fadhîlah atau keutamaan surah Yâsîn mengutip pendapat Ibrâhîm ‘Alî as-Sayyid ‘Alî:

10 Syaikh Muhammad ‘Alî ash-Shabûnî, Shafwat at-Tafâsîr,Jilid 4, terj. KH. Yasin, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), Cet. ke-1, h. 365-366

11 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 240

63

a. Membaca surah Yâsîn dapat mempermudah urusan. Ibnu Abbas berkata: “Barang siapa membaca surah Yâsîn di pagi hari, ia akan diberi kemudahan pada hari itu sampai datang waktu sore. Barang siapa membaca surah Yâsîn di malam hari, ia akan diberi kemudahan pada malam itu hingga datang waktu pagi.”

b. Pahala yang berlipatganda bagi orang yang membacanya c. Pengampunan dosa kepada yang membacanya

d. Jika dibacakan kepada orang yang akan meninggal, diharapkan hatinya akan menjadi kuat, kepercayaannya kepada dasar-dasar agama akan semakin besar, dan akan terbiasa dengan gambaran tentang hari kiamat yang terdapat dalam surah Yâsîn.12

e. Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

“sesungguhnya di dalam Al-Qurˊan terdapat satu surah yang memberikan syafa’at bagi pembacanya dan memberikan ampunan bagi orang yang mendengarkannya, yaitu surah Yâsîn, yang dalam kitab Taurat disebut dengan al-Mu’minah.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah itu al-Mu’minah?” Beliau menjawab, “Yang memberikan kenikmatan bagi pembacanya berupa kebaikan di dunia dan menahannya dari goncangan-goncangan akhirat, sehingga ia disebut ad-Dâfi’ah (penolak) dan al-Qâdhiyah (pemutus).” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana itu terjadi?” Beliau bersabda, “Mencegah orang yang membacanya dari segala kejahatan dan memenuhi semua hajatnya. Barang siapa yang membacanya diperhitungkan untuknya dua puluh hujjah, dan barang siapa yang mendengarnya dia mendapatkan seperti seribu dinar yang disedekahkan di jalan Allah sebagai belas kasihan, serta dicabut

12 Ibrâhîm ‘Alî as-Sayyid ‘Ali, Fadhâil as-Suwar Al-Qurˊân al-Karîm, terj. Abdul Hamid, h. 291-293

darinya segala macam penyakit dan kedengkian.” Demikian disebutkan oleh ats-Tsa’labi dari hadits Aisyah, at-Tirmidzi, dan al- Hakim dalam Nawadir al-Ushul, dengan isnad dari Abû Bakr ash- Shiddiq.13

B. Korelasi Surah Yâsîn ayat 1-24 Menurut Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î Munâsabah antar ayat-ayat Al-Qurˊan dalam satu surah adalah salah satu keistimewaan dari tafsir al-Biqâ’î. Ia begitu konsisten dalam mengungkap munâsabah di antara ayat-ayat Al-Qurˊan dalam satu surah. Ia berusaha keras untuk menemukan sisi munâsabah ayat dalam satu surah dengan cara mengkorelasikan kandungan makna yang termuat dalam ayat munâsabah tersebut.

Pada awal surah, al-Biqâ’î mengungkapkan makna yang terkandung dalam satu surah tersebut. Setelah itu menjelaskan nama lain dari surah tersebut beserta maknanya. Ia menyebutkan bahwa nama lain dari surah Yâsîn ialah al-Qalb (jantung Al-Qurˊan), ad-Dâfi’ah (yang menampik dan mendukung), al-Qhâdhiyah (yang menetapkan). Kemudian al-Biqâ’î pun menjelaskan makna dalam kata Yâsîn tersebut. Yakni Yâ Insân, Yâ Sayid, Yâ Rajul, Yâ Muhammad beserta maknanya yang sudah penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya.

Dalam tafsirnya, al-Biqâ’î menjelaskan munâsabah berdasarkan pengelompokan tema kandungan ayat. Dan pada setiap tema tersebut berkaitan dengan tema lain. Ini berarti bahwa al-Biqâ’î berusaha menghubungkan antar ayat dalam satu surah tersebut menjadi satu kesatuan yang kokoh. Al-Biqâ’î selalu berusaha mengungkapkan hubungan dari sistematika urutan-urutan Al-Qurˊan baik ayat maupun suratnya. Sehingga

13 Syaikh Imam al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qurˊan, terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, Jilid 15, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. ke-1, h. 4

65

kedalaman makna dan rahasia keserasian antar ayat itu dapat dipahami dengan baik. Hal ini dapat membantu penulis dalam memahami munâsabah ayat yang terdapat dalam surah Yâsîn.

Secara sepintas, sistematika urutan-urutan ayat pada surah Yâsîn sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir al-Biqâ’î, telah memberi kesan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qurˊan yang disusun berdasarkan tartib mushafi ini merupakan satu kesatuan yang kokoh hubungannya (khususnya pada surah Yâsîn ayat 1-24) yang sudah diteliti oleh penulis.

Dua puluh empat ayat dalam surah Yâsîn dibagi menjadi 4 tema.

Pembagian ini berdasarkan pembagian dalam tafsir al-Biqâ’î. Empat kelompok tema tersebut ialah:

1. Fungsi Al-Qurˊan Diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

a. Penafsiran Al-Biqâ’î Terhadap Surah Yâsîn ayat 1-6



















































“(1) Yâsîn. (2) Demi Al-Qurˊan yang penuh hikmah. (3) Sungguh, engkau (Muhammad) adalah salah seorang dari Rasul-rasul. (4) (Yang berada) di atas jalan lebar yang lurus.

(5) (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. (6) Agar engkau memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (QS.

Yâsîn [36]: 1-6)

Pada ayat pertama, al-Biqâ’î menjelaskan bahwa nama lain surah Yâsîn adalah al-Qalbu. Dengan alasan bahwa ia mengibaratkan hati yang bersih seperti kaca yang bening. Secara bersamaan, kaca memiliki sifat keras dan lembut. Sifat keras dari kaca terlihat dari kerasnya permukaan

sehingga ketika air mengenai kaca, air tidak memberikan bekas apapun pada kaca. Disisi lain, kaca bisa menjadi rapuh dan halus ketika harus menghadapi kerasnya batu. Karena itulah hati seperti kaca. Secara bersamaan memiliki sifat keras dan rapuh. Hati siap terkena berbagai macam bisikan, sehingga ia bisa sangat kuat ketika terpengaruh oleh sesuatu yang baik (diilustrasikan dengan air) atau sangat lemah bahkan mati ketika terpengaruh sesuatu yang buruk (diilustrasikan dengan batu).14 Kemudian ketika di surah Fâthir Allah banyak menjelaskan tentang sifat al-Qudrah dan al-Irâdah, dalam surah Yâsîn ini membicarakan hasil dari sifat-sifat tersebut. Yaitu menakdirkan dan memilih Nabi serta kitab sucinya.15

Selanjutnya ketika al-Biqâ’î menjelaskan bahwa huruf ya (

ي

)

pada kata Yâsîn ialah ‘Ya Muhammad’16, maka tepat sekali jika setelahnya adalah ayat ini. Kata al-Qurˊan yang berasal dari akar kata qaraˊa memiliki makna dasar al-Jam’u ma’al Farqi (menyatukan hati yang terpisah-pisah). Bersatunya hati menuju Allah adalah isyarat dari kata al-Qurˊan. Kemudian kata ‘al-Hakîm’ mensifati kata al-Qurˊan tersebut untuk menunjukan kalau orang yang meresapi inti dari al- Qurˊan itu akan terhias ilmunya dengan amal yang berdasarkan al- Qurˊan.17

Setelah menyebutkan ayat pertama dengan ayat kedua, al Biqâ’î meneruskan pembahasannya pada korelasi kedua ayat tersebut dengan

14 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 242

15 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 243

16 Lihat halaman

17 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 243

67

ayat ketiga. Kata al-Biqâ’î: setelah ditegaskan dalam surah Fâthir, bahwasanya Allah Swt. adalah yang Maha Berkuasa lagi Maha Tinggi, karena Allah memiliki kekuasaan penuh dan ilmu yang mencakup segala hal. Salah satu tanda terbesar dari kekuasaannya adalah mengutus para Rasul kepada hamba-hambanya untuk membawa perintah-perintah Allah agar mereka kembali kepada jalan yang benar dan tidak dikendalikan oleh hawa nafsu. Karena itulah Allah menurunkan ayat “Innaka Lamin al-Mursalîn”. Para Rasul adalah sosok yang akal fikirannya mampu menguasai kehendak hawa nafsunya. Karena itulah mereka—dengan anugerah dari Allah swt—seperti malaikat yang sudah dijelaskan dalam surah Fâthir.18

Pada ayat keempat Allah menyatakan ala shirotimmustaqim. Ayat ini menurut al-Biqâ’î untuk menyifati bahwa ajaran Nabi Muhammad Saw. sama dengan ajaran-ajaran Nabi terdahulu. Karena itu, Allah menggunakan kata mustaqim maksudnya adalah “Engkau Ya Muhammad” adalah bagian dari para Nabi dan Rasul dan sama-sama berada di jalan yang lurus.19

Munasabah ayat kelima dengan ayat sebelumnya adalah seolah- seolah Al-Qurˊan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang berada di jalan yang lurus layaknya Nabi-nabi terdahulu itu dipertanyakan oleh orang-orang kafir di masanya. Orang kafir mengatakan: apa Al-Qurˊan itu? Maka kemudian dijawab Al-Qurˊan

18 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 243

19 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 244

adalah

٥ َ َ مي حَّرلٱ َ َ زي ز ع ۡلٱ َ لي نز ت

(Sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang). Al-Qurˊan adalah wahyu dari Allah yang Maha ‘Azîz (Maha Perkasa) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang). Penggunaan kata al-‘Azîz untuk menunjukan bagian dari kekuasaan Allah. Sementara penggunaan kata ar-Rahîm yaitu untuk menunjukan bahwa Al-Qurˊan berasal dari Allah yang Maha Memberi nikmat kepada siapa saja dari hamba-Nya setelah mereka diberi kenikmatan bisa hidup di dunia.20

Setelah disebutkan siapa yang mendapatkan kerasulan (al- Mursal) atau Nabi Muhammad Saw. dan apa yang di bawa oleh seorang Rasul (al-Mursalu bihî) atau Al-Qurˊan dan siapa yang mengutus Rasul (al-Mursil) atau Allah Swt. disebutkanlah kepada siapa kerasulan itu disampaikan (al-Mursalu lahû). Itu tergambar dalam ayat keenam ini.

Kalimat

اٗمۡو ق َ َ ر ذنُ لِ

menurut al-Biqâ’î itu ditunjukan kepada orang-orang yang memiliki kekuatan dan kecerdasan di masyarakatnya. Ajaran Rasul ini juga disampaikan kepada nenek moyang mereka (

َۡمُهُؤٓا با ء

) namun

nenek moyang mereka telah melupakannya (

٦َ نوُل فٰ غَۡمُه ف

).21

b. Analisa Terhadap Penafsiran Al-Biqâ’î Surah Yâsîn ayat 1-6

Munâsabah dengan surah sebelumnya dijelaskan oleh al-Biqâ’î pada ayat pertama ini. Yakni pada surah sebelumnya Allah banyak membahas tentang kekuasaan Allah berupa sifat-sifat Allah al-Qudrah dan al-Irâdah, sedangkan pada surah ini, khususnya pada tema pertama ini al-Biqâ’î menjelaskan tentang hasil dari sifat al-Qudrah dan al-

20 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 245

21 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 245

69

Irâdah yang dijelaskan pada surah Fâthir tersebut yakni diturunkannya Al-Qurˊan kepada Nabi Muhammad Saw., Rasul yang menerima wahyu Allah Swt. dan menempuh jalan yang lurus untuk membenarkan ajaran- ajaran Islam dan memperingatkan orang-orang kafir untuk mengikuti ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.

Kemudian munâsabah ayat pertama dengan ayat kedua yang dijelaskan oleh al-Biqâ’î adalah ketika al-Biqâ’î memberi makna hurûf Ya’ pada kata “Yâsîn” dengan makna Yâ Muhammad. Yakni Al-Qurˊan yang merupakan firman Allah itu diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Nabi yang Allah pilih untuk menyampaikan pesan-pesan Allah yang terdapat dalam Al-Qurˊan.

Selanjutnya munâsabah ayat ke-2 dengan ayat ke-3 al-Biqâ’î jelaskan bahwa ayat ke-2 Allah Swt. bersumpah demi Al-Qurˊan yang disifatinya dengan kata Hakîm, ayat selanjutnya menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. benar-benar merupakan utusan Allah yang menerima mukjizat dari Allah berupa Al-Qurˊan untuk disampaikan kepada umatnya. Dijelaskan pada ayat selanjutnya yakni Nabi Muhammad benar-benar membawa ajaran Islam, berada di jalan yang lurus.

Setelah menjelaskan bahwa Al-Qurˊan merupaka wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang merupakan utusan Allah yang menyampaikan perintah-perintah Allah dan berada di jalan yang lurus, maka korelasi dengan ayat selanjutnya yakni ayat 5 ialah Allah menegaskan kembali bahwa Al-Qurˊan yang terpuji itu adalah wahyu yang diturunkan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Pengasih terhadap para hamba-Nya. Al-Qurˊan merupakan Firman Allah yang memberi isyarat bahwa Al-Qurˊan merupakan nikmat Tuhan yang paling mulia yang dilimpahkan kepada hamba-Nya.

Munâsabah ayat 5 dengan ayat 6 ialah setelah menyebutkan siapa yang mendapatkan kerasulan yakni Nabi Muhammad. Dan apa yang dibawa Nabi Muhammad yakni Al-Qurˊan. dalam ayat 6 dijelaskan bahwa kepada siapa kerasulan itu disampaikan.

Berikut kesimpulan munâsabah pada kelompok ayat 1-6:

No. Pola Ayat Pertama

Ayat

Kedua Keterangan

1. Tafsîr QS. Yâsîn ayat 1

QS. Yâsîn ayat 2

“Yâ” dalam kata Yâsîn dijelaskan oleh al-Biqâ’î bermakna “Yâ Muhammad”.

Sedangkan ayat kedua menjelaskan tentang sumpah

Al-Qurˊan yang disifatinya dengan kata “hakîm”. Maka

munâsabahnya ialah Al- Qurˊan al-Hakîm diturunkan

kepada Nabi Muhammad Saw.

2. Tafsîr QS. Yâsîn ayat 2

QS. Yâsîn ayat 3

Pada ayat 2 dijelaskan bahwa Al-Qurˊan diturunkan kepada

Nabi Muhammad Saw.

sedangkan ayat 3 menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan

salah seorang dari Rasul- rasul

3. Tafsîr QS. Yâsîn ayat 3

QS. Yâsîn ayat 4

Pada ayat 3 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad merupakan

71

salah seorang dari Rasul- rasul, ayat 4 menjelaskan

bahwa Nabi Muhammad Saw. berada di jalan yang

lurus

4. Tafsîr QS. Yâsîn ayat 3 dan 4

QS. Yâsîn ayat 5

Pada ayat 3 dan 4 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad

Saw. merupakan salah seorang dari Rasul-rasul yang berada di jalan yang lurus, ayat 5 menjelaskan bahwa Al-Qurˊan yang diterima Nabi Muhammad Saw. diturunkan oleh Allah

Swt. Yang Maha Perkasa Maha Penyayang

5. QS. Yâsîn

ayat 5

QS. Yâsîn ayat 6

Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Nabi Muhammad yang mendapat kerasulan yang menerima Al- Qurˊan dari allah Swt. Ayata

6 menjelaskan tentang kepada siapa kerasulan itu

disampaikan.

2. Peringatan Bagi Orang yang Tidak mengindahkan Al-Qurˊan a. Penafsiran Al-Biqâ’î Terhadap Surah Yâsîn ayat 7-11















































































































“(7) Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan terhadap kebanyakan mereka, maka mereka tidak akan beriman. (8) Sesungguhnya Kami telah menjadikan di leher mereka belenggu-belenggu, lalu ia ke dagu sehingga mereka tertengadah. (9) Dan Kami mengadakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding dan Kami menutupi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. (10) Dan sama saja buat mereka apakah engkau memperingatkan mereka, mereka tidak akan beriman. (11) Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan bagi siapa yang mengikuti adz-Dzikr (Al- Qurˊan) dan yang takut kepada ar-Rahman, meskipun Dia ghaib. Maka karena itu gembirakanlah ia tentang maghfirah dan ganjaran yang mulia.”

Al-Biqâ’î mengatakan: Setelah menjelaskan bahwasanya orang- orang terdahulu banyak yang sudah melupakan bahkan merubah ajaran para Nabi, Allah Swt. kembali menegaskan pada ayat ke tujuh ini bahwa orang-orang yang lupa tersebut jelas akan di azab oleh Allah Swt.

dengan kalimat

َۡم ه ثَۡك أَ ٰٓ عَل َ َُلۡو قۡلٱ َ َّق ح َ َۡد ق ل

. Namun orang-orang kafir/muslim di masa Nabi Muhammad Saw. masih ada yang tidak

73

beriman. Ini tergambar dalam kalimat

َ نوُن مۡؤُيَ لََ ۡمُه ف

. Maksudnya adalah meskipun orang-orang musyrik sudah diperingatkan adanya azab bagi orang yang tidak mengamalkan ajaran para Nabi, orang-orang musyrik tetap menutup mata dengan kesombongan mereka di dunia.22

Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang kafir tersebut masih tetap ingkar meskipun sudah diperingati, sementara sikap tersebut adalah sikap yang mencengangkan Allah menggambarkan mereka dengan kondisi yang terburuk untuk menunjukan kekuasaannya.

Penggambaran tersebut terlihat dalam ayat delapan ini pada kalimat

َ اَّن إ

َۡغ أَ ۡم ه قٰ نۡع أَٓ فَِا ن ۡل ع ج

َ ٗ

لٰ ل

. Kata

َ لٰ لۡغ ٗ أ

adalah perumpamaan dari gelapnya kesesatan yang mereka terus yakini. Selanjutnya kesesatan tersebut digambarkan terus membelenggu mereka sampai mereka tidak bisa lagi melihat kebenaran. Karena belenggu tersebut mencengkram leher mereka. Digambarkan leher mereka tidak bisa melihat ke depan. Dan mereka kesulitan untuk mengangkat leher mereka. Ayat tersebut menggambarkan enggannya mereka melihat kebenaran karena sikap mereka yang sombong terhadap kebenaran.23

Al-Biqâ’î mengatakan: Pada ayat 9 Allah menegaskan kondisi orang kafir yang tidak kunjung beriman meskipun sudah diperingatkan akan adanya azab seperti umat-umat terdahulu, Allah kembali menyifati mereka dengan perumpamaan yang lebih buruk yaitu Allah menutup pandangan mereka baik di sisi depan maupun di sisi belakang.

22 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 245

23 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 246

Penyebutan menutup bagian sisi belakang dari orang yang tidak beriman untuk menegaskan betapa ingkarnya mereka sehingga mereka tidak bisa lagi melihat kebenaran dari manapun datangnya. Karena itulah mereka tidak melihat kebenaran.24

Pada ayat Sembilan Allah menggambarkan orang yang tidak beriman telah di tutup pandangannya di segala sisi, lalu pada ayat ke sepuluh di gambarkan Allah menutup pendengaran mereka.25 Setelah Allah gambarkan bahwa kebanyakan orang itu tidak beriman dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. termasuk yang di sampaikan oleh Nabi-nabi terdahulu, Allah kemudian menyatakan bahwa ada tanda-tanda orang yang masih mengikuti apa yang disampaikan Nabi. Orang-orang ini adalah seperti yang disebutkan dalam ayat ke sebelas yaitu orang yang mengikuti Al-Qurˊan (

َ ر ك ذلٱ ۡ َ َ ع بَّتٱ َ ن م

) orang yang mengikuti aturan, maksudnya adalah memaksa dirinya untuk mengikuti apa yang disebutkan dari Al-Qurˊan dan orang yang takut kepada Allah yang Maha Pengasih terhadap hal-hal yang tersembunyi (

َ َ نٰ مۡحَّرلٱ َ شِ خ و

َ بۡي غ ۡلٱ َ ب

). Orang yang mengikuti Al-Qurˊan dan takut kepada Allah maka

sampaikanlah (Wahai Nabi Muhammad) kebahagiaan kepada orang tersebut berupa pengampunan dosa dan pahala yang besar dan terus menerus.26

b. Analisa Terhadap Penafsiran Al-Biqâ’î Surah Yâsîn ayat 7-11

24 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 247

25 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 247

26 Burhân ad-Dîn al-Biqâ’î, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar, Jilid VI, h. 248

75

Melalui ayat 7, al-Biqâ’î mengatakan bahwa Allah sudah memberikan peringatan bagi orang-orang yang enggan menerima ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. berupa siksaan. Keengganan orang- orang tersebut dilukiskan dalam ayat 8 bahwa keadaannya bagaikan seseorang yang dilehernya terpasang belenggu-belenggu. Ini merupakan penjelasan bahwa al-Biqâ’î menjelaskan munâsabah ayat 7 dengan ayat 8 ini.

Dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa kelalaian/keengganan mereka sejak semula, Allah menetapkan kata, menentukan nasib. Dan nasib mereka ialah masuk dalam golongan orang yang tidak beriman, menjadi penantang kebenaran. Karena hati mereka telah tertutup dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.27 Dalam tafsir al- Lubâb pun dijelaskan bahwa nasib untuk orang-orang yang tidak mau mengikuti ajaran Islam ialah siksaan yang berupa leher yang dibelenggu.

Belenggu-belenggu itu diikat ke dagu orang-orang tersebut, sehingga akibatnya mereka tertengadah ke atas, yakni tidak dapat menunduk dan tidak bebas menoleh ke kanan dan ke kiri.28

Kemudian karena keenganan mereka mengikuti ajaran Islam dan memperhatikan bukti-bukti kebenaran yang terhampar di alam raya, maka setelah diberikan belenggu pada lehernya yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, al-Biqâ’î pun menjelaskan hubungan dengan ayat ini ialah Allah pun menutup pandangannya. Sehingga mereka tidak dapat melihat ke bawah, tidak dapat lurus melihat karena sudah terbelenggu dan telah tertutup pandangannya. Di muka tertutup dan di belakang pun tertutup. Semua jadi gelap, semua jadi terhalang dan terhambat.

27 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXIII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), Cet. ke-3

28 M. Quraish Shihab, Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qurˊan, Jilid 3, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), Cet. ke-1, h. 314

Dijelaskan pula dalam tafsir departemen agama bahwa bukan hanya pandangannya yang tertutup, mereka yang enggan mengikuti ajaran Islam pikirannya tertutup dari kebenaran, dari apa yang dapat mendatangkan manfaat. Mereka selalu berada dalam penjara kebodohan, hati mereka dipisahkan oleh dinding, sehingga mereka tidak bisa berpikir dan merenungkan dalil-dalil kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.29

Pada ayat 10 al-Biqâ’î menjelaskan bahwa keenganan mereka mengikuti ajaran Islam dan memperhatikan bukti-bukti kebenaran yang terhampar di alam raya, maka setelah diberikan belenggu pada lehernya dan ditutup pandangannya yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, mereka pada ayat ini akan ditutup pendengarannya. Demikian sudah al- Biqâ’î gambarkan peringatan-peringatan akan adanya azab dari Allah untuk orang yang tidak mengikuti ajaran Islam, akan tetapi mereka tetap tidak beriman.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir an-Nûr bahwa sama saja orang yang telah ditetapkan untuk tidak beriman, diperingatkan maupun tidak mereka tidak akan beriman. Karena Allah menutup mata hatinya dan telah menutup pemandangannya dan pendengarannya sehingga tidak dapat lagi memperhatikan dalil-dalil keesaan Allah Swt.30

Pada ayat sebelumnya al-Biqâ’î mengatakan bahwa peringatan- peringatan yang telah Allah tegaskan dalam kalam-Nya itu untuk orang yang enggan mengikutin ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

sedangkan dalam ayat 11 ini dijelaskan bahwa untuk orang yang mengikuti Al-Qurˊan dan takut kepada Allah, akan Allah beri kebahagiaan dan ampunan dosa dan pahala yang besar dan terus

29 Departemen Agama RI, Al-Qurˊan dan Tafsirnya, h. 198

30 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddîeqî, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nûr, Jilid 3, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2016), Cet. ke-4, h. 511

Dokumen terkait