IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4. Struktur Tegakan
Keanekaragaman jenis suatu komunitas tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis, sebaliknya dengan jumlah jenis yang sedikit dan sedikit pula jenis yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah (Soerianegara, 1996;
Soegianto 1994).
Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas terjadi interaksi spesies yang tinggi pula berupa kompetensi dan pembagian ruang yang lebih kompleks. Keadaan ini juga menunjukkan keadaan komunitas yang lebih stabil dan mantap, walaupun hal ini dapat diaplikasikan pada komunitas tertentu saja (Odum, 1993; Sugianto, 1994).
Srata IV dengan tinggi < 1 m. Skala yang digunakan dalam penggambaran diagram profil dan dan proyeksi tajuk setiap pola adalah 1: 200. Data yang digunakan dalam penggambaran tersebut didasarkan pada salah satu plot pengamatan yang mewakili tiap pola agroforestri sehingga kemungkinan ada jenis tanaman pada plot pengamatan yang lain tidak tercantum dalam gambar profil vegetasi
4.4.1. Agrosilviculture (Kombinasi A)
Struktur vegetasi pada pola Agrosilviculture (Kombinasi A) untuk Srata tinggi > 15 m adalah kemiri dengan tinggi antara 18 – 19 m, Pinus dengan tinggi antara 17 – 20 m dan Mangifera indica dengan tinggi 19 m. Srata II dengan tinggi 6 – 15 m antara lain pulai dengan tinggi 14,3 m, pinus dengan tinggi 11-14 m, mapala dengan tinggi 14 m dan suren dengan tinggi 8 m. Srata III dengan tinggi 1 – 5 m yaitu Theobroma cacao dengan tinggi antara 3 – 5 m dan tanaman pisang tinggi diatas 1 m. Berdasarkan hasil pengukuran kesuluruhan penutupan tajuk pada plot pengamatan yang mewakili pola Agrosilviculture (Kombinasi A) maka luas penutupan tajuk keseluruhan 56,52 %. Gambar diagram profil vegetasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Keterangan:
1 : Pinus 2 : Jati 3 : Pulai 4 : Kemiri
5 : Mapala 6 : Kakao 7 : Pisang 8 : Suren
Gambar 4. Diagram profil vegetasi pola Agrosilviculture (Kombinasi A) 4.4.1.1. Agrosilviculture (Kombinasi B)
Struktur vegetasi pada pola Agrosilviculture (Kombinasi B) untuk Srata tinggi >
15 m adalah Jabon dengan tinggi antara 17,68 m dan suren dengan tinggi antara 15,95 - 16,4 m. Srata II dengan tinggi 6 – 15 m antara lain suren dengan tinggi 6,3 m-13,3 m dan mahoni dengan tinggi 8.5 m. Srata III dengan tinggi 1 – 5 m yaitu Theobroma cacao dengan tinggi antara 2 – 3 m, tanaman pisang dan pepaya tinggi diatas 1 m. Selanjutnya Srata IV dengan tinggi < 1 m yaitu tanaman salak. Berdasarkan hasil pengukuran kesuluruhan penutupan tajuk pada plot pengamatan yang mewakili pola Agrosilviculture (Kombinasi B) maka luas penutupan tajuk keseluruhan 43,50 %. Gambar diagram profil vegetasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan : 1 : Jabon
2 : Suren 3 : Mahoni 4 : Kakao
5 : Pisang 6 : Pepaya 7 : Salak
Gambar 5. Diagram profil vegetasi pola Agrosilviculture (Kombinasi B) 4.4.1.2. Agrosilvofishery (Kombinasi C)
Struktur vegetasi pada pola Agrosilvofishery (Kombinasi C) untuk Srata tinggi > 15 m adalah Gmelina dengan tinggi antara 20-22 m, durian dengan tinggi 17 m, sukun dengan tinggi 21 m, dan sengon dengan tinggi 22 m. Srata II dengan tinggi 6 – 15 m antara lain sengon dengan tinggi 12 m gmelina dengan tinggi 6 - 9 m dan manga dengan tinggi 8 m. Srata III dengan tinggi 1 – 5 m yaitu kopi dengan tinggi 3 m dan Theobroma cacao dengan tinggi 4 m, tanaman pisang tinggi diatas 1 m, selanjutnya Srata IV dengan tinggi < 1 m. yaitu tanaman terong dan pakan ternak rumput gajah. Berdasarkan hasil pengukuran kesuluruhan penutupan tajuk pada plot pengamatan yang mewakili pola Agrosilvofishery (Kombinasi C) maka luas penutupan tajuk keseluruhan 50,26
%. Gambar diagram profil vegetasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan:
1 Gmelina 2 Durian 3 Mangga 4 Sengon 5 Kakao 6 Sukun
7 Pisang 8 Kopi 9 Kelapa
10 Rumput Gajah 11 Terong
Gambar 6. Diagram profil vegetasi pola Agrosilvofishery (Kombinasi C) 4.4.1.3. Agrosilvopastura (Kombinasi D)
Struktur vegetasi pada pola Agrosilvopastura (Kombinasi D) untuk Srata tinggi > 15 m adalah pinus dengan tinggi antara 17 -22 m dan sengon dengan tinggi 16 m. Srata II dengan tinggi 6 – 15 m antara lain gentungan dengan tinggi 8 m, sengon dengan tinggi 6,5 m dan pinus 6,5. Srata III dengan tinggi 1 – 5 m yaitu jabon dengan tinggi 1,1 m dan kayu karet 1,4 m selanjutnya Srata IV dengan tinggi < 1 m yaitu pakan ternak rumput gajah. Berdasarkan hasil pengukuran kesuluruhan penutupan tajuk pada plot pengamatan yang mewakili pola Agrosilvopastura (Kombinasi D) maka luas penutupan tajuk keseluruhan 20,25 %. Gambar diagram profil vegetasi dapat dilihat pada Gambar 7
Keterangan 1 Pinus
2 Gmelina 3 Sengon 4 Kayu karet 5 Jabon
6 Rumput Gajah
Gambar 7. Diagram profil vegetasi pola Agrosilvopastura (Kombinasi D)
V. KASIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pola-pola agroforestri di Desa Batu Rappe Kecamatan Biring Bulu Kabupaten Gowa, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk agroforestri yang diterapkan oleh masyarakat di Desa Batu Rappe ditinjau dari komponen yang menyusunnya terdiri atas Agrisilvikultur (Agrisilvicultur systems), Silvofishery (Silvofishery system) dan Silvopastur (Silvopastural systems).
2. Pola Agrosilvofishery (kombinasi C) memiliki jumlah jenis yang paling banyak yaitu 31 jenis dengan kombinasi Mangga, sukun, nangka, tanaman holtikultura yang dikombinasikan dengan system kolam ikan mujair dan nila.
3. Pola Agrosilvofishery (kombinasi C) memiliki indeks keanekaragaman yang paling tinggi pada setiap tingkat pertumbuhan di banding dengan pola lainnya.yaitu tingkat pohon 2,09, tiang 2,06, pancang 1.52, tumbuhan bawah/anakan 1.56
4. Pola memiliki persentase luas penutupan tajuk paling luas adalah Agrosilviculture (Kombinasi A) sebesar 56,52 % dan Agrosilvofishery (kombinasi C) sebesar 50,26 % sosial budaya yang tinggi dibandingkan dibandingkan dengan pola lainnya dimana dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar hutan.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Saran untuk masyarakat sekitar Desa Batu Rappe Kecamatan Biring Bulu Kabupaten Gowa dalam mengembangkan pola agroforestri sebaiknya menerapkan pola dengan kombinasi tanaman yang komersil seperti pola Agrosilvofishery (kombinasi C) dengan kombinasi tanaman MPTS, kayu- kayuan, tanaman perkebunan dan holtikutura yang di padukan dengan kolam ikan. Sedangkan pada lahan kurang subur dan memiliki padang pengembalaan sebaiknya diterapkan pola Agrosilvopastura (kominasi D) kombinasi antara pakan ternak dengan tanaman kayu-kayuan seperti jabon dan sengon.
2. Saran untuk pemerintah agar mengembangkan pola-pola agroforestry yang telah sukses ke desa atau kecamatan lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Hairiah, Kurniatun, M.A. Sardjono dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan Ajar Agroforestri 1. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor Indonesia. www.icraf.cgiar.org/sea
King, 1979. Agroforestry. Proceeding of the Fiftieth Symposium on Tropical Agriculture. Royal Tropical Institute , Amsterdam, The Netherlands.
Marseno. 2004. Post Harvest Technology Development And Dissemination Of Agroforestry-Based Product, Presentasi Workshop Agroforestry 2004, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Manan, S. 1976. Dasar-dasar Ekologi (Suatu Pengantar untuk Memahami Ekosistem). Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Nair, P.K.R. 1984. Classification Of Agroforestry Systems. Int. Council For
Research in Agroforestry, Nairobi, Kenya
Razak, 2008. Agroforestry upaya konservasi tanah dan air dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) (Heterometrus.files.wordpress.com/blog- agroforestry). diakses Januari 2009.
Reijntjes, 1992. Pertanian Masa Depan : Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit Kanikus. Yogyakarta.
Sabarnurdin, M. 2004. Agroforestry : Konsep, Prospek Dan Tantangan Persentasi Workshop Agroforestry 2004 , Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sardjono, MA. 1990. Die Lembo-Kultur in Ost Kalimantan. Ein Modell fuer die Entwicklung agroforstlicher Landnutzung in den Feuchttropen.
Dissertation. Universitate Hamburg. Germany.
Sa’ad, Asmadi. 2002, Agroforestry Sebagai Salah Satu Alternatif Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana /S3 Institute Pertanian Bogor, 2007. 60 DAS di Indonesia Minta Prioritas Penanganan.
Thaman RR, 1989. Rainforest Management within Cintex of Existing Agroforstry Systems. In Hauveldop. J..T. Homola, H.J. von Maydell, T.Van Tuyll. 1989. Proceeding GTZ Regional Seminar Korolevu (Fiji).
LAMPIRAN 1. DATA PENGUKURAN POHON 1. Data Plot 1
a. Pohon
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 RITA 1,32 0,42 6 2,3 1,5
2 RITA 1,5 0,48 7 2,4 1,5
3 MANGGA 1,27 0,40 3 1,2 1,5
4 MANGGA 0,98 0,31 2 0,4 1,5
5 MANGGA 1,52 0,48 8 3,5 1,5
6 MANGGA 1,72 0,55 11 5,2 1,5
b. Tiang
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 KOPI 0,27 0,09 4 1,5 1,5
2 KOPI 0,21 0,07 3 1,4 1,5
3 KOPI 0,17 0,05 2,7 1,2 1,5
4 KOPI 0,32 0,10 4,2 2,1 1,5
1 PINANG 0,46 0,15 12 4,2 1,5
2 PINANG 0,36 0,11 8 3,4 1,5
3 BIRAENG 0,37 0,12 6,31 2,1 1,5
c. Pancang
NO NAMA POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 BIRAENG 0,3 0,10 5 1,5 1,5
2 BIRAENG 0,25 0,08 4,27 2,1 1,5
2. Data Plot 2 a. Pohon
NO NAMA POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 JABON 0,8 0,25 17,68 6,5 1,5
b. Tiang
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 SUREN 0,46 0,15 11,12 4,6 1,5
2 SUREN 0,52 0,17 6,31 2,4 1,5
3 SUREN 0,45 0,14 3,8 1,3 1,5
4 SUREN 0,47 0,15 6,31 2,6 1,5
5 SUREN 0,52 0,17 7,95 3,7 1,5
6 SUREN 0,46 0,15 13,3 7,3 1,5
7 SUREN 0,38 0,12 5,91 3,1 1,5
8 SUREN 0,42 0,13 3,18 1,7 1,5
9 SUREN 0,36 0,11 13,09 6,4 1,5
10 SUREN 0,52 0,17 14,14 8,2 1,5
11 SUREN 0,49 0,16 10,6 5,9 1,5
12 SUREN 0,45 0,14 3,18 1,9 1,5
13 SUREN 0,50 0,16 9,95 4,3 1,5
14 SUREN 0,32 0,10 11,22 4,2 1,5
15 SUREN 0,36 0,11 4,81 2,1 1,5
16 SUREN 0,34 0,11 6,31 3,2 1,5
17 SUREN 0,33 0,11 17,97 6,5 1,5
18 SUREN 0,46 0,15 15,4 8,4 1,5
19 SUREN 0,45 0,14 8,33 4,2 1,5
20 SUREN 0,48 0,15 11,7 5,4 1,5
21 SUREN 0,44 0,14 12,96 6,3 1,5
22 SUREN 0,33 0,11 14,29 7,3 1,5
23 SUREN 0,36 0,11 15,4 6,3 1,5
c. Pancang
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 SUREN 0,28 0,09 8,55 4,2 1,5
2 SUREN 0,28 0,09 11,78 5,2 1,5
3 MAHONI 0,21 0,07 8,5 2,1 1,5
4 SUREN 0,26 0,08 3,03 1,5 1,5
5 SUREN 0,28 0,09 5,91 2,6 1,5
6 SUREN 0,28 0,09 21,21 14,3 1,5
7 SUREN 0,29 0,09 10,6 5,6 1,5
8 SUREN 0,29 0,09 13,35 7,5 1,5
9 SUREN 0,27 0,09 9,4 3,4 1,5
10 SUREN 0,31 0,10 12,7 5,8 1,5
11 SUREN 0,26 0,08 8,14 5,3 1,5
3. Data Plot 3 a. Pohon
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 MANGGA 1,37 0,44 4 2,3 1,5
2 MANGGA 1,52 0,48 6 2,4 1,5
3 MANGGA 1,6 0,51 7 3,7 1,5
4 MANGGA 1,42 0,45 5 3,6 1,5
5 MANGGA 1,4 0,45 4,76 2,3 1,5
6 MANGGA 1,49 0,47 5,65 4,3 1,5
7 MANGGA 1,54 0,49 5,78 3,2 1,5
8 BITTI 0,64 0,20 3,67 2,4 1,5
9 BITTI 0,76 0,24 4 1,3 1,5
10 BITTI 0,71 0,23 4,08 1,7 1,5
11 SUKUN 1,51 0,48 8 3,6 1,5
12 SUKUN 1,72 0,55 9 4,3 1,5
13 SUKUN 2,25 0,72 11,02 6,3 1,5
14 SUKUN 1,82 0,58 9,3 9,4 1,5
15 NANGKA 0,88 0,28 8 3,7 1,5
16 NANGKA 0,97 0,31 9 5,4 1,5
17 NANGKA 0,92 0,29 8,76 5,4 1,5
18 NANGKA 0,79 0,25 7,25 4,3 1,5
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
20 KAPUK 1,46 0,46 9,01 4,3 1,5
21 JATI 0,89 0,28 8 4,1 1,5
22 JATI 0,92 0,29 8,12 3,7 1,5
26 SENGON 0,81 0,26 7 3,5 1,5
27 LANGSAT 0,81 0,26 3 1,6 1,5
28 LANGSAT 0,98 0,31 5 2,4 1,5
b. Tiang
NO NAMA POHON KELILIN
G DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 BITTI 0,62 0,20 3,52 1,6 1,5
2 SUREN 0,49 0,16 10,27 4,2 1,5
3 SUREN 0,5 0,16 9,38 6,4 1,5
4 SUREN 0,48 0,15 11,27 6,4 1,5
5 SUREN 0,58 0,18 12,08 7,9 1,5
c. Pancang
NO NAMA POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 SUREN 0,28 0,09 8 2,4 1,5
2 KOPI 0,09 0,03 1 0,3 1,5
3 KOPI 0,1 0,03 1,5 0,2 1,5
4 BILALANG 0,27 0,09 4,7 2,1 1,5
5 BILALANG 0,3 0,10 5,07 2,4 1,5
6 BILALANG 0,25 0,08 4,5 3,2 1,5
7 JERUK 0,18 0,06 5 2,4 1,5
4. Data Plot 4 a. Pohon
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 KEMIRI 0,89 0,28 9,51 3,2 1,5
2 KEMIRI 1,09 0,35 10,11 5,2 1,5
3 KEMIRI 1,26 0,40 12,9 7,3 1,5
4 JATI SUPER 0,92 0,29 9,2 4,2 1,5
NO NAMA
POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
6 JATI SUPER 0,89 0,28 8,09 3,7 1,5
7 JATI SUPER 0,69 0,22 7,01 3,5 1,5
8 GMELINA 0,82 0,26 8,12 3,8 1,5
9 GMELINA 0,89 0,28 9,16 3,9 1,5
10 GMELINA 0,81 0,26 8,11 3,6 1,5
11 GMELINA 0,97 0,31 10,7 4,5 1,5
12 GMELINA 0,89 0,28 8,9 4,2 1,5
13 GMELINA 0,97 0,31 10 4,8 1,5
14 GMELINA 0,82 0,26 8,02 3,7 1,5
15 NANGKA 0,88 0,28 8,03 4,2 1,5
16 PINUS 1,16 0,37 16,7 7,9 1,5
17 PINUS 1,36 0,43 18 7,3 1,5
18 PINUS 1,23 0,39 16,02 8,2 1,5
19 PINUS 1,42 0,45 19 12,5 1,5
20 PINUS 1,33 0,42 17 15,4 1,5
21 PINUS 1,39 0,44 17,09 9,5 1,5
22 MANGGA 1,27 0,40 3 1,8 1,5
23 MANGGA 1,52 0,48 8 6,9 1,5
24 MANGGA 1,72 0,55 11 5,3 1,5
25 KAPUK 1,89 0,60 12 7,9 1,5
b. Tiang
NO NAMA POHON KELILING DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 SUREN 0,36 0,11 11,29 7,8 1,5
2 SUREN 0,46 0,15 13,47 9,3 1,5
3 JATI SUPER 0,61 0,19 6,89 3,8 1,5
4 GMELINA 0,59 0,19 7,09 5,3 1,5
5 GMELINA 0,59 0,19 7,05 3,6 1,5
6 GMELINA 0,6 0,19 7,15 4,9 1,5
7 BILALANG 0,33 0,11 5,28 3,4 1,5
8 BILALANG 0,35 0,11 5,67 3,1 1,5
9 JAMBU METE 0,3 0,10 5,27 3,2 1,5
c. Pancang
NO NAMA POHON KELILING
(m) DIAMETER T. TOT TBC T. PENGAMAT
1 JABON PUTIH 0,12 0,04 1 0,2 1,5
2 KAYU KARET 0,12 0,04 1,06 0,5 1,5
3 KAYU KARET 0,14 0,04 1,21 0,6 1,5
4 KAYU KARET 0,1 0,03 0,96 0,4 1,5
5 KAYU KARET 0,16 0,05 1,41 0,7 1,5
6 KAYU KARET 0,13 0,04 1,13 0,8 1,5
7 BILALANG 0,31 0,10 5,07 2,6 1,5
8 BILALANG 0,27 0,09 4,73 2,8 1,5
9 JAMBU METE 0,3 0,10 5,27 3,7 1,5
LAMPIRAN 2. DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Kombinasi A
Gambar 2. Pengukuran Pohon Kombinasi A
Gambar 3. Kombinasi A
Gambar 5. Pengambilan Data Kombinasi B
Gambar 7. Kombinasi C
Gambar 8. Kombinasi C
Gambar 9. Kombinasi C