• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TAFSIR QABAS MIN NÛR AL-QUR`AN AL-KARÎM KARYA

B. Metodologi Kitab Tafsir Qabas Min Nûr Al-Qur`an Al-Karîm

3. Sumber Penafsiran

Maksud dari sumber penafsiran Al-Qur`an adalah bahwa sang penafsir dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an menyandarkan produk tafsirnya pada beberapa sumber. Dalam hal ini, sumber penafsiran dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tafsir bil ma’tsur16 dan tafsir bir ra’yi17.

15 Muhammad Ali Ashabuni, Qabas Min Nûr Al-Qur`an Al-Karîm, terj. Kathur Suhardi, h. xxx

16 Tafsir bil-ma’tsur, yakni tafsir yang bertumpu pada dalil naqli yang shahih dengan

tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan pada syarat-syarat mufassir, seperti tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an; tafsir Al-Qur`an dengan As-Sunnah, karena As-Sunnah menjelaskan kitab Allah, tafsir Al-Qur`an dengan sahabat, karena mereka adalah orang-orang yang penting mengetahui kitab Allah, atau tafsir Al-Qur`an dengan perkataan tokoh tabiin, karena umumnya mereka mempelajari tafsir dari para sahabat. Metode tafsir ini berpedoman pada atsar-atsar terkait makna suatu ayat, baru setelah itu disebutkan, tidak berijtihad untuk menjelaskan makna ayat tanpa landasan dalil, dan menghindari hal-hal yang tidak membawa manfaat untuk diketahui selama tidak ada dalil naqli yang shahih terkait itu (Manna Khalil al-Qathan, Mabahis Fi Ulumil Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Ummul Qura: Jakarta, 2018), h. 530)

17 Tafsir bir-Ra’yi, yakni tafsir di mana mufassir berpedoman pada pemahaman

pribadi dan kesimpulan yang murni berdasarkan rasio untuk menjelaskan makna, di mana

65 Penulis berpendapat bahwa sumber penafsiran Muhammad Ali Ash-Shabuni (W. 1437 H)sama halnya dengan tafsir Shafwat At- Tafâsîr yang menyebutkan bil ma’tsur, karena ia juga menyebutkan riwayat Rasulullah, sahabat, tabi’in. Di sisi lain, beliau juga menggunakan metode bi ar-ra’yi dengan menggunakan redaksi yang mudah dipahami karena ketika menjelaskan pelajaran yang bermanfaat dari suatu ayat walaupun tidak banyak, terkadang mufasir menjelaskan dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dan menguraikan pelajaran serta hikmah yang bisa didapat dari suatu ayat tidak menggunakan penjelasan dari Nabi SAW atau atsar18 para sahabat.

4. Corak Penafsiran

Menurut penulis, kitab tafsir Qabas Min Nur Al-Qur`an Al-Kariim merupakan kitab tafsir yang bercorak al-adabi wa al-ijtima’i.19 Sama

pemahaman tersebut tidak sesuai dengan ruh syariat. Pendapat murni yang tidak didukung dalil sahih memicu penyimpangan di dalam kitab Allah. Manna Khalil al-Qathan, Mabahis Fi Ulumil Qur`an, terj. Mudzakir AS, h. 536) Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat bukan didasarkan pada riwayat dan sanad yang sampai ke sahabat atau Rasulullah SAW, melainkan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri. Kadang juga diistilahkan dengan tafsir biddirayah yang sebenarnya sama dengan makna ra’yu yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Bahkan menurut Muhammad Ali Ash Shabuni yang dimaksud ra’yu adalah ijtihad (Ahmad Sarwat, Pengantar Ilmu Tafsir, Rumah Fiqih Publishing: Jakarta, 2020, cet ke- 2 h. 35-37)

18 Secara etimologis kata atsar merupakan jamak dari utsur yang mengandung arti bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Sedangkan secara terminologis, jumhur ulama mengartikan atsar itu semua dengan khabar dan hadis. Para fuqaha memakai istlah atsar untuk perkataan- perkataan ulama salaf, tabi’in, sahabat dan lainnya. Sebagian ulama pula kata “atsar” untuk perkataan tabi’in saja. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa atsar datangnya dari sahabat, tabi’in, dan orang sesudahnya dan juga ada yang berpendapat atsar lebih umum penggunaannya dari pada hadis dan khabar, dan perilaku sahabat, tabi’in dan sebagainya (Riza Nazlianto, “Hadits Zaman Rasulullah SAW Dan Tatacara Periwayatannya Oleh Sahabat”, dalam jurnal Al-Murshalah, vol.2, no.2, 2016 h.43)

19 Corak al-adabi wa al-ijtima’i istilah al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata,

yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Secara harfiah al-adabi bermakna sastra dan kesopanan,

halnya dengan kitab Shafwah at-tafsiir, Walaupun Ali Ashabuni mahir dalam bidang fiqih, beliau tidak banyak membahas masalah fikih jika bertemu dengan ayat ahkam, adapun beliau banyak mengambil hikmah dari ayat yang ia bahas dan dikaitkan dengan masyarakat zaman sekarang karena sesuai dengan latar belakang tujuan penulisan kitanya yaitu memudahkan manusia untuk mempelajari Al-Qur`an.20-Senada dengan penjelasan di atas.

Berdasarkan latar belakang penulisan Muhammad Ali Ash Shabuni yang menyebutkan bahwa tujuan ia menulis tafsir Qabas Min Nur Al-Qur`an Al- Kariim karena ingin memudahkan masyarakat untuk memahami isi kandungan Al-Qur`an. Di samping itu, ia juga menyebutkan dalam muqaddimahnya bahwa kitab tafsir tersebut merupakan kajian tematik analisis dan komprehensif tentang Al-Qur`an yang menjelaskan berbagai maksud dan tujuannya, yang meliputi adab, hukum, syariat, dan tujuan yang ingin dicapai, berupa bimbingan petunjuk, dalam rangka memperbaiki individu dan sosial. Penyajian tafsirnya pun menjelaskan keagungan Al- Qur`an meliputi mukjizat, makna ayat dan suratnya.21

5. Karakteristik penulisan kitab

Ciri khas Syeikh Ash-Shabuni adalah pada di awal surah ketika hendak memasuki ayat pertama, beliau memberikan pembukaan tentang kajian

sedangkan al-ijtima’i bermakna sosial. Dengan corak ini, mufassir mengungkap keindahan dan keagungan Al-Qur`an yang meliputi aspek balaghah, mukjizat, makna dan tujuannya.

Mufassir berusaha menjelaskan masalah-masalah sosial yang diperbincangkan dalam Al- Qur`n dan mengaitkan dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Ia berusaha memberikan memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan umat Islam khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-Qur`an yang dipahaminya. (Kadar M.Yusuf, Studi Al-Qur`an, Amzah: Jakarta, 2012, h. 165)

20 Aji Fatahilah dkk, “Penafsiran Ali-Alshabuni Tentang Ayat-ayat Yang Berkaitan Dengan Teologi”, dalam jurnal Al-Bayan, vo. 1 no. 2, 2016, 170

21 Muhammad Ali Ashabuni, Qabas Min Nûr Al-Qur`an Al-Karîm, terj. Kathur Suhardi, h. xix

67 surah tersebut meliputi asbabun nuzul jika ada, jumlah ayat pada surah, menyebutkan golongan makkiyah atau madaniyyah. Penafsiran ayat akan ditulis ketika selesai menuliskan ayat dengan lengkap atau berupa potongan-potongan ayat. Berbeda dengan tafsir Rawâ`iul al-Bayân fi Tafsîr Âyat Ahkâm min al-Qur`ân yang memiliki sistematika penulisan meliputi:

penentuan bab dan ayat Al-Qur`an yang akan ditafsiri, tafsir per kata, makna global, ragam qiroat dan ragam i’rab, sebab turun ayat, kelembutan tafsir, kandungan hukum, hikmah tasyri’.22 Dalam kitab Qabas Min Nûr Al- Qur`an Al-Karîm Cakupan bahasanya tidak menyentuh mengenai kaidah- kaidah bahasa (nahwu dan balaghah), ilmu qiraat, perbedaan ulama tentang masalah hukum atau riwayat hadis dan lain-lain yang sering menjadi pembahasan dalam kitab-kitab tafsir. Dengan demikian, penyajian bahasan dalam kitab ini terasa lugas dan jelas sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya.

Di samping itu, terdapat kesamaan seperti tafsir Rawa’iul bayan, dari aspek bahasa disebutkan bahwa pada tafsir tersebut merujuk pada syair- syair Arab dan mufassir pendahulunya.23 Karena pada tafsirnya, beliau terkadang menyebutkan syair-syair dalam tafsirnya. Dalam persoalan kalam menurut Husnul Hakim Imzi, ketika membahas tafsir Shafwat At-Tafâsîr beliau berpedoman pada ahlussunnah Asy’ariah.24 Di samping itu beliau mengutip pendapat para mufassir seperti pendapat Ibnu Katsir dalam tafsir

22 Muhammad Ali Ashabuny, Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur`an, terj. Ahmad Dzulfikar dkk, h. xxx

23 Andi Haryono, Ida Luthfah, “Tafsir Ayat Hijab Analisis Metode Tafsir Rawaiul Bayan Muhammad Ali Ash Shabuni”, h. 97

24 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kirab Tafsir, h.246

Al-Qur`an Al-Adhim25, Imam Ath Thabari dalam kitab Majma’ al-Bayan26, Al-Qurthuby (Al-Jami Li Ahkam Al-Qur`an) 27 . Di samping itu, penafsirannya juga ditunjang oleh hadis-hadis Rasul yang shahih dan pendapat para sahabat. Selanjutnya, ketika menafsirkan. Ketika sudah sampai pada akhir surah, beliau menutup akhir surah dengan menyampaikan hikmah-hikmah apa saja yang ada di dalam surah tersebut.

25 Nama lengkapnya adalah Ismail bin Amr al-Quraisy bin Kasir al-Basri ad- Dimasyqi Imaduddin Abdul Fida al-Hafiz al-Muhaddis asy-Syafi’i. Lahir pada 705 H dan wafat pada 774 H, sesudah menempuh kehidupan panjang yang sarat keilmuan. Ia adalah seorang ahli fikih, ahli hadis, sejarawan ulung, dan mufasir. Tafsirnya adalah tafsir Al-Qur`an al-azhim. Tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat dan memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanaya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadis-hadis marfu’ yang peringatan-peringatan akan cerita-cerita Israilyat tertolak (munkar) yang banyak terebar dalam tafsir-tafsir bil-maa’tsur, baik peringatan secara global atau mendetail. Karya- karyanya antara lain: Al-Nidayah wa Inayah, Al-Kawakibud Darari, Tafsir Al-Qur`an, Al- Ijtihad fi Talabil Jihad, Jamiul Msanid, Asunanul Hadi li Aqwami Sunan dan Al-Wahidun Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad ibn Idris. (Manna Khalil al-Qathan, Mabahis Fi Ulumil Qur`an, terj. Mudzakir AS h. 536-537)

26 Nama Lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far at-Tabariat-Tabari, berasal dari Amol, lahir dan wafat di Bagdad. Dilahirkan pada 224 H dan wafat pada 310 H. Beliau adalah ulama yang sulit dicari bandingnya, banyak meriwayatkan hadis, luas pengetahuannya dalam bidang penukilan dan pentarjihan (penyeleksian untuk memilih yang kuat) riwayat-riwayat serta mempunyai pengetahuan luas dalam bidang sejarah para tokoh dan berita umat terdahulu. Karya Tafsirnya adalah Jamiul Bayan Fi Al-Qur`an merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bil ma’sur. Ibn Jarir memaparkan tafsir dengan menyandarkannya kepada sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin. Ibn Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istinbat yang unggul dalam pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i’rabnya. Dengan itulah antara lain tafsir tersebut berada di atas tafsir-tafsir yang lain. Sehingga banyak mufasir yang menukil darinya.

Karya tulisnya antara lain: Jamiul Bayan fi al-tafsir Al-Qur`an, Tarikhul Umam wal Muluk wa Akbaruhum, Al-Adabul Hamidah wa Akhlaqum Nafisah, Tarikhur Rijal, Ikhtilaful fuqaha dan lain-lain. (Manna Khalil al-Qathan, Mabahis Fi Ulumil Qur`an, terj. Mudzakir AS, h. 535- 536)

27 Nama lengkap al-Qurthuby adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farrah al-Anshar al-Khazraji al-Qurthuby (W. 671 H). Karya-karyanya diantaranya adalah: Al-Jami li Ahkam Al-Qur`an, Al-Asna fi Syarh al-Asma al-Husna, At-Tizkar fi Afdhal al-Azkar dan lain-lain. Tafsir AL-Qurthuby termasuk kategori corak fiqih karena pembahasannya bersentuhan dengan masalah fiqhiyah. Beliau termasuk pengikut madzhab Maliki. Beliau memberikan perhatian secara khusus terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum namun tidak bertele-tele sebagaimana layaknya kitab fikih. Secara umum, tafsir ini cenderung ke model tafsir bi al-ra’yi, walaupun begitu bukan berarti tidak ada riwayatnya sama sekali sebagaimana tafsir bil ma’tsur . Hanya saja cara bi al-ra’yi menjadi landasan awal bagi beliau untuk menjelaskan ayat. Kemudian, diperkuat dengan hadis-hadis marfu’ sampai ke Rasulullah SAW. (Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kirab Tafsir, h. 111-116)

69 Di akhir penutup surah An-Nas setelah selesai menafsirkan, mufassir juga menyebutkan rasa syukurnya yang luar biasa kepada Allah Swt karena atas taufik dan hidayahnya, mufassir dapat menyelesaikan penulisan kitab tersebut pada pertengahan bulan ramadhan tahun 1413 H.

71 BAB IV

ANALISIS PSIKOLOGIS KONFLIK KELUARGA NABI YA’QUB AS DALAM TAFSIR QABAS MIN NÛR AL-QUR`AN AL-KARÎM Pada bab keempat, penulis akan mengulas tentang analisis konflik keluarga Nabi Ya’qub as dalam tafsir Qabas Min Nûr Al-Qur`an Al-Karîm . Disini penulis membagi tiga sub bahasan. Pertama, penafsiran ayat yang termasuk konflik keluarga, berisi tentang penyajian penafsiran mufassir yang sudah diklasifikasi oleh penulis dan dianalisis tentang konflik yang terjadi.

Kedua, analisis konflik. Ketiga, resolusi konflik yang terjadi pada keluarga Nabi Ya’qub as ditinjau dari lima macam tipe resolusi konflik yang disampaikan oleh Harriet Goldhor Lerner dan diakhiri dengan penyajian akhir kisah Yusuf as pada surah Yusuf ayat 99-101.

A. Penafsiran Ayat Konflik Keluarga Nabi Nabi Ya’qub as 1. Mimpi Yusuf as (QS. Yusuf ayat 4-6)

ْي ِل ْم ُهُتْيَا َر َرَمَقْلاَو َس ْم َّشلاَّو اًبَ كْوَ

ك َر َش َع َد َحَ ا ُتْيَ

ا َر ْي ِ نِا ِتَبَآٰي ِهْيِبَاِل ُف ُسْوُي َ لاَ

ق ْذ ِا َنْي ِد ِج ٰس

٤

اَ ل َّيَن ُبٰي َ

لاقَ ٌنْيِب ُّم ٌّوُدَع ِنا َسْن ِاْ

لِل َن ٰطْي َّشلا َّ

ن ِاۗ ا ًدْيَ ك َكَ

ل ا ْو ُد ْي ِكَيَ

ف َكِت َو ْخ ِا ىٰٓلَع َكاَيْء ُر ْص ُصْقَت ْعَي ِلٰ ٥

ا ىٰٓل َع َو َك ْيَ

ل َع هَت َم ْعِن ُّمِتُي َو ِثْيِدا َحَ اْ

لا ِلْي ِوْ

أَت ْن ِم َكُمِ ل َعُيَو َكُّب َر َكْيِبَت ْج َي َكِل ٰذَ كَو ْٓاَمَ

ك َب ْوقُ

ࣖ ٌم ْي ِك َح ٌمْيِلَع َكَّبَر َّنِا َۗق ٰح ْسِاَو َمْي ِه ٰرْبِا ُلْبَق ْنِم َكْيَوَبَا ىٰٓلَع اَهَّمَتَا ٦

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku!

Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan;

kulihat semuanya sujud kepadaku.”. Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara- saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu.

Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”. Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmat- Nya) kepadamu dan kepada keluarga Yakub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum

itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijak-sana”. (QS. Yusuf [12]:4-6)

Penafsiran:

Ayat tersebut menceritakan bahwa pada suatu ketika, Yusuf as memberitahukan kepada ayahnya , nabi Nabi Ya’qub as bin Ishak bin Ibrahim bahwa ia bermimpi melihat sebelas bintang dan sebelas matahari serta bulan dan semuanya bersujud kepadanya. Disebutkan bahwa pada saat itu Yusuf masih berusia sepuluh tahun, dan mimpi tersebut merupakan wahyu dari Allah Swt. Dari cerita tersebut Nabi Ya’qub as mengetahui makna mimpi Yusuf. Bahwa Allah Swt akan menetapkan takdir yang baik kepada Yusuf dan kemuliaan, kepangkatan serta kedudukan yang tinggi, yakin bahwa anaknya kelak akan menjadi orang penting dan berkuasa hingga akan mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah diduga-duga.

Sehingga Nabi Ya’qub as merasa takut dan khawatir saudara-saudaranya iri kepada Yusuf jika nantinya mereka mengetahui mimpi tersebut. Maka Nabi Ya’qub as memutuskan memberikan nasehat sekaligus peringatan kepada Yusuf agar tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Nabi Ya’qub as juga memahami cahaya kenabian tersimpan dalam mimpi anaknya. Anak yang paling dicintainya oleh Allah akan diberikan kepadanya hikmah dan memilihnya di antara saudara-saudaranya untuk memikul beban kenabian dan risalah serta diberi kenikmatan dan kemuliaan di dunia dan akherat.1

Di sisi lain, pada ayat 5 terdapat komentar Nabi Ya’qub as atas cerita mimpi anaknya yang mengandung beberapa pelajaran. Pertama, secara tidak langsung ayat tersebut menjelaskan realitas hubungan yang berlangsung antara Yusuf dan saudara-saudaranya bahwa saudara-saudara

1 Muhammad Ali Ashabuni, Qabas Min Nûr Al-Qur`an Al-Karîm, terj. Kathur Suhardi, h. 109-113

73 Yusuf tidak memiliki perasaan yang sama seperti ayahnya kepada Yusuf yang justru mereka ternyata memiliki rasa kedengkian kepada Yusuf seorang anak yang masih kecil. Karena itulah Nabi Ya’qub as berusaha melindunginya dengan menyampaikan peringatan tentang kemungkinan buruk yang akan mereka lakukan kepadanya jika sampai saudara- saudaranya mengetahui maskud dan rahasia makna mimpinya. Yusuf merasa tidak aman ketika setelah mendengar kabar kedengkian saudara Yusuf terhadapnya, maka ayat selanjutnya Allah menyampaikan kabar gembira mengenai sejumlah kemuliaan dan keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepadanya2

Analisis konflik:

Peristiwa ketika Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya, disini terdapat konflik yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub as., ia mengetahui arti mimpi mimpi Yusuf, sehingga ia takut jika saudara-saudaranya mengetahui arti mimpi tersebut. Jika dilihat dari sisi tokoh Nabi Ya’qub as, konflik tersebut disebabkan karena Nabi Ya’qub as sudah tahu jika saudara- saudaranya dengki terhadap Yusuf AS. Melihat hal seperti itu, Nabi Ya’qub as sebagai orang tua khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap Yusuf. Maka dari itu Nabi Ya’qub as meyakinkan kepada Yusuf agar jangan sampai Yusuf AS menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya.

Karena Nabi Ya’qub as tidak bisa menjamin jika saudara-saudaranya tidak akan melakukan tindakan buruk terhadapnya. .

Selanjutnya, ketika Nabi Ya’qub as sudah mendengar mimpi yang disampaikan Yusuf, ia tidak langsung menafsirkan apa maksud mimpinya, namun ia menasehati untuk tidak menceritakan mimpi tersebut, karena ia tahu sikap buruk yang akan terjadi kepada saudara-saudara Yusuf.

2 Fuad Al-Aris, Lathaif al-Tafsir min Surah Yusuf, terj. Fauzi bahrezi, (Zaman:

Jakarta Timur, 2013) h.30

Kedengkian akan selalu ada di antara manusia, termasuk antara saudara.

Tentunya sebagai orang tua, Nabi Ya’qub as berupaya agar anak-ankanya tidak saling mendengki satu sama lain. Ia juga tidak melakukan tindakan yang dapat mengobarkan api di antara anak-anaknya dan berusaha adil.

Setelah itu, Allah Swt memberikan peringatan yang tegas tanpa pengecualian bahwa setan adalah musuh yang nyata. Karenanya manusia harus mengetahui taktik setan untuk menjebak dan menjerumuskan manusia.3

Pada fase kejadian mimpi yang dialami Yusuf, sebenarnya banyak mengandung pelajaran. Secara tidak langsung ayat ini menjelaskan realitas hubungan antara Yusuf dan saudara-saudaranya. Dapat dilihat bahwa saudara-saudara Yusuf tidak memiliki perasaan seperti yang dimiliki ayahnya terhadap Yusuf. Mereka mengalami rasa dengki terhadap saudaranya yang masih kecil. Mereka tidak rela jika Yusuf mendapatkan kedudukan yang mulia. Maka dari itu, Nabi Ya’qub as sebagai sosok ayah ingin melindungi anaknya yang lemah dari saudara-saudaranya yang bersikap buruk. Tak lain sikap tersebut semata karena ia mencintai kepada semua anaknya. Hal ini kadang tidak dipahami oleh saudara-saudara Yusuf sehingga mereka terus melakukan makar kepada saudaranya yang lemah.4

Saudara-saudara Yusuf adalah sosok yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsu. Mereka tidak pernah berusaha melangkah di atas nilai-nilai sosial yang terpuji. Mereka hanya mendengarkan bisikan setan yang selalu mengajak keburukan. Akibatnya, mereka mudah melakukan berbagai perbuatan yang membahayakan orang lain, perbuatan yang membahayakan orang lain, perbuatan yang mereka sendiri tidak rida jika

3 Fuad Al-Aris, Lathaif al-Tafsir min Surah Yusuf, terj. Fauzi bahrezi, h. 29-32

4 Fuad Al-Aris, Lathaif al-Tafsir min Surah Yusuf, terj. Fauzi bahrezi, h. 30

75 terjadi pada dirinya sendiri. Dari sini kita dapat memahami firman Allah Swt: “Sebab, mereka bisa membuat makar (untuk menyakiti)mu”.5

Sementara jika dilihat dari sosok Yusuf, pada saat itu masih tergolong anak kecil yang lemah tidak tahu apa-apa dan belum bisa membela dirinya sendiri. Ia tidak mengetahui apa arti mimpinya dan bagaimana sesungguhnya sikap saudara-saudaranya terhadap dirinya. Keadaannya bergantung kepada rahmat Allah Swt. Namun Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Muhammad al-Ghazali menulis dalam bukunya Nahwa Tafsir Maudhuiy li Suwar al-Qur`an al-Karim, sewaktu kecilnya Yusuf merasa bahwa dia mempunyai peranan yang disiapkan Allah Swt. Boleh jadi dia pun akan termasuk mereka yang dipilih Allah Swt, memimpin masyarakat di arena kemuliaan dan kebenaran. Memang, dia adalah yang terkecil (selain Bunyamin, adiknya) dari saudara-saudaranya, tetapi perangai kakak-kakaknya tidak menampakkan sesuatu yang istimewa, tidak juga memancarkan kebajikan. Dia justru lebih dekat kepada ayahnya daripada kakak-kakaknya itu. Agaknya ketika itu hatinya berbisik:

siapa tahu, warisan kenabian jatuh padanya. Ayahnya, Nabi Ya’qub as telah mewarisinya dari kakeknya Ishaq AS, dan Ishaq AS mewarisinya dari ayah kakeknya itu Ibrahim AS siapa tahu dia merupakan salah satu mata rantai itu.6 Selain itu, komunikasi interpersonal yang dibangun Nabi Ya’qub as menggambarkan rentetan sejarah, nasehat dan pelajaran kepada anaknya tentang siapa dirinya dan keluarganya atau atau sejarah asal usulnya, identitas keluarganya sebagai nabi (keturunan nabi).7

5 Fuad Al-Aris, Lathaif al-Tafsir min Surah Yusuf, terj. Fauzi bahrezi, h.30

6 Quraish Shihab, Tafsir almisbah, (Lentera Hati: Jakarta, 2004) cet II, h. 382

7 Mariyatul Norhidayati, “Model Komunikasi Interpersonal dalam Kisah Yusuf as”, dalam jurnal Al-Hiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, vol. 04, no. 07, 2016, h. 5

Resolusi Konflik

Dari hasil analisis konflik, penulis berpendapat bahwa Nabi Ya’qub as sebagai orang tua sangat memahami sikap dan karakter masing-masing anaknya. Ketika sudah mendengar cerita mimpi yang dialami oleh Yusuf, Nabi Ya’qub as menaruh harapan besar kepada Yusuf agar menjadi orang yang bermanfaat untuk umat dan menjadi anak yang baik dan sholeh. Tidak salah jika orang tua memiliki harapan yang baik terhadap anaknya, pada masa itu Yusuf AS juga merespon dengan baik nasihat ayahnya yang melarang untuk menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ya’qub as sebagai ayah yang penuh pengertian akan memberikan rasa aman terhadap Yusuf agar suasana keluarga tetap aman dan terpelihara dengan baik8

Selain itu, Nabi Ya’qub as juga memerankan ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan mengasihi keluarga. Karena ia adalah tokoh otoritas dalam keluarga, dengan sikapnya yang tegas dan wibawa, ia menanamkan sikap yang patuh terhadap Yusuf. Dari situlah, Yusuf menancapkan dengan baik-baik bahwa ia akan patuh untuk tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya.9

Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa pribadi Nabi Ya’qub as dalam memecahkan hal tersebut dengan menjadi individu pemburu. Karena, Nabi Ya’qub as mengetahui bahwa mimpi tersebut akan menyebabkan konflik di tengah hubungan antarsaudara dan akan menimbulkan rasa dengki. Maka Nabi Ya’qub as memberikan nasehat dan melakukan kompromi kepada Yusuf agar jangan sampai membocorkan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Sebaliknya, respon Yusuf pada saat itu juga

8 Singgih D. Gunarsa dan Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga, h. 37

9 Singgih D. Gunarsa dan Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga, h. 39

Dokumen terkait