• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli Tanah

3. Syarat Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah

3) Pembeli harus wenang membeli

Disamping penjual, pembelipun ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu bahwa pembei juga harus orang yang memang wenang untuk membeli tanah tersebut. disamping harus dewasa (dibuktikan dengan KTP), pembeli juga orang yang memenuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah yang akan diperjual belikan.

b. Syarat berkaitan dengan Obyek Jual Beli

Syarat mengenai obyek jual beli adalah berkaitan dengan tanah yang akan di perjual belikan. Ada syarat yang harus dipenuhi agar tanah dapat dijadikan obyek jua beli.

a) Tanah tidak dalam masalah/sengketa

b) Bukan Tanah Pertanian Yang Dilarang Dialihkan.

64

2) Syarat Pembeli b. Syarat Formil

Merupakan formalitas yang harus dipenuhi dalam transaksi perjanjian jual beli. Formalitas tersebut meliputi akta yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut.

Jual beli hak atas tanah adalah proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum adat.

Selain itu juga harus memenuhi syarat – syarat seperti: Terang, Tunai, dan Riil.

Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, Tunai artinya di bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual beli dilakukan secara nyata. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:

a) PPAT sementara yakni Camat yang oleh karena jabatannya dapat melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat disini diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah – daerah yang belum cukup jumlah PPAT nya.

b) PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli yang bertugas untuk wilayah kerja tertentu.

Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:

a) Akta Jual Beli (AJB) Bilamana sudah tercapai kesepakatan mengenai harga tanah termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung biaya

pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk membuat akta jual beli tanah.

b) Persyaratan Akta Jual Beli (AJB) Hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut:

1 Syarat-syarat yang harus dibawa penjual:

a) Asli sertipikat hak atas tanah yang akan dijual.

b) Kartu Tanda Penduduk.

c) Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepuluh tahun terakhir;

d) Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga.

2 Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli:

a) Kartu Tanda Penduduk b) Kartu Keluarga

c) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) c. Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT

1) Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual beli:

a) Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat termaksud di kantor Pertnahan untuk mengetahui status sertipikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan kepada pihak lain atau sedang dalam sengketa kepemilikan, dan terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut;

66

b) Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut;

c) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum;

d) Penjual diharuskan membayar Pajak Penghasilan (Pph) sedangkan pembeli diharuskan membayar bea perolehan hak atas tanah dan anggunan (BPHTB) dengan ketentuan berikut ini: Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 % Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%.

2) Pembuatan Akta Jual Beli

a) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.

b) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang- kurangnya dua orang saksi.

c) PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri.

d) Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan salinannya akan diberikan kepada masing-masing pihak.

3) Setelah Pembuatan Akta Jual Beli

a) Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertipikat.

b) Penyerahan akta harus dilakukan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

4) Proses di Kantor Pertanahan

a) Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka kantor pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli.

b) Nama penjual dalam buku tanah dan sertipikat akan docoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.

c) Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.

d) Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor pertanahan setempat.

E. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli

68

merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memeberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal tersebut biasa dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.104

Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya menghambat transaksi dalam jual beli hak atas tanah tersebut. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah persyaratan yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan ha katas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan dilain sisi, misalya pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua biaya hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.105

Dengan keadaan diatas tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual belinya, karena pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut. Untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah sertipikat selesai diurus, atau setelah harga dibayar lunas dan sebagainya. Untuk menjaga agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa diurus maka biasanya pihak yang akan melakukan jual beli menuangkan kesepakatan awal

104 Fitri Susanti, 2008, “Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris di Jakarta Timur” (Tesis Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), hal. 46

105 Ibid, hal. 47.

tersebut dalam perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian pengikatan jual beli.106

1. Perngertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memeberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal tersebut biasa dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya.107 Perjanjian pengikatan jual beli dapat dilihat dengan cara memisahkan kata menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli.

Menurut Abdul kadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. 108 Sedangkan pengikatan jual beli menurut Prof R. Subekti adalah perjanjian antar pihak penjual dan pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertipikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga.109

2. Fungsi Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan maka

106 Ibid, hall. 47-48.

107 Muh. Taufiq Amin, 2018, “Konsekuensi Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam Praktek Jual Beli Properti Di Makassar”, Jurnal Hukum, Vol. 5 No. 1, hal. 252. https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Jurisprudentie/article/view/4590.

diakses 7 Agustus 2023 Jam 10.00 WIB.

108 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perjanjian, PT Alumni, Bandung, hal. 224.

109 Subekti, Op. Cit, hal. 86.

70

perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awak untuk lahirnya perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono110 yang menyatakan perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.

Dengan demikian jelas bahwa perjanjian pengikatan jual beli berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan penegasan untuk melakukan perjanjian utamanya, serta menyelesaikan suatu hubungan hukum apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli telah dilaksanakan seutuhnya.

3. Isi perjanjian pengikatan jual beli

Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat- syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya.

Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli tentang pemenuhan terhadap syarat- syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) seperti janji untuk melakukan pengurusan sertipikat tanah sebelum jual beli, dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan pejabat pembuat akta (PPAT).111

Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal

110 Herlien Budiono, Op. Cit, hal. 83.

111 Herlien Budiono, Op. Cit, hal. 57.

ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli ha katas tanah di pejabat pembuat akta tanah (PPAT) telah terpenuhi.

4. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Herlin Budiono yang menyatakan bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.112

Dalam praktek, jenis dari PPJB ini ada 2 (dua), yaitu PPJB lunas dan PPJB tidak lunas. Adapun perbedaan antara keduanya yaitu:

a. PPJB lunas

 Terdapat klausula kuasa.

 Pembeli harus mendapatkan kuasa yang bersifat mutlak untuk menjamin terlaksananya hak pembeli dalam transaksi jual beli tersebut dan tidak akan berakhir karena sebab- sebab apapun.

 Perjanjian ini tidak akan batal karena meninggalnya salah satu pihak, tetapi hal itu menurun dan berlaku terus bagi ahli warisnya.

b. PPJB tidak lunas

 Adanya klausula mengenai kondisi apabila jual beli tersebut sampai batal di tengah jalan (misalnya: pembeli batal membeli, dan sebagainya).

5. Berakhirnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli

112 Ibid, hal. 57.

72

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat berakhir apabila terpenuhinya prestasi atau perikatan yang telah disepakati para pihak dan syarat- syarat yang ada dalam perjanjian jual beli tanah. Dengan demikian perjanjian pengikatan jual beli memiliki fungsi sebagai perjanjian utama atau perjanjian awal yang pada dasarnya digunakan oleh pihak penjual dan pihak pembeli untuk menetapkan, menegaskan, serta menyelesaikan suatu permasalahan yang menyangkut hukum dalam melakukan suatu perjanjian jual beli, apabila perjanjian- perjanjian yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak pembeli yang sudah disepakati bersama atas perjanjian pengikatan jual beli tanah sudah terlaksana seluruhnya.

F. Hukum Waris

1. Perngertian Hukum Waris

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban - kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/ harta benda saja yang dapat diwaris.113

Sedangkan KUHPerdata sendiri tidak ada pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang hukum kewarisan, hanya pada Pasal 830 menyatakan bahwa “perwarisan hanya berlangsung karena kematian”. Jadi harta peninggalan baru terbuka untuk dapat diwarisi kalau pewaris sudah meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata) dan si ahli waris harus masih hidup saat harta warisan tersebut terbuka untuk diwarisi (Pasal 836 KUHPerdata). Berdasarkan undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, maka hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat islam. Dalam perkembangannya, hukum kewarisan di dalam KHI di atur pada pasal 171 sampai 193. Para ahli waris yang menerima warisan dari pewaris tidak saja berhak atas aktivitasnya saja melainkan juga mempunyai kewajiban unutk menerima pasivanya yaitu

113 Effendi Perangin, 2008, Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hal 3.

hutang pewaris. Tidak semua hak-hak dan kewajiban - kewajiban pewaris dapat beralih kepada ahli waris.114

Menurut Surini Ahlan Sjarif, mengatakan hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Karena itu, hukum waris merupakan kelanjutan hukum keluarga, tetapi juga mempunyai segi hukum harta kekayaan.115

Adriaan Pitlo, mengatakan hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang orang yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.116

Menurut Soepomo, mengatakan hukum waris itu memuat peraturan yang mengatur proses yang meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud benda (on materiele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi

“akut” disebabkan orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.117

114 Ferri Adhi Purwantono & Akhmad Khisni, 2018, “Tinjauan Yuridis Implikasi Perjanjian Jual-Beli Dalam Keluarga Yang Dibuat Oleh Notaris Terhadap Kedudukan Ahli Waris”, Jurnal Akta, Vol 5 No 1, hal. 99. https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/akta/article/view/2536.

diakses 8 Agustus 2023 Jam 11.20 WIB.

115 Surini Ahlan Sjarif, 1992, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek, cetakan II, Jakarta, Ghalia Indonesia hal. l3.

116 A. Pitlo, 1979, Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata Belanda, terjemahan oleh Isa Arief, Jakarta lntermasa, hal. 1.

117 Soepomo, 1966, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Universitas, hal. 72-73.

74

Dari pendapat para ahli hukum tersebut diatas, dapat disimpulkan secara umum yang dimaksud dengan hukum waris adalah hukum yang mengatur tata cara perpindahan atau pengalihan harta warisan dari si mati (pewaris) baik berupa harta benda yang dapat dinilai dengan uang maupun utang piutang kepada orang orang yang berhak mewarisinya (ahli waris) baik menurut Undang Undang maupun surat wasi’at sesuai bagian yang telah ditentukan dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

2. Unsur - Unsur Kewarisan

Anisitus Amanat, mengatakan dalam hal kewarisan ada terdapat tiga unsur penting yaitu:118

a. Pewaris

Merujuk pada Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa pewaris yaitu setiap orang yang sudah meninggal dunia. Karena hukum waris tidak akan dipersoalkan kalau orang yang telah meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda maka unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.

Adapun Syarat - syarat Terjadinya Pewarisan dalam KUHPerdata untuk memperoleh warisan yaitu:

a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata.

Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi:

1 Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.

2 Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu: tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.

118 Anisitus Amanat, 2003, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, cetakan III, Raja Grafindo Persada, hal. 6-l3.

b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris orang-orang yang berhak atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan:

1 Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.

2 Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).

b. Ahli Waris

Bedasarkan KUHPerdata pada Pasal 833 Ahli waris merupakan semua orang yang berhak menerima warisan. Dalam KUHPerdata yang dimaksud dengan ahli waris adalah para anggota keluarga sedarah yang sah maupun diluar perkawinan serta suami dan istri yang hidup diluar perkawinan serta suami dan istri yang hidup terlama (Pasal 832 KUHPerdata)119. Selanjutnya pada (Pasal 833 KUHPerdata) disebutkan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal dunia. Sehingga ada dua syarat untuk menjadi ahli waris yaitu:

1. Ahli waris yang ditentukan oleh undang-undang.

Merupakan orang yang berhak menerima warisan, sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ahli waris ini diatur didalam (Pasal 832 KUHPerdata) menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar nikah, suami atau isteri yang hidup terlama.

2. Ahli waris yang ditentukan oleh wasiat

Ahli waris menurut wasiat adalah ahli waris yang menerima warisan karena adanya wasiat(testamen) dari pewaris kepada ahli waris

119 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, hal. 195

76

yang dituangkannya dalan surat wasiat. 120 Dalam (Pasal 875 KUHPerdata) dijelaskan surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dicabut kembali.

Maman Suparman, mengatakan ahli waris yaitu sekalian orang yang menjadi ahli waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.121

c. Harta Peninggalan (Warisan)

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris untuk dibagi bagikan kepada orang yang berhak mewarisinya. Namun demikian tidak semua harta yang ditinggalkan pewaris secara otomatis bisa dibagi bagikan kepada orang yang berhak mewarisinya, karena harus dilihat terlebih dahulu apakah harta yang ditinggalkan pewaris tersebut harta campur atau bukan. Jika harta yang ditinggalkan pewaris tersebut adalah harta campur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka berdasarkan Pasal 128 Kitab Undang Undang Undang Hukum Perdata, harta campur perkawinan tersebut terlebih dahulu harus dibagi dalam dua bagian yang tidak terpisahkan, setengah bagian yang tidak terpisahkan adalah untuk pasangan kawin (suami/isteri) pewaris, setengah bagian lagi adalah harta peninggalan pewaris untuk dibagi-bagikan kepada orang yang berhak mewaris. Jika tidak terjadi harta campur, dimana sebelum perkawinan, pewaris dengan pasangan kawin (suami/isteri) pewaris tidak dibuat perjanjian kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 139 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, maka harta tetap dibawah penguasaan masing masing pihak, tidak dibagi dua.122

3. Sistem Pewarisan Dalam Sistem Hukum Waris Perdata

120 Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hal 142

121 Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, cetakan I, Jakarta, Sinar Grafika, hal 19.

122 Syahkroni, 2007, Konflik Harta Warisan Akar Permasalahan dan Methode Penyelesaian Dalam Perspektif Hukum Islam, cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 37.

Dokumen terkait