• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik diwilayah rappong

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Bentuk-bentuk konflik

1. Konflik diwilayah rappong

Pemasangan rappong dilakukan oleh komunitas nelayan di Kelurahan Mosso dengan cara di buang ditengah laut,bahannya terbuat dari bambu, dengan dasar batu sebagai alat pemberat kemudian tali sebagai pengikat, bulo-bulo atau pelampung, dan papparipi(pengikat ikan), biasanya pembuatan rappong dilakukan didaerah pesisir kampung setempat, pertama-tama langkah untuk membuatrappong(perangkap ikan) yakni semua bahan bambu dilubangi ujungnya lalu bambu disatukan dengan rotan yang dimasukkan melalui lubang bambu, kemudian diperkuat dengankayu penjepit, ada dua penjepit dibagian atas dan bawah yang diikatkan satu sama lain, pada ke dua ujung bagian tengah, jumlah penjepit yang digunakan sebanyak delapan batang masing-masing empat diatas ,empat bagian bawah, jepitan yang dibuat pertama adalah lapisan yang nantinya terletak dibawah dengan diameter yang besar, kemudian lapisan kedua dibuat pula dengan cara yang sama namun dengan diameter yang agak kecil dibanding lapisan pertamanya, untuk memeperkuat ikatan yang ada dipenjepit digunakan kayu panjang sekitar 20-30 cm sebagai alat penarik tali, setelah bambu selesai dirangkai makarappong(perangkap ikan) siap dipasang.

Sebelum melakukan pemasangan ditentukan terlebih dahulu titik yang mana cocok untuk dilakukan pemasangan, agar dimana pemasangan rappong tersebut merupakan daerah buakan jalur utama lewatnya kapal pelayaran atau kapal besar. Dalam pemasangan rappongyang pertama diturunkan dalam laut yang dalam, dimana sebelum diturunkan kedalam wilayah pemasangan

selanjutnyarappongtersebut telah di ikatkan pada batu sebagai pemberatnya yang lengkap dengan belayang (tali besar), dan kemudian ditenggelamkan, tak lupa rappong dilengkapi bulo-bulo sebagai pelampung agar mudah di temui dan di tandai, dan biasanya pemasangannya dilakukan dengan bekerja sama dua kapal bodi-bodi, kapal yang pertama bertugas meneggelamkan atau melempar rappong kedalam laut dan kapal yang ke dua bertugas menahan agar batu rappong tidak langsung tenggelam dengan cara memakaibulo-buloatau tali pengikat.

Adapun cara pengambilan hasil di rappong yakni terdiri dari berbagai macam yakni dengan menggunakan alat pemancingann ada yang menggunakan jala atau pukat, adapula dengan cara manggae, namun para nelayan di kelurahan Labuang khususnyapambodi-bodi melakukan pengambilan hasil dengan cara alat pemancingan ikan, dimana pada saat melakukan penangkapan mereka berangkat pada rappong yang mereka tahu pemiliknya jika rappong mereka sendiri belum banyak terperangkap ikan, hal ini didasari dengan adanya kebenaran yang mengatakan bahwa laut adalah milik bersama maka setiap orang berhak memanfaatkannya atau mengelolahnya, oleh karena dengan pemanfaatan laut dan cara pengambilan hasil tersebut inilah sehingga rawan memicu terjadinya konflik di wilayahrappong.Seperti halnya yang terjadi di lokasi penelitian ini.

Bentuk-bentuk konflik sosial yang terjadi pada komunitas nelayan di Kelurahan Mosso Kecamatan Sendana Kabupaten Majene yaitukonflik yang terjadi antara para nelayan yakni anak buah kapal atau sering disebut sawijika melakukan penangkapan terutama diwilayah porappongan(wilayah tempat penangkapan ikan),adapaun konflik pada wilayah porappongan (wilyah tempat

penangkapan ikan) dimana bentuk konflik seperti perebutan hasil tangkapan pada wilayah yang berpotensial terjaring ikan banyak padahal mereka telah memiliki punggawa (bos) yang berbeda dan nelayan yang melakukan penangkapan diwilayah rappong (perangkap ikan) yang kemudian hasil tangkapan nelayan tersebut tidak melaporkan kepada pemilik rappong (perangkap ikan) untuk kemudian membagi hasil dari hasil tangkapan tersebut. Seperti hasil wawancara yang dilakukan dengan seorang sawi.

Berikut uraian kutipan wawancara dari Bapak Syamsiar (52 tahun):

“ Biasa ada nelayan masekke-sekke(agak berlaku curang), kenapa saya katakan curang mereka memiliki punggawarampongyang berbeda dengan kami atau nelayan lain tapi mereka melakukan penagkapan ikan di rappong (perangkap ikan) punggawa(bos)kami ,sebenarnaya kami tidak memepermasalahkan itu namun karena nelayan terseut berlaku curang maka kami geram atau marah karena sesampainya di puttana(daratan) dia tidak melaporkan hasil tangkapannya tersebut kepada pungawa , nah ini sama sekali tidak adil enak-enakanmidia massolai rappongbaru hasilita kita dilapor untuk dibagi sama punggawatapi dia menikmati sendiri”.(wawancara tanggal 28Mei 2016).

Seperti halnya yang diungkapakan oleh Siraju umur(48 tahun) seperti berikut:

“ Kalau kita melakukan penangkapan ikan kita mencari rappongyang banyak ikannya nah itu rappong yang pemiliknya kita tahu, jadi kalau pulangkimelaut itu hasilnya wajib dilaporbarubagi hasil tapi tidak semua berlaku seperti itu ada itu kalau pulang tidak nalapor hasilnya biar sedikit atau banyak pada punggawa jadi kalau penangkapan berikutnya ketemuki biasa saya ajakbaku hantam” (wawancara 20 Mei 2016).

Selain konflik seperti diatas konflik yang biasa terjadi di rappongyang sering memanas bahkan memicu terjadinya kekerasan karena pancingan para nelayan tersebut sama-sama tersangkut satu sama lain dan akhirnya mereka masing-masing merasa benar sehingga terjadilah percekcokan.Apalagi jika nelayan tersebut yang memang bukan merupakan satu punggawarappongdengan

mereka dimana pertentangannya hanya karena pancingan yang disebabkan tersangkut dengan pancingan nelayan lain yang kemudian memicu emosional para nelayan tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Irfan (38 tahun) dengan uraian sebagai berikut:

“ Kan kita ini kalau pergiki menangkap ikan kita ini mengikat diri pada rappong (perangkap ikan) jadi kalau keasyikan memancing biasa kita terbawa arus sehingga tabrakan, dan karena bersamaan melempar alat pemancing ikan yang kemudian pancingan diantara para nelayan tersebut orang yang memancing juga sering aduh mulut, bahkan jika dia adalah orang yang tinggi memangmi emosinya biasa sampe di daratan masi menyindir-menyindir, dan yang paling parah biasanya pancingan tersangkut satu sama lain sehingga dari mereka tidak ada yang mau mengalah akibatnya terjadi keributan bahkan biasa mereka mengambil parang mengajak ribut sehingga masing-masing mengatakan ini wilayahku pindahko di rappong lain karena ini wilayahku” (wawancara tanggal 20 Mei 2016).

Berdasarkan hasil wawancara diatas maka dapat dikatakan bahwa salah satu bentuk konflik yang terjadi pada komunitas nelayan di Kelurahan Mosso Kecamatan Sendana Kabupaten Majene adalah bentuk konflik di wilayahrappong dimana konflik di wilayah rappong ini sering terjadi antara para sawi nelayan, yang tak lain diakibatkan karena perebutan sumber daya yaitu tempat dimana banyak ikan bisa ditangkap.

Dokumen terkait