• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Belajar dan Pendekatan Konstruktivistik

Pembelajaran Agar Peserta Didik Aktif Mengembang- kan Potensi Dirinya

C. PEMBELAJARAN SEBAGAI PROSES KOMUNIKASI

2. Teori Belajar dan Pendekatan Konstruktivistik

Teori belajar konstruktivistik merupakan teori pembelajar- an yang berakar dari teori belajar kognitif dan merupakan teori yang baru dalam psikologi pendidikan. Menurut teori ini, siswa menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kom- pleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak sesuai lagi. Sis- wa agar benar-benar memahami dan menerapkan pengetahu- an, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri dan berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin, 1994 dalam Trianto, 2012: 74).

Dalam pandangan teori ini, guru tidak dapat hanya seka- dar memberikan pengetahuan kepada siswa namun guru ha- rus mampu merancang pembelajaran yang memfasilitasi siswa membangun sendiri pengetahuan, memberi kesempatan dan memberi siswa anak tangga yang bisa membawa siswa tersebut sampai ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa itu sendiri yang melakukannya dan guru hanya memberikan bantuan (Slavin dalam Trianto, 2012: 74).

Konstrukstivistik merupakan proses membangun dan me- nyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa ber- dasarkan pengalaman siswa. Dalam teori ini, penekanan lebih banyak diberikan kepada siswa. McBrien dan Brandt (1997: 34) menyatakan bahwa kontrukstivistik/me adalah suatu pendekat- an pembelajaran berdasarkan penyidikan tentang bagaimana manusia belajar. Senada dengan itu, Piaget, Naylor dan Keogh (1999:93) mengemukakan bahwa prinsip utama kontruktivis adalah belajar melibatkan proses aktif peserta didik dan mereka sepakat bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstrukti- vistik memerlukan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses

50

pembelajarannya. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Jenkins (2000: 601) yang mengatakan bahwa penerapan konstruktivisme dalam praktik pendidikan di sekolah memerlukan keterlibatan aktif peserta didik.

Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Piaget dan Vygotsky yang menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika konsep- konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidakse- imbangan (disequilibrium). Namun ada perbedaan pandangan Piaget dan Vygotsky dalam melihat proses perkembangan men- tal anak. Piaget menekankan pada perkembangan intelektual in- dividu dengan mengabaikan konteks sosial dan budaya. Adapun Vygotsky sangat memperhatikan aspek sosial dalam belajar. Vy- gotsky percaya bahwa interaksi dengan orang lain yang ada di sekitar anak akan membangun ide dan mempercepat perkem- bangan intelektual (Arends, 2004). Berikut disajikan pandangan dan pendapat pengusung teori belajar konstruktivistik yaitu Vy- gotsky, Piaget, Bruner, dan John Dewey.

a. Lev Vygotsky

Vygotsky sangat tertarik khususnya terhadap transmisi bu- daya manusia dan bagaimana citra ditampilkan melalui, mi- salnya seni, sastra, dan sejarah yang memengaruhi proses ini (Wood dalam Beetlestone, 2013: 24). Vygotsky sangat memper- hatikan masalah bagaimana bahasa memengaruhi pembelajar- an dan bagaimana pembelajaran ditingkatkan melalui interaksi sosial. Gagasannya tentang ZPD yang menyatakan bahwa pela- jar dibantu untuk menuju pada tingkat performansi yang lebih tinggi melalui dukungan teman-temannya atau dari gurunya.

Terdapat dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu zone of proximal development/ZPD dan scaffolding.

1) Konsep zone of proximal development/ZPD menjelaskan bahwa seorang anak dapat melakukan dan memahami lebih

51

BAB 2 HAKIKAT KOMUNIKASI PENDIDIKAN

banyak hal jika mereka mendapat bantuan dan berinteraksi dengan orang lain, termasuk teman sebayanya (Vygotsky).

ZPD adalah celah antara actual development dan potential development. ZPD adalah menitikberatkan pada interaksi sosial yang akan dapat memudahkan perkembangan anak.

Ketika siswa mengerjakan pekerjaannya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lam- bat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharus- nya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Pendapat Vygotsky ini didasari oleh tiga ide utama:

a) Intelektual berkembang pada saat individu mengha- dapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka telah ketahui.

b) Interaksi dengan orang lain memperkaya perkembang- an intelektual.

c) Peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.

50 Gambar 7 : Zone of Proximal Development (Vygotsky)

2) Konsep kedua yang dikemukakan oleh Vygotsky dalam Teori belajarnya dan memiliki kaitan erat dengan ZPD adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah pada proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of proximal developmentnya. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

Walaupun konsep Scaffolding sebenarnya tidak murni datang dari Vygotsky namun juga dari Bruner, scaffholding merupakan pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak

Gambar 7 Zone of Proximal Development (Vygotsky)

2) Konsep kedua yang dikemukakan oleh Vygotsky dalam Te- ori belajarnya dan memiliki kaitan erat dengan ZPD adalah

scaffolding". Scaffolding merupakan suatu istilah pada pro- ses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak- anak melalui zone of proximal development-nya. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemu-

52

dian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesem- patan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petun- juk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

Walaupun konsep Scaffolding sebenarnya tidak murni da- tang dari Vygotsky namun juga dari Bruner, scaffolding meru- pakan pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya (Irianto, 2007: 27). Penafsiran terkini tentang konsep Vygotsky adalah siswa seharunsya diberikan tugas yang kompleks, sulit dan realistik kemudian diberikan bantuan secu- kupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.

Proses scaffolding dalam pembelajaran sangat membutuh- kan scaffolder (orang/organism yang memberikan dukungan da- lam proses pembelajaran). Guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran bukan satu-satunya scaffolder bagi para peserta didik. Artinya, bahwa guru tidak secara eksklusif memiliki peran sebagai scaffolder. Scaffolder tidak selalu guru atau orang dewa- sa akan tetapi dapat berasal dari organism lain yang melakukan interaksi sosial dengan individu lain dan memiliki potensi untuk mendukung proses belajar. Intinya, scaffolder bisa datang dari siapa pun yang berinteraksi dengan siswa dalam proses pembel- ajaran (Wardoyo, 2013: 34-35).

Lebih lanjut, Vygotsky menjelaskan konsep keterkaitan an- tara bahasa dan perkembangan kognitif. Dengan berkomunikasi dengan orang lain, tidak saja untuk keperluan berkomunikasi dengan orang lain tapi juga membantu mereka menyelesaikan tugas. Untuk itu, dalam setiap pembelajaran di kelas seorang guru harus mampu menciptakan ruang di mana peserta didik dapat berinteraksi dengan sesama peserta didik, pendidik dan

53

BAB 2 HAKIKAT KOMUNIKASI PENDIDIKAN

dengan berbagai sumber belajar lainnya. Hal itu, akan mendu- kung pencapaian tujuan pembelajaran.

b. Piaget

Perkembangan intelektual seseorang dipengaruhi oleh be- berapa hal yaitu pengalaman, kedewasaan, dan yang paling mendasar adalah keseimbangan (menemukan keseimbangan antara benda-benda yang dipahami sebelumnya dengan benda- benda yang belum dipahami). Piaget membuat tahap-tahap utama perkembangan pada diri manusia yang bersifat hierarkis.

Tahapan tersebut, yaitu: tahap sensori motor (0-2 tahun) di sini anak fokus pada fungsi-fungsi perseptualnya, lalu tahap pra- operasional (2-6 tahun) di mana anak belajar meresepresentasi- kan dunia melalui simbol, tanpa konsep-konsep nyata dan tanpa pemahaman terhadap hubungan sebab akibat, kemudian tahap pelaksanaan konkret (7-11 tahun) di mana anak mulai berpikir secara logis tentang hal-hal yang mereka alami dan mengem- bangkan penalaran tentang ukuran, berat dan jumlah dan tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan formal (11-15 ke atas) di mana anak sudah mampu memanipulasi proposisi atau gagasan (Beetlestone, 2013: 21).

Menurut Oakley (2004: 14), prinsip-prinsip teori Piaget ter- kait perkembangan kognitif meliputi skema, asimilasi, akomo- dasi, dan ekuilibrasi. Skema merupakan representasi kognitif dari kegiatan-kegiatan atau sesuatu (benda). Skemata adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk menga- daptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungannya secara intelektual. Piaget berpendapat bahwa pembelajaran merupakan penyesuaian dari pengaruh penyesuaian terhadap lingkungan. Dia mendeskripsikan tiga proses dalam penyesuai- an, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah pengumpulan dan pengelompokan informasi baru. Pengelom- pokan ini hanya bisa terjadi jika tidak ada kontradiksi terhadap sesuatu hal yang sudah ada (skemata awal). Skemata yang sudah

54

ada akan sangat menentukan perilaku yang akan dilakukan da- lam rangka merespons lingkungan (Wardoyo, 2013: 36). Adapun akomodasi merupakan modifikasi dari skema agar informasi yang baru dan kontradiktif bisa diterjemahkan. Lalu, ekuilibrasi adalah dorongan secara terus-menerus ke arah keseimbangan atau ekuilibrium. Keseimbangan yang dimaksud adalah keada- an di mana tidak ada kontradiksi yang terjadi pada representasi mental lingkungan organisme.

Piaget berpendapat bahwa seorang remaja akan mema- suki tingkat perkembangan kognitif tertinggi (formal operation) saat mereka mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Pada diri remaja (adolescence) terjadi dua perubahan dalam pemrosesan informasi, yaitu perubahan struktural dan perubahan fungsional. Perubahan struktural, meliputi: 1) peru- bahan dalam kapasitas pemrosesan informasi; dan 2) mening- katnya jumlah pengetahuan yang bisa disimpan dalam ingatan jangka panjang. Informasi atau pengetahuan yang disimpan da- lam ingatan jangka panjang terdiri dari:

(1) Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang dici- rikan dengan “mengetahui bahwa ...”. Berkaitan dengan semua fakta yang telah didapatkan oleh seseorang seperti Ibukota Indonesia adalah Jakarta.

(2) Pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yang di- cirikan dengan “mengetahui bagaimana ...”. Berkaitan de- ngan operasional data atau fakta. Dalam hierarki Bloom bisa dikategorikan dalam tahap aplikasi.

(3) Pengetahuan konseptual (conceptual knowledge) yang dici- rikan dengan “mengetahui mengapa ...” Berkaitan dengan tahap berpikir lebih tinggi seperti menganalisis dan mensin- tesis dan selanjutnya (Papalia, dkk., 2009: 40-41).

Dalam perubahan fungsional, remaja dapat mengelola dan menyimpan informasi dengan mengingat, menalar dan meng- ambil keputusan. Secara bertahap, remaja mampu melakukan analisis, menguji hipotesis, dan mengaplikasikan berbagai fakta

55

BAB 2 HAKIKAT KOMUNIKASI PENDIDIKAN

untuk menarik sebuah kesimpulan. Peserta didik yang duduk di jenjang SMA adalah masuk kategori remaja. Oleh sebab itu, ber- kaitan dengan pendapat Piaget ini, pembelajaran yang dilaku- kan di dalam kelas harus mampu memfasilitasi perkembangan remaja tersebut. Salah satu caranya adalah dengan cara meran- cang pembelajaran yang mampu merangsang perkembangan pengetahuan prosedural dan konseptual peserta didik dengan tetap memberikan perhatian pada perkembangan pengetahuan deklaratif. Pemberikan tugas/soal yang bervariasi tingkatannya akan semakin mengembangkan kognitif peserta didik (Papalia, dkk., 2009: 41).

c. Bruner

Pandangan kontruktivistik yang diusung oleh Vygotsky dan Piaget didukung oleh pandangan Bruner (2006: 2) yang menya- takan bahwa belajar merupakan proses aktif di mana pembelajar mengkonstruksi ide atau konsep baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan yang ada sekarang. Dalam konteks pembelajar- an, Bruner menyatakan bahwa guru harus mencoba mendorong siswa untuk mendapatkan prinsip menemukan untuk mereka sendiri; guru dan siswa harus terlibat dalam dialog aktif agar bisa menghasilkan sebuah temuan akhirnya (Bruner, 2006: 34).

Bruner juga merupakan orang pertama yang menyatakan bah- wa kurikulum harus diorganisasikan secara spiral agar siswa bisa terus-menerus mengingat ide dan fakta dan bisa membangun pemahaman berdasarkan apa yang telah mereka pelajari sebe- lumnya. Bruner juga mengatakan bahwa, kontak sosial dengan orang lain (guru) dalam konteks pembelajaran formal, merupa- kan elemen kunci dalam proses ini. Media bahasa juga hal yang penting dalam pembelajaran (Bruner dalam Wardoyo, 2013: 38).

d. John Dewey

John Dewey dalam bukunya Democracy of Education me- nyatakan bahwa untuk belajar, seseorang harus memiliki pa- sangan atau teman. Menurutnya, kelas seharusnya merupakan

56

cerminan masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob dalam Asma, 2012; 30) yaitu: 1) siswa hendaknya aktif; 2) belajar hendaknya didasari oleh motivasi in- strinsik; 3) pengetahuan adalah berkembang; 4) kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan minat siswa; 5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; dan 6) kegiat- an belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata di luar kelas dan bertujuan untuk mengembangkan dunia tersebut.

Pandangan John Dewey yang dikutip adalah tentang karak- teristik pembelajaran konstruktivistik yang meliput: 1) meaning;

2) purposeful action; 3) cooperative labor; 4) the mind and the self (Weber, 2010: 57). Dewey juga menekankan pentingnya me- wujudkan sekolah yang demokratis seperti yang diterangkan dengan istilah “Demokrasi Pendidikan” yang diartikan sebagai

a way of associated living”, yang artinya “cara hidup bersama dengan orang lain”. Intinya, kelas harus dijadikan sebagai ruang interaksi yang efektif di mana setiap peserta didik merasa dirinya adalah bagian dari kelasnya dan peserta didik lain adalah bagian dari dirinya (carring community).