• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Kekerasan Terhadap Anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Konsep Tindak Kekerasan Perempuan dan Anak

3. Tindak Kekerasan Terhadap Anak

19

termarginalkan sehingga rentan mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena korban mengalami dampak kompleks yang sangat berat menyangkut keberlanjutan kehidupannya. United Nations (1993) definition of violence against women sebagai berikut :

The term violence against women means any act of gandered based violence that result in or is likely to result in physical, sexual or psychological harm of suffering to women, includind threats of such as, coercion or arbitrary deprivation of liberty, whether occuring in public or private life. Accordingly, violence against women encompasses but is not limited to the following :

1. Physical, sexual and psychological violence occuring in the family, including battering, sexual abuse of female children in the household, dowry related violence, marital rape, female genital mutilation and other traditional practices, harmful to women, non spousal violence and violence related to exploitation.

2. Physical sexual and psychological violence occuring within the general community, including rape, sexual abuse, sexual harrasment and intimidation at work, in educational institutions and elsewhere trafficking in women and forced prostitution

3. Physical sexual and psychological violence perpetrated or condoned by the state, wherever it occurs.

Perempuan korban tindak kekerasan, mengalami berbagai persoalan dalam keberlanjutan kehidupannya, baik sebagai individu ataupun sebagai anggota masyarakat bangsa dan negara. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Donna Coker (2016)

“.... domestic violence create implicite assumptions that there is one universal experience of battering which includes stereotypes of battered women’s as passive, pathologycal and helpless. Dalam kondisi demikian, sebagai pemenuhan HAK manusia, penanganan dalam upaya untuk memulihkan dan mencegah agar tidak terjadi korban berikutnya sangat dibutuhkan intervensi berbagai pihak, terutama negara sebagai urusan wajib dalam upaya pembangunan yang berkeadilan.

20

meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Kondisi yang mengenaskan terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak, dimulai dengan adanya para pelaku tidak bermartabat, dan kebanyakan berasal dari lingkungan terdekat. Misalnya dari keluarga dan lingkungan sekitar anak itu berada (ayah, ibu, kakek, nenek, adik, kakak, om, tante dan orang lain di rumahnya sendiri) lembaga pendidikan (sekolah formal/

informal), tempat kursus, dan lingkungan sosial anak (lingkungan bermain, lapangan olah raga dan lain lain ).

Dalam pandangan Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. Kekerasan fisik pada anak dapat berupa pukulan, tendangan, cubitan, disundut dengan api dan lain-lain yang menimbulkan luka fisik. Sementara itu, kekerasan psikologis verbal dapat berupa tindakan verbal yang mendeskriditkan seorang anak dengan kata –kata kotor yang tidak pantas, julukan yang tidak pantas, dimaki, dicaci, pilihan kata-kata yang tidak tepat, mencela, menakut nakuti dan lain –lain yang menimbulkan luka secara kejiwaan dan tidak selalu nampak secara fisik, kecuali ada perubahan perilaku. Hasil penelitian Litbang Kompas (MB Dewi Pancawati, 2019) menjelaskan sepertiga responden anak korban tindak kekerasan yang diteliti menyatakan bahwa paling sering korban mengalami kekerasan verbal dalam bentuk penggunaan kata –kata kasar atau tidak pantas ditujukan pada anak. Selanjutnya, (Riset Litbang Kompas, 24-25 Juni 2019 dalam MB Dewi Pancawati, 2019) bentuk kekerasan terhadap anak yang pernah dilihat dan didengar

21

oleh 516 responden berusia minimal 17 tahun di DKI Jakarta sebagai berikut : 1,4 % eksploitasi, 2,0 % penculikan, 2,0 % tidak tahu, 12,8 % pengeroyokan/ perundungan (bullying), 15,5 % pelecehan seksual, 34,5 % penggunaan kata kata kasar/ tidak pantas.

Selanjutnya tempat yang paling rawan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, dalam riset tersebut juga dinyatakan sebagai berikut : lingkungan sekitar rumah 38,2%, sekolah 25 %, rumah sendiri 15,5 %, tidak tahu 13,5 %, jalanan 4,3 %, tidak jawab 2,7

%.

Selanjutnya, kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dan anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban.

Kekerasan cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Sebagai contoh, kasus kekerasan dalam hal ini kekerasan seksual pada anak sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi dengan berbagai persoalan yang melingkupi, misalnya ancaman dari pelaku, rasa malu, takut dimarahi orang tua, takut terpojokkan dan beban psikologis lainnya, serta dimungkinkan karena ketidakpahamanya bahwa yang dialami adalah bagian dari tindak kekerasan. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga

22

merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness, dalam hal ini anak sebagai korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut. Dalam pandangan Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat korban. Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru. Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban,

23

baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari. Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal.

Tindak kekerasan terhadap anak di Provinsi DKI Jakarta, menurut data Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk, dalam tujuh tahun terakhir mengalami peningkatan 30,3 % yaitu dari 699 kasus pada 2017 menjadi 911 kasus di 2018 (MB Dewi Pancawati, 2019). Seiring dengan kondisi tersebut, pola pencegahan dan penanganan serta pemberdayaan anak korban tindak kekerasan menjadi bagian penting dari kebijakan pembangunan di Provinsi DKI Jakarta.Visi

„Jakarta menjadi Kota Modern”, adalah kebijakan penting untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota yang bebas dari tindak kekerasan kepada anak dan terwujudnya anak-anak Jakarta dengan kecerdasan tinggi dan mampu beradaptasi dalam kota modern yang manusiawi.

Dokumen terkait