BAB III PEMBAHASAN
A. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Praktik Lelang di Pegadaian
BAB III
didapatkan oleh peneliti adalah sebagai berikut: dalam kaitannya dengan peringatan jatuh tempo yang diberikan oleh murtahin kepada rahin di pegadaian syariah ungga yaitu sebagai berikut ketika rahin telah jatuh tempo pihak murtahin telah memperingatkan rahin untuk melunasi hutangnya, dan memberikan tambahan waktu 7 (tujuh) hari. Di pegadaian Syariah ungga dalam praktiknnya, pimpinan cabang sendiri yang melakukan pemberitahuan.
Pemberitahuan tersebut dilakukan sebelum batas waktu habis.
Pemberitahuan tersebut bertujuan bahwa pihak pegadaian ingin memberikan kesempatan bagi rahin untuk menebus dan memiliki barangnya kembali sebelum barang tersebut dilelang. Pemberitahuan yang dapat dilakukan antara lain melalui:
1. Surat pemberitahuan ke masing-masing alamat 2. Dihubungi melalui telepon
Selanjutnya ketika rahin tidak lagi mampu untuk melunasi hutangnya ataupun mengambil barangnya maka pihak pegadaian langsung melelang barang jaminan tersebut. Maksudnya dari penjualan tersebut adalah sebagai upaya dalam pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang tidak dapat dilunasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yaitu.”apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan asset terbesar”. Artinya adalah apabila debitur
cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri. Melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Lelang pada PT. Pegadain (persero). Menurut pedoman operasionalnya PT. Pegadaian (persero), lelang yaitu pengembalian uang pinjaman dan bunga apabila tidak dilakukan pelunasan uang pinjaman sampai batas waktu yang ditentukan. Yakni dilakukannya penjualan barang jaminan kepada masyarakat umum apabila nasabah tidak dapat menebus benda yang digadaikan sampai batas waktu yang ditentukan. Lelang akan dilakukan setelah melewati batas jatuh tempo 120 hari atau 4 bulan dari tanggal kredit. Yang menjadi hak PT.
Pegadaian dari hasil penjualan lelang yakni uang pinjaman dan bunga dan sisanya menjadi haknya nasabah.
Seluruh harta benda debitur demi hukum (by operation of law) menjadi jaminan bagi pelunasan uang debitur kepada kreditur. Apabila harta benda debitur dibagikan secara proposional kepada para kreditur menurut besar kecilnya piutang masing-masing. Menurut Subekti dalam bukunya Suharnoko bahwa kreditur pemegang jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan tersebut mempunyai hak untuk mengambil hasil penjualan benda yang dibebani gadai, fidusia, hipotik pelunasan piutangnya lebih dahulu dari kreditur konkuren yang dijamin oleh Pasal 1131 Dan 1132 Kitab Undang Undang-Undang Hukum Perdata. Karena itu dalam praktik kreditur khususnya lembaga keuangan seperti bank akan meminta suatu jaminan khusus yang lahir dari perjanjian antara kreditur dan debitur, di mana kreditur mempunyai hak
kebendaan atas benda milik debitur atau pihak ketiga sebagai jaminan uang.
Pengikatan jaminan ini bersifat accesoir artinya jaminan itu lahir, hapus dan beralih mengkuti atau tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu uang piutang atau perjanjian kredit.
Prosedur pelaksanaan lelang sesuai dengan prosedur dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK 06/2007 tentang Perubahan Atas Peratuan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang petunjuk pelaksanaan lelang. Implikasi dari penelitian ini kepada Kantor Pelayanan Negara dan Lelang Kota Palopo selaku pelaksanaan lelang hendaknya meningkatkan kegiatan panggilan potensi lelang dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang proses lelang agar seluruh masyarakat mendapatkan informasi dan pengetahuan mengingat kurangnya peminat yang mengikuti lelang.
Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan no. 27/PMK.06/2016 tentang petunjuk pelaksanaan lelang, Bab II Pasal 5 lelang terdiri dari.
1. Lelang eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan kententuan dalam perundang-undangan.
2. Lelang non eksekusi wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang.
3. Lelang non eksekusi sukarela adalah lelang atas barang milik swasta, perorangan atau badan hokum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.
Pada dasarnya eksekusi barang jaminan gadai dilakukan dengan penjualan di muka umum melalui pelelangan dengan meminta bantuan kantor/badan lelang. Namun berdasarkan parate eksekusi (parate execute), maka kreditor/pemegang gadai mempunyai wawanang penuh tanpa melalui pengadilan untuk mengeksekusi barang jaminan. Hal ini dapat dilakukan bilamana sebelumnya hal tersebut sudah dijanjikan. Seperti yang dikatakan dalam Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata antara lain menyatakan bahwa, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat.
Selain itu, penjualan atas barang jaminan gadai juga data dilakukan secara tertutup atau tidak dilakukan penjualan di muka umum melalui pelelangan. Penjuala atas barang jaminan gadai yang demikian itu dilakukan atas perintah pengadilan; yang mana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata yang antara lain menyatakan, bahwa si berpiutang dapat menuntut di muka umum hakim supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim.
Sementara itu, terhadap penjualan atas barang gadai berupa surat berharga dilakukan di tempat di mana surat-surat berharga itu diperdagangkan dengan syarat dilakukan melalui bantuan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdangangan surat-surat berharga tersebut. Hal ini dinyatakan
dalam ketentuan Pasal 1155 Ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan, bahwa jika barang gadainya terdiri atas barang-barang perdagangan atau efek-efek yang dapat diperdagangakan di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di temat-tempat tersebut, asal dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu.
Berkenaan dengan sebab-sebab berkahir atau hapusnya jaminan gadai, KUH Perdata tidak mengatur secara khusus. Namun, demikian, berdasarkan Pasal-Pasal KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan gadai dapat diketahui hal yang menjadi dasar bagi hapus atau berakhirnya jaminan hak gadai tersebut, yaitu: (1) hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan yang dijamin dengan gadai, yang dikarenakan pelunasan utang, perjumpaan utang (konpensasi), pembaruan uang (novasi), atau pembebasan uang, dan (2) lepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan terlepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai, dilepaskannya benda gadai secara sukarela oleh pemegangnya, atau hapusnya benda yang digadaikan, (3) terjadinya percampuran, di mana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan; (4) terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditor pemegangan gadai.
Terkait dengan hasil penjualan marhun ketika ada kelebihan dan kekurangan, berdasarkan penelitian yang penulis temukan, dalam praktiknya di pegadaian Syariah Ungga, hasil dari penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar lakunya marhun tersebut. Jika ada uang
kelebihan hasil penjualan tersebut, pegadaian memberikan jangka waktu selama 1 (satu) tahun kepada rahin untuk pengembaliannya. Apabila selama jangka waktu tersebut rahin tetap tidak mengambil, maka uang kelebihan hasil penjualan tersebut menjadi milik pegadaian digunakan untuk dana kebajikan umat yang dikelola oleh pegadaian sendiri. Sedangkan jika terjadi kekurangan, dalam artian hasil penjualan tidak dapat menutupi hutangnya serta biaya-biaya yang dibutuhkan maka rahin tetap untuk melunasi sisa pinjamnnya.
Adanya pemaparan di atas dapat diketahui bahwa sudah jelas pelelangan barang gadai di pegadaian syariah ungga sistem prosedurnya belum sesuai dengan Pasal 11311 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengaturan tentang hak-hak kreditur atas benda debitur. Para kreditur tersebut dinamakan kreditur konkuren, dan tidak cukup memperoleh jaminan bagi pelunasan piutangnya, karena di antara mereka tidak ada yang mempunyai hak untuk mendahului. Dengan demikian jika utang debitur lebih besar dari nilai harta bendanya dan hasil penjualan harta debitur itu dibagi secara proposional kepada kreditur, maka setiap kreditur tidak akan memperoleh penulasan piutangnya. Akan tetapi dalam praktiknya di pegadaian Syariah Ungga jika hasil penjualan barang jaminan tidak mencukupi untuk melunasi hutang debitur maka sisanya tersebut tetap menjadi kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya.
B.
Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Praktik Lelang di Pegadaian Syariah Desa Ungga Kec. Praya Barat Daya Kab. Lombok TengahGadai merupakan suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang yang diserahkan oleh orang yang berpiutang sebagai jaminan utangnya dan barang tersebut dapat dijual (dilelang) oleh yang berpiutang bila yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Pelelangan dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan pelelangan berlaku pada masyarakat umum dan sebelumnya ada pemberitahuan kepada nasabah dan masyarakat adanya pelelangan.
Lelang merupakan salah satu bentuk jual beli yang di mana penjual menawarkan barang dagangannya kepada beberapa pembeli mulai dari harga yang paling tinggi sampai dengan harga yang paling rendah dan penjual barang jaminan tersebut akan menyerahk/menjual barang lelangnya kepada pembeli yang menawar dengan harga paling tinggi. Jual beli sistemlelang merupakan suatu saranayang sangat tepat untuk menampung para pembeli untuk mendapatkan barang yang telah diinginkannya. Sehingga benar-benar apa yang telah diinginkannya bisa tercapai. Jual beli sistem lelang harus mempunyai sistem manajemen yang profesional dalam menjalankan tugas dan peranannya di masyarakat. Sehingga pelelangan yang terjadi di masyarakat merupakan pelelangan yang berbasis keadilan dan kejujuran.
Praktik lelang dengan sistem lelang dalam sekarang ini perlu diperhatikan, yaitu bagaimana cara menentukan harga yang harus adil dan juga bagaimana cara agar tetap sesuai dengan syariat islam. Peneliti menganalisis
berdasarkan dengan data yang diperoleh yaitu dengan cara observasi langsung terhadap pelaksanaan lelang benda jaminan gadai di pegadaian Syariah Ungga.
Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah ketentan lelang benda jaminan gadai di pegadaian Syariah Ungga sudah sesuai dengan Syariat Islam ataukah belum sesuai.
Ayat al-qur‟an yang berkaitan dengna hak tersebut adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 280:
Artinya : Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bersabar terhadap orang yang berada dalam kesulitan, di mana orang tersebut belum bisa melunasi hutangnya. Memberi tenggang waktu terhadap orang yang kesulitan adalah wajib, tetapi jika ingin membebaskan utangnya maka hukumnya adalah sunnah. Orang yang berhati baik seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dan pahal yang melimpah.
Praktik penawaran terhadap sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: pertama, bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang
disetujui penawarnya. Kedua, bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama. Ketiga, bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
Lelang termasuk salah satu bentuk jual beli, akan tetapi ada perbedaan secara umum. Jual beli ada hak memilih, boleh tukar menukar di muka umum dan sebaliknya, sedangkan lelang tidak ada hak memilih, tidak boleh tukar menukar dimuka umum, dan pelaksanannya dilakukan khusus dimuka umum.
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh bagi yang menerima gadai menjual barang gadai yang diterimanya, tetapi boleh dijual dengan syarat setelah datang masa dan tidak sanggup menebusnya, tetapi harus dijualkan oleh yang menggadaikan atau wakilnya dengan seizin Murtahin (yang menerima gadai). Jika yang menggadaikan tidak mau menjualnya, hendaklah yang menerima gadai memajukan tuntutan kepada hakim.58
Haram menjual sesuatu yang masih dijual oleh orang lain sebelum akad selesai dengan habisnya khiyar majlis atau khiyar syarat demikian juga dalam khiyar aib menurut pendapat yang unggul. Dengan cara menyuruh pembeli membatalkan akad agar dia bisa menjual barang yang sama dengan harga yang lebih murah, menjual ke atas jualan orang lain sebelum akad selesai seperti menyuruh pembeli membatalkan akad agar dia bisa membeli barang itu dengan
58 Hasbi Ash Siddieqy, Hukum-Hukum Fikih Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1991),Hlm. 402
harga yang lebih mahal dengan dalil dalam shahihaian:”janganlah sebagian kalian menjual terhadap jualan saudaranya.” Imam An-Nasa‟I menambahkan:”Sehingga dia membeli atau menambah harganya.” Hikmah dari pengharaman ini sebab ada unsur menyakiti bagi orang yang tahu tentang larangan ini. Dalam hadis ini juga ada petunjuk tertolaknya pendapat yng menyatakan hal itu disyaratkan berbeda dengan menjual terhadap barang yang sedang dijual orang lain sebab ada unsure menipu dan haramnya menipu sudah diketahui secara umum. As-Subki berkata, perbedaanya hanya terjadi pada larangan yang khusus, adapun yang sudah tahu hukumnya, maka dia sudah pasti mendapat dosa di sisi Allah. Namun, pada pandangan para hakim apa-apa yang sudah diketahui secara meluas keharamannya tidak perlu ada pengakuan dengan ilmu berbeda dengan sesuatu yang masih samar (tidak diketahui orang banyak).59
Pelaksanaan lelang juga pernah dipraktikan oleh Rasulullah SWT, ditegaskan dalam hadis dari Sunan Nasa‟i:
: َلا َق , َمْي ِهَرْبِإ ُنْب ُقا َح ْسِإ ا َهَرَب ْحَأ
ََىَث َّد َح : َ
لَاَق ، َسُوىًُ ُنْب َسْي ِع َو ُرِمَتْع ُ ْلْا ا
ََىَث َّد َح ، َن لَ ْج َع ُنْب ُر َض ْخ َ َ
الأ ا
َّن َ
أ ، ِكِلا َم ِنْب ِس َوَأ ْنَع ،ِّيِفَحْلا ٍرْكَب يِبَأ ْنَع ْن َميِِا ًًْل ِحَواًح َدَق َعاَب َمَّل َسَو ِهْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله ُل ى ُسَر
َُديِزًَ
Artinya : Telah mengabarkan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Al Mu'tamir] dan [Isa bin Yunus] mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Al Akhdhar bin 'Ajlan]
dari[Abu Bakar Al Hanafi] dari [Anas bin Malik] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjual gelas dan alas pelana kepada orang yang menambahkan harga.60
59 Ibid., Hlm 74
60 Sunan Nasa‟I, Shahih Sunan Nasa’I (Jakarta:Pustaka Azzam,2007) hlm,429
Dari hadis tersebut, dapat diketahui bahwa jual beli secara lelang telah ada dan berkembang sejak masa Rasulullah SAW masih hidup dan telah dilaksanakannya secara terang-terangan di depan umum untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dari pihak penawar yang ingin membeli sesuatu barang yang dilelang.
Untuk itu, menurut jumhur ulama, kesimpulannya masalah lelang ini dibolehkan, asalkan memang benar-benar seperti yang terjadi di masa rasulullah Saw. Artinya, lelang ini tidak bercampur dengan penipuan, atau tercampur dengan trik-trik yang memang dilarang.
1. Dasar hukum lelang
Di dalam Al- Qur‟an tidak ada aturan pasti yang mengatur tentang lelang, tetapi berdasarkan definisi lelang dapat disamakan (diqiaskan) dengan jual-beli dimana ada pihak penjual dan pembeli. Dimana pegadaian dalam hal ini sebagai pihak penjual dan masyarakat yang hadir dalam pelelangan tersebut sebagai pihak pembeli. Jual beli termaktub dalam Al- Qur‟an Surat Al – Baqarah ayat 275.
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”61
Ayat tersebut diatas merujuk pada kehalalan jual beli dan keharaman riba. Ayat tersebut menolak argumen kaum musyrikin yang menentang disyariatkannya jual beli dalam Al-Qur‟an. Kaum Musyrikin tidak mengakui konsep jual beli yang telah disyariatkan oleh Allah dalam Al- Qur‟an, dan menganggapnya identik atau sama dengan sistem ribawi. Untuk itu Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi.
Syariat Islam dengan berbagai pertimbangan yang sangat dijunjung tinggi tidak melarang dalam melakukan usaha untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dan dengan cara apapun selama cara tersebut masih berada dalam garis syariat yang dihalalkan. Sedangkan adanya aturan dalam ajaran Islam tentunya tidak semata-mata hanya aturan belaka yang hanya menjadi dasar, tetapi merupakan suatu aturan yang berfungsi menjaga dari adanya manipulasi atau kecurangan-kecurangan dalam menjalankan bisnis dengan cara lelang. Sebagaimana hadist diatas merupakan pedoman untuk kita bahwa praktik lelang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan bentuk yang sederhana.
61 Departemen Agama RI, Hlm. 36
2. Syarat dan rukun lelang
Syariat Islam telah memberikan panduan dan kriteria umum sebagai pedoman pokok untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam lelang. Pedoman tersebut yaitu sebagai berikut:62
a. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela („an taradhin)
b. Objek lelang harus halal dan bermanfaat
c. Kepemilikan /kuasa penuh pada barang yang dijual
d. Kejelasan dan transparasi barang yang dilelang tanpa adanya manipulasi e. Kesanggupan penyerahan barang dari penjual
f. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan
g. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan tawaran.
Menurut ketentuan syariat, jika masa yang telah ditentukan dalam perjanjian untuk pembayaran utang telah terlewati, maka jika si rahin tidak mampu untuk mengembalikan pinjamannya, hendaklah ia memberikan ijin pada murtahin untuk menjual barang gadaian, dan seandainya ijin ini tidak diberikan oleh rahin maka murtahin dapat meminta pertolongan kepada hakim untuk memaksa si rahin untuk melunasi utangnya atau memberikan ijin untuk menjual barang gadaian. Dalam pembahasan sebelumnya telah
62 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, Yokyakarta (Gajah Mada University Press, 2011) Hlm. 125
dijelaskan bahwa lelang dapat dikiaskan dengan jual-beli, maka lelang mempunyai kesamaan dengan jual-beli dalam hal syarat dan rukunnya.
Adapun syarat dan rukun dalam jual-beli adalah sebagai berikut:63
a. Ba‟i (penjual) dan Mustari (pembeli) Kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli harus memiliki syarat yaitu, berakal, kehendak sendiri, baligh.
b. Shighat (ijab dan qabul) Lafadz harus sesuai dengan ijab dan qabul serta berhubungan antara ijab dan qabul tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa jual-beli dimuka umum atau lelang dilaksanakan dengan cara tawar menawar harga sampai memperoleh kesepakatan antara penjual dan pembeli.
c. Marhun (benda atau barang) Benda yang dijadikan objek jual beli disini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bersih barangnya Maksudnya bahwa barang yang diperjual-belikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis atau sebagai benda yang diharamkan.
2. Dapat dimanfaatkan Dalam hal ini yang dimaksud dengan benda yang bermanfaat adalah bahwa kemanfaatan barang tersebut sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
3. Milik orang yang melakukan akad Orang yang melakukan perjanjian jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut.
63 Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung : Alfabeta, 2011,) Hlm. 139-141
4. Mampu menyerahkannya Pihak penjual mampu menyerahkan barang yang dijadikan obyek jual-beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pihak pembeli.
5. Mengetahui Mengetahui disini dapat diartikan secara lebih luas, yaitu melihat sendiri keadaan barang baik hitungan, takaran, atau kualitasnya, sedangkan menyangkut pembayaran, kedua belah pihak harus mengetahui tentang jumlah pembayaran maupun jangka waktu pembayaran.
6. Barang yang diakadkan ada ditangan (dikuasai).
d. Macam-Macam Lelang
Pada umumnya lelang hanya ada dua macam yaitu lelang turun dan lelang naik, keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Lelang Turun Lelang turun adalah suatu penawaran yang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa si penjual untuk melakukan lelang dan biasanya ditandai dengan ketukan
2. Lelang Naik Sedangkan penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi, sebagaimana Lelang ala Belanda (Dutch Auction)dan disebut dengan lelang naik.
e. Objek Lelang
Prinsip utama barang yang dapat dijadikan objek lelang adalah barang tersebut harus halal dan bermanfaat. Benda yang menjadi objek lelang disini adalah barang yang dijadikan jaminan gadai (marhun) yang tidak bisa ditebus oleh pemilik barang jaminan gadai (rahin).
f. Prosedur Pelelangan Barang Jaminan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai diperbolehkan untuk menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya.
Jika terdapat persyaratan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, hal ini dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin.
b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran.
c. Kalau Murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum melunasi hutangnya, maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin
d. Apabila ketentuan diatas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin
Prosedur pelaksanaan lelang benda jaminan gadai di Pegadaian Syariah Desa Ungga Kec. Praya Barat Daya ini menggunakan sistem