• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIS

C. Tuberkulosis Paru 1. Pengertian

Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Somantri, 2008).

Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis didapat melalui inhalasi partikel kuman yang cukup kecil (sekitar 1-5 mm). Salah satu contohnya adalah droplet. Droplet dikeluarkan selama batuk, tertawa, atau bersin.

Nukleus yang terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang rentan (hospes). Sebelum infeksi pulmonari dapat terjadi, organisme yang terhirup terlebih dahulu harus melawan mekanisme pertahanan paru dan masuk jaringan paru (Asih, 2003).

2. Penyebab TBC

Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen Mycobacterium Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis menurut (Depkes RI, 2007) diantaranya:

a. Faktor ekonomi, keadaan sosial yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan karena ketidakmampuan dalam mengatasi masalah kesehatan. Masalah kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman dan lingkungan sehat, jelas semua ini akan mudah menumbuhkan penyakit tuberkulosis.

b. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian kejadian tuberkulosis menunjukkan bahwa penyakit yang bergizi normal ditemukan kasus lebih kecil daripada status gizi kurang dan buruk.

c. Status pendidikan, latar belakang pendidikan mempengaruhi penyebaran penyakit menular khususnya tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian mengatakan semakin rendah latar belakang pendidikan kecenderungan terjadi kasus tuberkulosis, hal ini faktor terpenting dari kejadian TBC.

Menurut Departemen Kesehatan (Taufan, 2008), TBC dapat dipengaruhi oleh:

a. Status sosial ekonomi b. Kepadatan penduduk c. Status gizi

d. Pendidikan e. Pengetahuan

f. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan g. Keteraturan berobat

4. Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis Basil Tahan Asam (TBC BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

5. Resiko Penularan TBC

Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB Paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko

penularan lebih besar dari pasien TB Paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TBC selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2007).

6. Gejala Penyakit TBC

Menurut Zulkifli (dalam, Sudoyo, 2006) gejala-gejala penyakit TBC antara lain:

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.

b. Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.

c. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak- bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.

d. Nyeri dada

Nyeri dada pada Tuberkulosis Paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat- tempat lain).

e. Wheezing

Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granula, ulserasi dan lain-lain (pada tuberkulosis lanjut).

f. Dispneu

Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut Tuberkulosis Paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed / thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.

7. Gejala-Gejala Umum TBC

Menurut Alsagaf (2005), gejala-gejala TBC adalah : a. Panas badan

Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.

b. Menggigil

Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat.

c. Keringat malam

Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit Tuberkulosis Paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan sakit kepala timbul bila ada panas.

d. Gangguan menstruasi

Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses Tuberkulosis Paru sudah menjadi lanjut.

e. Anoreksia

Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.

f. Lemah badan

Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur dan keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan, karena itu harus dianalisa dengan baik dan harus lebih berhati-hati apabila dijumpai perubahan sikap dan temperamen (misalnya penderita yang mudah

tersinggung), perhatian penderita berkurang atau menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain, atau penyakit yang kelihatan neurotik.

Gejala umum ini, seringkali baru disadari oleh penderita setelah ia memperoleh terapi dan saat ini masih lebih baik dari sebelumnya (Retrospective Symptomatology).

8. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

Menurut (Depkes RI, 2007) penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena a. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis a. Tuberkulosis Paru BTA (Bakteri Tahan Asam) positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

b. Tuberkulosis Paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru dan BTA positif.

Kriteria diagnostik TB Paru BTA negatif harus meliputi:

1). Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negtif.

2). Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

4). Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

a. TB Paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat

bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.

b. TB Ekstra Paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

1) TB Ekstra Paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

2) TB Ekstra Paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus pindahan (transfer in)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

9. Pencegahan Penularan Tuberkulosis

Upaya pencegahan penularan penyakit Tuberkulosis Paru pada penderita ke anggota keluarga lain dapat dilaksanakan dengan cara perbaikan gizi, mengurangi kontak dengan penderita, menjaga lingkungan yang sehat dan imunisasi BCG (Alsagaf 2005).

a. Perbaikan status gizi

Status gizi adalah kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penilaian status gizi (nutritional assessment) adalah pengukuran yang didasarkan pada data antropometik serta biokimia dan riwayat diet (Beck, 1995). Konsumsi gizi makanan seseorang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan (disebut juga status gizi). Apabila tubuh berada dalam tingkat kesehatan gizi optimum dimana jaringan penuh dengan semua zat gizi maka keadaan ini disebut status gizi optimum. Dalam kondisi demikian tubuh terbebas dari penyakit dan memiliki daya tahan tubuh yang setinggi-tingginya. Apabila konsumsi gizi makanan pada seorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh, akan terjadi kesalahan akibat gizi (malnutrition). Malnutrition ini mencakup kelebihan nutrisi/gizi disebut gizi lebih (overnutrition), dan kekurangan gizi atau gizi kurang (undernutrition) (Notoatmodjo, 2003).

Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Infeksi sendiri mengakibatkan klien kehilangan bahan makanan melalui muntah- muntah dan diare. Gangguan gizi dan infeksi sering bekerja secara

sinergistis, dan bila bekerja bersama-sama akan memberikan prognosa yang lebih buruk dibandingkan dengan bila kedua faktor tadi masing- masing bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaliknya. Gangguan gizi memperburuk keadaan seseorang untuk mengatasi penyakit infeksi (Kordjai, dkk, 1985).

Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan makanan yang bukan hanya sekedar makanan, tetapi makanan yang mengandung gizi atau zat gizi. Zat-zat makanan yang diperukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan ini dikelompokkan menjadi lima macam yaitu karbohidrat, vitamin, lemak, protein dan mineral (Notoatmodjo, 2003).

b. Kontak dengan klien

Seperti dikemukaan oleh Depkes RI (2002) Penyakit tuberkulosis sangatlah mudah menular. Sumber penularan adalah klien tuberkulosis BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, klien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet. Oleh sebab itu klien maupun orang- orang di sekitarnya harus berhati-hati saat melakukan kontak. Keluarga dapat menasehati klien tuberkulosis agar menutup mulut dan hidung saat batuk.

c. Lingkungan rumah yang sehat

Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah salah satu persyaratan pokok manusia. Sebuah rumah dari keluarga amat sangat berarti bagi anggotanya karena rumah merupakan bagian dari identitas keluarga.

”Rumah adalah tempat dimana segala sesuatu tidak asing dan tidak berubah, dimana orang menjaga perasaan memiliki otonomi dan kontrol”. Sedangkan rumah yang sehat adalah tempat berlindung dan tempat istirahat sehingga menimbulkan kehidupan yang sangat sempurna, baik fisik, rohani, maupun sosial menurut Rauckhorst, (dalam, Friedman, 1998).

Salah satu upaya pencegahan penularan Mycobacterium Tuberkulosis kepada anggota kelurga yang lain, dapat dilakukan melalui rumah sehat. Syarat rumah sehat secara sederhana menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut:

1) Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya

menjadi meningkat. Selain itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk bakteri pathogen seperti Mycobacterium Tuberkulosis.

Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari kuman Mycobacterium Tuberkulosis. Hal ini terjadi karena terjadi perputaran aliran udara yang terus menerus. Dengan demikian, kuman Mycobacterium Tuberkulosis terbawa oleh aliran udara yang terus menerus.

2) Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit seperti Mycobacterium Tuberkulosis.

3) Luas bangunan rumah

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan

(overcrowded). Hal demikian tidak sehat sebab di samping kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit menular, seperti Tuberkulosis Paru, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk tiap anggota keluarganya.

d. Imunisasi BCG

Salah satu upaya pencegahan penyakit termasuk tuberkulosis adalah dengan imunisasi. Pemberian imunisasi dimaksudkan untuk menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat, serta bila mungkin didapatkan eradikasi di suatu daerah atau negeri. Berdasarkan asal mulanya, imunisasi dibagi dalam dua bagian, yaitu pasif dan aktif.

Pasif ialah bila tubuh tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya menerima saja. Sedangkan aktif ialah bila tubuh ikut menyelenggarakan terbentuknya imunitas. Baik pasif maupun aktif dapat berlangsung alami, biasanya bawaan (congenital) atau didapat (acquired).

Imunisasi BCG termasuk ke dalam imunitas yang di dapat. BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya.

BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh, tapi dalam kebanyakan kasus, daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh kuman-kuman Mycobacterium Tuberkulosis tersebut (Crofton, 2002).

e. Olahraga dan pola hidup sehat

Setiap orang perlu melakukan olahraga secara teratur agar tetap sehat.

Tubuh harus dijaga kondisinya agar tetap baik dengan menerapkan pola hidup sehat dengan tidak merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol yang merupakan faktor toksik dan dapat menurunkan daya tahan tubuh (Crofton, 2002). Getah tembakau atau tar merupakan bahan yang akan mudah menumpuk pada pipa saluran nafas dan bagian paru yang diketahui sebagai penyebab terjadinya kanker paru (Muchtar, 1994).

10. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Penyembuhan penyakit tuberkulosis terutama Tuberkulosis Paru dengan BTA positif sangat penting. Hampir semua klien tuberkulosis yang baru didiagnosis dapat disembuhkan bila diobati dengan tepat. Pengobatan yang baik merupakan upaya pencegahan yang paling penting (Crofton, 2002).

Tujuan pengobatan tuberculosis menurut Depkes RI (2007) adalah:

a. Menyembuhkan klien dengan gangguan seminimal mungkin dalam hidupnya.

b. Mencegah kematian pada klien dengan sakit yang sangat berat.

c. Mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait.

d. Mencegah kambuhnya penyakit.

e. Mencegah kuman tuberkulosis menjadi resisten (resistensi yang diperoleh).

f. Melindungi keluarga dan masyarakat di sekitar klien terhadap infeksi.

Sangatlah penting untuk meyakinkan klien bahwa ia harus menyelesaikan seluruh jangka waktu pengobatan untuk menghindari kekambuhan.

Sebagian besar kegagalan pengobatan atau kambuh setelah pengobatan disebabkan karena jangka waktu pengobatan yang terlalu singkat. Hal ini dapat disebabkan karena klien tidak menyadari pentingnya menyelesaikan jangka waktu pengobatan tertentu tanpa terputus. Gejala-gejala akan segera menghilang tetapi pengobatan harus diteruskan dengan teratur sesuai dengan seluruh kurun waktu pengobatan yang disarankan (Crofton, 2002).

Sejak tahun 1995, program pemberantasan tuberkulosis di Indonesia telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse chemotheraphy) yang direkomendaikan oleh WHO. Bank

dunia menyatakan bahwa strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective (Depkes RI, 2002). Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung.

a. jenis dan dosis OAT

Adapun jenis obat Tuberkulosis menurut Depkes RI (2007) yaitu sebagai berikut:

1) Isoniazid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%

populasi dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, lanjutan dengan 10 mg/kg BB.

2) Rifampicine (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Dosis Tuberkulosis Paru sama untuk pengobatan harian maupun lanjutan maupun lanjutan 3 kali seminggu 10 mg/kg BB.

3) Pirazinamid (Z)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg

BB sedangkan, lanjutan 3 kali seminggu dengan dosis 35 mg/kg BB.

4) Streptomycine (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan lanjutan 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Untuk klien sampai umur 60 tahun, dosisnya 0,70 gr/hari, sedangkan yang berumur 60 tahun atau lebih Tuberkulosis 0,30 gr/hari.

5) Ethambutanol (E)

Bersifat sebagai bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan lanjutan 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.

b. Panduan OAT di Indonesia

WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberkulosis And Lung Desease) merekomendasikan panduan obat standar (Depkes RI, 2007) yaitu:

1) Kategori1:

a) 2HRZE/4H3R3 b) 2HRZE/4HR c) 2HRZE/6HE

2) Kategori 2:

a) 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 b) 2HRZES/HRZE/5HRE 3) Kategori 3:

a) 2HRZ/4H3R3 b) 2HRZ/4HR c) 2HRZ/6HE

Sedangkan untuk program nasional penanggulangan tuberkulosis di Indonesia menggunakan panduan OAT sebagai berikut:

1) Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Pada tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE) kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga hari dalam seminggu selama empat bulan (4 H3R3).

Obat – obat tersebut diatas diberikan untuk:

a) Penderita baru tuberklosis paru BTA positif.

b) Penderita Tuberkulosis Paru BTA negatif, Rontgen positif yang “sakit berat”.

c) Penderita tuberkulosis ekstra paru berat.

2) Kategori 2: 2HRZES/HRZ/5H3R3

Pada tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z).

Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin setiap hari di unit pelayanan kesehatan. Dilanjutkan satu bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari.

Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Yang diperhatikan dalam pengobatan kategori ini adalah bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat – obat kategori 2 ini diberikan untuk:

a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita gagal (failure)

c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) 3) Kategori 3: 2HRZ/4H3R3

Pada tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZ). Diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4 HER3).

Obat-obat pada kategori 3 ini diberikan kepada:

a) Penderita baru BTA dan roentgen positif sakit ringan

b) Penderita ekstra paru ringan, yaitu tuberkulosis kelenjar limfe (limfadnitis),pleuritis eksudativa unilateral, tuberkulosis kulit,

tuberkulosis tulang ( kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

4) OAT sisipan: HRZE

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Panduan OAT tersebut diatas disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.

Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.

c. Prinsip pengobatan

Menurut (Depkes RI, 2007) Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (Intensif):

a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan:

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama.

b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

d. Pemantauan kemajuan hasil pengobatan tuberkulosis paru

Dokumen terkait