• Tidak ada hasil yang ditemukan

03. Andi Gustiani.cdr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "03. Andi Gustiani.cdr"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

SELAMA PROSES DEKOMPOSISI

(Nutrient Concentration Changes of Community Forest Litter during Decomposition Process)*

Andi Gustiani Salim dan/and Pratiwi

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

Jl. Gunung Batu no.5 Po Box 165 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp. 0251-8633234; Fax. 0251-8638111

E-mail : a_gustiani@yahoo.com; pratiwi.lala@yahoo.com

*Diterima: 18 Juli 2014; Direvisi: 4 Februari 2015; Disetujui: 18 Februari 2015

ABSTRACT

Species mixing at a community forest influences soil fertility level because of the nutrient input from the litter as a result of decomposition process. This research aimed to find out the nutrient concentration changes during decomposition process at several community forest types. Research was conducted on (1) HR1: forested land, (2) HR2: home garden forest, and (3) HR3: dry field garden in Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. The study was conducted by using litter bag method. The results showed that nutrient concentration was released during 24 weeks respectively from the highest percentage of the Nitrogen: HR2 (78,62%), HR3 (62,37%) and HR1(35,81%), of the Phosphorus: HR2 (80,03%), HR3 (76,97%) and HR1 (30,77%), and of the Potassium: HR3 (93,88%), HR2 (89,11%) and HR1 (81,03%). The litter nutrient concentration of HR2 was high and fast in decomposition and releasing the nutrient, so it is good for mulch/green manure because the nurtient immediately available for the plant. The litters of HR1 and HR3 can be used to fertilize annual plant because the nutrient was released slowly as well as to protec the soil surface.

Keywords: Nutrient, decomposition, community forest

ABSTRAK

Pencampuran berbagai jenis tanaman pada hutan rakyat sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah karena adanya input unsur hara dari serasah yang dihasilkan melalui proses dekomposisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan konsentrasi unsur hara selama proses dekomposisi pada beberapa pola hutan rakyat.

Penelitian dilakukan di Desa Nglanggeran, Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta, pada hutan/alas (HR1), pekarangan (HR2) dan tegalan (HR3) dengan menggunakan Litter bag. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses dekomposisi, terjadi imobilisasi dan pencucian unsur-unsur N, P dan K. Konsentrasi unsur hara yang dilepaskan selama 24 minggu dari yang paling tinggi berturut-turut: a) Nitrogen: HR2 (78,62%), HR3 (62,37%) dan HR1 (35,81%), b) Fosfor: HR2 (80,03%), HR3 (76,97%) dan HR1 (30,77%), c) Kalium: HR3 (93,88%), HR2 (89,11%) dan HR1 (81,03%). Serasah pekarangan (HR2) mengandung unsur hara yang cukup tinggi dan cepat terdekomposisi, sehingga mudah tersedia bagi tanaman, hal ini menyebabkan serasah cukup baik jika digunakan untuk mulsa/pupuk hijau bagi tanaman semusim. Serasah hutan (HR1) dan tegalan (HR3) dapat digunakan pada tanaman tahunan karena pelepasan haranya secara perlahan-lahan,sehingga dapat pula digunakan sebagai pelindung tanah

Kata kunci: Unsur hara, dekomposisi, hutan rakyat

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pengolahan lahan yang menggabungkan bebe- rapa jenis tanaman baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Pada sistem ini, pemilihan jenis tanaman lebih didasari oleh pertimbangan ekonomi pemilik lahan, sehingga jenis-jenis yang ditanam umumnya merupakan tanaman kayu dan perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi sedangkan tanaman semusim biasanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Di Desa Nglanggeran, hutan rakyat berkembang cukup baik dan diminati oleh masyarakat.

(2)

Pola hutan rakyat dapat dijumpai dalam tiga bentuk pengelolaan yaitu pekarangan, tegalan dan alas (hutan). Bentuk pengelolaan tersebut mengikuti perkembangan penutupan lahan oleh tajuk tanaman tahunan (pohon). Jenis-jenis yang banyak ditanam masyarakat antara lain ma- honi (Swietenia mahagony), akasia (Acacia auriculiformis), sonokeling (Dalbergia lathifo- lia), sengon (Paraserianthes falcataria) dan tanaman pencampur lainnya. Pada lahan pekara- ngan dan tegalan, masyarakat melakukan penanaman dengan mencampur berbagai macam jenis tanaman sedangkan pada hutan umumnya didominasi akasia yang dicampur dengan sebagian kecil sonokeling tanpa kegiatan pemeliharaan.

Pencampuran berbagai jenis tanaman sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah karena input unsur hara yang disumbangkan tanaman sangat dipengaruhi oleh kualitas serasah yang dihasilkan melalui proses dekomposisi. Meskipun menurut Hagen-Thorne, et al., (2006), bahwa serasah daun yang tua kemudian gugur miskin akan unsur hara karena telah dipindahkan ke bagian tanaman yang lain dan telah mengalami pencucian, tetapi menurut Salazar et al., (2011) bahwa jenis deciduous dapat memindahkan lebih dari 50% N dan 1% P dari daun. Menurut Jordan, (1985), pelepasan nutrisi dari bahan organik di tanah merupakan tahapan yang sangat penting dalam ekosistem. Apabila nutrisi yang dilepaskan terlalu cepat, maka bisa hilang akibat pencucian. Apabila dekomposisi berlangsung terlalu lambat, maka tumbuhan dapat kekurangan nutrisi yang ditunjukkan dengan terhambatnya pertumbuhan tanaman.

Pola dekomposisi jenis tanaman sangat bervariasi, oleh karena itu pemilihan jenis yang tepat sangat penting dalam mendukung ketersediaan unsur hara dalam suatu ekosistem.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan konsentrasi unsur hara selama proses dekomposisi pada beberapa pola hutan rakyat di Desa Nglanggeran. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan dan kombinasi jenis di hutan rakyat, sehingga dapat menjaga stabilitas unsur hara dalam ekosistem hutan.

II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu penelitian

Lokasi penelitian di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D.I. Yogyakarta. Kabupaten Patuk secara geografis terletak pada 110 21'-111 50' BT o o dan 7 46'-8 09'LS. Desa Nglanggeran berada pada ketinggian 700 m dpl dengan topografi o o wilayah yang umumnya berbukit dan bergunung. Rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.859 mm dan berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson (1951), termasuk dalam tipe iklim D (sedang) (Balai Penyuluhan Pertanian Patuk, 2011). Jenis tanah pada lokasi penelitian adalah Alfisol.

Penelitian dilakukan pada lahan hutan rakyat berupa: (1) Hutan/Alas (HR1) yang didominasi jenis akasia (53,12%), sonokeling (32,59%) dan lain-lain (14,29%); (2) Pekarangan (HR2) didominasi jenis mahoni (63,04%), sonokeling (26,81%) dan lain-lain (10,15%) dan (3) Tegalan (HR3) didominasi mahoni (68,58%), sonokeling (11,50%) dan lain-lain (19, 92%).

Selain dilakukan di lapangan berupa pembuatan plot dan penempatan litter bag, penelitian juga dilakukan di laboratorium untuk menganalisis kandungan hara serasah terdekomposisi.

Penelitian dilaksanakan selama enam bulan mulai bulan Januari hingga Juni 2011 meliputi kegiatan pengukuran dan analisis contoh.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah serasah tanaman dari lahan hutan

(3)

(alas), pekarangan dan tegalan yang sudah dikeringudarakan, tali rafia, tali nilon, kantong plastik dan bambu. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong serasah (litter bag) ukuran 20 cm x 20 cm dengan ukuran jaring (mesh size) 1 mm x 1 mm (Das and Das, 2010), timbangan analitik, amplop, stapler, gunting, oven, pengukur kelembaban dan suhu tanah aktual, pita ukur, meteran dan alat tulis.

C. Prosedur Kerja

Litter bag diisi dengan serasah sebanyak 20 g karena menurut Fisher & Binkly, (2000) hutan tropis, baik hutan tanaman maupun hutan alam cenderung mengakumulasi seresah sekitar 5-15 ton/ha selama satu sampai dengan dua tahun dari input serasah di atas tanah, sehingga jika akumulasi serasah lima ton/ha, maka untuk litter bag berukuran 20 cm x 20 cm, dibutuhkan serasah sebesar 20 g. Litter bag kemudian diletakkan secara acak di atas per- mukaan tanah yang telah dibersihkan. Jarak antar sampel minimal satu meter pada plot ber- ukuran 20 m x 20 m (sebanyak tiga plot). Masing-masing disesuaikan dengan letak tanaman (pohon) di lapangan (Gambar 1). Masing-masing plot dibuat ulangan sebanyak tiga kali.

Litter bag diambil tiap dua minggu sekali sebanyak empat contoh secara acak pada masing- masing plot untuk dianalisis di laboratorium. Lay out titik pengambilan contoh ditampilkan pada Gambar 1.

20 m

20 m

Keterangan (Remarks):

□ = Litter bag

Jarak antar litter bag minimal 1 m (Minimum distance among litter bags were 1 m) Gambar (Figure) 1. Denah litter bag di lapangan (Litter bag lay out in the field)

Contoh serasah yang telah terdekomposisi lalu dikeringkan/dioven pada suhu 70˚C selama + 72 jam hingga mencapai kering oven kemudian ditimbang berat keringnya. Selain itu, contoh serasah juga dianalisis kandungan N, P dan K. Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis masing-masing unsur adalah N total menggunakan Metode Kjeldahl sedangkan P dan K total dianalisis dengan Metode pembakaran basah (Wet Combustion) H SO dan H O .2 4 2 2 A. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan tabulasi, grafik serta analisis deskriptif terhadap kecenderungan konsentrasi unsur-unsur N, P dan K serasah yang terdekomposisi.

Adapun unsur hara yang dilepaskan (nutrient release) dihitung menggunakan persamaan (Gnankkambary et al., 2008) :

Nutrient release (%) = x 100C0x M0–Ctx Mt C0x M0

(4)

Dimana: C0 adalah Konsentrasi awal unsur hara (N, P atau K) serasah (mg/g),

adalah Konsentrasi unsur hara (N, P atau K) serasah pada saat t waktu (mg/g), Ct

M adalah Berat kering serasah pada saat t waktu (g),t M adalah Berat kering awal serasah (g).0

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsentrasi Awal Unsur Hara Serasah

Konsentrasi unsur hara awal serasah ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel (Table) 1.Konsentrasi awal unsur hara serasah (Initial concentration of litter nutrient)

Plot C Total

(%)

N Total (%)

P Total (%)

K Total

(%) C/N

HR1 46,18 0,93 0,03 0,4 49,65

HR2 39,49 0,82 0,04 0,3 47,96

HR3 36,80 0,91 0,07 0,6 40,36

Konsentrasi unsur hara pada HR1 (hutan), HR2 (pekarangan) dan HR3 (tegalan) memiliki kecenderungan yang sama yaitu C > N > K > P (Tabel 1). Karbon (C) total pada HR1 lebih tinggi (46,18%) jika dibandingkan dengan HR2 (39,49%) dan HR3 (36,80%), demikian pula konsentrasi N total (0,93%) pada HR1 lebih tinggi jika dibandingkan pada HR2 dan HR3 (0,82% dan 0,91%). Pada HR1 didominasi oleh akasia (A.auriculiformis) Acacia auricu-. liformis merupakan jenis legum dan dapat memfiksasi nitrogen dari atmosfir, sehingga diduga akan meningkatkan konsentrasi N tanaman. Menurut Palm, (1995), pohon yang memfiksasi nitrogen normalnya memiliki biomassa dengan konsentrasi nitrogen yang lebih tinggi dari- pada tanaman yang tidak memfiksasi nitrogen, tetapi antar spesies kandungannya bervariasi.

Jenis tanaman penyusun ditunjukkan pada Lampiran 1.

Rasio C/N serasah menunjukkan perbandingan antara konsentrasi karbon dan nitrogen yang terkandung dalam serasah. Hutan (HR1) memiliki rasio C/N yang paling tinggi (49,64) dan yang paling rendah adalah padategalan (HR3) (40,36). Rasio C/N yang tinggi pada HR1 diduga karena komposisi serasah didominasi oleh A. auriculiformis. Jenis ini memiliki kandungan N yang tinggi, tetapi morfologi serasahnya dapat meningkatkan konsentrasi C organik karena kandungan serat phyllode yang tinggi dan juga adanya kutikula yang tebal pada permukaan phyllode (Widjaja, 1980; Byuju, 1989). Rasio C/N yang tinggi mem- pengaruhi proses dekomposisi dan mineralisasi serasah menjadi lebih lambat. Pemilihan jenis dalam penanaman sangat penting mempertimbangkan sifat-sifat serasah seperti rasio C/N, kandungan lignin, polifenol serta morfologi daun maupun bagian tanaman lainnya.

B. Penurunan Berat Kering dan Perubahan Konsentrasi N, P dan K Selama Proses Dekomposisi

Berdasarkan hasil dekomposisi serasah, persentase penurunan berat kering serasah ditunjukkan pada Gambar 2.

(5)

Gambar (Figure ) 2. Sisa berat kering setiap dua minggu (Dry weight remaining mass for every other week)

Serasah yang tersisa hingga minggu ke-24 berbeda-beda pada masing-masing plot.

Serasah yang tersisa paling sedikit sampai minggu ke-24 berturut-turut adalah pada pekarangan (HR2) (27,24%), tegalan (HR3) (32,98%) dan hutan (HR1) (48,11%). Penurunan berat kering serasah sangat tergantung pada faktor serasah itu sendiri dan faktor lingkungan.

Menurut Moore et al. (2011), hal penting yang mengontrol laju dekomposisi dan mineralisasi serasah antara lain 1) sifat alami serasah yaitu sifat organik dan konsentrasi unsur haranya; 2) lingkungan dimana serasah terdekomposisi terutama iklim (yaitu suhu dan kelembaban) serta komposisi tanah atau lantai hutan (yaitu kandungan unsur hara dan ketersediaannya).

Serasah segar yang dihasilkan oleh masing-masing plot memiliki kandungan N, P dan K yang berbeda-beda dan selama proses dekomposisi konsentrasinya mengalami peningkatan dan penurunan. Besarnya unsur hara yang dilepaskan hingga akhir proses dekomposisi ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel (Table) 2. Berat kering dan total unsur hara yang dilepaskan selama enam bulan (Dry weight and nutrient release during six months)

Plot Penurunan berat kering serasah (Drop in litter dry weight) (%)

Unsur hara yang dilepaskan (Nutrient released) (%)

N P K

HR1 49,41 35,81 30,77 81,03

HR2 73,49 78,62 80,03 89,11

HR3 68,52 62,37 76,97 93,88

Tabel 2 menunjukkan konsentrasi unsur hara yang dilepaskan masing-masing plot memiliki kecenderungan K > P > N. Pola ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aponte et al., (2012) pada hutan oak Mediteranian yang beriklim sub humid mediteranian dan didominasi oleh tanaman oak berupa hutan campuran sedangkan di hutan tropis Indonesia penelitian dekomposisi serasah umumnya baru sebatas penurunan berat kering serasah dan rasio C/N. Pada HR1, unsur hara P yang dilepaskan sebesar 30,77%, lebih kecil jika dibandingkan dengan HR2 dan HR3, selain karena komposisi awal P pada HR1 lebih kecil (0,03%), komposisi serasah juga mempengaruhi proses dekomposisi dan mineralisasinya.

Minggu (Week)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 120

100 80 60 40 20 0

... HR1 - - - HR2 HR3

Sisa beratkering (Mass remaining) (%)

(6)

Serasah yang didominasi oleh A. auriciformis sangat lambat terdekomposisi dan melepaskan unsur hara P, dimana unsur P merupakan unsur yang jumlahnya sangat sedikit di tanah, sehingga unsur hara diserap dan kemudian dilepaskan oleh tanaman juga akan minim. Serasah yang proses dekomposisinya lambat akan menyebabkan mineralisasi unsur P juga akan lambat.

Dekomposisi serasah selama enam bulan menunjukkan bahwa serasah HR1 sangat sedikit yang terdekomposisi. Demikian pula unsur hara yang dilepaskan jika dibandingkan dengan HR2 dan HR3. Acacia auriculiformis termasuk jenis yang sulit terdekomposisi karena memiliki kandungan lignin dan polifenol yang cukup tinggi. Menurut Rindyastuti & Darma- yanti, (2010), A. auriculiformis mengandung 6,325% polifenol; 48,78% lignin dan 30,06%

selulosa. Polifenol merupakan senyawa yang dapat mengikat N pada daun, sehingga mem- bentuk senyawa yang resisten terhadap proses dekomposisi. Lignin merupakan salah satu komponen yang paling lambat terdekomposisi pada vegetasi yang telah mati. Konsentrasi lignin lebih berpengaruh dalam menentukan laju dekomposisi serasah daun pada ekosistem hutan daripada konsentrasi senyawa kimia lainnya (Rahman et al., 2013). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa fauna yang paling berperan dalam penurunan berat kering serasah pada HR1 adalah rayap dan semut sedangkan cacing tanah sebagai salah satu makrofauna yang berperan penting dalam proses dekmposisi tidak ditemukan. Menurut Ganesh, (2009), kebanyakan cacing tidak menyukai daun akasia dan kemungkinan menjadi alasan tingginya kematian dan berkurangnya keberadaan cacing pada serasah akasia. Hal ini selain disebabkan oleh serasah A. auriculiformis yang kandungan lignin dan polifenolnya tinggi, juga daunnya mengandung serat phyllode dan kutikula yang tinggi, sehingga sulit dicerna oleh cacing dan mikroorganisme.

Hasil analisis kandungan hara (N, P dan K) serasah yang terdekomposisi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3. Perubahan konsentrasi N, P dan K pada masing-masing plot berbeda-beda. Perbedaan konsentrasi hara pada tanaman dipengaruhi oleh banyak hal antara lain komposisi jenis penyusun serasah. Selain itu, pada saat proses dekomposisi, faktor lingkungan berperan besar dalam dinamika konsentrasi hara serasah.

Menurut Myers et al. (1994); Heals et al. (1997), menyatakan bahwa ketika biomassa ter- dekomposisi, ada banyak kemungkinan yang akan terjadi terhadap nutrisi biomassa tersebut.

Nutrisi mungkin tertinggal pada tanah dalam bentuk hara, menyatu dengan biomassa tanah dan bahan organik tanah yang akan diambil oleh tanaman, dapat pula diserap organisme selain tanaman (imobilisasi), terfiksasi lempung 2:1, teradsorpsi koloid, akan hilang dari sistem melalui pencucian (leaching) atau menguap dalam bentuk gas (CO , N dan O ). Yang relatif 2 2 2 penting dari perbedaan pola ini tergantung pada masing-masing unsur hara, dekomposisi material, kondisi biotik dan abiotik dimana proses dekomposisi berlangsung. Diduga bahwa efisiensi penyerapan unsur hara yang dilepas biomassa tanaman dapat ditingkatkan melalui sinkroni dan sinlokasi (antara lain kesesuaian ruang dan waktu) pelepasan unsur hara dengan pengambilan oleh tanaman. Konsep ini dapat diterapkan pada pelepasan nutrisi dari biomassa dan bahan organik tanah terutama berhubungan dengan hilangnya unsur hara yang dilepas yang mungkin sangat tinggi, seperti di wilayah hutan tropis yang memiliki resiko pencucian dan denitrifikasi yang tinggi hampir sepanjang tahun atau di daerah savana dengan penurunan secara terus-menerus mineralisasi nitrogen pada awal musim hujan.

Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur penting yang terkandung dalam serasah tanaman.

Perubahan konsentrasi N selama proses dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 3.

(7)

Gambar (Figure ) 3. Perubahan konsentrasi N selama proses dekomposisi (The change of N concentration during decomposition process)

Sampai dengan minggu ke-24, konsentrasi N pada HR1 yang masih tersisa pada serasah sebesar 64,19% dari konsentrasi awal. Pada HR2 dan HR3 berturut-turut sebesar 21,38% dan 37,63%. Hal ini menunjukkan bahwa serasah HR1 hanya melepaskan 35,81% konsentrasi N- nya selama 24 minggu dan terbesar adalah pada HR2 sebesar 78,62%, terutama pada minggu ke-12 dan ke-20.

Grafik perubahan konsentrasi N pada HR2 dan HR3 tidak menunjukkan kecenderungan tertentu sedangkan pada HR1 konsentrasi N pada awal dekomposisi meningkat sampai dengan minggu kedelapan kemudian turun lalu naik lagi pada minggu ke-20 lalu turun kembali.

Penurunan N diduga terjadi karena pencucian dan peningkatan konsentrasi N pada bahan sisa dekomposisi terjadi karena proses imobilisasi N. Menurut Swift et al., (1979), imobilisasi dan akumulasi N merupakan indikator terjadinya perkembangan mikroorganisme dekomposer yang bersamaan dengan awal proses dekomposisi. Peningkatan N selama proses dekomposisi dapat juga disebabkan oleh imobilisasi mikroba atau non mikroba serta penambahan dari atmosfir. Aktifitas jamur juga dilaporkan sebagai sumber utama peningkatan N pada dekom- posisi serasah. Jamur miselia mengandung 3%-5% N pada bahan dasar kering dan mem- punyai kemampuan memindahkan N dari lapisan tanah organik dan mineral selama dekom- posisi serasah (Van Vuuren & Van Der Eerden, 1992).

Perubahan konsentrasi Fosfor (P) per satuan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar (Figure) 4. Perubahan konsentrasi P selama proses dekomposisi (The change of P concentration during decomposition process)

Minggu (Week)

Minggu (Week)

Hutan (Forested land)

Pekarangan (Home garden forest) Tegalan (Dry field garden)

Hutan (Forested land)

Pekarangan (Home garden forest) Tegalan (Dry field garden) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 0,20

0,15

0,10

0,05

0,00

0,020

0,015

0,010

0,005

0,000

N Total (g/berat kering)P total (g/berat kering)

(8)

Sampai akhir pengamatan (minggu ke-24), tersisa 69,23% konsentrasi P pada HR1;

19,97% pada HR2 dan 23,03% pada HR3 seiring dengan berkurangnya berat kering serasah.

Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan unsur P pada HR1 sangat rendah hanya 30,77% dan paling besar melepaskan P adalah HR2 sebesar 80,03%. Besarnya P yang dilepas pada HR2 terjadi pada minggu keempat, demikian pula pada HR3, selanjutnya melepaskan secara perlahan-lahan.

Hr2 dan HR3 memiliki kecenderungan peningkatan dan penurunan yang sama, tetapi berbeda dengan HR1. Konsentrasi awal P pada serasah HR1 lebih rendah daripada kedua plot lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan jenis dominan penyusun serasah. HR2 dan HR3 didominasi oleh mahoni, merupakan salah satu jenis yang juga sulit terdekomposisi.

Mahoni mengandung lignin sebesar 52,59% (Fiqa et al., 2010). Meskipun mengandung lignin, daun mahoni tidak mengandung kutikula dan jaringan phyllode seperti pada akasia.

Daun mahoni Pada minggu keenam, terjadi peningkatan dan penurunan P yang cukup besar pada HR1. Hal ini menunjukkan terjadinya imobilisasi P selama proses dekomposisi dan menurut Budelman, (1988), bahwa imobilisasi P dalam proses penguraian dapat disebabkan oleh rendahnya kandungan awal unsur dalam bahan yang terurai. Perubahan konsentrasi Kalium (K) selama proses dekomposisi ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar (Figure ) 5. Perubahan konsentrasi K selama proses dekomposisi (The change of K concentration during decomposition process)

Konsentrasi K (Gambar 4) sampai akhir proses dekomposisi mengalami penurunan cukup besar dari konsentrasi awal. Pada akhir minggu ke-24, konsentrasi yang tersisa pada HR1 sebesar 18,97%, HR2 dan HR3 masing-masing 10,89% dan 6,12%. Penurunan konsentrasi ini menunjukkan besarnya kandungan K yang dilepaskan akibat pencucian. Konsentrasi K pada serasah akan menurun secara terus menerus selama proses dekomposisi karena K pada tanaman bukan merupakan komponen struktural. Selain itu K merupakan unsur terlarut dalam air danmemiliki sifat mobilitas yang tinggi sehingga sangat mudah tercuci (Isaac & Nair, 2004; Widyastuti, 1998).

Perbedaan perubahan konsentrasi unsur hara selama proses dekomposisi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komposisi serasah, mikroorganisme dan kandungan awal unsur hara serasah. Meskipun jenis penyusun serasah sama, tetapi jika komposisinya berbeda akan sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi, karena memberikan kesempatan bagi fauna tanah untuk memilih makanan yang disukai/mudah dicerna.

Minggu (Week)

Hutan (Forested land)

Pekarangan (Home garden forest) Tegalan (Dry field garden)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 0,014

0,012 0,010 0,008 0,006 0,0004 0,002 0,000

K Total (g/berat kering)

(9)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Selama proses dekomposisi, unsur hara mengalami imobilisasi dan pencucian unsur-unsur N, P dan K. Konsentrasi unsur hara yang dilepaskan selama 24 minggu dari yang paling tinggi berturut-turut :

- Nitrogen : pekarangan (78,62%); tegalan (62,37%) dan hutan (35,81%).

- Fosfor : pekarangan (80,03%); tegalan (76,97%) dan hutan (30,77%).

- Kalium : tegalan (93,88%); pekarangan (89,11%) dan hutan (81,03%).

B. Saran

Acacia auriculiformis merupakan salah satu tanaman jenis legum, yang kandungan lignin dan polifenolnya cukup tinggi, sehingga sangat lambat dalam melepaskan unsur hara. Untuk itu dalam pengembangan hutan rakyat, sebaiknya jenis ini ditanam bukan sebagai jenis dominan karena akan menghambat mineralisasi hara serasah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Laboratorium Tanah BPTP Yogyakarta, Laboratorium Silvikultur Intensif Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, dan Bapak Wagiran di Desa Nglanggeran yang telah banyak membantu selama proses penelitian dan pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Aponte, C., Garcia, L.V., & Maranon, T. (2012). Tree species effect on litter decomposition and nutrient release in Mediterranean oak forest changes over time. Ecosystems, 15,1204-1218.

Balai Penyuluhan Pertanian Patuk. (2011). Program penyuluhan pertanian Balai Penyuluhan Pertanian Patuk. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Gunung Kidul.

Budelman, A. (1988). The decomposition of the leaf mulches of Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium, and Flemingia macrophylla under humid tropical condition. Agroforestry System, 7, 33-45.

Byuju, G. (1989). Impact of Eucalyptus and Acacia plantation on soil properties in different pedogenic environments in Kerala, m.Sc. (Ag) Disertation, Kerala Agricultral University, Vellyani, Kerala.

Das, T., & Das, A.K. (2010). Litter production and decomposition in the forested area of tradisional homegardens: a case study from Barak Valley Assam, Northeast India. Agroforestry System, 79, 157-170.

Fiqa, A.P., Agus, S.D., & Solikin. (2010). Seleksi serasah tanaman koleksi kebun raya Purwodadi dalam upaya menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Laporan akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI.

Balai Konservasi Tumbuhan Kebun raya Purwodadi LIPI.

Fisher, R.F., & Binkley, D. (2000). Ecology and management of forest soil (Third Edition), Canada: John Wiley

& Sons Inc.

Ganesh, P.S., Gajalaksmi, S., & Abbasi, S.A. (2009). Vermicomposting of the leaf litter of Acacia (Acacia auriculiformis): Possible roles of reactor geometry, polyphenols, and lignin. Bioresource Technology, 100, 1819-1827.

Gnankkambary Z., Bayala, J., Malmer, A., Nyberg, G., & Hien, V. (2008). Decomposition and nutrisi release from mixed plant litters of contrasting quality in an agroforestryparkland in the South Sudanese Zone of West Africa. Nutrient Cycle Agroecosystem Journal, 82, 1-13.

Hagen-Thorne, A., Varnagiryte, I., Nihlgard, B., & Armolaitis, K. (2006). Autumn nutrient resorption and losses in four deciduous forest tree species. For. Ecol. Manage., 228, 33-39.

Heals, O.W., Anderson, J.M., & Swift, R.S. (1997). Plant litter quality and decomposition: an historical overview. Dalam: Cadisch, G. and Giller, K.E (eds) Driven by nature: plant litter quality and decomposi- tion. CAB International, Wallingford, UK, pp. 3-30.

(10)

Isaac, S.R., & Nair, M.A. (2004). Decomposition of wild jack (Artocarpus hirsutus. Lamk) Leaf litter under subcanopy and open condition (Short Communication). Journal of Tropical Agriculture, 42 (1-2) : 29-32.

Jordan. C.F. (ed) (1985). Nutrientcycling in tropical forest ecosystem. John Willey, New York. USA.

Moore, T.R., Trofymow, J.A., Prescott, C.E., Titus, B.D., & CIDET Working Group. (2011). Nature and nurture in the dynamics of C, N and P during decomposition in Canadian forests. Plant Soil, 339, 163-175.

Myers, R.J.K., Palm, C.A., Cuevas, E., Gunatilleke, I.U.N., & Brossard, M. (1994).The synchronization of nutrient mineralization and pant nutrient demand. Dalam: Woomer, P.L. and Swift, M.J. (eds) The bilogical management of tropical soil fertility. John Wiley & Sons, Chichester, UK, pp. 81-116.

Rahman, M.M., Tsukamoto, T. J., Rahman, M.M., Yoneyama, A., & Mostafa, K.M. (2013). Lignin and its effect on litter decomposition in forest ecosystem. Chemistry and Ecology, 29, 540-553.

Rindyastuti, R., & Darmayanti, A.S. (2010). Komposisi kimia dan estimasi proses dekomposisi serasah 3 species familia Fabaceae di Kebun Raya Purwodadi. Makalah seminar nasional biologi tanggal 24-25 September 2010. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Palm, C.A. (1995). Contribution of agroforestry trees to nutrient requirement of intercropped plants. Dalam : Sinclair, F.L. (ed) Agroforestry: science, policy and practice. Kluwer Academic Publisher, Dorrecht,pp.

105-124.

Salazar, S., Sanchez, L.E., Galindo, P., & Santa-Regina, L. (2011). N and P resorption efficiency and proficiency from leaves under different forest management system of deciduous woody species. J. Eng. Technol. Res., 3, 389-397.

Schmidt, F.H., & Ferguson, J.H.A. (1951). Rainfall based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea.Verhand. 42. Kementerian Perhubungan. Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Swift, M.J., Heal, O.W., & Anderson, J.M. (1979). Decomposition in terrestrial ecosystems. University of California Press. Blackwell Scientific, Oxford, UK.

Van Vuuren, M.M.I., & Van Der Erden, L.J. (1992). Effect of three rates of atmospheric nitrogen deposition enriched with 15N on litter decomposition in a healtland. Soil Biology and Biochemistry, 24, 527-532.

Widyastuti, S.M., Sumardi, & Nurjanto, H.H. (1998). Pelepasan unsur hara dalam proses dekomposisi serasah sebagai petunjuk aktivitas mikroorganisme di bawah tegakan Acacia mangium. Buletin Kehutanan, 35, 11-19.

Widjaja, M.C. (1980). Result of decomposition research at Ubrug Forest, Jatiluhur, Indonesia. Thesis Biology Dept. Padjajaran, University, Bandung.

(11)

Lampiran(Appendix) 1. Hasil inventarisasi jenis dan jumlah tanaman (pohon) (luas plot 1.200m ) 2 (Species inventory and number of plants (trees) (plot size 1,200m ))2

No. Nama lokal (Local name)/

Nama botani (Botanical name)

Jumlah tanaman (Plant number)

HR1 HR2 HR3

1 Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) 73 74 30

2 Akasia (Acacia auriculiformis A.Cunn.ex Benth.) 119 3 2

3 Mahoni ( Swietenia mahagoniy (L.) Jacq) 7 174 179

4 Karet (Hevea brasiliensis (Willd. ex A. Juss.) Müll. Arg. ) 5 Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br.)

6 Duwet (Syzygium cumini (L.) Skeels) 7 Cendana (Santalum album L.) 8 Nangka (Artocarpus integra Merr.)

7 8 2 1 1 9 Coklat (Theobroma cacao L.)

10 Pisang (Musa paradisiacal L.) 11 Melinjo (Gnetum gnemom L.) 12 Mangga (Mangifera indica L.) 13 Pete (Parkia speciosa L.)

2

1 2 2

14 Kelapa (Cocos nucifera L.) 10

15 Jengkol (Archidendron pauciflorum (Benth.)) 16 Jati (Tectona grandis L.f.)

2 1 2 4 2 3 4 2

4 16

17 Cengkeh (Syzygium aromaticum(L.) Merr. & L.M.) 1

18 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) 16

Referensi

Dokumen terkait

Beban bahan organik dan unsur hara (terutama N dan P) yang berasal dari kegiatan budidaya ikan intensif dalam keramba jaring apung maupun sungai yang masuk waduk Djuanda

Beban bahan organik dan unsur hara (terutama N dan P) yang berasal dari kegiatan budidaya ikan intensif dalam keramba jaring apung maupun sungai yang masuk waduk Djuanda

Sistem hidroponik tidak menggunakan media tanah maka formulasi nutrisi hidroponik untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman menjadi sebuah keharusan terutama pada kalium

BAHAN ORGANIK BAHAN ORGANIK  FUNGSI GANDA: MEMPERBAIKI SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH  BERKAITAN DG TATA UDARA, AIR, DAN UNSUR HARA..  TERUTAMA SIFAT BIOLOGI TANAH

Hal ini mungkin disebabkan unsur hara yang bermanfaat untuk pertumbuhan seperti N, P, K ketersediaannya lebih banyak pada lahan sawah an-organik dibandingkan pada lahan

PUPUK HIJAU PUPUK HIJAU Pupuk Hijau adalah tanaman atau bagian yang masih muda, yang dibenamkan ke dalam tanah  menambah bahan organik dan unsur hara terutama nitrogen Pupuk Hijau