BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUJUAN HUKUM PIDANA
Sebagai pembuka diskusi pada sub-bab ini kiranya perlu di kemukakan pendapat dari Muladi menyatakan bahwa, aliran klasik, aliran modern, dan aliran neo-klasik merupakan aliran yang berusaha untuk memperoleh suatu sistem pidana yang praktis dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan dan persepsi masyarakat tentang hak-hak asasi manusia.1 Sesuai dengan pandangan Muladi tersebut, maka pada bagian ini penulis akan mendiskusikan ketiga aliran tersebut secara berurutan dan spesifik.
1. Aliran Klasik
Secara sumir aliran klasik dalam memandang tujuan hukum pidana sebagai instrument untuk melindungi kepentingan Individu (perseorangan) dari penguasa di Perancis dan di Inggris yang arbitrer atau yang banyak menimbulkan ketidakpastian, ketidaksamaan, dan ketidakadilan. Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat tersebut, aliran klasik ini menghendaki agar hukum pidana disusun secara sistematis dan menitik beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.2
Secara historis aliran klasik ini bermula pada saat peristiwa atau kasus yang dialami oleh Jean Calas, yang pada tahun 1762 Jean Calas dengan dasar kehendak
1 Muladi Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, 2008, h.40
2 Rizanizarli, Teori-Teori Pemidanaan dan Perkembangannya, (2004) 14 (38) Kanun 177-1996, h. 181.
penguasa, dijatuhi pidana mati karena di tuduh membunuh anaknya (Mauriac Calas) yang kedapatan mati di rumah Jean Calas. Lebih lengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Peristiwa Jean Calas, yang pada tahun 1762 Jean Calas dijatuhi hukuman mati, karena di tuduh membunuh anaknya (Mauriac Calas) yang kedapatan mati di rumah Jean Calas (ayahnya). Dalam persidangan Jean Calas menyangkal telah membunuh anaknya, karena anakkannya itu mati di sebabkan oleh bunuh diri (gantung diri). Namun, Jean Calas tetap dinyatakan bersalah telah membunuh anaknya, sehingga dijatuhi hukum mati. Pada masa itu, hukum pidana belum di kodifikasi, sehingga dalam praktik peradilan terjadi ketidakpastian hukum (recht onzekerheid). Apa sebabnya? Karena dalam peraturan di tentukan atas kehendak penguasa dan selasar dengan raja, sehingga rakyat tidak tahu secara pasti mana perbuatan yang di larang, mana yang tidak serta apa jenis atau ancaman pidananya. Semua ketentuan dan jalannya peradilan semata-mata di tentukan oleh penguasa. Masyarakat meyakini kebenaran pembelaan Jean Calas tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat perancis. Dengan dipelopori oleh Voltaire, maka masyarakat menuntut untuk diadakan ya peradilan ulang, dan akhirnya disetujui oleh penguasa prancis, dan ternyata dalam pemeriksaan ulang tersebut, pembelaan Jean Calas memang benar, dan anaknya memang mati karena bunuh diri. Tatapi Jean Calas telah di hukum mati yaitu dengan di pancung lehernya.3
Sebagai respons, kasus tersebut, kemudian Cesare Beccaria menerbitkan Buku yang berjudul: "Dei Delliti e Delle Pene" (Kejahatan dan Hukuman). Dengan tegas menyatakan bahwa: "Hukum Pidana harus diatur dengan Undang-Undang, yang harus tertulis. Sehingga hak-hak warga masyarakat dapat dijamin, dan dapat mengetahui perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan yang diharuskan".4 Dengan adanya peristiwa Jean Calas serta pengaruh pemikiran dari Cesare Beccaria, puncak ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kekuasaan raja yang absolut di Perancis menemui momentum nya, sehingga melahirkan "Revolusi
3 Tri Andrisman,. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar Lampung. 2007. h. 7
4 Ibid.
Perancis", yang sukses menggulingkan rezim absolut pada tahun 1789. Maksudnya, Revolusi Perancis di atas mencapai puncaknya dalam masa pemerintahan Napoleon Bonaparte, karena segala peraturan hukum yang mengatur masyarakat dituangkan dalam bentuk perundang-undangan secara tertulis (kodifikasi).5 Misalnya: Code de Commerce (1803); Code Civil (1804); Code de Procedure Civil (1807); Code d'Instruction Criminelle (1808); dan Code Penal (1810).6
Khusus untuk Hukum Pidana sebenarnya Code Penal telah dibuat sejak tahun 1791. Namun, karena dibuat benar-benar untuk melindungi masyarakat dari kekuasaan negara, sehingga ketentuan-ketentuannya bersifat rigid/kaku, tidak mengenal perkecualian dalam pemidanaan. Misalnya: Orang gila melakukan tindak pidana, tetap harus dipidana, melakukan tindak pidana dalam keadaan darurat tetap harus dipidana, dan sebagainya.7
Bertolak dari penjelasan di atas, beberapa ahli merumuskan karakteristik aliran klasik sebagai berikut:
(a) Definisi hukum dari kejahatan;
(b) Pidana harus sesuai dengan kejahatannya;
(c) Doktrin kebebasan berkehendak;
(d) Pidana mati untuk beberapa tindak pidana;
(e) Tidak ada riset empiris;
(f) Pidana yang ditentukan secara pasti.8
5 Kodifikasi adalah menghimpun segala aturan hukum dari bahan hukum tertentu, yang disusun secara sistematis, lengkap, dan tuntas. Lihat Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung 1986. h. 53.
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Benard L. Tanya, Teori Hukum, Genta Publishing, Jakarta, 2010, h. 171.
Senada dengan rumusan karakteristik aliran klasik tersebut, diatas, Muladi dan Arief juga merumuskannya sebagai berikut:
(a) Legal Definition Of Crime, hal ini merupakan penggambaran dari pada jenis-jenis perilaku tertentu yang kemudian dianggap oleh pembuatan undang-undang sebagai tindak pidana.
(b) Let The Punishment Fit The Crime, hal ini sering disebut sebagai kontribusi utama opera sarjana yang menganut aliran ini. Yakni, Casare Baccaria yang pada tahun 1794 menulis sebuah karya yang terkenal Del Delitti e Delle Pane (On Crime and Punishment).
(c) Doctrine Of Free Will, doktrin ini meragukan bahwa landasan perilaku manusia itu adalah yang di sebut hendonism. Dimana manusia bebas melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kesenangan bagi mereka dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang dapat menyusahkan mereka.
(d) Death Penalty For Some Offenses, hal ini mengenai tindak pidana mati untuk beberapa tindak pidana hal ini tidak bersifat mutlak, karena Beccarai sendiri sebagai pelopor aliran ini menolak pidana mati ini karena adanya beberapa bulan.
(e) Anecdotal Methode - No Empirical Research, hal ini sejalan dengan pandangan hendonistik. Sehingga hukum harus di rumuskan secara jelas dan tertutup bagi interpretasi hakim.9
2. Aliran Modern
Selain itu, secara prinsip aliran modern memandang tujuan hukum pidana melindungi masyarakat dari kejahatan atau memberantas kejahatan, kemudian aliran ini bisa di katan sebagai aliran positif. Maksudnya, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis yang terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatan. 10
9 Ibid, h. 61-62.
10 Titik Suharti, Tujuan Pemidanaan Dalam Undang-Undang Pornografi, PERSPEKTIF Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April. h. 131.
Selain Pendapat Titik Suharti diatas, Eddy O.S Hiariej juga mengatakan Tujuan hukum pidana menurut aliran modern adalah melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada prostulat le salut du people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.
Aliran modern menekankan atau berorientasi pada pelaku.11
Bertolak dari uraian yang ada di atas, dalam aliran modern berpijak pada tiga pijakan, yaitu:
1. Memerangi Kejahatan.
2. Memperhatikan Disiplin Ilmu Lain, yaitu bahwa dalam melindungi masyarakat dari tindak kejahatan diperlukan disiplin ilmu lain seperti kriminologi, psikologi, dan lainnya. Tidak hanya ilmu hukum pidana saja.
3. Ultimum Remedium, yaitu bahwa hukum pidana merupakan sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Atau dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan jalan terakhir yang digunakan apabila sarana penegak hukum lain tidak berfungsi.12
Selain berpijak pada tiga tiang, aliran modern memiliki ciri-ciri sendiri sebagaimana berikut:
1. Menolak definisi hukum dari kejahatan (rejected legal definition of crime); pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana (let the punishment fit the criminal);
2. Doktrin determinisme (doctrine of determinisme);
3. Penghapusan pidana mati (abolition of the death penalty);
4. Riset empiris (empirical research; use of the inductive method);
5. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti (indeterminate sentence).13 Selain itu juga dalam aliran modern ini terdapat karakteristik dan ciri-ciri utama dalam aliran modern ini adalah:
11 hukumbelajar.blogspot.com/2015/03/memahami-tujuan-hukum-pidana.html, diakses: 27 Januari 2021, Pukul 12:34 daftar pustaka, Eddy O.S. Hiariej. Prinsip- Prinsip Hukum Pidana.
Yogyakarta 2014: Cahaya Atma Pustaka.
12 Ibid.
13 Muladi , 1985 op.cit, h.43.
1. Pandangannya didasarkan pada paham Determinisme yang artinya manusia-manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Oleh karenanya, situasi lah, baik internal (moral dan personal) maupun eksternal (lingkungan) yang mendorong seseorang menjadi penjahat atau melakukan kejahatan. Dengan paham determinisme, aliran ini memandang pidana bukan sebagai pembalasan, melainkan sebagai tindakan untuk melindungi masyarakat. Pertanggung jawaban seseorang tidak didasarkan pada kesalahan subjektif, tetapi didasarkan pada sifat berbahaya pada si-pembuat.
2. Adanya sistem “indeterminase sentence” dalam penetapan pidana.
Undang-undang menetapkan batas minimum dan maksimum pidana, sedangkan mengenai lamanya dan jenis pidana, diserahkan kepada kebijakan hakim. Ini sejalan dengan individualis-asi pidana yang dikehendaki aliran ini, yaitu pidana yang sesuai dengan sifat-sifat dan latar belakang pembuatnya dengan tujuan untuk meresosialisasikan pembuatnya. 14
3. Aliran Neo-Klasik
Lebih lanjut secara teoretis, Aliran Neo-Klasik (Neoclassieke School), dalam aliran Neo-Klasik berkembang selama abad XIX dan mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran ini di nyatakan secara tegas bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum tidak realistis dan bahkan tidak adil. Aliran ini berpangkal dan di pengaruh dalam perkembangannya pada aliran klasik dan aliran modern dalam aliran ini yang di hasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan dan mempertimbangkan kebutuhan adanya individual dari perilaku perbuatan pidana ciri dalam aliran ini yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggung jawaban pidana.
14 Aliran ini menitik beratkan pada pembuat atau orang yang melakukan kejahatan. Oleh karenanya perbuatan tidak dapat hanya dilihat dan diartikan secara abstrak dan yuridis semata, tetapi harus dilihat dan diartikan secara konkrit, bahwa perbuatan seseorang itu di dalam kenyataannya dipengaruhi berbagai faktor, baik psikologis, biologis maupun sosiologis.
Beberapa modifikasi lainnya adalah diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan dan di perkenankan masuknya kesaksian untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pidana.15
Sejalan dengan pendapat di atas ada beberapa ciri-ciri lainnya dalam aliran Neo-Klasik sebagai berikut:
a) Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak yang dapat dipengaruhi oleh patologi;
b) Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan;
c) Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringanan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu seperti penyakit jiwa, usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan;
d) Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.
Selain beberapa ciri-ciri lainnya, dalam aliran Neo-Klasik juga memilki karakteristik aliran neo-klasik (neo-classical school) sebagai berikut:
1. Modifikasi dari “doctrine of free will”, yang dapat di pengaruh oleh patologi, ketidak mampuan, penyakit jiwa, atau keadaan-keadaan lain;
2. Diterimanya berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan baik fiscal maupun lingkungan maupun mental;
3. Modifikasi dari doktrin pertanggung jawaban pidana guna menetapkan peringanan pidana dengan pertanggung jawaban sebagaimana, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya gila, dibawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan;
4. Di perkenankan masuknya kesaksian ahli sembilan (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggung jawaban.16
15Ibid.
16 Ibid.
Maka berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan lebih lanjut Aliran Neo-klasik. Harus dipahami bahwa aliran neo-klasik ini merupakan gabungan dari pandangan dari aliran klasik dan aliran modern.
Sebagai bagian dari hukum pidana material, maka berikut akan penulis kemukakan beberapa unsur-unsur dalam hukum sebagai dasar penilaian suatu tindak pidana.
B. UNSUR-UNSUR PASAL YANG DI DAKWAKAN 1. Permufakatan Jahat
Berdasarkan pengertian delik permufakatan jahat Pasal 88 KUHP sebagai berikut: “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melekukkan kejahatan”17 dari rumusan Pasal 88 KUHP tampak jelas bahwa ada rumusan tentang “Permufakatan Jahat” (samenspanning) apabila: Dua orang atau lebih; Telah sepakat; Akan melakukan kejahatan.
Terkait dengan permufakatan jahat memerlukan setidaknya dua orang, sebab paling sedikit permufakatan jahat itu dilakukan dua orang. Jika hanya satu orang saja, tidak mungkin ada suatu permufakatan, melainkan hanya berupa janji pada diri sendiri semata-mata. Dengan memenuhi syarat hanya cukup dua orang saja akan terjadi suatu permufakatan jahat, tidak perlu tiga orang atau banyak orang dan seterusnya.18
Dengan demikian sudah ada permufakatan jahat jika hal melakukan kejahatan telah diperjanjikan (overeengekomen) oleh dua orang atau lebih. Maka dengan adanya
17 Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (KUHP).
18 Claudio A. Karmite Jurnal Hukum UNSRAT, Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017, h.147.
perjanjian melakukan suatu kejahatan haruslah diantara mereka telah terdapat kata sepakat. Dengan demikian sudah ada permufakatan jahat yang dapat di pidana, sekalipun belum ada perbuatan percobaan, (poging) bahkan belum ada perbuatan persiapan (voorbereiding).19
2. Percobaan
Secara historis, menurut R. Soesilo percobaan yaitu “menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai”.20 Percobaan melakukan tindak pidana berarti pelaku tindak pidana sudah akan melakukan suatu tindak pidana namun karena satu dan lain hal perbuatan tersebut tidak jadi dilakukan atau telah dilakukan namun tidak selesai. Dengan demikian, untuk dikatakan tindak pidana percobaan, maka haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.21
Sesuai dengan argumentasi di atas, dapat dikatakan bahwa percobaan merupakan suatu delik yang tidak memberikan dampak atau akibat terhadap objek yang dituju. Oleh karena itu, tidaklah patut apabila sanksi pidana bagi pelaku percobaan pembunuhan misalnya, disamakan dengan tindak pidana pembunuhan
19 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Eresco, 1967, h. 19.
20 R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bandung. Politeia. 1991. h. 69.
21Ibid.
yang mana sudah mengakibatkan korban meninggal dunia. Itu artinya, tindak pidana percobaan seharusnya, secara umum dijadikan sebagai alasan pengurangan pidana.
Sehingga, percobaan sebagai alasan pengurangan pidana inheren juga dalam tindak pidana percobaan pendanaan terorisme.
3. Pembantuan
Secara historis, Pembantuan (medeplightigheid) merupakan bentuk keempat dari penyertaan (deelneming). Ketentuan pembantuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5622, 5723, dan 6024 KUHP. Pembantuan (medeplightigheid) terjadi ketika dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masing-masing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medaeplichtige).
Menurut Lamintang mengatakan bahwa, arti harfiah dari membantu (medeplichtige) adalah medeschuldig atau turut bersalah. Dalam rumusan Pasal 56 KUHP, membantu/medeplichtige ini disebut “pembantu”. Dalam pembantuan ini terdapat: pelaku/pembuat (hoofd dader) dan pembantu/medeplichtige. Selain itu juga Simons medeplightigheid menegaskan bahwa sebagai berikut:
Onzelfstandige deelneming atau suatu ke turut sertaan yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplightige itu dapat dihukum atau
22 Pasal 56 KUHP, Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
23 Pasal 57 (1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. (2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. (4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau di pelancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
24 Pasal 66: Membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana.
tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni apakah pelakunya telah melakukan tindak pidana atau tidak.25
Sejalan dengan pendapat di atas maksudnya dari Simons adalah:
Bahwa pembantuan ini merupakan penyertaan yang tidak berdiri sendiri, artinya seorang yang membantu ini dapat dipidana atau tidak tergantung kepada kenyataan, apakah pelakunya sendiri telah melakukan tindak pidana atau tidak.
Bentuk pembantuan yang pertama, yaitu sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dapat berwujud bantuan material, moral ataupun intelektual.
Bentuk pembantuan yang kedua, adalah kesengajaan memberikan bantuan untuk mempermudah orang lain melakukan kejahatan.26
Selain itu juga M.v.T. hanya pada pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan (pembantu jenis kedua dalam pasal 56 ayat (2) KUHP) oleh undang-undang diberikan batasan-batasan mengenai cara melakukannya, yakni: 1. Dengan memberikan kesempatan, yaitu memberikan peluang yang sebaik-baiknya dalam hal orang lain untuk melakukan kejahatan; 2. Dengan memberikan sarana, yaitu memberikan suatu alat atau benda yang dapat digunakan untuk mempermudah melakukan kejahatan; 3.
Dengan memberikan keterangan, yaitu menyampaikan ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang dimengerti oleh orang lain, berupa nasihat atau petunjuk dalam hal
25 Lamintang, P.A.F: Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. 2013, h.646.
26 Ibid, Lamintang, h. 646-647.
orang lain melaksanakan kejahatan.27 Sedangkan Pembantuan adalah “sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan”.28 C. PEMBUKTIAN
Secara historis, pada dasarnya pembuktian merupakan titik utama pemeriksaan perkara dalam sidang di pengadilan, karena melalui pembuktian tersebut putusan hakim ditentukan. Oleh karena itu, maka kita perlu memperjelas terlebih dahulu tentang pengertian pembuktian baik secara etimologi maupun secara terminologi.29
Berdasarkan pengertian mengenai pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang artinya dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran atau peristiwa. Namun, secara terminologi pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya dalam persidangan di pengadilan.30
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa: “Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan31.”
27 A. Z. Abidin dan A. Hamzah.. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier. PT Raja Grafindo: Jakarta, 2006. h. 224.
28Ibid.
29 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, LIBERTY, Jakarta, 1988, h. 14.
30 DEPDIKBUD, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h.151.
31 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke-2, Jakarta, Sinar Grafika, 2000. h. 252.
Selain M. Yahya Harahap, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa:
“Pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut32.” Kemudian, Darwan Prinst juga mengatakan bahwa: “Pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa-lah yang bersalah melakukannya, sehingga harus me-pertanggung jawabkan-nya”.33
Selanjutnya, selain Martiman Prodjohamidjojo dan Darwan Prinst, Hari Sasangka dan Lily Rosita berpendapat lain:
“Hukum Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian 34.
Lebih lanjut di pertegas oleh R. Supomo, yang mengatakan bahwa ada dua arti, dalam pembuktian yaitu dalam arti luas dan arti yang terbatas sebagaimana berikut:
Arti yang luas ialah: membenarkan hubungan hukum, yaitu misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
Kemudian, Dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang
32 Martiman Prodjohamidjojo. Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 1984, h.11.
33 Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, h.133.
34 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, h.10.
dikemukakan oleh penggugat itu dibentuk oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan.35
Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang sudah penulis uraikan di atas, maka dapat di ketahui bersama bahwa dalam memutuskan dan pemutusan suatu sidang di pengadilan harus dapat membuktikan kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang di lakukan, selanjutnya penulis akan menguraikan maksud dari teori pembuktian yang secara umum di bawah ini.
Terkait dengan pengertian mengenai pembuktian di atas, maka secara umum terdapat 3 teori pembuktian, yang sebagaimana menurut penulis sebagai berikut:
Pertama, teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie) yaitu teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-alat bukti yang terdapat dalam undang-undang, maksudnya di katakan sebagai pembuktian secara positif, karena jika telah terbukti perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sehingga teori pembuktian ini bisa di sebut juga Formale Bewijstheorie.36
Kedua, teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction Intime) teori ini di dasarkan pada pendapat bahwa pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan kebenaran. Oleh karena itu bagaimanapun di perlukan juga keyakinan hakim. Teori ini mendasarkan pada keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya oleh penuntut umum. Dengan
35 R, Supomo, Kajian Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2002, h. 62- 63.
36 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007, h. 85.
teori ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, sehingga teori ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, akibat hakim sulit di awasi dengan kebebasannya tersebut. Jika teori ini di ikuti oleh para hakim, maka kedudukan terdakwa sangat lemah, karena jika hakim telah mempunyai keyakinan hati nuraninya, maka terdakwa/penasehat hukumnya sulit mengadakan pembelaan.37
Ketiga, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Ia Conviction Rais Onnee) dengan teori ini maka di dalam hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus di dasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan satu kesimpulan (Conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori ini bisa di sebut juga sebagai teori pembuktian bebas, karena dengan teori hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan tentang keyakinannya (Vrije Bewijdtheorie).38
Lebih lanjut dalam teori terakhir ini terbagi juga kedalam dua bagian sebagaimana berikut:
Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Raisonnee): Teori ini berpangkal pada keyakinan hakim yang didasarkan pada Undang-Undang, tetapi menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan di gunakan. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs theori): Teori ini berpangkal tolak dari aturan- aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.39
37 Ibid. h.85-86.
38 Ibid.
39 Ibid. h.86.
Selain itu juga, ada beberapa teori lain mengenai pembuktian juga dijelaskan oleh Waluyadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, yaitu40:
Pertama41, Conviction-in Time, Kedua42, Conviction-Raisonee, Ketiga43, Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke stelsel), Keempat44, Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke stelsel).
Berdasarkan pemaparan sistem dan teori-teori pembuktian yang sudah penulis uraikan satu persatu di atas secara panjang lebar bahwa dapat di tarik kesimpulan sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem pembuktian Undang- Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs Theorie), yaitu dalam pembuktian
40 Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi.
Bandung. Mandar Maju. 2004. h. 39.
41 “Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.”
42 “Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi.
Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas.
Hakim harus mendasarkan putusan-putusan-nya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan juga berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
43 “Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang- undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.”
44 “Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut.”
perkara pidana berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim.45
Maksudnya, dalam sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Pada sistem pembuktian secara negatif diperlukan minimal 2 alat bukti yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan dari 2 alat bukti itulah hakim akan menentukan pertimbangannya. Alat bukti yang sah menurut Undang-Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; e) Keterangan terdakwa.
D. PERTIMBANGAN HAKIM
Terkait dengan peran hakim yang memiliki peran sentral dalam proses penegakan hukum. Mengenai faktor penegakan hukum dalam konteks penegakan hukum sesuai dengan apa yang di katakan Soerjono Soekamto dalam bukunya.
“Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum”.46
Hakim memiliki tugas memberikan putusan bagi masalah-masalah yang terjadi dalam peradilan, demi memberikan keadilan bagi masyarakat.
Pertama, pengertian Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan dimana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dituangkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian. Kedua, teori pertimbangan hakim dasar seorang hakim dalam menetapkan putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, dalam menetapkan putusan-nya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada
45 M. Haryanto, Loc.Cit.
46 Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, CV rajawali, Jakarta, 1983, h. 13.
Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.47
Senada dengan pendapat di atas maka dalam prinsip operasional pertimbangan hakim Ada 3 (tiga) aspek pertimbangan hakim dalam memberikan putusan di peradilan yakni, Aspek Yuridis, Aspek Sosiologis, dan Aspek Filosofis, yang memiliki argumentasinya masing-masing sebagaimana berikut:
Pertama, Aspek Yuridis. Aspek ini merupakan aspek paling utama dan pertama yang bertolak ukur kepada peraturan perundangan yang berlaku. Hakim sebagai aplikator peraturan perundangan wajib memahami peraturan perundangan tersebut dengan cara mencari peraturan perundangan yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Selain peraturan perundangan, menurut Rusli Muhammad, pertimbangan yuridis hakim dalam memberikan putusan juga menyangkut: a) dakwaan jaksa penuntut umum, b) keterangan terdakwa, c) keterangan saksi, dan d) bukti-bukti. Terkait dengan dakwaan adalah dasar hukum acara pidana, karena berdasar itulah di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Hakim hanya mempertimbangkan dakwaan yang telah dibacakan didepan sidang.
Kemudian, menurut Pasal 184 butir e KUHAP, keterangan terdakwa dikategorikan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan apa yang disampaikan oleh terdakwa dalam sidang, mengenai perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui, ataupun dialami sendiri. Keterangan terdakwa sekaligus juga
47http://www.damang.web.id/2011/12/defenisipertimbanganhukum_17.html
merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.
Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Dengan catatan bahwa keterangan yang disampaikan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil putusan.
Barang bukti di sini adalah benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum didepan persidangan, yakni meliputi:
1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; 2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan; 3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 4) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti. Undang- Undang menetapkan 5 (lima) macam, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kedua, Aspek Filosofis. Aspek ini berintikan kepada kebenaran dan keadilan.
Pertimbangan tidak hanya didasarkan kepada teks peraturan-perundangan, namun mampu menangkap semangat atau roh dari latar belakang lahirnya peraturan itu sendiri.
Sedangkan Aspek Ketiga, yaitu Aspek Sosiologis merujuk kepada nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, pertimbangan yang tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Baik Aspek Filosofis dan
Aspek Sosiologis, penerapannya memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang terabaikan. Penerapannya sulit, karena selain tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terkait dengan sistem. Menggunakan ketiga aspek tersebut dalam pertimbangan hakim, diharapkan mampu memenuhi keadilan dan dapat diterima masyarakat.
Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut.
a. Teori keseimbangan Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
b. Teori pendekatan seni dan intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.
c. Teori pendekatan keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati- hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman-Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;
b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana di kemudian hari;
c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya; d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
E. TINDAK PIDANA TEORISME DAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
1. Tindak Pidana Terorisme a. Pengertian
Terkait dengan pengertian dalam tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut:
Secara etimologis, kata “teroris”(pelaku) dan “terorisme” (aksi) berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih membuat gemetar atau menggetarkan.
Kata “teror” juga bisa menimbulkan kengerian.48 Selain itu, kata terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang berasal dari kata “Terror” dan pelakunya disebut “Terrorist”.49 Sedang dalam bahasa Arab terorisme itu diambil dari kata al-irhab adalah bentuk infinitif (masdar) dari kata kerja
48 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, (HAM dan Hukum, Retika Aditama, 2004), h. 22.
49 Simorangkir, J. C. T., Dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika (2002), h.162.
“arhaba-yurhibu-irhaban” artinya: akhafa: menciptakan ketakutan dan fazza’a: membuat kengerian, kegentaran atau keterkejutan.
Kemudian, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan terutama tujuan politik.
Menurut Oxford Paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai
“Extreme fear” (Ketakutan yang luar biasa), “Terrifying person of thing”
(sesorang atau sesuatuyang mengerikan). Sedangkan Terrorism” berarti “use of violence and intimidation, especially for political purpose”. Dan kemudian, dalam Black Lawmendefinisikan terorisme sebagai “the us of threat of violence to intimidate or causepanic, esp as a means of affecting political conduct”.50 Jika dicermati maka definisi terorisme baik yang dijelaskan dalam Black Law Dictionary & Oxford Paperback Dictionary, maupun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memiliki kesimpulan yang sama, bahwa yang dikatakan terorisme itu adalah tindakan dengan kekerasan sehingga menimbulkan kepanikan atau ketakutan untuk mencapai tujuantertentu.51
Berdasarkan pendapat penulis di atas, terkait dengan usaha mengenai perbedaan antara teror dan terorisme, dapat jelaskan bahwa “teror” merupakan bentuk pemikiran, sedangkan “terorisme” adalah aksi atau tindakan teror yang terorganisir sedemikian rupa. Maka penulis menarik point penting di sini adalah teror bisa terjadi tanpa adanya terorisme, karena teror adalah unsur asli yang melekat pada terorisme.
Secara terminologi, terorisme dapat dipisahkan menjadi tiga suku kata yang memiliki makna berbeda antara satu sama lain. Kata dasar terorisme adalah teror, dalam bahasa Inggris disebut dengan kata terror, yakni keganasan, kekalutan yang disebabkan oleh beberapa orang/golongan yang melakukan tindakan-tindakan biadab.52 Dalam kamus lain disebutkan bahwa teror adalah perbuatan, pemerintahan dan sebagainya yang sewenang-wenang, bengis dan
50 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012. h.
39.
51 Hariman Satria, Anatomi Hukum Pidana Khusus, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2014, h.
100.
52 Ibid.
sebagainya.53 Kata yang kedua adalah teroris, dalam bahasa Inggris disebut dengan kata terrorist yang berartiorang yang melakukan terorisme. Sedangkan kata yang ketiga adalah terorisme yang berarti penggunaan kekerasan, kebiadaban, keganasan yang dilakukan olehorang, atau golongan orang untuk menimbulkan ketakutan orang lain demi mencapai tujuan, misalnya, tujuan politik.54
Berdasarkan etimologis dan terminologi diatas, maka secara the facto masih menjadi perdebatan dan hingga kini belum ada definisi yang di terima secara universal. Meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan menurut kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya, maka dengan ini dikaji lebih mendalam dan lebih meluas yang di kemukakan menurut para ahli-ahli (pakar), hukum internasional (secara universal dan lembaga-lembaga universal), dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif).
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme
Setelah menjelaskan pengertian tindak pidana terorisme di atas maka dalam unsur-unsur tindak pidana terorisme ini diambil dari pengertian terorisme yang diatur dalam Pasal 1 ketentuan Umum UU Tindak Pidana Terorisme yang nampak dalam angkat (1) sebagaimana berikut: Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
53 Ali Masyhar. Gaya Indonesia Menghadang Terorisme. Bandung 2009: Mandar Maju, h.561.
54 Andi Hamzah. Memburu Dana Teroris. Jakarta 2009: CMB Press, h.161-162.
2. Tindak Pidana Pendanaan Terorisme a. Pengertian
Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya tentang terorisme yaitu, terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam kedaulatan setiap negara, maka negara wajib untuk melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana terorisme dan aktivitas siapa pun yang mendukung terorisme.
Pendanaan terorisme adalah penyediaan dukungan keuangan untuk terorisme baik bagi yang memfasilitasi, merencanakan atau melakukan terorisme. Dimana sumber pendanaan terorisme tersebut bisa berasal dari hasil kejahatan (proceeds of crime)maupun kegiatan yang sah. Para teroris mulai masuk dalam sektor perbankan denganmenggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas asli dan tujuan penggunaan dana dalam rekening. Cara yang dianggap tepat dalam mengatasi masuknya teroris dalam sistem perbankan ialah dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan harta teroris, seperti yang telah tercantum dalam special recommendation FATF.
Pendanaan terorisme (the .financing of terrorism) menurut United Nations International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 adalah sebagai berikut:
Funds mean assets of every kind, whether tangible or intangible, movable or immovable, however acquired, and legal documents orinstruments in any form, including electronic or digital, evidencing title to, or interest in, such assets, including, but not limited to, bank credits, travellers cheques, money orders, shares, securities, bonds,drafts, letter ofcredit. (Article 1 paragraph 1).55
55 H. M. Abdi Koro, Pendanaan Terorisme di Peroleh dari Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering) Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.4 Oktober-Desember 2011, h.627.
Sedangkan menurut Golose dalam definisi pendanaan terorisme, secara implisit terkandung unsur “aliran dana masuk (input)” dan “pemanfaatan dana (output)”.
Selain itu juga dengan Golose, DR. Yunus Husein, mengemukakan pendapatnya tentang pendanaan terorisme antara lain meliputi:
1) Rekening dibuka atas nama pelajar atau tanpa pekerjaan yang jelas yang memiliki pola transaksi di luar profil;2) Beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki alamat yang sama. 3) Rekening dormant (jika dalam suatu rekening tidak ada mutasi baik penarikan atau penyetoran selama 6 (enam) bulan berturut-turut) yang aktif kembali dengan adanya incoming transfer dengan nilai yang relatif besar yang kemudian ditariktunai atau transfer dalam beberapa kali transaksi; 4) Dana yang ditarik segera setelah terdapat setoran (transaksi pass-by), penarikan tunai lewat ATM dengan nilai relatif kecil namun sering, hingga nilai saldo minimal. 5) Peningkatan aktivitas transaksi setelah terjadinya aksi terror, diduga dana digunakan untuk membantu proses kaburnya pelaku; 6) Underlying transaction berupa donasi (ke/dari yayasan, organisasi amal, LSM), hasil penjualan buku, investasi usaha, biaya hidup untuk anggota keluarga;7) Beberapa wire transfer ke beneficiary yang sama.56 Terkait pendapat di atas, dalam pendanaan terorisme ini pengelompokan dalam hal tipe atau jenis penyediaan dana dalam sektor perbankan dengan menggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas asli dan tujuan penggunaan dana dalam rekening yang cara mengatasinya yaitu dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan harta teroris.
Berdasarkan definisi-definisi mengenai pencegahan dan pendanaan tindak pidana terorisme di atas, menurut penulis dapat di ambil point penting bahwa dalam menangani tindak pidana terorisme yang sebagaimana di mulai dari pencegahan, tindak cukup tetapi harus di pahami bahwa unsur pendanaan merupakan satu faktor
56 Yunus Husein, Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta 9 Februari 2011, ditjenpp.kemenkuham.go.id, (diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 18.00 WITA).
utama dalam setiap aksi terorisme dan misi dalam memutus mata rantai pendanaan terealisasi dengan baik.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Sesuai dengan pengertian dalam tindak pidana pendanaan terorisme di atas, maka dapat di temukan unsur-unsurnya sebagaimana berikut: Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.