BAB II
TATA WILAYAH KERATON SURAKARTA
A. Sejarah Singkat Keraton Surakarta
Pada pertengahan abad 16, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhannya.
Runtuhnya Majapahit ditandai dengan terjadinya disintegrasi wilayah dan diikuti dengan munculnya dinasti baru, yaitu kerajaan Islam-Demak. Majapahit yang telah berkuasa di sebagian besar belahan nusantara, akhirnya tidak mampu mempertahankan eksistensinya di bawah pimpinan Prabu Brawijaya, Demak kemudian menjadi penguasa di Jawa selepas Majapahit. Namun selepas pemerintahan Raden Patah, Demakpun tak bisa menghindari berbagai konflik internal yang menjadikannya tidak stabil. Konflik kekuasaanpun menjadi salah satu penyebab mengeroposnya kekuasaan Demak di Jawa, terutama setelah memasuki abad 17-an yaitu abad yang berkenaan dengan ekspansionisme Eropa di bumi Nusantara.1
Meskipun Mataram pernah mengalami kejayaannya, terutama ketika dipimpin oleh Sultan Agung yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alaga Ngabdur Rachman, dan mampu mengembangkan kekuasaan Mataram hingga meliputi seluruh wilayah pantai utara -yang terbentang dari Kerawang (di Barat) sampai Pasuruan (di Timur)-, Mataram tidak bisa dilepaskan dari pasang surut
1 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Ilham Bangun Karya, 1999), hlm. 8.
20 commit to user
kekuasaan. Mulai dari berpindahnya pusat kekuasaan, intervensi kaum kolonial, perang sesama kerajaan di Jawa hingga konflik internal antar sesama bangsawan Mataram. Perpindahan pusat kekuasaan dari Kraton Karta ke Pleret, pada masa kepemimpinan Amangkurat I. Kemudian pada kepemimpinan Sunan Amangkutrat II berpindah lagi dari Pleret ke Wanakerta, yang letaknya di daerah Pajang dan kelak berganti nama menjadi Kartasura Hadiningrat. Lalu yang terakhir, pada masa kepemimpinan Susuhunan Paku Buwana II (1727-1749) Mataram pun memindahkan untuk kesekian kalinya pusat kekuasaan dari Kartasura ke Surakarta di daerah Sala, yang disebabkan karena kehancuran keraton Kartasura akibat terjadinya pemberontakan yang dipimpim oleh Sunan Kuning dan etnis china yang dibantu juga dengan kaum pribumi yang menentang kolonialisasi Belanda.
Kekuasaan Mataram tidak lepas dari berbagai intervensi kaum kolonial.
Karena pada saat kekuasaan Mataram tegak di Jawa, kekuatan kaum kolonial dengan VOC-nya juga mulai merambah ke berbagai pedalaman pulau Jawa.
Keterlibatan VOC dalam urusan intern kerajaan Mataram dimulai sejak masa pemerintahan Amangkurat II Ahmad Ramdhon (1677-1703), yang sedang menghadapi peperangan dengan sesama kerajaan tradisional di Jawa yaitu Trunajaya dari Madura.
Kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan membuat Mataram mulai membuka diri dengan pihak asing dan itu berkonsekuensi pada perkembangan kekuasaan di kemudian hari yang senantiasa dibayang-bayangi oleh berbagai kepentingan kaum kolonial. Ketika terjadi konflik internal dalam tubuh kekuasaan commit to user
di Mataram, yang melibatkan sesama bangsawan Keraton, kaum kolonial menjadi salah satu kekuatan yang dijadikan aliansi (gabungan kekuatan) dalam kerangka kepentingan akan kekuasaan. Seperti apa yang terjadi pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II, yang melibatkan dua saudara Sunan Paku Buwana II yaitu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang kemudian menjadi raja di kadipaten Mangkunegaran atau ketika kekuasaan dihadapkan konflik dari dalam wilayah kekuasaannya, semisal ketika terjadi Geger Pecinan yang melibatkan etnis Cina yang mendapat banyak dukungan dari elit pribumi untuk memberontak melawan kekuasaan Mataram dan kaum kolonial, pada akhirnya menjadikan kaum kolonial semakin kuat pengaruhnya di Mataram karena mampu meredam konflik ini lewat peperangan yang dimenangkan oleh mereka. Salah satu dampak dari konflik yang terakhir ini adalah perpindahan pusat kerajaan Mataram dari Kartasura ke Surakarta, karena pusat kerajaan Mataram yang terletak di Kartasura mengalami kerusakan yang berat selepas penyelesaian konflik tersebut.2
Sala dahulunya merupakan desa kecil yang dipimpin oleh Ki Gedhe Sala I, kemudian diturunkan kepada Ki Gedhe Sala II setelah Ki Gedhe Sala I meninggal dunia. hingga akhirnya sampai Ki Gedhe Sala III. Dusun Sala sudah ada sejak jaman kerajaan Pajang, dan dusun Sala terletak di sebelah timur kerajaan Pajang dan Kerajaan Kartasura.
Karena dampak dari terjadinya pemberontakan etnis china, Kanjeng Sunan Paku Buwono II mengutus Mayor Hagendorp, Adipati Pringgalaya, Adipati Sindurejo, Kyai Tumenggung Hanggawangsa, Raden Tumenggung Mangkuyuda,
2 Radjiman., Sejarah Surakarta, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1998), hlm. 4-5.
commit to user
Raden Tumenggung Puspayudha untuk mencari lokasi pengganti Keraton yang baru, karena menurut filosofi bila Keraton sedah porak poranda tidak cocok lagi untuk dibangun dan ditempat tinggali Raja lagi, karena akan berakibat Keraton tersebut sudah tidak memiliki aura kekuasaan lagi.
Berdasarkan saran dari para utusan Sunan Pakubuwono II tadi, Keraton dipindahkan ke dusun Sala. Dengan cara menyelesaikan segala syaratnya dahulu dengan sesepuh Dusun Sala, yaitu Ki Gedhe Sala dengan cara mengganti rugi tanah milik rakyat yang ada di Dusun Sala dan dipindahkan ke lokasi yang di tunjuk keraton. Setelah segalanya selesai, maka perintah Suanan Paku Buwana II pada tahun 1745 dilaksanakan perpindahan Kraton dari Kartasuro ke Sala, dan resmilah berdiri kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.3
Perpindahan pusat kekuasaan Mataram dan memilih desa Sala dengan pertimbangan sebagai berikut: pertama, desa Sala terletak di dekat pertemuan dua sungai yaitu sungai Pepe dan sungai Bengawan. Di samping punya makna magis, sungai juga memberikan manfaat dalam kerangka kepentingan ekonomi, sosial, politik dan militer. Kedua, dengan alasan praktis bahwa daerah Sala telah menjadi tempat hunian bagi masyarakat umum dan daerah-daerah sekitar Sala telah menjadi bagian yang dikembangkan oleh kekuasaan di Kartasura. Kemudian yang ketiga, yaitu keterkaitan dengan berbagai kepentingan Kraton sendiri dengan pihak kolonial untuk memilih desa Sala sebagai pusat pemerintahan, seperti mudahnya jalur transportasi baik dalam kepentingan ekonomi ataupun militer.4
3 Ibid.,
4 Darsiti Soeratman., Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Taman Siswa, 2000), hlm. 66-79.
commit to user
Pada akhir 1745 Sunan Paku Buwana II mulai mempersiapkann prosesi perpindahan kraton yang berjarak kurang lebih 10 km dari kraton yang lama.
Namun baru pada tanggal 17 Februari 1746 Sunan paku Buwana II dapat menempati keratonnya yang baru di Sala, setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan dari Gubernur Jenderal William van Imkoff di Batavia (Jakarta), tertanggal 27 Juli 1745.
Setelah Keraton Kasunanan Surakarta resmi berdiri, permasalahan tentang pemberontakan tidak langsung berhenti dengan terjadinya geger pecinan.
Pemberontakan terus saja terjadi, salah satunya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said atau yang dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa. Kedua Pangeran tersebut melakukan pemberontakan terhadap Keraton karena tidak puas dengan pemerintahan Paku Buwono, selain itu Pangeran Mangkubumi tidak puas dengan pengurangan tanah bengkoknya dan pihak Keraton yang semakin berpihak kepada Belanda, maka Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan dengan melawan terhadap Paku Buwono hingga akhirnya adanya perjanjian Giyanti yang tertanggal 13 Februari 1755 dengan isi membagi mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Sinuhun Paku Buwono dan Kasultanan Ngayogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono.
Setelah Mataram terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Nagayogyakarta. Dinasti Mataram terpecah lagi menjadi dua. Dengan adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said atau yang lebih kenal dengan nama Pangeran Samber Nyawa. commit to user
Pemberontakan Raden Mas Said meminta tanah pembagian lagi dan adanya ketidak cocokan dengan Pangeran Mangkubumi dan Sinuhun Paku Buwono. Setelah adanya pemberontakan dan pepereangan yang tidak ada habisnya, akhirnya memaksa Sunan Paku Buwono dan Raden Mas Said melakukan perundingan yang ditengahi oleh Belanda yang diadakan di Salatiga, dan menghasilkan perjanjian Salatiga yang membagi daerah Surakarta menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Berdasarkan namanya Kadipaten Mangkunegaran, Mangkunegaran mempunyai syarat untuk mengangkat seorang raja dan sistem dalam kadipatennya. Raja Mangkunegaran berada dibawah Kasunanan Surakarta, dalam setiap pengangkatan raja harus mendapat persetujuan dari Kanjeng Sinuhun Paku Buwono dan Residen Belanda dahulu, selain itu Mangkunegaran tidak diperbolehkan memiliki alun-alun seperti yang ada di dalam Keraton Surakarta Hadiningrat.
B. Asal Usul Nama Surakarta
Setelah desa Sala di bangun pusat kerajaan yang menggantikan keraton Kartasura yang rusak, nama dari desa Sala sendiri diganti oleh Sinuhun Paku Buwono II menjadi Surakarta Hadiningrat. Dan nama Surakarta Hadiningrat dipakai untuk nama Keraton dan tempat tinggal Sinuhun Paku Buwono II yang baru.
Menurut ahli filologi dari Belanda, J. Brandes, nama Surakarta merupakan nama varian atau nama alias dari Jakarta yang pada waktu dulu disebut dengan commit to user
nama Jayakarta. Nama Surakarta sendiri berasal dari gabungan kata Sura dan Karta, Nama Sura yang berarti berani dan Karta yang mempunyai arti sejahtera.5 Penggunaan nama Surakarta Hadiningrat dimaksudkan sebagai retisi atau imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta. Sebab pada waktu itu Sinuhun Paku Buwono II mengharapkan pusat kerajaannya yang baru setara dengan Jayakarta (Batavia) yang berkembang dengan sangat pesat pada bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaannya terutama pada saat Belanda yang pada itu diwakili oleh VOC yang menjadikan Jayakarta atau Batavia menjadi pusat pemerintahan.6
Nama Sala sendiri sudah tidak lagi dipakai oleh Sinuhun Paku Buwono II, karena menurut kepercayaan rakyat, yang konon kata Sala berasal dari perkataan desa dan ala. Jadi nama Sala dapat menunjukkan keadaan yang tidak baik dan dapat menunjukkan ketidak beruntungan. Selain penyebab ketidak beruntungan atau desa dan ala, nama Surakarta sendiri tidak berbeda dengan nama Salakarta yang disebut dalam Serat Salasilah Para leluhur ing Kadanurejan Yogya dan Babad Mataram Salakarta. Dari serat dan babad, nama asli dari keraton yang baru dan kediaman Susuhunan Paku Buwono II adalah Salakarta dan pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono III nama Salakarta diganti dengan nama Surakarta.7
5 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., loc.cit.
6 S. Yadi., “Ingkang Wicaksana Sunan Paku Buwono X”, dalam Suara Merdeka, pada tanggal 28 Februari 1983.
7 Darsiti Soeratman., Op. Cit, hlm. 1.
commit to user
C. Masa Swapraja
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Kanjeng Susuhunan Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI.
Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah- tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan komunis.
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan Paku Buwono. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak commit to user
otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.8
Setelah sekian lama eksistensi kraton tegak, kini keberadaannya masuk dalam bagian dari Pemerintah Daerah Surakarta. Perubahan itu melalui proses panjang, berkaitan dengan perkembangan politik nasional yang melalui tahap- tahap penjajahan dari Belanda, Jepang dan memasuki masa-masa Kemerdekaan.
Berbagai bentuk perubahan konsep pengembangan melanda kota ini, hingga akhirnya diberlakukan Undang-Undang No.18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah hingga sekarang (Pemerintah Kota dengan UU No. 22 tahun 1999). Dengan menempatkan kota Surakarta sebagai pusat wilayah dari kota Surakarta secara keseluruhan dan menempatkan Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali dan Wonogiri sebagai bagian dalam wilayah Pemerintahan Daerah Surakarta.
D. Kondisi Geografis dan demografi Surakarta
Luas ibukota kerajaan Suarakarta (kota Sala) adalah 24 kilometer persegi dengan ukuran 6 kilometer, membentang dari arah barat ke tmur, dan 4 kilometer
8 www/http:google.blog. History Surakarta. Com, diunggah tanggal 20 February 2013. Jam 13.45 WIB
commit to user
dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di tanah dataran rendah ditepi sebelah barat Sungai Bengawan Sala, dan berada diantara gunung Lawu, gunung Merapi dan gunung Merbabu. Menurut astronomi, kota Surakarta terletak pada 704’0”
Lintang Utara --8010’0 Lintang Selatan dan 110027’0” Bujur Barat -- 111020’0”
Bujur Timur. Suhu udara di kota Surakarta berkisar antara 220C sampai 320C, dan tinggi tanah di kota + (lebih kurang) 92 meter di atas permukaan laut. 9
Secara administratif, Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang, dan Madiun. Selain berbatasan dengan karesidenan lain, Karesidenan Surakarta memiliki batas alam, antara lain di sebelah barat Gunung Merapi yang memiliki ketinggian 2.875 m dan Gunung Merbabu yang memiliki tinggi 3.145 m, sebelah timur berbatasan dengan Gunung Lawu yang memilki 326 m, sebelah utara Gunung Kendeng. Dataran rendah Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang merupakan dataran rendah dari Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Lawu merupakan dataran rendah yang kaya dengan sedimen vulkanis. Sungai opak yang megalir dari lereng Gunung Merapi ke selatan menjadi batas antara Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Yogyakarta. Selain itu, Sungai Dengkeng yang menyatu dengan Bengawan Solo yang mata airnya berasal dari distrik Sembuyan, dengan nama sungai Penambangan. Di lereng barat Gunung Lawu mengalir sungai Samin, Colo, Wingko dan Jenes yang mengalir kedataran rendah Karanganyar dan membentuk daerah persawahan yang subur.10
9 Ibid., hlm. 1.
10 Suhartono., Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 23.
commit to user
Dikota Surakarta dikelilingi oleh Sungai-sungai dan daerah dataran rendah yang subur, merupakan daerah yang cocok untuk perdagangan. Kota Surakarta mendapatkan barang koomoditi dari distrik-distrik yang ada disekitarnya dan merupakan daerah yang banyak terdapat sungai yang cocok untuk jalur transportasi perdagangan.
Adapun luas wilayah kerajaan Surakarta (sekarang eks Karisidenan Surakarta) seluruhnya adalah 6.215 kilometer persegi. Separuh daerah itu adalah milik kasunanan, sedang separuh lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Pada tahun 1838 penduduk Surakarta berjumlah 358.230 orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi 2.049.547 orang. 11 Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogen, artinya masing-masing etnik terkumpul dan menempati darah-daerah tertentu secara terpisah dengan etnik lainnya. Beberapa etnik yang mendiami di seputar wilayah ibukota kerajaan, yaitu Jawa yang jumlahnya paling besar, kemudian Cina, Arab, dan Eropa.
E. Tata Wilayah Keraton Surakarta Hadiningrat
Dalam pembangunan Keraton Surakarta yang dilakukan oleh Sinuhun Paku Buwono II sampai Sinuhun Paku Buwono X menggunakan konsep konsentris (empat lingkaran) kerajaan Jawa dan juga sebagai dasar pembagian Keraton. Lingkaran yang pertama, kedhaton dan sekitarnya yang dikeliling oleh tembok besar yang pertama. Lingkaran yang kedua, Baluwarti yang berada
11 Radjiman., Sejarah Surakarta Tinjauan Politik dan Sosial, (Surakarta:
UNS, 1993), hal 92.
commit to user
diantara dua Benteng. Ketiga adalah Paseban yang terletak dihalaman luar pintu masuk atau yang disebut dengan kori Brajanala. Yang keempat adalah alun-alun yang berada di depan paseban.12
Lingkaran pertama : Kedhaton, merupakan daerah yang dianggap paling keramat. Karena didalamnya terdapat Prabasuyasa, yaitu bangunan dalem ageng tempat penyimpanan tanda-tanda kebesaran kerajaan, Prabasuyasa terletak dibelakang sasana sewaka. Didalam prabuyasa terdapat empat buah kamar pribadi raja beserta krobongannya (ranjang kebesaran raja), salah satunya digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka kerajaan. Selain digunakan untuk ruang pibadi raja juga digunakan sebagai prabusana, yaitu tempat untuk menghadap putera raja.13 Dihalaman seputar kedhaton terdapat bangunan yang berbagai macam-macam bentuknya, antara lain:
a. Di pusat istana terdapat Prabasuyasa, Sasana parasdya, Sasana Sewaka, Sasana handrawina, Paningrat, Maligi. Sasana parasdya, digunakan sebagai tempat duduk untuk raja dalam menyaksikan pertunjukan wayang kulit.
Sasana sewaka sebutan bagi pendhapa yang digunakan oleh Raja pada saat berhadapan dengan abdi dalem mlebet. Di bagian paling depan terdapat teras yang disebut dengan paningrat. Selain tempat pribadi raja terdapat tempat yang digunakan untuk khitan anak raja, yang disebut dengan nama maligi.
b. Disebelah timur halaman istana terdapat Bangsal bujana yang berfungsi untuk menjamu para pengiring tamu kerajaan. Bangsal pradangga kidul
12 Darsiti Soeratman., Op. Cit., hlm. 25-26.
13 Wawancara dengan Gusti Puger pengageng sasana wilopo, tanggal 7 Maret 2013
commit to user
digunakan untuk tempat gamelan yang dimainkan pada saat keraton mempunyai hajatan. Bangsal pradangga lor yang digunakan untuk tempat menyimpan alat-alat musik atau orchestra.
c. Sasana Prabu yang digunakan sebagai kantor kerja raja.
d. Bangunan-bangunan yang mengelilingi istana, antara lain Sasana Wilapa (kantor sekretariat), panti wardaya (kantor perbendaharaan), rekisa handana (kantor kas keraton), bale kretarta (kantor perlengkapan).
e. Panggung Sanggabuwana yaitu bangunan menara persegi delapan yang menurut cerita rakyat digunakan untuk pertemuan raja dengan Kenjeng Ratu Selatan.14
Lingkaran kedua : merupakan komplek bangunan Baluwarti. Nama Baluwarti diambil dari kata Baluwarte yang diambil dari bahasa Portugis yang berarti benteng. Baluwarti terletak di luar tembok kedhaton. Komplek Baluwarti merupakan rumah tinggal para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dhalem.
Rumah-rumah tempat tinggal yang barada didalam komplek Baluwarti tersebut dapat diketahui status sosial penghuninya dari arsitektur bangunan dan perlengkapannya. Tipe-tipe rumah didalam komplek baluwarti dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama bentuk rumah joglo dengan pendhapa, paringgitan, dalem, dan deretan rumah-rumah yang berada diantara bangunan utama. Kelompok kedua rumah jawa berbentuk limasan. Dan kelompok ketiga
14 Wawancara dengan Gusti Puger pengageng sasana wilopo, tanggal 7 maret 2013.
commit to user
merupakan rumah kampung yang paling sederhana yang diperuntukkan untuk para abdi dhalem keraton. 15
Lingkaran ketiga : merupakan paseban. Terletak disebelah utara halaman kamandhungan. Ada dua tempat yang ada di paseban, yaitu sasana sumewa dan tatag rambat (sekarang menjadi pagelaran) yang merupakan sebuah bangsal yang luas, beratap anyaman bambu atau gedheg dan beralaskan pasir, digunakan sebagai tempat patih, abdi dhalem bupati, dan abdi dhalem yang lain pada saat menghadap raja.
Lingkaran keempat : merupakan alun-alun. Alun-alun merupakan lapangan yang besar, ada dua buah alun-alun di keraton Surakarta, yaitu alun-alun lor (utara) dan alun-alun kidul (selatan). Alun-alun utara merupakan halaman depan dari keraton Surakarta yang memiliki luas 300 meter2, di depan pintu masuk alun-alun utara terdapat dua patung raksasa, Cingkrabala dan Balaupata yang juga dikenal dengan penjaga pintu masuk khayangan.16 Sebagai pasangan dari alun-alun utara (lor) adalah alun-alun selatan (kidul) yang berperan sebagai alun-alun pengkeran (belakang), terlatak didalam ruang lingkup tembok keraton.
Alun-alun selatan dalam segala hal keadaannya lebih sederhana bila dibandingkan dengan alun-alun utara.
Selain keempat lingkaran tersebut, ada juga sebuah masjid Agung yang dibuat di sebelah barat dari alun-alun utara dan adanya pasar yang terletak di
15 Ibid, hal. 36.
16 Danys Lombard., Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama,1996), hlm. 108.
commit to user
sebelah barat dari pagelaran keraton. Menurut konsep konsentris Masjid Agung dan pasar terletak di luar komplek Keraton, Karena diperuntukkan untuk masyarakat umum.
Selain daerah yang berada di dalam lingkungan keraton yang disebut juga dengan nama istana atau ada yang menyebut dengan sebutan negara. Karena di dalamnya merupakan tempat kediaman raja yang menurut kebudayaan Jawa merupakan sumber satu-satunya dari segenap kekuatan dan kekuasaan. Selain tempat tinggal raja, didalam lingkungan istana juga dihuni keluarga raja beserta bangunan-bangunan tempat pangeran dan bangsawan bekerja.17
Keliling istana atau keraton adalah ibukota yang disebut kutanegara atau kutagara. Didaerah Kutagara tersebut ditinggali kaum bangsawan dan priyayi yang mempunyai stratifikasi sosial tingkat tinggi.18
Daerah yang melingkari Kutagara disebut negara agung (disingkat negaragung). Secara administrative negaragung terdiri dari wilayah-wilayah desa yang dibagi-bagi kepada para patuh keluarga raja dan para pegawai sebagai tanah lungguh (apanage).
Daerah yang selanjutnya adalah daerah mancanegara (negeri atau propinsi luar) yang daerah yang melingkari negaragung. Mancanegara dibagi menjadi dua, yaitu mancanegara wetan dan mancanegra kulon.
17 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Op. Cit, hlm. 45.
18 Sartono Kartodirjo, et.al., Sejarah Nasional IV, (Jakarta: Pn Balai Pustaka, 1997), hlm. 2-4.
commit to user
Wilayah kerajaan, selain kraton atau negara, kutagara, negaragung, dan mancanegara, masih ada wilayah pantai Utara Jawa yaitu pasisiran wetan dan pasisiran kulon. Juga ada daerah yang disebut dengan tanah sabrang (diseberang lautan) yang merupakan negara vasal.19
F. Stratifikasi Sosial Masyarakat
Untuk menentukan posisi seseorang berada di dalam kelompok tertentu, diperlukan dua kriteria. Pertama, prinsip akan kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hirarki birokrasi. Seseorang yang memiliki kriteria-kriteria tersebut dianggap termasuk dari golongan elite, sedangkan mereka yang berada diluar golongan tersebut dianggap sebagai rakyat kebanyakan.20
Masyarakat Keraton Suarakarta tersusun secara tradisional dan hirarki menjadi tiga kelompok sosial, yaitu: Raja dan keluarga raja (sentana dalem), Pegawai dan Pejabat Kerajaan (Abdi Dalem), Rakyat Biasa (Wong Cilik, Kawula Dalem).21
1. Raja dan keluarga raja (sentana dalem).
Raja barada dalam tingkatan paling atas dalam hirarki kerajaan dan raja mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Raja adalah raja pertama dan satu-satunya yang berkuasa di
19 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Op. Cit, hlm. 47.
20 Sartono Kartodirjo, “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial”, Lembaran Sedjarah No. 4., (Yogyakarta: Fak. Sasdaya, 1969), hlm. 26.
21 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., op.cit, hlm. 28.
commit to user
suatu kerajaan atau negara. Raja merupakan pemimpin negara yang absolute atau mutlak.
Peran raja yang utama adalah untuk melindungi kerajaan dan rakyatnya dengan menjadi perantara antara dunian manusia dengan dunia dewa-dewa.
Hubungan antara raja dengan rakyatnya ini merupakan suatu ikatan antara kawula-gusti atau abdi dan tuan yang memiliki kaitan yang erat dan saling menghormati dan bertanggung jawab. Seseorang yang menjadi raja tentunya tidak sembarangan orang, Raja harus berasal dari keluarga yang agung, trahing kusuma, remembering madu, wijining atapa, tedaking andana warih, yang mempunyai arti turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia.22 Sehingga raja adalah orang yang terpilih karena kesucian, kesaktian, dan masih keturunan raja.
Ketika agama Islam mulai berkembang di Indonesia diantara abad 11 sampai 15, berarti merupakan tantangan yang serius terhadap raja-raja Mataram.
Usaha yang digunakan untuk menghadapi masuknya agama Islam dengan memakai gelar Susuhunan atau Sultan. Dipakainya gelar Susuhunan menunjukkan bahwa pemakainya dengan dihiasi gelar yang paling tinggi adalah utusan Tuhan. Dengan adanya gelah Susuhunan sifat kedewaan dari raja-raja Hindu-Jawa dihidupkan kembali walaupun dengan nama yang baru dan dalam bentuk yang lain.
Sesudah kerajaan Mataram terpecah menjadi dua (1755), gelar Susuhunan dipakai oleh raja-raja di Surakarta Hadiningrat, sedangkan raja-raja Yogyakarta
22 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Mataram II, Abad XVI Sampai XIX., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 62.
commit to user
memakai gelar Sultan, ditambah dengan predikat kalifatullah dibelakang nama.
Dengan demikian, sebutan bagi raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Pranatagama.
Sesudah posisi raja sebagai penguasa tertinggi, maka kerabat raja atau sentana dalem seperti putra-putra dan menantu atau ipar dari raja yang sedang memerintah juga termasuk golongan yang mempunyai status sosial yang tinggi.
Setiap orang yang dapat menunjukkan setiap hubungan dengan setiap raja yang pernah memerintah boleh memakai gelar sebagai gelar kebangsawanannya.
Selain itu adanya tingkat-tingkatan yang mengatur kedudukan dan tata prioritas pada semua kesempatan, seorang anak dari tempat yang lebih tinggi lebih memiliki prioritas daripada anak saudaranya yang lebih tua dari tingkat yang lebih rendah.23
Jumlah patokan gelar tingkat dan nama pada masyarakat Jawa sangat banyak. Gelar tertinggi diantara para kaum bangsawan adalah pangeran, yang diaunugerahkan kepada putera-putera raja dan sulung dari putera raja. Tingkat tertinggi dari gelar pangeran adalah putera mahkota, yaitu dengan gelar pangeran adipati anom, cucu raja sudah dewasa boleh memakai gelar raden mas aria, sedangkan keturunan laki-laki dari generasi selanjutnya sampai generasi kelima mempunyai hak memakai gelar raden mas. Kemudian gelar raden diberikan kepada semua orang yang dapat meyusurgalurkan geneologinya sampai kepada seorang raja pada masa-masa sebelumnya.
23 Sartono Kartodirjo., Op. Cit., hlm. 27.
commit to user
2. Pegawai dan Pejabat Kerajaan (Abdi Dalem)
Raja dan kerabatnya (sentana dalem) dalam struktur sosial masyarakat jawa menempati yang paling tinggi. Di bawah kelompok tersebut terdapat kelompok abdi dalem atau priyayi, yaitu seluruh pegawai raja dan kerajaan.
Kelompok abdi dalem, umumnya memegang jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan birokrasi kerajaan. Untuk menunjukkan status jabatan seseorang dalam sisitem administrasi atau birokrasi kerajaan selain memakai gelar jabatan juga memakai nama resmi dari jabatannya. Misalnya gelar adipati diberikan kepada patih, yang dalam birokrasi keraton merupakan pejabat tertinggi, tumenggung diberikan kepada pejabat-pejabat setingkat bupati atau kepala daerah, ngabehi diberikan kepada pejabat-pejabat dibawah bupati sampai mantri, dan panji diberikan kepada perwira-perwira perang. 24
Para pejabat pemerintahan dari tingkatan tertinggi sampai terendah oleh raja diberlakukan sesuatu aturan yang dapat membedakan tinggi rendahnya status sosial seseorang, yaitu dengan digunakan lambang-lambang status dari masing- masing kelompok sosial tersebut. Adapun wujud dari lambang-lambang tersebut dapat berupa: rumah tinggal, pakaian, tanda kehormatan, gelar (kebangsawanan dan jabatan), lingkungan tempat tinggal, pekerjaan atau profesi, bahasa yang digunakan, dan penghasilan atas yang bersangkutan. Latar belakang penggunaan lambang status tersebut ialah tuntutan kesetiaan dari raja.25 Gelar kebangsawanan maupun jabatan juga turut menentukan status sosial seseorang. Gelar jabatan
24 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Op. Cit, hlm. 37.
25 Radjiman, Sejarah Surakarta II, (Surakarta: Fak. Sastra UNS, 1988), hlm. 45.
commit to user
diperuntukkan bagi para abdi dalem sentaran, yaitu kerabat raja yang menjabat, maupun abdi dalem biasa, yaitu pejabat yan berasal dari wong cilik. Dalam kelompok abdi dalem tersebut terdapat gelar-gelar: adipati, arya, panji, tumenggung, ngabehi, lurah, dan rangga.
3. Rakyat Biasa (Wong Cilik, Kawula Dalem)
Dalam budaya jawa, penduduk disebut sebagai kawula dalem (hamba raja, pelayan raja atau wong cilik). Wong cilik adalah manusia milik raja seperti kuda, gajah atau burung perkutut milik raja. Raja berwenang untuk menentukan nasib kawula dalem. Oleh karena raja yang memiliki kawula dalem, biasanya penduduk Jawa mempunyai sifat yang sangat sopan, rendah hati, sabar, dan nrima (menerima apa yang didapat). Tetapi ada saatnya temperamentnya juga dapat naik jika perasaannya sudah tidak dapat ditahan karena yang disebabjan oleh tekanan atau penghinaan. Inilah gambaran sosok wong cilik atau kawula dalem yang merupakan lapisan terendah di dalam struktur sosial masyarakat Jawa.26
Golongan penguasa (sentana dalem dan abdi dalem) adalah pendukung kebudayaan besar yang bersumber pada istana atau keraton, maka wong cilik yang sebagian besar terdiri dari petani dan rakyat biasa adalah pendukung kebudayaan kecil yang bersumber di pedesaan.27
Golongan bawah atau wong cilik dalam masyarakat Jawa sebenarnya sangat heterogen. Wong cilik terbagi didalam beberapa lapisan sosial masyarakat berdasarkan tinggi rendahnya pembayaran pajak. Lapisan paling atas adalah sikep
26 Dwi Ratna Nurhajarini., et.al., Op. Cit, hlm. 42.
27 Suhartono, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa, Studi Historis 1850- 1942, (Yogyakarta: Aditya Media, 1995), hlm. 41.
commit to user
atau kuli kenceng, yaitu lapisan masyarakat yang menguasai tanah, pembagian pajak tanah, kerja wajib pada patuh ataupun raja. Kuli kenceng selain diberi wewenang untuk mengerjakan sawah, juga memiliki hak untuk mendiami rumah dan pekarangan. Dibawah kuli kenceng terdapat kuli setengah kenceng atau kuli indung yang menempati rumah dipekarangan orang lain. Dan lapisan terakhir adalah kuli tlosor yang tidak mempunyai apa-apa dan hidupnya menumpang kepada petani lain.28
28 Dwi Ratna Nurhajarini, et.al., Op. Cit, hlm. 44.
commit to user