1) 3 jenis sumber data sekunder
a. Wawancara, Data yang didapat melalui wawancara adalah informasi secara lisan ataupun secara tertulis dan jenis khalayak yang dapat teridentifkasi adalah audiensi medium yang berupa surat kabar atau televisi
b. Survei, Data yang didapat melalui survey adalah informasi secara lisan maupun tulisan dengan berbagai macam metode dan jenis khalayak yang dapat teridentifikasi adalah Kelompok kepuasan berupa kuesioner
c. Instansi Pemerintah atau Swasta, Data yang didapat melalui instansi pemerintah atau swasta adalah informasi secara tulisan dengan berbagai table atau diagram dan jenis khalayak yang dapat teridentifikasi adalah Kelompok atau Publik berupa Dokumen secara public
2) manfaat analisis isi dalam penelitian humas
a. Menyediakan data yang terukur dan dapat diandalkan b. Membantu memahami perubahan dalam pesan
c. Membantu dalam perencanaan kampanye d. Memungkinkan pemantauan pesan competitor e. Memahami Isu dan Trend
f. Mengukur Efektivitas Pesan g. Mengukur Citra dan Reputasi
Analisis isi dilakukan setelah
peneliti memiliki data yang cukup untuk dianalisis berupa bahan- bahan yang terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuskrip
peneliti menentukan tujuan atau keterangan pelengkap dan kerangka konseptual penelitian yang menerangkan tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut.
Peneliti dapat memfokuskan pada hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian
peneliti mempunyai kemampuan teknis untuk mengolah bahan- bahan/data-data yang dikumpulkannya, karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat sngat khas/spesifik.
3) Objek penelitian dalam beberapa ilmu disiplin ilmu sosial
a. Objek penelitian pada ilmu politik adalah Negara yang terdiri atas Kekuasaan, Pressure group (kelompok oposisi), Interest group (kelompok kepentingan baik pendukung atau kontra pemerintah), Elit politik, pendapat umum (public opinion), Partai politik, dan pemilihan umum.
b. Objek Penelitian pada Ilmu antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya
c. Objek Penelitian pada ilmu sosiologi adalah manusia, dimana sosiologi meneliti manusia dari aspek sosialnya yang disebut sebagai masyarakat. Alasannya karena manusia saling berinteraksi dengan manusia lain dalam sebuah kelompok
d.
Tugas 1 Sesi 3 Mata Kuliah Perencanaan Program Komunikasi 1. Langkah-Langkah dalam Penelitian Kualitatif
Identifikasi Masalah
Langkah pertama dalam penelitian kualitatif adalah mengidentifikasi masalah atau topik penelitian yang akan diteliti. Ini melibatkan pemilihan topik yang relevan dan penting untuk penelitian.
Pembatasan Masalah
Setelah identifikasi masalah, peneliti perlu membatasi cakupan penelitian agar tetap fokus. Pembatasan masalah membantu menentukan parameter penelitian dan menghindari penyebaran yang terlalu luas
Penetapan Fokus Masalah
Peneliti harus menentukan fokus penelitian, yaitu pertanyaan-pertanyaan penelitian yang ingin dijawab. Fokus masalah menjadi landasan untuk pengumpulan dan analisis data
Pelaksanaan Penelitian
Ini adalah tahap pengumpulan data yang dapat melibatkan wawancara, observasi, atau analisis dokumen. Peneliti harus merencanakan metode pengumpulan data yang sesuai dengan masalah penelitian
Pengolahan dan Pemaknaan Data
Data yang terkumpul perlu diolah dan dianalisis. Ini melibatkan proses koding, klasifikasi, dan interpretasi data untuk mengidentifikasi pola dan temuan yang relevan.
Pemunculan Teori
Selama analisis data, teori atau konsep-konsep baru dapat muncul. Peneliti harus membuka diri terhadap kemungkinan ini dan membangun teori yang relevan berdasarkan temuan dari data
Pelaporan Hasil Penelitian
Hasil penelitian harus dilaporkan dengan jelas dan sistematis. Ini melibatkan penulisan laporan penelitian yang mencakup latar belakang penelitian, metode, temuan, dan kesimpulan.
2. Penelitian yang akan di lakukan di sekitar Lingkungan Kerja
Diskusi 3 Sesi 3 Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial
1. Teori yang digunakan adalah Pola Komunikasi pada Orang Tua dan Anak Putus Sekolah yakni yaitu Authoritarian, Permissive, dan Authoritative.
Pola komunikasi Authoritarian (otoriter) adalah pola komunikasi yang dalam hubungan komunikasi orang tua bersikap otoriter cenderung bersifat kurang sehat, karena seperti yang telah di jelaskan bahwa arusnya berkomunikasi yang terjadipada pola komunikasi otoriter bersifat satu arah, dimana pihak anak dirugikan dengan tidak di berikannya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Orang tua berpendapat bahwa anak memang harus mengikuti aturan yang ditetapkannya. Toh, apa pun peraturan yang ditetapkan orang tua semata-mata demi kebaikan anak.
Orang tua tak mau repot-repot berpikir bahwa peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian efek
Pola Komunikasi Permissive
Seperti yang diungkapkan di atas, pola asuh permisif adalah pola komunikasi yang cenderung memberikan kebebasan kepada anaknya untuk melakukan kegiatan- kegiatan sehati-hari, pola asuh permisif juga dapat digambarkan sebagai pola komunikasi yang tidak mengingkat antara orang tua dan anaknya. Pola komunikasi permissive seperti halnya ciri-ciri dan definisi di atas tampak pada pola komunikasi yang diterapkan oleh kedua orangtua Nita dan Busri, kedua orangtua mereka memberikan kebebasan penuh kepada anaknya untuk melakukan aktifitas sehari- hari tanpa adanya kontrol dari orang tua
Pola Komunikasi Authoritaive
Pola komunikasi Authoritaive merupakan pengasuhan yang tepat, sebab pola ini menghasilkan remaja yang mandiri, percaya diri dan mengembangkan konsep diri yang positif, sehingga tidak akan mencaricari perhatian dengan cara yang salah.
Setelah dilakukan olah data dari 5 informan yang ada, 2 informan orangt ua mengambarkan pola komunikasi yang hampir sama antara kedua orang tuanya.
Kedua orang tua memiliki kecenderungan untuk bersikap demokratis pada anaknya.
2. Langkah-Langkah dalam Merumuskan Permasalahan dalam Penelitian
Membuat secara spesifik
Cara membuat rumusan masalah yang pertama adalah membuat rumusannya secara spesifik. Dalam menulis, kamu tidak perlu merumuskannya secara panjang lebar. Justru akan menghilangkan inti dari apa yang ingin kamu sampaikan. Selain itu, rumusan masalah biasanya berbentuk pertanyaan, jadi cukup menuliskannya secara singkat saja.
Menentukan metode penelitian yang sesuai
Tentunya kamu harus menentukan terlebih dahulu metode penelitian yang sesuai dan tepat dengan tema yang kamu angkat. Kamu juga harus sudah menentukan terlebih dahulu penggunaan metode penelitianmu, apakah metode kualitatif atau kuantitatif
Mencari wawasan teori yang mendukung penelitian
Cara membuat rumusan masalah yang selanjutnya adalah dengan mencari teori yang mendukung penelitian dengan metode yang dipilih. Menentukan metode penelitian ini menjadi hal yang penting. Jangan sampai salah menempatkan urutan, sebab itu bisa menimbulkan masalah pada penelitian kamu. Dengan menentukan metode penelitian, akan membantu kamu dalam menentukan konsep yang pas untuk digunakan.
Gunakan 5W + 1H
Jika kamu sudah melihat berbagai contoh rumusan masalah, tetapi masih bingung untuk diterapkan di penelitian kamu, kamu bisa menggunakan rumusan 5W + 1H.
Caranya adalah cukup dengan membuat pertanyaan yang menarik sebanyak mungkin yang kamu minati.
Kreatif dalam melihat fenomena
Selain melihat contoh rumusan masalah, kamu juga perlu untuk kreatif dalam
melihat fenomena di sekitar kamu. Sebab, terkadang rumusan masalah banyak sekali muncul di sekeliling kita, jika kita selalu peka dalam membidiknya.
Diskusi 3 Sesi 3 Mata Kuliah Manajemen Hubungan Masyarakat
1. Sebagai seorang manajer HUMAS di Shopee, analisis SWOT dari sisi Kehumasan
1. STRENGHT ( KEKUATAN )
a. Karyawan yang relatif masih muda ( mempunyai semangat, kreativitas dan inovasi yang tinggi
b. Memiliki komunikasi yang efektif demi meningkatkan kinerja
c. Menerima pasien dari akses, juga melayani pasien dari perusahaan tertentu
d. Humas mampu membuat hubungan harmonis antara rumah sakit dengan pasien serta mencegah timbulnya rintangan psikologis yang mungkin terjadi di antara keduanya.
e. Humas mampu mengubah hal – hal yang berpotensi menjadi rintangan psikologis menjadi pengetahuan pengertian, penerimaan dan ketertarikan.
2. WEAKNESS (KELEMAHAN )
a. Kurangnya sarana pelatihan dalam bidang Humas
b. Kurangnya kontrol terhadap perjanjian yang sudah masuk c. Kurangnya pembuatan website dalam memberikan informasi
perumahsakitan
3. OPPORTUNITY ( KESEMPATAN / PELUANG ) a. SDM yang masih muda
b. Dapat bekerjasama dengan perusahaan di sekitar rumah sakit
c. Peran serta masyarakat terutama pasien dan keluarga yang cukup baik dalam memberikan informasi pelayanan dan saran terkait perumah sakitan.
4. THREAT ( ANCAMAN )
a. RS lain lebih lengkap memiliki sarana penunjang
b. Pelayanan informasi masih belum sesuai dengan harapan
c. Adanya persepsi masyarakat (pasien dan keluarga) tentang lokasi RS yang kurang aman
d. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar yang masih rendah
Diskusi 3 Sesi 3 Mata Kuliah Perbandingan Sistem Komunikasi
Diskusi 4 Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial
1. Cara untuk Klasifikasi Variabel yang saya pilih adalah dengan Klasifikasi Variabel Berdasarkan Jenis Datanya, yang terdiri dari :
Variabel nominal, yaitu variabel yang ditetapkan berdasar atas proses pengkiasifikasian. Variabel ini bersifat deskrit dan saling pilah (mutually
exclusive) antara kategori satu dengan kategori lainnya. Contoh: jenis kelamin, jenis pekerjaan, status perkawinan.
Variabel ordinal, yaitu variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam atribut tertentu. Jenjang tertinggi biasa diberi angka 1, jenjang di bawahnya angka 2, 3, dan seterusnya. Contoh: hasil perlombaan, rating, ranking.
Variabel interval, variabel yang dihasilkan dari suatu pengukuran, yang di dalam pengukuran itu diasumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang sama. Contoh: motivasi kerja, sikap terhadap suatu kebijakan, penghasilan, dan semacamnya
Variabel ratio, yaitu variabel yang di dalam kuantifikasinya mempunyai nilai nol mutlak. Dalam penelitian sosial, jarang sekali orang menggunakan variabel ratio.
2. Langkah-langkah dalam Menyusun desain penelitian yang tepat untuk mencari jawaban atau menentukan pemecahan masalah
Rumuskan tujuan yang akan dicapai. Apakah unit studinya, sifat: sifat penelitiannya, saling hubungan yang ada, dan proses-proses mana yang akan menuntun penelitian?
Rancang cara pendekatannya. Bagaimana unit-unit itu akan dipilih, mana yang tersedia, dan metode pengumpulan data apa yang akan digunakan?
Kumpulkan data.
Organisasikan data dan informasi yang diperoleh menjadi rekonstruksi unit studi yang koheren dan terpadu secara baik.
Susunlah laporannya dengan sekaligus mendiskusikan makna hasil tersebut
Diskusi 4 Mata Kuliah Manajemen Hubungan Masyarakat
1. Yang menjadi Stakeholders dalam Perusahaan Unilever adalah:
Consumers (highest priority)
Unilever’s corporate social responsibility strategy assigns the highest priority to consumers. These stakeholders’ interests are focused on product quality and price, as well as the environmental impact of the consumer goods business. Consumers are significant because they directly determine
Unilever’s profits. For example, satisfied consumers increase the company’s revenues from repeat sales. The corporate social responsibility strategy
satisfies these interests through extensive innovation processes and quality assurance policies for the diverse product mix described in Unilever’s
marketing mix or 4Ps. The company’s CSR strategy also addresses the demands of this stakeholder group for business sustainability. For instance, Unilever continues to enhance its production processes’ environmental footprint. As a result, an effective image of corporate citizenship is created to influence consumer perception. These corporate social responsibility efforts suggest that Unilever maintains its competitive position in the consumer goods market partly by satisfying consumers’ various expectations regarding sustainability and corporate citizenship.
Employees
Unilever considers employees as the second priority in its corporate social responsibility strategy. The importance of these stakeholders is in their influence on organizational performance in the consumer goods industry.
Employees are interested in competitive compensation and holistic career development. For example, suitable HR policies for work-life balance help satisfy workers’ needs. Unilever’s corporate social responsibility strategy addresses these interests through high compensation that effectively
competes against other employers in the labor market. In addition, the Agile Working program addresses these stakeholders’ interest in holistic career development. In this program, Unilever’s CSR approach includes flexibility for some employees to work remotely. This program also contributes to the company’s sustainability efforts by reducing employees’ travel, thereby ensuring corporate citizenship fulfillment. Moreover, the consumer goods company considers workplace safety, healthful work practices, and related concerns in the workplace. Thus, Unilever satisfies this stakeholder group’s interests through a multi-pronged approach to corporate social responsibility.
Investors
Investors are given the third priority in Unilever’s corporate social
responsibility strategy. This stakeholder group is interested in the financial performance of the consumer goods business. For example, higher revenues and profitability increase investors’ satisfaction and confidence in the
company. Investors are significant in influencing the capital available to fund Unilever’s business. The company addresses these stakeholders’ interests and the corresponding corporate responsibility through continuing business expansion. For instance, a history of acquisitions to ensure dominance in the consumer goods market characterizes Unilever’s intensive growth strategies.
Such a CSR strategy also includes company efforts in product innovation for higher quality, and process innovation in Unilever’s operations
management for better efficiency, productivity, and sustainability. The satisfaction of this stakeholder group increases Unilever’s success in addressing its corporate citizenship and business goals.
Suppliers
Unilever includes suppliers in its corporate social responsibility strategy. As stakeholders, suppliers are interested in profitable business relations with the company. This stakeholder group is significant in affecting Unilever’s
business capacity, based on the availability of materials for producing consumer goods. As part of its CSR efforts, the company maintains the Partner with Purpose strategic program to ensure mutual benefit between the business and this stakeholder group. The program satisfies suppliers’ interests through extensive collaboration that supports Unilever’s and suppliers’ growth. For example, the program provides strategic plans to guide suppliers in growing together with the company. In this way, Unilever’s corporate social responsibility policies on sustainability also influence
suppliers’ business activities, thereby maximizing the benefits of corporate citizenship.
Communities
As stakeholders, communities are included in Unilever’s CSR strategy.
Communities’ interests encompass environmental protection and community development. This stakeholder group significantly influences how consumers perceive Unilever. For example, the company is more likely to gain positive consumer confidence through community involvement. The Unilever Climate
& Nature Fund is one of the company’s main corporate citizenship initiatives that satisfy these interests. The consumer goods company also funds
community programs for sanitation, nutrition, and personal development.
These corporate responsibility initiatives enable Unilever to contribute to community development and its own business sustainability. This stakeholder group provides positive feedback that boosts corporate and brand image, which is one of the competitive strengths noted in the SWOT analysis of Unilever. The resulting impact of such corporate social responsibility efforts on brand image translates to sales and attractiveness of consumer goods from the company.
Diskusi 5 Mata Kuliah Manajemen Humas
1. Sebagai manajer humas di sebuah bank, beberapa komponen yang dapat dimasukkan untuk menunjang kinerja perusahaan dalam mempertahankan dan membangun reputasi yang baik antara lain:
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik
Tata kelola perusahaan yang baik mencakup pengelolaan risiko, kepatuhan terhadap peraturan dan standar, serta etika dan integritas dalam pelaksanaan bisnis. Dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, bank dapat menunjukkan komitmen
dalam menjalankan bisnis secara profesional dan bertanggung jawab.
Pelayanan pelanggan yang baik
Pelayanan pelanggan yang baik adalah hal yang penting untuk membangun hubungan baik dengan nasabah dan masyarakat.
Bank harus mampu memberikan pelayanan yang ramah, cepat, dan efektif. Dengan memberikan pelayanan yang
baik, bank dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan nasabah serta masyarakat
Transparansi dan akuntabilitas
Bank harus memastikan bahwa informasi yang disajikan kepada nasabah dan masyarakat bersifat transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Transparansi dalam pelaporan keuangan dan operasional perbankan dapat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank
Keterlibatan dalam kegiatan sosial dan lingkungan
Bank dapat membangun reputasi yang baik dengan terlibat dalam kegiatan sosial dan lingkungan yang positif. Misalnya, memberikan bantuan dalam program-program sosial,
menyediakan produk perbankan yang ramah lingkungan, dan mengadopsi praktik perbankan berkelanjutan
Memiliki citra yang konsisten
Bank harus memastikan bahwa citra yang dihasilkan dari berbagai saluran komunikasi dan aktivitas mereka selalu konsisten dengan nilai-nilai yang ingin mereka sampaikan kepada public. Hal ini dapat membantu menciptakan persepsi positif dan kepercayaan dari masyarakat terhadap bank tersebut
Mengutamakan pelayanan pelanggan
Pelayanan pelanggan yang baik merupakan kunci untuk mempertahankan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan. Bank harus memastikan bahwa para karyawan mereka memiliki keterampilan yang cukup dan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan mereka
Berinovasi
Inovasi yang baik dapat membantu bank mempertahankan keunggulan mereka dan membuka peluang bisnis baru.
Bank harus berusaha untuk terus berinovasi dalam produk dan layanan mereka untuk menjawab kebutuhan pasar yang terus berubah
Diskusi 6 Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial
Pertanyaan yang diajukan:
1. Apa yang dimaksud dengan validitas dan reliabilitas?
2. Jenis validitas dan reliabilitas? Validitas untuk proses riset dan alat ukurnya!
3. Bagaimana cara mengukur validitas dan reliabilitas?
4. How to develop? Bagaimana mengembangkan validitas dan reliabilitas?
5. Mengapa perlu ada validitas dan reliabilitas?
6. Kapan validitas dan reliabilitas tidak berlaku?
7. Apa beda validitas untuk alat tes dengan validitas untuk kegiatan observasi dan wawancara?
8. Bagaimana menentukan validitas untuk kegiatan observasi?
9. Kapan sebuah observasi membutuhkan validitas?
10. Kapan sebuah wawancara perlu ditentukan validasinya?
11. Teori apa yang mendasari penggunaan validitas untuk kegiatan observasi dan wawancara?
12. Bagaimana cara menggunakan validitas?
13. Apakah perlu mencari reliabilitas kegiatan observasi?
14. Apakah perlu mencari reliabilitas kegiatan wawancara?
15. Bagaimana menghitung reliabilitas dalam observasi?
16. Bagaimana meningkatkan reliabilitas observasi?
17. Kapan observasi perlu ditentukan reliabilitasnya?
18. Apa beda reliabilitas alat tes dengan reliabilitas untuk kegiatan observasi dan wawancara?
19. Bagaimana cara menggunakan reliabilitas?
20. Jika sebuah alat tes mencapai validitas namun tidak reliabel,
bagaimana kualitas alat tes tersebut? Dan bagaimana jika terjadi kebalikannya?
PEMBAHASAN
1. Apa yang dimaksud dengan validitas dan reliabilitas?
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah
(Azwar, 1997).
Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang mempunyai asal kata rely dan ability. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliabele). Walaupun reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya.
2. Jenis validitas dan reliabilitas? Validitas untuk proses riset dan alat ukurnya!
a. Jenis Validitas
Menurut Sudijono (2009) terdapat berbagai jenis validitas, berikut ini jenis validitas ditinjau dari pengujiannya validitasnya yaitu pengujian validitas secara rasional dan secara konten. Penhelasan untuk masing masing validititas itu adalah sebagai berikut:
Pengujian Validitas Tes Secara Rasional
Validitas rasional adalah validitas yang diperoleh atas dasar hasil pemikiran, validitas yang diperoleh dengan berpikir secara logis.
a. Validitas Isi (Content Validity)
Valditas isi berkaitan dengan kemampuan suatu instrumen
mengukur isi (konsep) yang harus diukur. Ini berarti bahwa suatu alat ukur mampu mengungkap isi suatu konsep atau variabel yang hendak diukur.
Validitas isi dari suatu tes hasil belajar adalah validitas yang diperoleh setelah dilakukan penganalisisan, penelususran atau pengujian terhadap isi yang terkandung dalam tes hasil belajar tersebut. Validitas isi adalah yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu: sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, isisnya telah dapat mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahkan pelajaran yang seharusnya diteskan
(diujikan).
Misalnya test bidang studi IPS, harus mampu mengungkap isi bidang studi tersebut, pengukuran motivasi harus mampu
mengukur seluruh aspek yang berkaitan dengan konsep motivasi, dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Menurut Kenneth Hopkin penentuan validitas isi terutama berkaitan dengan proses analisis logis, dengan dasar ini Dia berpendapat bahwa validitas isi
berbeda dengan validitas rupa yang kurang menggunakan
analisis logis yang sistematis, lebih lanjut dia menyatakan bahwa sebuah instrumen yang punya validitas isi biasanya juga
mempunyai validitas rupa, sedang keadaan sebaliknya belum tentu benar.
b. Validitas konstruksi (Construct Validity)
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep, validitas konstruk adalah validitas yang berkaitan dengan kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang diukurnya.
Menurut Jack R. Fraenkel validasi konstruk (penentuan validitas konstruk) merupakan yang terluas cakupannya dibanding dengan validasi lainnya, karena melibatkan banyak prosedur termasuk validasi isi dan validasi kriteria.
Validitas konstruksi juga dapat diartikan sebagai validitas yang ditilik dari segi susunan, kerangka atau rekaannya. Adapun secara terminologis, suatu tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai tes yang telah memiliki validitas konstruksi, apabila tes hasil belajar tersebut telalh dapat dengan secara tepat mencerminkan suatu konstruksi dalam teori psikologis.
Pengujian Validitas Tes Secara Empirik
Validitas empirik adalah ketepatan mengukur yang didasarkan pada hasil analisis yang bersifat empirik. Dengan kata lain, validitas empirik adalah validitas yang bersumber pada atau diperoleh atas dasar pengamatan di lapangan.
a. Validitas ramalan (Predictive validity)
Validitas ramalan adalah suatu kondisi yang menunjukkan seberapa jauhkah sebuah tes telah dapat dengan secara tepat menunjukkan kemampuannya untuk meramalkan apa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Contohnya apakah test masuk sekolah mempunyai validitas ramalan atau tidak ditentukan oleh kenyataan apakah terdapat korelasi yang signifikan antara hasil test masuk dengan prestasi belajar sesudah menjadi siswa, bila ada, berarti test tersebut mempunyai validitas ramalan.
b. Validitas bandingan (Concurrent Validity)
Tes sebagai alat pengukur dapat dikatakan telah memiliki
validitas bandingan apabila tes tersebut dalam kurun waktu yang sama dengan secara tepat mampu menunjukkan adanya
hubungan yang searah, antara tes pertama dengan tes berikutnya.
b. Jenis-jenis Reliabilitas
1. Reliabiltas Tes Berulang (Test-retest reliability) Reliabiltas tes berulang adalah ukuran reliabilitas yang diperoleh dengan pemberian dua kali tes yang sama selama periode waktu tertentu untuk sekelompok individu. Contoh: Sebuah tes bahasa diberikan kepada siswa. Satu bulan kemudian tes yang sama diberikan pada siswa yang sama. Jika skor keduanya menghasilkan koefisien korelasi tinggi maka tes tersebut memiliki reliabilitas tinggi.
2. Reliabilitas Antar Penilai (Inter-rater atau Inter-observer Reliability) Reliabilitas antar penilai adalah ukuran reliabilitas berdasarkan konsistensi penilaian dua responden berbeda terhadap suatu konstruk, karena belum tentu pengamat manusia menafsirkan jawaban dengan cara yang sama. Contoh: Peneliti meminta tanggapan dua hakim berbeda untuk memutuskan kasus yang sama. Jika kedua hakim memberi tanggapan yang seragam maka instrumen dinyatakan reliabel.
3. Reliabilitas Konsistensi Internal (Internal consistency reliability) Reliabilitas konsistensi internal adalah ukuran reliabilitas berdasarkan evaluasi item-item tes terhadap konstruk yang sama.
Ada dua jenis untuk reliabilitas ini yaitu:
o Rata-rata Korelasi Antar Item (Average inter-item correlation)
Rata-rata korelasi antar item diperoleh dengan mengambil semua item pada tes dan akhirnya menggunakan rata -rata semua koefisien korelasi tersebut. Dengan kata lain instrumen dibelah sebanyak jumlah item kemudian hasil koefisien korelasi digabung untuk mendapatkan rata-rata. Teknik ini populer dengan Alpha Cronbach.
o Reliabilitas Belah Setengah (Split-half reliability) Reliabilitas belah setengah adalah teknik dengan membelah item tes menjadi dua bagian untuk membentuk dua set item, kemudian skor total masing-masing set item dikorelasikan. Jika koefisien korelasi
tinggi maka reliabilitas tinggi.
3. Bagaimana cara mengukurnya validitas dan reliabilitas?
Pekerjaan untuk mencari validitas suatu alat ukur disebut validation. Prinsip dari validation adalah membandingkan hasil- hasil dari pengukuran faktor dengan suatu kriterium, )suatu ukuran yang telah dipandang valid untuk menunjukkan faktor yang dimaksud). Jadi misalnya suatu alat pengukur hendak menyelidiki faktor ketelitian kerja, maka harus diambil lebih dahulu suatu kriterium yang telah dipandang mencerminkan suatu ketelitian kerja. Melalui kriterium itulah kemudian hasil dari pengukuran faktor ketelitian kerja disoroti, Jika hasil pengukuran faktor ketelitian kerja menunjukkan besarnya ketelitian kerja yang sesuai dengan kriterium, maka alat pengukur itu dipandang valid.
Ada dua jenis kriterium ang digunakan untuk menguji kejituan
alat pengukur, yaitu :
a. Kriterium luar (external criterion)
Yaitu suatu kriterium yang diambil dari luar (external) alat itu sendiri. Misalnya : suatu tes tentang ketelitian kerja, diuji
validitasnya dengan prestasi kerja yang sesungguhnya sebagaimana ditunjukkan oleh catatan-catatan hasil kerja atau
penilaian pimpinan unit.
b. Kriterium dalam alat (internal criterion) Yaitu suatu kriterium yang diambil dari dalam (internal)alat itu sendiri. Biasanya diambil hasil keseluruhan pengukuran atau total score sebagai kriteriumnya. Misalnya, kita ingin mengukur intelegensi (yang terdiri dari faktor-faktorl; daya analisa, daya klarifikasi, daya ingatan, daya pemahaman, daya kritik dan sebagainya), maka untuk menguji apakah sekelompk item benar- benar mengukur daya analisa, misalnya, jawaban-jawaban terhadap item daya analisa dicocokkan dengan hasil tes secara keseluruhan atau total score-nya. Antara nilai total harus terdapat korelasi yang positif (tinggi dan cukup meyakinkan). Kecocokkan antara hasil-hasil dari item yang disangka mengukur suatu faktor dengan suatu kriterium yang dipandang telah valid disebut factorial validity atau validitas faktor, di mana besar kecilnya validitas faktor tergantung kepada besar kecilnya kecocokan itu.
Cara pengukuran reliabilitas
Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain : a. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form) Teknik paralel disebut juga tenik ”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua perangkat instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua.
Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil instrumen
tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus
product moment (korelasi Pearson).
b. Teknik Ulang (Test Re-test)
Disebut juga teknik ”single test double trial”. Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas.Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan pada teknik pertama yaitu rumus korelasi Pearson. Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes konsisten dari waktu ke waktu.
Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor hasil penyajian tes yang sama kepada kelompok yang sama, pada
waktu yang berbeda.
4. How to develop? Bagaimana mengembangkan validitas dan reliabilitas?
Cara meningkatkan atau mengembangkan validitas dan reliabilitas
1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin (setting,partisipan ataupun hal-hal terkait).
2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya.
3. Menyertakan partner saat observasi untkmenghindari subyektifitas
4. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembalidata,menguji
kemungkinan dugaan-dugaan yg berbeda.
Cara meningkatkan reliabilitas
1. Mengonsep satu variabel dengan jelas.
2. Setiap pengukuran harus merujuk pada satu dan hanya satu konsep/variabel. Sebuah variabel harus spesifik agar dapat mengurangi intervensi informasi dari variabel lain.
3. Menggunakan level pengukuran yang tepat. Semakin tinggi atau semakin tepat suatu level pengukuran, maka variabel yang dibuat akan semakin reliabel karena informasi yang dimiliki semakin mendetail. Prinsip dasarnya adalah cobalah melakukan pengukuran pada level paling tepat yang mungkin diperoleh.
4. Gunakan lebih dari satu indikator. Dengan adanya lebih dari satu indikator yang spesifik, peneliti dapat melakukan pengukuran dari range yang lebih luas terhadap konten definisi konseptual.
5. Gunakan Tes Pilot, yakni dengan membuat satu atau lebih draft atau dalam sebuah pengukuran sebelum menuju ke tahap hipotesis (pretest). Dalam penggunaan Pilot Studies, prinsipnya adalah mereplikasi pengukuran yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu dari literatur-literatur yang berkaitan.
Selanjutnya , pengukuran terdahulu dapat dipergunakan sebagai patokan dari pengukuran yang dilakukan peneliti saat ini. Kualitas pengukuran dapat ditingkatkan dengan berbagai cara sejauh definisi dan pemahaman yang digunakan oleh peneliti kemudian
tetap sama.
5. Mengapa perlu ada validitas dan reliabilitas?
Jika kita kembali ke definisi validitas, maka dapat disimpulkan bahwa validitas mutlak diperlukan oleh sebuah alat ukur atau alat tes agar tujuan pengukuran relevan dengan data yang diperlukan atau diperoleh. Sebagai contoh, sebuah timbangan badan, dikatakan memiliki validitas jika dapat mengukur berat badan
manusia secara akurat. Keakuratan timbangan badan tersebut sebelumnya harus diuji terlebih dahulu, melalui proses terra timbangan oleh Badan Metrologi. Uji validitas tersebut mutlak diperlukan oleh timbangan agar orang yang menggunakan merasa yakin bahwa ukuran 1 kg pada timbangan benar-benar
valid mengukur 1 kg berat benda.
Sedangkan reliabilitas diperlukan untuk mengetahui sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Relatif sama, berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Bila perbedaan itu sangat besar dari waktu ke waktu maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dapat dikatakan tidak reliabel.(Azwar, 1997) Jika kita kembali menggunakan contoh timbangan badan, maka reliabilitas timbangan dapat diketahui dengan cara menggunakan timbangan badan tersebut pada beberapa orang dan beberapa kali percobaan untuk satu orang. Kalau hasil timbangan tersebut sama atau hanya memiliki perbedaan kecil saat pengukuran, maka timbangan tersebut dapat dinyatakan reliabel.
6. Kapan validitas dan reliabilitas tidak berlaku?
Validitas menjadi tidak berlaku ketika validitas sebuah alat ukur digunakan untuk melihat validitas alat ukur lainnya, maka validitas tersebut menjadi tidak berlaku. Hal ini disebabkan tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran
yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Sedangkan reliabilitas menjadi tidak berlaku pada dua kondisi. Yang pertama, alat ukur tersebut digunakan untuk mengukur populasi atau sampel yang berbeda dengan rancangan alat ukur itu. Ini disebut sampling error, mengacu kepada inkonsistensi hasil ukur karena digunakan ulang pada kelompok individu yang berbeda. Contoh timbangan badan tadi, menjadi tidak reliabel jika yang ditimbang adalah monyet, bukan manusia. Sedangkan yang kedua, reliabilitas menjadi tidak berlaku jika terjadi kesalahan pengukuran atau error of measurement. Alat ukur yang dipakai tidak konsisten dalam mengukur. Timbangan badan, menjadi tidak reliabel ketika mengukur berat badan orang yang sama beberapa kali namun menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan perbedaan tersebut cukup besar. Misalkan: hasil timbangan pertama pada si A, 60 kg.
Timbangan kedua, 58 kg dan timbangan ketiga 60,5 kg. Dari hasil timbangan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa alat timbangan
badan itu tidak reliabel.
7. Apa beda validitas untuk alat tes dengan validitas untuk
kegiatan observasi dan wawancara?
Validitas untuk alat tes berkaitan dengan ketepatan dan kecermatan alat tes tersebut dalam melakukan fungsi tes atau fungsi ukurnya. Menurut buku Standards, yang ditulis oleh Asosiasi Psikolog Amerika (APA), validitas mengacu pada derajat dimana bukti dan teori menyokong interpretasi dari skor tes dan mengacu pada tujuan tes. Validitas adalah hal yang paling mendasar dalam pengembangan dan evaluasi tes. Proses validasi meliputi akumulasi, membuktikan tujuan dari evaluasi tersebut, bukan terhadap test itu sendiri. Pada alat tes biasanya validitas
akan dihitung secara statistik dan dalam bentuk rumusan angka.
Sedangkan validitas untuk kegiatan observasi dan wawancara berkaitan dengan konsep yang digunakan untuk mendasari tujuan observasi dan wawancara itu sendiri. Sebelum seseorang melakukan kegiatan observasi dan wawancara, ia harus mendefinisikan konsep atau teori yang akan dipakai sebagai acuan kerangka konsepnya sehingga kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan memiliki acuan yang jelas. Hasil dari observasi dan wawancara dapat dijadikan referensi yang akurat untuk membuat deskripsi tentang orang, situasi atau kejadian.
Validitas observasi dan wawancara tidak dihitung secara statistik, namun cukup dengan menguraikan konsep atau teori menjadi
beberapa indikator.
8. Bagaimana menentukan validitas untuk kegiatan observasi?
Ada 2 cara menentukan validitas observasi, yaitu: menggunakan dasar teori atau konsep kemudian di turunkan menjadi beberapa aspek atau indikator konsep. Yang kedua, menggunakan perbandingan antar perilaku. Pada cara pertama, observer harus menentukan teori atau konsep apa yang akan digunakan sebagai acuan observasi. Konsep atau teori itu kemudian diturunkan menjadi beberapa indikator yang dipakai untuk menjadi tolok ukur operasional konsep tersebut. Sedangkan cara kedua adalah membandingkan perilaku subjek pada berbagai situasi. Apakah perilaku inatensi, misalnya, muncul di kelas, apakah muncul juga saat ia berada di rumah, apakah muncul juga saat ia sedang mengerjakan tugas di tempat les. Dengan membandingkan kemunculan perilaku dari hasil observasi tersebut akan didapatkan validitas observasi yang disebut concurrent validity.
9. Kapan sebuah observasi membutuhkan validitas?
Pada setiap kegiatan observasi atau pengamatan sangat perlu untuk memiliki instrumen observasi yang valid. Hal ini dikarenakan indera yang digunakan dalam pengamatan yakni mata dan telinga memiliki keterbatasan. Rahayu dan Ardani (2004) menyatakan bahwa keterbatasan indera timbul terutama dari objek yang dihadapi. Kebanyakan objek-objek penyelidikan adalah objek-objek yang kompleks, memiliki unsur yang banyak, segi yang berliku-liku atau dimensi yang majemuk. Oleh karena itu kegiatan observasi membutuhkan instrumen yang valid agar instrumen tesebut benar-benar dapat mengukur target perilaku dalam kegiatan observasi. Sattler (2002) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan observasi sering ditemui berbagai masalah.
Pertama, sulitnya untuk mendapatkan sampel dan representatif perilaku yang tepat dalam waktu singkat. memperoleh sampel dan representatif perilaku yang tepat akan memerlukan pengambilan sampel dalam berbagai jenis situasi, dan ini jarang dilakukan. Kriteria validasi meliputi penilaian dari orang lain yang akrab dengan subjek penelitian dan observasi dalam situasi eksperimental. Tapi kriteria ini tidak mutlak dan tidak menawarkan bukti keabsahan. kesulitan lebih lanjut muncul ketika dua indeks yang dimaksudkan untuk mengukur perilaku yang sama bukanlah kesepakatan. ukuran mana yang valid atau representatif? karena perilaku adalah variabel, sangat mungkin kedua ukuran ini adalah akurat, meskipun langkah-langkah kriteria menunjukkan kesepakatan yang buruk.
10. Kapan sebuah wawancara perlu ditentukan validasinya?
Instrumen yang digunakan dalam sebuah wawancara seharusnya
memiliki validitas yang baik. Rahayu dan Ardani (2004) mengungkapkan bahwa validitas yang baik merujuk pada objektivitas. Artinya, variabel-variabel dalam wawancara yang telah ditetapkan oleh peneliti harus berdasarkan teori-teori yang telah mapan. Namun objektivitas dalam kegiatan wawancara bersifat objectivied subjectivities. Artinya subjektif menurut peneliti (teori yang ada), tetapi objektif menurut subjek yang diteliti. Hal ini dimungkinkan karena realitas sosial dalam penelitian naturalistik berada di alam imajinasi pikiran kebanyakan manusia yang merupakan gugusan subjektivitas awam yang tidak pernah diuji kebenarannya, dan objektif menurut kaidah-kaidah keilmuan atau logika. Namun betapapun subjektifnya, hal tersebut sesungguhnya adalah subjektivitas unik yang justru harus ditempatkan sebagai objek kajian ilmu-ilmu
sosial yang utama.
11. Teori apa yang mendasari penggunaan validitas untuk
kegiatan observasi dan wawancara?
Validitas dalam kegiatan observasi dan wawancara pada pengukuran psikologi perlu untuk dilakukan karena subjek pengukurannya adalah manusia. Untuk mengungkap aspek-aspek atau variabel-variabel dari keadaan psikologis manusia, diperlukan instrumen observasi dan wawancara yang reliabel dan valid agar kesimpulan penelitian tidak keliru dan dapat memberikan gambaran yang tepat mengenai subjek penelitian
(Azwar, 1992).
12. Bagaimana cara menggunakan validitas?
Rahayu dan Ardani (2004) menjelaskan bahwa validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat mengukur apa
yang hendak diukur. Dalam kegiatan observasi ada beberapa jenis
validitas yang dapat digunakan, yaitu
a. Face validity adalah bagaimana kelihatannya suatu alat pengukur benar-benar menukur apa yang hendak diukur. Misalnya untuk mengukur kemampuan sebagai seorang supir, seorang observee harus disuruh mengendarai mobi. Tetapi, bila pengukuran kemampuan mengendarai mobil dilakukan dengan ujian tertulis tentang teknik mengendarai mobil, maka alat pengukur tesebut kurang memiliki face validity.
b. Content validity adalah sejauh mana isi alat ukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Data harus mencerminkan cir-ciri yang telah ditentukan yaitu apa saja yang akan diungkap/diukur. Contohnya bila seorang penelitia infin mengukur keikutsertaan dalam program KB dengan menanyakan metode kontrasepsi yang dipakai. Bila aspek yang diamati tidak mencakup semua metode kontrasepsi, maka alat ukur tersebut tidak memiliki validitas isi.
c. Predicty validity adalah alat pengukur yang dibuat oleh peneliti seringkali dimaksudkan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Contonya ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Ujian tersebut merupakan upaya untuk memprediksi apa yang aan terjadi di masa yang akan datang.
Peserta yang lulus ujian dengan nilai baik diprediksikan akan mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan sukses. Soal ujian masuk tersebut dikatakan memiliki validitas prediktif, apabila ada korelasi yang tinggi antara nilai ujian masuk dengan prestasi
belajar setelah menjadi mahasiswa.
d. Construct validity adalah kerangka suatu konsep. Misalnya,
untuk mengukur status ekonomi responen dengan menggunakan lima komponen status ekonomi, yakni penghasilan perbulan, pengeluaran perbulan, pemilikan barang, porsi penghasilan yang digunakan untuk rekreasi, dan kualitas rumah. Apabila ada konsistensi antara komponen-komponen konstruk yang satu dengan yang lain maka konstruk tersebut memiliki validitas.
e. Concurrent validity dilakukan dengan mengobservasi perilaku dan membandingkannya dengan perilaku lain. Misalnya perilaku di sekolah sama dengan perilaku di luar kelas (menunjukkan agresivitas).
Selanjutnya validitas dalam kegiatan wawancara a. Validitas konstruk. penelitian kualitatif dengan metode observasi dan wawancara tidak terlepas dari aktivitas melakukan konstruksi sosial. Misalnya, orang yang selalu memakai peci dikonstruk peneliti sebagai orang yang alim. Konstruksi semacam itu memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu:
• Dalam pengumpulan data, peneliti harus menggunakan multi
sumber bukti.
• Peneliti harus membangun rangkaian bukti antara satu data
dengan data lain.
• Agar peneliti meminta orang yang diwawancarai meninjau ulang
draft laporan yang disusun.
b. Validitas internal. Hal ini dilakukan pada tahap analisis data.
Validitas internal ini meliputi hal-hal berikut:
• Membuat pola penjodohan dengan analisis sebab-akibat atau
aksi reaksi atau pengaruh-mempengaruhi.
• Peneliti hendaknya mengerjakan penyusunan kesplanasi;
maksudnya apakah konstruksi yang dibuat berdasarkan data yang diterima itu dapat dipertanggungjawabkan.
• Peneliti hendaknya membuat analisis deret waktu dari peristiwa-peristiwa atau fenomena-fenomena yang terjadi.
c. Validitas eksternal. Dalam melakukan validitas ini, hendaknya peneliti menggunakan logika replikasi. Artinya seandainya penelitian yang sama dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sama, niscaya hasilnya akan sama atau hampir sama.
13. Apakah perlu mencari reliabilitas kegiatan observasi?
Mencari reliabilitas dalam kegiatan observasi itu perlu, dimana reliabilitas observasi adalah keajegan apa yang diobservasi. Agar suatu pengukuran observasi dapat dipercaya, maka idealnya hasil observasi bila diuji kembali oleh orang lain baik di lain waktu maupun sekarang maka hasilnya relatif sama.
14. Apakah perlu mencari reliabilitas kegiatan wawancara?
Menurut Neuman (2007), metode wawancara menjadi ciri khas dari penelitan kualitatif. reliabilitas dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan kepada keajegan hasil jawaban yang dimunculkan oleh subjek. Namun berbeda dengan pendekatan kuantitatif, reliabilitas pada kualitatif lebih bersifat fleksibel dan berkembang. Sehingga jika pada pendekatan kualitatif didapatkan data yang berbeda, tidak serta merta disimpulkan bahwa reliabilitasnya rendah tapi justru menjadi salah satu bentuk
memperoleh data yang kaya atau lengkap.
15. Bagaimana menghitung reliabilitas dalam observasi?
Cara mendapatkan reliabilitas observasi adalah berdasarkan
“kesepakatan observer,” Reliabilitas berarti, apabila dua observer
sepakat dalam hasil observasi (Sukadji, 2000). Rumus
“kesepakatan” juga bisa untuk menghitung hasil “dua kali”
observasi yang dilakukan oleh satu orang observer (Sukadji, 2000).
Rumus “Persentase Kesepakatan” sebagai berikut :
Interval Recording
-Agreement of total observation (A tot)→ total ke dua observer
‘sama-sama setuju’ baik X maupun O
– Agreement of occurence observation (A occ) → sama-sama
setuju ‘ada peristiwa’ observasi (X)
– Agreement of nonoccurence observation (A non) →sama-sama setuju ‘tidak ada peristiwa’ observasi (O)
Event Recording
Adalah kejadian yang tegas mulai dan berakhirnya kegiatan obesrvasi. Pencatatan bisa dengan check list, mechanical devices, dan lain-lain. Dalam observasi kelas, rincian perilaku dapat ditulis dalam bentuk daftar event yang dapat dihitung bila terjadi
perilaku yang diinginkan.
Dalam observasi, reliabilitas dan validitas dipengaruhi oleh faktor-
faktor antara lain :
a. Observer
Banyak sekali kesalahan yang bersumber dari kualitas pribadi observer yang dapat digolongkan sebagai “kecondongan” (bias).
1) Kesalahan yang berkaitan dengan kualitas pribadi observer,
antara lain :
a) Central tendency
Observer lebih sering menggunakan kategori yang di tengah dalam skala rating daripada kategori tepi, sehingga dalam
prosesnya cenderung underestimasi perilaku yang intens dan
overestimasi perilaku yang lemah.
b) Leniency (kemurahan)
Observer cenderung membuat penilain yang cenderung ke arah
“baik” terhadap subjek.
c) Efek primacy (kesan pertama)
Observer membiarkan kesan pertama mendistorsikan kesan atau
penilaiannya kemudian.
d) Halo effect
Observer membuat penilaian berdasar kesan umum subjek atau berdasar perilaku subjek yang paling mencolok.
e) Teori pribadi
Observer menyesuaiakn observasi ke asumsi teori pribadi.
f) Nilai pribadi
Observer menyesuaikan observasi ke harapan, nilai, dan minat pribadi.
g) Overestimasi perilaku yang hampir-hampir tidak dikenali ada pada diri observer sendiri. Misalnya, observer overestimasi volume suara subjek sebab observer sendiri tidak mengenali
bahwa suaranya terlalu rendah volumenya.
h) Kesalahan logika
Observer membuat penilaian yang serupa terhadap sifat-sifat subjek yang kelihatannya secara logika saling terkait.
i) Kesalahan kontras
Pada sifat khusus, observer menilai subjek jauh lebih berbeda dengan diri observer sendiri daripada kenyataannya.
j) Kesalahan proksimitas
Observer menilai serupa sifat-sifat tertentu karena bentuk
penilaian membuat sifat-sifat itu berdekatan dalam waktu atau letak.
k) Pengaruh pribadi
Tanpa diketahui oleh observer sendiri, karakteristik diri observer (usia, jenis, kelamin, ras, dan status sosial) mempengaruhi
penilaian perilaku subjek.
l) Ketidakstabilan penilaian observer
Kriteria penilaian yang dipakai oleh observer berubah bersama waktu, akibat ada dan tidaknya perilaku karena kelelahan, atau
belajar, atau penyebab lainnya.
m) Terlewat
Observer alpa mencatat perilaku yang muncul.
n) Commision
Observer keliru kode suatu perilaku.
o) Efek harapan
Harapan observer mempengaruhi pencatatan, atau observer mengharapkan sesuatu terjadi dan mengkomunikasikan harapan
ini kepada subjek.
p) Reaktivitas observer
Observer berubah pencatatan perilakunya karena ia sadar diamati.
q) Isyarat nonverbal
Observer dengan tidak sengaja memberi isyarat kepada subjek sehingga mendukung perilaku tertentu pada subjek.
2) Ketidakstabilan Penilaian Observer
Bila observasi berlangsung lama, observer mungkin menunjukkan tanda-tanda kelelahan, lupa dan motivasinya menurun. Misalnya, pada saat permulaan menggunakan standar tertentu untuk
menilai suara bisikan atau vokalisasi singkat, tetapi kemudian berubah standarnya, ketidakstabilan hal ini mungkin saja terjadi, walaupun telah ada persetujuan mengenai definisi oprasional
perilaku yang diamati.
3) Kesulitan dalam Mengkodekan Perilaku
Kategori global, seperti perilaku “off-task” atau perilaku tidak patut (innappropriate behavior) membutuhkan penyimpulan tingkat tinggi dibanding kategori spesifik, seperti memukul, atau meninggalkan tempat duduk. Meskipun diusahakan sebaik- baiknya mendefinisikan perilaku dengan cermat, beberapa perilaku memang sulit dikategorikan. Jadi, kode observasi menuntut pertimbangan yang masak di pihak observer.
4) Memilih Waktu dan Saat yang Tepat
Menentukan waktu yang tepat munculnya suatu kejadian bukanlah semudah yang dibayangkan. Misalnya, untuk mengobservasi perilaku menolak dan memulai makan pada anak.
Sulit untuk menentukan waktu kapan saat yang tepat anak mulai menolak memulai makan. Selain itu, unit waktu yang dipilih oleh observer mungkin tidak dapat menggambarkan dengan tepat
peta kejadian perilaku.
16. Bagaimana meningkatkan reliabilitas Observasi?
Adanya kelemahan-kelemahan yang menyebabkan reliabilitas pengukuran menurun (sehingga validitasnya juga menurun), membuat kita waspada untuk menghindarinya. Beberapa
petunjuk praktis, antara lain :
a. Observer hendaknya memahami benar-benar teknik-teknik pencatatan, manual maupun instrumental. Pastikanlah dalam rancangannya perilaku-perilaku kritis didefinisikan dengan jelas,
tegas dan cermat.
b. Sebelum melaksanakan observasi, periksalah dulu peralatan-
peralatan pengumpul data.
c. Observer perlu latihan sampai mahir sebelum turum ke lapangan.
d. Kumpulkan data dengan mengobservasi subjek dalam berbagai situasi dan waktu, terutama bila yang diobersevasi kelompok,
atau untuk mendapatkan norma.
e. Temukan kecondongan (bias), kelemahan-kelemahan, yang kita miliki sebagai observer, dan kembangkan ketrampilan pemahaman diri dan evaluasi diri yang kritis.
f. Kembangkan skeptisisme yang sehat terhadap laporan yang telah ada mengenai perilaku subjek, agar observasi yang kita
lakukan dapat seobjektif mungkin.
g. Menunda asumsi dan spekulasi mengenai arti dan implikasi perilaku subjek yang diamati selagi pengambilan data.
h. Bila pengamatan telah selesai, pertimbangkanlah faktor-faktor yang meyulut dan memelihara perilaku subjek, serta tanggapan- tanggapan orang lain yang ada di dalam setting subjek atas
perilaku subjek tersebut.
i. Secara periodik bandingkan hasil pengamatan dengan pengamat lain yang menggunakan sistem penyekoran yang sama.
j. Secara teratur pencatatan harus “dikalibrasi” yaitu dengan
mencocokkan lagi dengan potokol standar.
k. Ikuti teori-teori dan test-retest mutakhir dalam bidang observasi.
l. Hindari kekeliruan-kekeliruan umum berkenaan dengan
observasi sebagaimana telah disebut terlebih dahulu.
17. Kapan observasi perlu ditentukan reliabilitasnya?
Reliabilitas observasi perlu dilakukan bila data yang dihasilkan berbentuk data kuantitatif. Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan untuk melihat hasil observasi antar observer 1 dengan observer yang lain (reliabilitas interrater). . 18. Apa beda reliabilitas alat tes dengan reliabilitas untuk
kegiatan observasi dan wawancara?
Perbedaan penerapan reliabilitas dalam alat tes dan obserasi/wawancara dapat dijelaskan dengan perbedaan pendekatan kuantitatif (untuk alat tes) dan pendekatan kualitatif (observasi/wawancara). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa reliabilitas pada pendekatan kuantitatif bersifat tetap dan statis sedangkan reliabilitas pengukuran dengan pendekatan kualitatif bersifat berkembang dan tumbuh bersama kedekatan antara
observer dengan observee (Neuman, 2007).
19. Bagaimana cara menggunakan reliabilitas?
Kita dapat menggunakan nilai reliabilitas untuk menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap alat ukur yang sudah kita buat.
Nilai reliabilitas berkisar pada nilai 0-1, dimana semakin mendekati 1 maka dapat dikatakan alat ukur tersebut semakin dapat dipercaya. Dipercaya disini dimaksudkan bahwa suatu alat tes apabila dilakukan tes ulang atau diadministrasikan oleh tester lain maka akan keluar nilai yang relatif tetap (ajeg).
20. Jika sebuah alat tes mencapai validitas namun tidak reliabel, bagaimana kualitas alat tes tersebut? Dan bagaimana jika terjadi kebalikannya?
Validitas dan reliabilitas bersifat saling melengkapi namun
terkadang juga dapat bersifat bertolak belakang (Neuman, 2007).
Dalam suatu contoh misalnya ada suatu alat ukur yang memiliki validitas tinggi namun memiliki reliabilitas rendah, hal ini dapat terjadi dalam pengukuran dengan pendekatan kualitatif. Misalnya konstrak yang diukur merupakan suatu konstrak yang sangat abstrak yaitu “alienasi” yang digali melalui metode wawancara, hal ini mungkin dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi namun reliabilitas yang rendah karena tergantung pada bagaimana peneliti menggunakan instrumen penelitian.
Contoh lain misalnya suatu alat ukur yang memiliki reliabilitas yang tinggi namun validitasnya rendah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatan bahwa suatu alat ukur memiliki keajegan dalam mengukur namun kurang tepat dalam mengukur apa yang hendak diukur. untuk memudahkan pembahasan ini penulis mengutip gambar dari Neuman (2007) sebagai berikut:
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa ketika ketika suatu alat tes memiliki reliabilitas yang tinggi namun validitas rendah tidak dapat mengenai sasaran terhadap apa yang ingin diukur. Berdasarkan penjabaran tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketika suatu alat tes memiliki reliabilitas yang tinggi namun validitas yang rendah maka alat ukur itu memiliki kualitas yang rendah. Namun sebaliknya, jika suatu alat ukur valid maka kemungkinan besar reliabilitasnya akan dapat mengikuti menjadi baik juga. Secara sederhana dapat diakatakan bahwa suatu alat ukur yang valid akan cenderung memiliki reliabilitas yang tinggi namun alat ukur yang memiliki reliabilitas yang tinggi belum tentu valid.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (1992). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Penerbit
Sigma Alpha.
Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan Validitas(Ed. 3). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Louis, J. (2011). Validitas dan reliabilitas. Diakses pada tanggal 11
November 2014 dari http://jeffy-
louis.blogspot.com/2011/02/validitas-dan-reliabilitas.html
Neuman, W. L., (2007). Basic Social Research Methods: Qualitative
& Quantitative Approachs (2ed). Boston: Allyn & Bacon.
Rahayu, I.T. dan Ardani, T.A. (2004). Observasi dan Wawancara.
Malang: Bayumedia publishing.
Sattler, J.M. (2002). Assessment of Children. California: Penerbit Sattler.
Sudijono, A. (2009). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali Press.
Sukadji, S. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah (Direvisi dan Dilengkapi). Depok: Universitas Indonesia.
Diskusi 6 Manajemen Hubungan Masyarakat
Manurut Cutlip. Center dan Broom (1994:371-372) dan Baskin dkk (1997),
anggaran program kehumasan yang dijalankan sebuah perusahaan dibagi dalam empat bagian yaitu ;
1. Anggaran dialokasikan berdasarkan jumlah keseluruhan anggaran perusahaan yang tersedia.
2. Anggaran disusun berdasarkan keperluan untuk bersaing dengan perusahaan saingan.
3. Anggaran disusun berdasarkan seluruh keperluan kegiatan kehumasan yang ada.
4. Anggaran disusun berdasarkan kemungkinan keuntungan yang diperoleh perusahaan atau organisasi.
Dalam menyusun anggaran kegiatan humas perusahaan di Indonesia, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan. Namun, pendekatan yang paling
tepat akan bergantung pada tujuan, kebutuhan, dan karakteristik perusahaan tersebut. Berikut adalah beberapa pendekatan yang umum digunakan:
1. Pendekatan Berbasis Tugas: Pendekatan ini melibatkan penentuan anggaran berdasarkan tugas atau aktivitas yang akan dilakukan oleh departemen humas.
Misalnya, anggaran dapat dialokasikan untuk kegiatan media relations, event, atau kampanye pemasaran. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya secara spesifik untuk setiap tugas yang perlu dilakukan.
2. Pendekatan Berbasis Fungsi: Pendekatan ini melibatkan penentuan anggaran berdasarkan fungsi-fungsi utama departemen humas, seperti media relations, komunikasi internal, atau manajemen krisis. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya secara proporsional
berdasarkan pentingnya setiap fungsi dalam mencapai tujuan humas perusahaan.
3. Pendekatan Berbasis Objektif: Pendekatan ini melibatkan penentuan anggaran berdasarkan tujuan dan hasil yang ingin dicapai oleh departemen humas.
Misalnya, anggaran dapat dialokasikan untuk meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kesadaran merek, atau meningkatkan hubungan dengan
pemangku kepentingan. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya secara strategis untuk mencapai tujuan humas yang spesifik.
4. Pendekatan Berbasis Persentase: Pendekatan ini melibatkan penentuan
anggaran berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan atau anggaran total perusahaan. Misalnya, perusahaan dapat mengalokasikan 5% dari pendapatan tahunan untuk kegiatan humas. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk memiliki anggaran yang proporsional dengan ukuran dan kinerja keuangan perusahaan.
Pilihan pendekatan yang paling tepat akan tergantung pada konteks dan
kebutuhan perusahaan. Penting untuk mempertimbangkan tujuan, sumber daya yang tersedia, dan prioritas perusahaan dalam menyusun anggaran kegiatan humas. Selain itu, perusahaan juga dapat mengkombinasikan beberapa pendekatan untuk mencapai hasil yang optimal.
Menurut Saya, Pendekatan Anggaran yang paling tepat untuk digunakan dalam menyusun anggaran kegiatan humas perusahaan di Indonesia adalah Anggaran dialokasikan berdasarkan jumlah keseluruhan anggaran perusahaan yang tersedia dan Pendekatan Berbasis Fungsi dikarenakan kedua Pendekatan Anggaran tersebut akan berpengaruh terhadap lamanya keberlangsungan perusahanan tersebut yang artinya akan memberikan kemakmuran baik utk karyawan maupun Perusahaan serta tujuan Perusahaan dapat tercapai dengan baik.