• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKULTURASI TRADISI MADDOJA BINE TERHADAP MASYARAKAT BUGIS DESA LIPUKASI KECAMATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "AKULTURASI TRADISI MADDOJA BINE TERHADAP MASYARAKAT BUGIS DESA LIPUKASI KECAMATAN "

Copied!
111
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Rumusan Masalah

Bagaimana akulturasi tradisi Maddoja Bine pada masyarakat Bugis di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru.

Tujuan Masalah

Untuk mengetahui penggarapan Tradisi Maddoja Bine pada masyarakat Bugis desa Lipukasi kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru.

Kegunaan Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

  • Teori Tindakan Sosial Max Weber
  • Teori Akulturasi
  • Teori Asimilasi
  • Tradisi
  • Budaya
  • Agama

Dalam teori Max Weber peneliti berpendapat bahwa tradisi Maddoja Bine merupakan tindakan yang efektif karena dalam pelaksanaan tradisi ini timbul perasaan senang atau bahagia dan pelaksanaannya direncanakan dan yang melaksanakannya sadar akan apa yang mereka lakukan. sedang melakukan. Tindakan nilai irasional adalah tindakan yang tujuannya ada dalam kaitannya dengan nilai absolut dan nilai tertinggi bagi individu, yang dianggap secara sadar sebagai sarana untuk mencapai tujuan.27 Teori Max Weber tentang tindakan ini, menurut peneliti, mencakup tradisi Maddoja Bine .

Kerangka Konseptual

Masyarakat Bugis di Desa Lipukasi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barruyang masih banyak yang belum melaksanakan tradisi Maddoja Bine hingga saat ini. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai tradisi Maddoja Bine pada masyarakat Bugis Desa Lipukasi. Judul penelitian ini adalah “Akulturasi Tradisi Maddoja Bine Pada Masyarakat Bugis Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru”.

Nama tradisional Barru adalah Maddoja Bine yang masih digunakan sampai sekarang oleh masyarakat Bugis di desa Lipukasi. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai tradisi Maddo Bina, peneliti mewawancarai masyarakat Bugis desa Lipukasi dengan menanyakan sejarah tradisi tersebut. Dapat kita simpulkan bahwa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bugis sangat berpengaruh terhadap tradisi Maddoj Bina.

Judul Penelitian: Akulturasi Tradisi Maddoja Bina pada Masyarakat Bugis di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru.

Kerangka Pikir

METODE PENELITIAN

  • Lokasi dan Waktu Penelitian
  • Fokus Penelitian
  • Sumber Data Yang Digunakan
  • Teknik Pengumpulan Data
  • Uji Keabsahan Data
  • Teknik Analisis Data

Untuk memahami lebih jauh tentang tradisi Maddoja Bine, Desa Lipukasi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, peneliti menggunakan beberapa pendekatan sehingga mampu memahami gejala-gejala yang ada. Maddoja Bine berkerabat dengan Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae karena yang mengusung tradisi ini pada dasarnya adalah mereka yang dijadikan teladan oleh masyarakat Bugis dalam tradisi Maddoja Bine.” 69. Tradisi Maddoja Bine adalah tradisi yang dilakukan untuk menghormati tradisi nenek moyang masa lalu yang diwariskan kepada penerusnya.

Selain sejarah tradisi Maddoja Bine, terdapat pula tahapan pelaksanaan dan dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan tradisi Maddoja Bine. Dalam sejarah tradisi Maddoja Bine terdapat beberapa cerita tentang asal usul tradisi ini. Dalam tradisi masyarakat Bugis terdapat perpaduan budaya antara Massureq dan Barazanji yang dilakukan pada saat pelaksanaan tradisi Maddoja Bine di daerah Barru.

Apa dampak pelaksanaan Tradisi Maddoja Bine terhadap masyarakat yang melakukan dan tidak mengamalkannya?

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sejarah Singkat Lipukasi

Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada saat itu, seseorang bernama La Makkarumpa Daeng Parani, berasal dari Tallo dan dikenal juga dengan nama Karaeng Tallo, datang ke Datu Tanete, kemudian digendong oleh We Tenriolle, untuk mencari teman dan mencari Lipu atau desa. Niat baik La Makkarumpa Daeng Parani disambut baik oleh We Tenriolle, sesuai dengan permintaannya ia diberikan Lipu (desa) sebelah utara Sungai Bottoe dengan perjanjian bahwa setiap tahunnya La Makkarumpa Daeng Parani harus membawa upeti kepada Datu Tanete. Peristiwa ini diduga terjadi karena Datu Tanete mendapat kabar bahwa Karaeng Lipukasi tidak mau lagi melayani Datu Tanete karena La Makkarumpa Daeng Parani sudah dua tahun tidak datang membawa upeti kepada Datu Tanete.

Sebagai kompensasinya, karena Karaeng Lipukasi tidak membawa upeti, maka Datu Tanete ikut serta di wilayah Lipukasi di desa Passede. Kemarahan Datu Tanete semakin bertambah ketika Karaeng Lipukasi menentang keinginan Datu Tanete karena sebagian wilayahnya diserbu. Ucapan Karaeng Lipukasi yang mengatakan jika perlu akan mengenakan celana di depan Datu Taneta semakin membuat marah Datu Taneta karena dianggap sebagai penghinaan.

Terbunuhnya kedua utusan tersebut membuat Datu Tanete mengirimkan pasukan untuk menyerang Lipukasi dan terjadilah perang atau Rumpana Lipukasi.

Terbentuknya Desa Lipukasi

Hebatnya lagi, pasukan We Tenriolle bernama La Pasarai sambil menggigit tombak, menceburkan diri ke sungai, menyerang, disusul seluruh tau warani (pemberani) dari berbagai arah. Pasukan Tanete Rilau dipimpin oleh La Pasarai yang juga merupakan kerabat raja, sedangkan pasukan Lompo Riaja dipimpin oleh La Manda Arung Kading. Menurut sejarahnya, ciri-ciri sosial masyarakatnya berkaitan dengan nama Desa Lipukasi dalam bahasa Bugis, yaitu: Lipu artinya "Wanua", dan artinya Kasi.

Oleh karena itu, Lipukasi menjadi dusun yang selalu dipenuhi rasa cinta sesama warganya. Menurut sejarah, pemberian nama ini diberikan oleh raja Tanete yang bernama Daeng Ngasseng yang mengangkat seorang raja kecil di Lipukasi dengan nama tersebut. Karaeng Lipukasi. Pada masa pemerintahan raja-raja di Distrik Tanete Rilau, Desa Lipukasi mempunyai ciri-ciri umum yang sama dengan desa-desa lainnya ditinjau dari Geografi, Klimatologi, Monografi dan Demografi. Pada hakikatnya pembangunan yang dilaksanakan adalah untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, berkeadilan materil dan rohani, berdasarkan Panacasila dan Undang-Undang Dasar 1945. .

Oleh karena itu desa merupakan tumpuan dan tulang punggung negara bagi terwujudnya cita-cita tersebut, tentunya segala kegiatan, potensi dan kreasinya berada di desa karena desa merupakan satuan pemerintahan terendah yang diberi tanggung jawab mengelola pembangunan di daerah. sektor utama. .

Wilayah Letak Geografis

Aparat desa sebagai unit yang bekerja langsung dengan masyarakat sudah seharusnya merasa bertanggung jawab dalam mensukseskan pembangunan, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek tetapi juga subjek pembangunan. Atas dasar itu, partisipasi masyarakat dalam seluruh kegiatan pembangunan harus ditumbuhkan agar mereka bersama-sama bertanggung jawab atas keberhasilan Pembangunan Nasional.

Jumlah Penduduk

Keagamaan

Saya tidak tahu kalau lagu tentang Maddoja Bine dinyanyikan saat melakukan tradisi ini. Maddoja Bine diartikan sebagai tradisi yang dilakukan terutama oleh masyarakat Bugis di berbagai daerah yang adat istiadatnya masih kuat. Masyarakat kemudian percaya bahwa jika mereka menjalankan amanah Sangiang Serri maka kehidupan dunia mereka akan baik, dan Sangiang Serri tidak akan meninggalkan mereka, dan mereka dijadikan teladan oleh masyarakat Bugis dalam tradisi Maddoja Bine.

Pelaksanaan Tradisi Maddoja Bine Tahun 2021 kemarin dilaksanakan pada bulan Desember tepatnya di bulan Jumadil Aval.” 72. “Tidak ada konflik diantara keduanya karena sampai saat ini masyarakat Bugis masih melakukan Barazanji dalam tradisi Maddoja Bine walaupun Massurek sudah tidak dilakukan lagi.” Maddoja Bine merupakan tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Bugis khususnya Desa Lipukasi sebagai tanda penghormatan dan penghargaan terhadap warisan nenek moyang.

Berdasarkan hasil penelitian akulturasi tradisi Maddoja Bine pada masyarakat Bugis di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai yang dapat diambil dari tradisi Maddoja Bine yang bermanfaat adalah untuk kehidupan sehari-hari dari kisah sejarah tradisi ini, walaupun ada beberapa contoh.

Struktur Desa

Tradisi Maddoja Bine Masyarakat Bugis Desa Lipukasi

Ri somperenna, Sangiang Serri massibawa lettu ri Enrekang, nampa ri Maiwa nappa lao ke ri Soppeng, Langkemme, bettu ri Kessi, Lisu, nampai lettu ri Berru. Sangiang Serri Massibawa Nasaleini linoe joppa ri langi, Naikia wettunna lettu Sangiang Serri Massibawa de'. Meow Mpala selalu disiksa oleh orang-orang yang tidak menginginkan dirinya ada, sedangkan Sangiang Serri sudah tidak lagi dipelihara di kandang.

Sangiang Serri dan Meow Mpalo Karellae disambut, diagungkan dan ditempatkan dengan layak di loteng. Semua masyarakatnya ramah, jujur, dan bersikap adil, sehingga Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae merasa nyaman berada di sana. Masyarakat kemudian percaya bahwa jika mereka melaksanakan pesan Sangiang Serri, maka kehidupan mereka di dunia akan baik, dan Sangiang Serri tidak akan meninggalkan mereka.

Maddoja Bine dipentaskan sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih kepada Sangiang Serri yang telah menjelma menjadi tanaman padi tepat di atas kuburnya dan ada pula yang mengatakan bahwa Sangiang Serri telah memberikan pesan, nasehat dan bimbingan khususnya kepada masyarakat Bugis. khususnya di daerah Barru (Berru) yaitu tentang tata cara menanam padi, serta adat istiadat dalam penanganan tanaman padi agar masyarakatnya dapat hidup dalam kebaikan.

Akulturasi Tradisi Maddoja Bine terhadap Masyarakt Bugis Desa Lipukasi

Namun di Desa Lipukasi tidak ada yang seperti itu, hanya pembakaran dupa dari lilin dan kapas serta penyalaan lampu. Akulturasi budaya yang terkandung dalam Tradisi Maddoja Bine ini dapat diterima di masyarakat dan dapat dilestarikan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri bagi lingkungan yang menerapkan dan berusaha untuk melestarikan tradisi ini, hanya saja sebagai istilah atau proses Massurek atau Passurek, lama kelamaan unsur islam pun turut serta. termasuk yaitu Barazanji, ini merupakan jenis akulturasi yang termasuk atau tahapan baru dalam proses Maddoja Bine.” 80.

Dimana ada cara untuk melaksanakan tradisi Maddoja Bine, tidak lagi dengan membaca Massureq, namun masyarakat sudah mengadopsi unsur agama Islam yaitu kegiatan Barazanji karena ada lembaga yang sudah tidak berfungsi lagi. Oleh karena itu peneliti memberikan saran yang dianggap perlu yaitu melakukan pengenalan kepada masyarakat desa Lipukasi termasuk generasi milenial saat ini agar tetap menjaga tradisi nenek moyang dan pembacaan kitab suci (Massureq) di Maddoja Bine. di tunggu. Tradisi sebagai wujud perpaduan kedua budaya tersebut agar tidak hilang atau terkubur di era milenial seperti saat ini. Suhrah, Sarifah dan Rosita, 'Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Ritual Maddoja Bine Pada Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan'.

Sulkarnaen, A., 'Keberlanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine Dalam Konteks Perubahan Sosial Masyarakat Bugis'.

PENUTUP

Saran

Anizha Rahmadani, Andi., dkk., 'Eksistensi Kearifan Lokal Masyarakat Petani di Era Revolusi Hijau (Studi Kasus Padi di Desa Carebbu Kecamatan Awongpone Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan)'. Harfila, Mila dan Syamsumarli, 'Ritual Maccera Darame dalam Sistem Pertanian Tradisional Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Bugis di Desa Tombekuku Kecamatan Basala Kabupaten Konawe Selatan'. Petri Roszi, Jurna dan Mutia, 'Akulturasi nilai budaya dan agama lokal serta dampaknya terhadap perilaku sosial'.

Peran Budaya Tudang Sipulung/Appalili dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Nilai Budaya Pertanian di Sulawesi Selatan. Tradisi Ma'Gawe Samampa di Desa Pattimang Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu Utara (Analisis Maqashid Al-Shari'ah)".

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian oleh Fauziyyah melaporkan kombinasi ekstrak air jahe dengan kayu secang menghasilkan interaksi antagonis sedangkan interaksi jahe dengan cengkeh sinergis.12 Nadhira