• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Maddoja Bine Masyarakat Bugis Desa Lipukasi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Tradisi Maddoja Bine Masyarakat Bugis Desa Lipukasi

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya. Budaya merupakan jati diri dan identitas diri. Keragaman kebudayaan di Indonesia suatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain budaya kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut.

Pertemuan dengan kebudayaan diluar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki ragam budaya yang berada hampir setiap daerah.

Salah satu budaya yang menjadi kebiasaan di Indonesia sebagai tradisi dari nenek moyang berada di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya Desa Lipukasi Kec.

Tanete Rilau Kab. Barru nama tradisinya adalah Maddoja Bine yang masih dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat Bugis Desa Lipukasi.

Sejarah mengenai Tradisi Maddoja Bine memiliki banya persi cerita dari beberapa daerah. Sejarah dari tradisi ini dicertikan dalam naskah Meong Mpalo Makkarellae berbentuk tulisan latin:

Engka seuwa wettu de’na naipakaraja Sangiang Serri ri pabbanuae ri tana Luwu. De’na naipatudang ri onrong marajae, de’na gaga pabbanua turu’i pammatoa, appemmaliangnge, naanreni balawo riwennie, napitto manu riwellang kessoe

Maeng Palo iya pakarajai Sangiang Serri isessa pabaanuae. Gangkanna menssinyawa Sangiang Serri najoppa lao mabela salai onrongngero sibawa Meong Mpalo Karellae

Ri somperenna, Sangiang Serri massibawa lettu ri Enrekang, nampa ri Maiwa nappa lao to ri Soppeng, Langkemme, bettu ri Kessi, Lisu, nampai lettu ri Berru.

Laleng naolae mappammula Enrekang lettu Lisu runtu sussa na pa’halang nasaba panggaukeng rupa tau iya de’

naiminasai meong nasessa teppaja, Sangiang Serri de’na naitaro ri rakkeangnge. Napada malupu manenni naiyatopa dekka, pella iya mattoro’e ri esso nampa cekke temmaka- maka cekke ri wennie. Pada lao salei onrongngero.

Riwettu mattama ni ri daerah Berru narunktu seddie seuwa na de nengka naruntu’i. Sangiang Serri massibawa iduppai madeceng, ipakaraja nappa ipasau dodong ri rakkeangnge. Pabbanuae mabessa meneng mua iya adele, mammuare’i Sangiang Serri manyameng monro ri onrongngero.

Ri wettu ero, Sangiang Serri temmaka dodonna, na masussa to pappeneddinna nasaba mangngerangngi alallengenna naruntu tona sifa pabbanua iya meddupa- rupangnge. Napikkirikini salai linoe, maelo maenre ri langi siruntu duae pajajianna iya engkae ri Boting Langi.

Sangiang Serri massibawa nasaleini linoe joppa ri langi, naikia wettunna lettu Sangiang Serri massibawa de’

nailoreng monro ri duae pajajianna monro ri langi’e nasaba pura ri atoro berekkuammengngi nulle ma’bere atuongeng ku Linoe.

Artinya:

Hanya Meong Mpalo Karellae yang menghormati Sangiang Serri, namun justru ia sering disiksa oleh para penduduk. Sangiangseri seri kemudian merasa kasihan melihatnya sehingga ia mengajak Meong Mpalo Karellae pergi meninggalkan tempat itu.

Dalam perantauannya, mereka tiba di Enrekang, kemudian ke Maiwa, selanjutnya ke Soppeng, Langkemme, Kessi, Lisu, hingga sampai ke Barru.

55

55

Dalam rute perjalanannya yang melewati Enrekang hingga ke Lisu, mereka tiada henti didera penderitaan di tempat yang mereka singgahi. Meong Mpalo selalu disiksa oleh orang yang tidak menginginkan keberadaannya, sementara Sangiang Serri tidak lagi disimpan di atas lumbung. Mereka juga terus dilanda rasa lapar dan haus. Ketika siang mereka merasakan panas terik matahari, ketika malam mereka merasakan dingin yang menusuk. Itulah yang menyebabkan mereka selalu meninggalkan setiap tempat yang mereka datangi.

Ketika memasuki daerah Barru, mereka menemukan hal yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae disambut dengan baik, diagungkan dan ditempatkan baik-baik di atas loteng. Semua masyarakatnya ramah, jujur dan berlaku adil, sehingga Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae merasa nyaman tinggal di tempat itu.

Pada waktu itu, Sangiang Serri merasa sedih dan merasa lega ketika ia mengingat kembali kisah perjalanannya yang penuh penderitaan sekaligus berbagai macam perlakuan orang terhadap dirinya. Ia pun berpikir untuk meninggalkan dunia dan kembali ke langit untuk bertemu dengan kedua orang tuanya di Boting Langi (sebutan untuk tempat tinggalnya dewa-dewa di atas langit menurut kepercayaan Bugis).

Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae kemudian meninggalkan dunia dan naik ke atas langit. Namun ketika mereka sampai di Boting Langi, mereka ternyata tidak diizinkan untuk tinggal di sana karena mereka telah ditakdirkan untuk memberi kehidupan di dunia.

Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae kemudian kembali ke dunia. Tidak terasa sudah tujuh hari tujuh malam Sangiang Serri berada di Barru, mulailah ia

56

memberi pesan-pesan, nasihat, dan pemali, terutama yang berkaitan dengan tata cara menanam padi, serta adat dalam memperlakukan tanaman padi sehingga masyarakat hidup dalam kebaikan.

Masyarakat kemudian percaya bahwa ketika mereka melaksanakan pesan dari Sangiang Serri, maka kehidupan mereka di dunia akan mendatangkan kebaikan, juga Sangiang Serri tidak akan meninggalkan mereka.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Tradisi Maddoja Bine maka peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat Bugis Desa Lipukasi dengan mempertanyakan mengenai sejarah dari Tradisi tersebut.

Wawancara salah seorang masyarakat Desa Lipukasi sebagai tuan rumah dari pelaksanaan tradisi ini, dengan mempertanyakan menurut Bapak bagimana sejarah dari Tradisi Maddoja Bine dan beliau mengatakan bahwa:

“Untuk masalah sejarah dari tradisi ini saya tidak tau karena kisah dari balik tradisi ini hanya orang-orang dulu yang mengetahuinya. Yang saya sedikit ketahui bahwa dalam pelaksanaan tradisi ini terdapat penyanyian lagu tentang Maddoja Bine. Kami hanya menjalankan tradisi dari nenek moyang sebagai bentuk menghargai dan menghormati atas tradisi yang telah mereka wariskan”.67

Wawancara salah seorang Mahasiswa yang tinggal di Desa Lipukasi dengan mempertanyakan menurut saudari bagimana sejarah dari Tradisi Maddoja Bine dan beliau mengatakan bahwa:

“Sepengetahuan saya mengenai Tradisi Maddoja Bine adalah Maddoja diartikan begadang, Bine diartikan benih. Jadi Maddoja Bine diartikan sebagai sebuah tradisi yang dilakukan khususnya masyarakat Bugis dibeberapa daerah yang masih kental akan adat-istiadatnya. Petani yang melakukan tradisi ini akan begadang untuk menujaga benih yang mereka rendam sebelum dilakukan tebar benih disawah yang menurut kepercayaan masyarakat dengan pelaksanakan

67Laukkase. T, masyarakat Desa Lipukasi (Petani), wawancara oleh peneliti di Desa Lipukasi,

57

57

tradisi tersebut akan berubah positif atau akan menghasilkan kualitas padi sebagaimana yang diinginkan”.68

Wawancara salah satu masyarakat Desa Lipukasi dengan mempertanyakan menurut Bapak bagimana sejarah dari Tradisi Maddoja Bine dan beliau mengatakan bahwa:

Maddoja Bine adalah menyanyikan lagu yang bercerita tetang tradisi ini.

Tradisi ini dikenal dalam kalangan masyarakat Bugis yang setiap tahunnya dilaksankan. Maddoja Bine berkaitan dengan Sangiang Serri dan Meong Mpalo Karellae karena pada dasarnya yang membawa tradisi ini adalah mereka yang diajdikan sebagai panutan oleh masyarakat Bugis dalam Tradisi Maddoja Bine”.69

Yang dapat disimpulkan oleh peneliti baik itu hasil bacaan mengenai sejarah dari Tradisi Maddoja Bine baik itu dari sumber tertulis maupun hasil wawancara yang dilakukan:

“Tradisi Maddoja Bine adalah tradisi yang dilakukan untuk menghargai tradisi nenek moyang terdahulu yang telah diwariskan kepada penerusnya. Maddoja Bine dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih kepada Sangiang Serri karena menjelma sebagai tanaman padi yang berada tepat di atas kuburannya dan ada juga persi lain mengatakan bahwa Sangiang Serri telah memberikan pesan-pesan, nasihat dan pemali, terutama kepada masyarakat Bugis khusunya di daerah Barru (Berru) yang berkaitan dengan tata cara menanam padi, serta adat dalam memperlakukan tanaman padi sehingga masyarakat hidup dalam kebaikan. Masyarakat kemudian percaya bahwa ketika mereka melaksanakan pesan dari Sangiang Serri, maka kehidupan mereka di dunia akan mendatangkan kebaikan, juga Sangiang Serri tidak akan meninggalkan mereka, dan mereka diajdikan sebagai panutan oleh masyarakat Bugis dalam Tradisi Maddoja Bine”.

Selain sejarah dari Tradisi Maddoja Bine ada juga tahap pelaksanaannya serta dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan Tradisi Maddoja Bine. untuk mengetahuinya maka peneliti melakukan wawancara salah seorang masyarakat Desa Lipukasi yang ikut serta dalam mempersiapkan pelaksanaan Barazanji pada Tradisi

68Devi Sarvika, mahasiswa, wawancara oleh penelliti di Desa Lipukasi,

69Basri, masyarakat Desa Lipukasi, wawancara oleh peneliti di Desa Lipukasi,

58

Maddoja Bine dengan mempertanyakan menurut Ibu apa saja tahap pelaksanaan serta dampak yang ditimbulkan dari Tradisi Maddoja Bine, dan beliau mengatakan bahwa:

“Yang pertama dilakukan adalah Mappangolo, setelah itu dilanjutkan lagi dengan Maremme Bine (Perendaman bibit/benih) yang dilakukan di pinggir laut akan tetapi tidak lagi dilakukan karena direndam di atas rumah yang disimpan ke dalam loyang, kemudian dilanjutkan lagi dengan mempersiapkan apa-apa saja yang diperlukan sebelum malam pembacaan Barazanji yaitu pembuatan 7 macam kue, kemudian dilanjutkan dengan pencucian benih yang sudah direndam dan dimasukkan ke dala9m karung, pada malam keduanya diadakan Barazanji yang mana masih ada harus disediakan yaitu 7 macam kue kemudian disajikannya di atas piring sebanyak 7-9 buah dan tidak boleh genap, setelah kuenya sudah selesai diatur maka dilakukanlah pembacaan Barazanji yang dipimpin oleh Imam kampung setempat, setelah pembacaan selesai maka dipersilahkan menikmati kue yang telah disediakan”.70

Selanjutnya beliau menegaskan dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan Tradisi Maddoja Bine, beliau mengatakan bahwa:

“Petani yang melaksanakan tradisi ini akan memperoleh hasil tanaman padi akan lebih bagus di panen dari tahun-tahun sebelumnya dan itu akan berdampak pada petani yang maelaksanakan tradisi tersebut, akan tetapi jika petani tidak melaksanakan tradisi itu tidak ada dampak negatif yang didapatkan karena pada dasarnya orang yang melakukan tradisi ini adalah orang yang menghargai dan menghormati tradisi orang-orang dahulu yang diwariskan kepada keturunannya”.71

Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tahap peleksanaan Tradisi Maddoja Bine maka dilakukanlah wawancara dengan salah seorang masyarakat Desa Lipukasi yaitu istri dari tuan rumah tempat pelaksanaan Tradisi Maddoja Bine dengan mempertanyakan menurut Ibu apa saja tahap pelaksanaan serta dampak yang ditimbulkan dari Tradisi Madmdoja Bine, beliau mengatakan bahwa:

70Salmiah, masyarakat Desa Lipukasi, wawancara oleh peneliti di Desa Lipukasi, 12 Januari 2022

71 Salmiah, masyarakat Desa Lipukasi, wawancara oleh peneliti di Desa Lipukasi, 12 Januari 2022

59

59

“Yang perlu dipersiapkan adalah Daung Ota (Daun Siri), Alosi (Buah Pinang), Puale (Kapur), Passili (Daun yang sudah disediakan dan diikat menjadi satu), Pelleng (Kemiri), Cawile (Bambu), Ape’ (Kapas), Bine (Bibit), Pelleng- Pelleng/Lampu-Lampu (Pelita), Daung Paru, Minyak Bau (Minyak berbau harum), Dupa-dupa (tempat pembakaran arang atau kayu-kayu kecil). Ketika sudah tersedia apa yang diperlukan, jadi kapas dan kemiri dicampur dan di tumbuk sampai halus dan dilekatkan ke bambu yang sudah di belah menjadi tipis. Ada beberapa tahap pelaksanaannya yaitu Mappalece Bine dengan membakar kapas dan kemiri yang sudah dihaluskan hingga tidak ada lagi yang tersisa dari kemiri dan kapasnya, ada beberapa kampung yang melakukan kegiatan Mappalece Bine menyediakan Gincu (Lipstik), Camming (Cermin), Jakka (Sisir). Akan tetapi di Desa Lipukasi tidak aa seperti itu yang ada hanya membakar dupa dari kemiri dan kapas serta menyalakan pelita. Pada tahap selanjutnya Mappasili yang dimana memercikkan air dengan menggunakan daun-daun yang sudah disediakan, sebelum melakukan Mappasili terlebih dahulu tuan rumah memberikan minyak bau kedalam dupa yang sudah ada apinya kemudian diasapilah bibit yang sudah dicuci dan disimpan ke dalam karung serta tidak lupa membakar dupa dari kemiri dan kapas. Pada malam harinya tuan rumah menyediakan kue diatas nampan besar (Baki/Kappara Loppo) dan menyediakan duoa yang berisi api hal ini bertujuan untuk pembacaan Salamaq’ yang artinya diberi keselamatan bagi tuan rumah serta bibi padi menjadi bagus ketika ingin ditabur ke sawah. Pelaksanaan Tradisi Maddoja Bine tahun 2021 kemrin dilakukan pada bulan Desember tepatnya pada bulan Jumadil Awal”.72

Selanjutnya beliau menegaskan kembali dari dampak yang ditimbulkan Tradisi Maddoja Bine, ia menagtakan bahwa:

“Dampak yang diperoleh dari petani melakukan tradisi ini hasil tanaman padi jika dipanen akan lebih bagus lagi dari yang sebelumnya, sedangkan petani yang tidak melakukan tradisi ini tidak ada dampak negatif yang di dapatkan karna tradisi ini tidak memaksa petani yang lain untuk melaksanakannya”73 C. Akulturasi Tradisi Maddoja Bine terhadap Masyarakt Bugis Desa Lipukasi

Dokumen terkait