• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN

N/A
N/A
guruh

Academic year: 2023

Membagikan "ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN "

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN

Oleh : RAHAYU SUKMA DEWI NIM : 202002026212

Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya

Jakarta 2021

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik tidak dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi, hal itu juga tidak berarti bahwa perbuatan yang tercantum dalam rumusan delik selalu dapat dijatuhi pidana.1 Salam suatu ketentuan pidana, pembentuk undang-undang tidak selalu merumuskan perbuatan yang dapat dipidana saja.

Kadang-kadang ditambah dengan penyebutan keadaaan dimana melakukan perbuatan itu tidak dipidana. Jadi, pembentuk undang- undang menambahkan alasan-alasan penghapus pidana pada rumusan delik.2 Alasan penghapus pidana merupakan keadaan khusus (yang harus dikemukakan tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi dan dijatuhi pidana. KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana dan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Pembahasan mengenai hal tersebut berkembang melalui doktrin dan yurispridensi.3

Seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, dapat dipidana apabila terpenuhi dua hal yaitu perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam ilmu hukum pidana, alasan hukum pidana dibedakan dalam alasan penghapus pidana umum dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam pasal 44, 48-51 KUHP, dan alasan penghapus pidana khusus. Teori hukum

1 D. Schaffmeister, (et. Al), Hukum Pidana, Citra aditya bakti, Bandung, 2007, hlm. 26 2 D. Schaffmeister, (et. Al), Op.Cit, hlm 28

3 http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/penghapusan-pidana.html, diakses pada senin, 11 april 2016

(3)

pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan Pemaaf, dan alasan Penghapus Penuntutan. Akan tetapi terdapat perbedaan antara alasan penghapusan pidana dalam sistem hukum civil law (Indonesia) dengan sistem hukum common law (Inggris dan Amerika). Hal tersebut dipengaruhi oleh ajaran mengenai kesalahan yang berbeda yang berlaku di kedu sistem hukum tersebut. Ajaran kesalaham dalam sistem hukum common law dikenal melalui dokrtin Mens-rea yang dilandaskan pada maxim: “actus ets reus nisi mens sit rea”, yang berarti suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.4 Dalam sistem common law pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya “actus- reus” dan “mens-rea”.5 Sedangkan dalam sistem hukum civil law yang dilihat dari kesalahannya adalah ada tidaknya unsur kesengajaan ataupun kelalaian. Selain itu, syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut sistem hukum civil law adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan oelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut:6

1. Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat) dilakukan oleh seseorang;

2. Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup definisi pelanggaran; dan

3. Bersifat melawan hukum.

Berdasarkan uraian diatas, untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan penghapusan pidana yang berlaku di Indonesia (Civil law), Inggris dan Amerika (Common law)

.

4 Romli atmasasmita, perbandingan hukum pidana, C.V Mandar maju, Bandung, 2000, hlm 37

5 Romli atmasasmita, Op. Cit, hlm 39.

6 Romli atmasasmita, Op. Cit, hlm 49.

(4)

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana?

2. Bagaimana mengenai alasan penghapusan pidana di Indonesia?

3. Bagaimana mengenai alasan penghapusan pidana di Inggris dan Amerika?

BAB II PEMBAHASAN

1. Definisi alasan penghapus pidana

Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda strafuitsluitingsgrond, yang dapat diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi atau dijatuhi pidana.7

Alasan-alasan penghapus hukum pidana dalam teori hukum pidana dibedakan menjadi:8

1) alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dibenarkan.

2) Alasan pemaaf; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbutan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

7 Adika nina, https://adikanina1987.wordpress.com/2013/02/28/alasan-penghapus-pidana/, diakses pada selasa, 12 april 2016.

8 Moeljanto, Asas-asas hukum pidana, Rineka cipta, jakarta 2008, hlm 148

(5)

3) Alasan penghapus penuntutan; di sini soalnya bukan ada alasan pembenaran maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Jika perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh: pasal 53, apabila terdakwa dengan suka rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatann.

Alasan penghapusan pidana ini hanya dapat digunakan kalau perbuatan itu telah dilakukan dan kalau terjadi keadaan khusus yang dicantumkan dalam alasan penghapus pidana tersebut. Sebagai contoh, Pasal 310 KUHP menyebutkan bahwa:9

“tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.

Redaksi dalam ketentuan Pasal 310 KUHP jelas menunjukan bahwa ayat (3) tidak menjadi bagian dari rumusan delik itu sendiri. Ini mempunyai akibat dalam tuduhan. Hanya unsur-unsur delik yang tertulis yang harus dimasukan. Tidak perlu disebutkan bahwa tidak terdapat keadaan yang disebut dalam ayat (3) (alasan penghapus pidana) tersebut. Apabila terdakwa berpendapat dia berbuat karena keadaan terpaksa, dia dapat menggunakannya. Apabila hakim, oleh siapa pun juga diperingati berpendapat bahwa memang ada alasan

9 D. Schaffmeister, (et. Al), Hukum Pidana, Citra aditya bakti, Bandung, 2007, hlm 28

(6)

penghapus pidana, hakim, meskipun tuduhan telah terbukti, akan melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum.10

Adakalanya juga suatu rumusan delik mensyaratkan secara tertulis tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf sebagai unsur tidak dapat dipidananya perbuatan. Mengenai jal ini, contohnya pasal 551 KUHP yang menyebutka bahwa:

“barang siapa tanpa wewenang, berjalan atau berkendara di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya, diancam pidana denda paling banyak dua ratur dua puluh lima rupiah”.

Keadaan bahwa pelaku berbuat “tanpa wewenang”, merupakan unsur tertulis perbuatan dalam redaksi ketentuan pidana ini. Oleh karena itu, harus dituduhkan dan dibuktikan. Sama halnya dengan istilah “tanpa keharusan” (dalam teks KUHP R. Soesilo dicantumkan:

“dengan tiada terpaksa”) dalam Pasal 512 KUHP, yang juga

“dimasukan” ke dalam rumusan delik. Jadi, harus dituduhkan bahwa perbuatan itu dilakukan tanpa keharusan (atau paksaan). Kalau hal itu tidak dapat dibuktikan sebab diterima bahwa terdakwa berbuat karena daya paksa, misalnya dia harus dibebaskan. Jadi, redaksi sangat menentukan. Dengan demikian, dapat ditentukan apakah pembentuk undang-undang menganggap tidak adanya keadaan yang menghapuskan pidana sebagai unsur yang harus dituduhkan dan dibutkikan atau adanya keadaan itu sebagai alasan penghapus pidana.

2. Alasan Penghapus Pidana di Indonesia

Kitab Undang-undang Hukum Pidana selain menetapkan perbuatan yang diancam dengan pidana juga menetapkan beberapa

10 D. Schaffmeister, (et. Al), Hukum Pidana, Citra aditya bakti, Bandung, 2007, hlm 29

(7)

perbuatan yang mengurangi pidana (Pasal 47 diubah berdasar Pasal 81 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 53 ayat (2) (3), pasal 57 ayat (1) (2); yang memberatkan pidana ( Pasal 52, 63-71 KUHP) dan yang mengecualikan dari ancaman pidana. Pada kesempatan ini yang akan dibicarakan adalah hal yang terakhir, yaitu menyangkut perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi tidak dipidana, meliputi alasan penghapus pidana, alasan penghapus penuntutan dan gugurnya menjalani pidana.

Memorie van Toelichting (MvT) atau risalah penjelasan KUHP Belanda mengenai alasan penghapus pidana, mengemukakan apa yang disebut "alasan-alasan tidak dapat di pertanggungawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang"di dasarkan pada dua hal yaitu :

1) Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid), dan

2) Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uit wendige oorzaken van ontoerekenbaarheid).

Termasuk alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang ialah karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit sebagaimana dimaksud pada Pasal 44, dan alasan karena umur yang masih muda, sedangkan alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu adalah keadaaan-keadaan yang dimuat pada Pasal 48 sampai dengan Pasal 51, yaitu daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan perintah UU, dan melaksanakan perintah jabatan. Di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak Iagi merupakan alasan penghapus pidana.11

11 Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, 1994 hlm. 138.

(8)

Alasan penghapus pidana berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu alasan penghapus pidana yang umum dan alasan penghapus pidana yang khusus:12

1) Alasan penghapus pidana yang umum merupakan alasan penghapus pidana yang berlaku untuk tiap-tiap delik pada umumnya sebagaimana disebut dalam pasal 44, 48 s/d 51 KUHP;

sedangkan

2) Alasan penghapus pidana yang khusus, merupakan alasan yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, seperti misalnya pasal 166 KUHP, Pasal 221 ayat 2 dan Pasal Pasal 310 ayat (3).

Pasal 166 KUHP menentukan bahwa "Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst ...berarti pasal ini mengecualikan keadaan sebagaimana ditentukan Pasal 164 (mengetahui ada permufakatan jahat) dan Pasal 165 (mengetahui ada niat melakukan perbuatan 104, 106-108, dst). Demikian pula ketentuan Pasal 221 ayat 2, yaitu perbuatan “ menyimpan orang melakukan kejahatan ……….” Disini tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan terhadap istri, suami, dan orang- orang yang masih mempunyai hubungan darah.

Pasal 310 ayat (3) yang menentukan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Selain pembedaan menurut MvT dan Ilmu pengetahuan, berdasarkan doktrin juga dibedakan alasan penghapus pidana menurut sifatnya, yaitu karena adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan karena alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Menurut Sudarto pembedaan ini sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Alasan pembenar menghapuskan sifat

12 Idem.

(9)

melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik. Oleh karena sifat melawan hukumnya perbuatan dihapuskan, maka si pembuat tidak dapat dipidana. Kalau tidak ada unsure melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam K.U.H,P. ialah pasal 49 ayat 1 (pembelaan terpaksa), pasal 50 (melaksanakan peraturan undang-undang dan pasal 51 ayat 1 (melaksanakan perintah jabatan).

Alasan pemaaf menyangkut pribadi si-pembuat, dalam arti si- pembuat tidak dapat dicela, dengan perkataan lain si-pembuat tidak dapat dipersalahkan, atau tidak dapat dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Dengan demikian di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si-pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KU.H.P ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggung-jawab), pasal 49 ayat 2 (noodweer exces), pasal 51 ayat 2 (dengan iktikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf. Alasan penghapus pidana menurut Van Hamel dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) dan

alasan yang menghapus sifat dapat dipidana

(strafwaardigheiduitsluiten), namun pembagian itu tidak banyak dianut. Para penulis hukum pidana lebih banyak mengikuti pendapat VOS yang membedakan kedalam alasan pembenar

(rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf

(schulduitsluitingsgronden). 13

a. Tidak mampu bertanggungjwab (pasal 44)

Tidak mampu bertanggung jawab datur pada Pasal 44. Disitu ditentukan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang

13 Bambang Purnomo , azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007 hlm. 193.

(10)

melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Mv.T sebagaimana telah disebut di muka menyebutkan “tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak di dalam diri si-pembuat”.

Apa yang diatur dalam pasal tersebut juga merupakan sikap dari KUHP terhadap mampu bertanggungjawab, akan tetapi KUHP tidak menyatakan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan mampu bertanggungjawab. Dalam pasal tersebut KUHP hanya menyatakan secara negatif, kapan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannja. Pasal 44 sama sekali tidak memberikan pengertian kemampuan bertanggungjawab.

Pasal 44 tersebut mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/ penyakit jiwa yang diderita oleh pembuat. Sampai saat ini hubungan kausal dengan penyakit jiwa ini menimbulkan persoalan karena ada berbagai penyakit jiwa dan sifat-sifatnya dalam ilmu psikiatri. Sehubungan dengan jenis-jenis penyakit jiwa itu didalam praktek ada beberapa jenis penyakit jiwa yang penderitanya hanya dapat dipertanggungjawab sebagian, seperti penderita penyakit kleptomanie, pyromania, claustophobie, mani depressi dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan jiwanya yang sakit, yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan perbuatan lain yang tidak karena penyakit jiwa yang dideritanya tetap dipertanggungjawabkan.14

14 Bambang Poernomo, ibid, hlm 203.

(11)

Untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya itu, dikenal adanya tiga metode, yaitu: 15

1) Metode biologis;

2) Metode psikologis; dan

3) Metode campuran (metode biologis-psikologis).

Metode yang pertama psikiater akan menyatakan terdakwa sakit jiwa atau tidak. Apabila psikiater menyatakan terdakwa sakit jiwa, maka terdakwa tidak dapat dipidana. Metode kedua menunjukkan hubungan antara keadaan jiwa yang abnormal dengan perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat jiwa terhadap perbuatannya sehingga dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana, sedangkan metode yang ketiga di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian keadaan jiwa ini dipernilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab. KUHP menganut metode gabungan (biologis-psikologis) dan dalam penetapan pidana menggunakan sistim deskriptif normatif, artinya ahli akan mendiskripsikan keadaan jiwanya, sedangkan untuk menentukan apakah pelaku patut dipidana atau tidak menjadi kewenangan hakim.16

Tidak adanya kemampuan bertanggung-jawab menghapuskan kesalahan, tetapi perbuatannya tetap bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan alasan penghapus kesalahan berdasarkan alasan pemaaf.

b. Daya Paksa (Overmacht) (Pasal 48).

Pasal 48 KUHP menentukan "Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa". Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam

15 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai lektur mahasiwa, halm. 248-249 16 Soedarto, ibid, hlm. 95

(12)

KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat MvT atau risalah penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika Kitab Undang- undang (Belanda) itu dibuat. Dalam M.v.T. dilukiskan sebagai :

"setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan”. Hal terakhir ini, yaitu "yang tak dapat di tahan“, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Paksaan di sini bukan paksaan yang mutlak, bukan paksaan yang tidak memberi kesempatan kepada si-pembuat menentukan kehendaknya.

Pengertian "tidak dapat ditahan" menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari sipembuat untuk mengadakan perlawanan.

Sehubungan dengan adanya paksaan yang mutlak dan paksaan yang tidak mutlak, maka daya paksa (overmacht) dapat dibedakan dalam dua hal yaitu vis absoluta (paksaan yang absolut) dan vis compulsiva (paksaan yang relatif).

Daya paksa yang absolut (vis absoluta) dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau karena disebabkan alam. Dalam vis absoluta paksaan sama sekali tak dapat di tahan. Contoh :

1) Tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan serta merta dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Apabila yang terjadi demikian, maka orang yang dipegang tangannya tadi tak dapat dikatakan telah melakukan pengrusakan benda berdasarkan pasal 406 KUHP.

2) Seseorang yang berada di bawah pengaruh hipnotis melakukan pembunuhan, maka orang yang berada dibawah hipnotis tadi tak dapat di katakan telah melakukan perbuatan yang disebut pada Pasal 388 KUHP. Perbuatan yang dilakukan di luar kehendak si-pembuat. Namun hakim harus tetap memperhatikan keadaan si-pembuat yang sebenarnya. , Dalam hal hypnose ini harus dilihat bagaimana keadaan sebenarnya dari si pembuat itu. Kalau ia hanya dalam

(13)

pengaruh yang kuat belaka, maka tak ada vis absoluta tetapi vis compulsiva. Jadi harus dilihat sampai berapajauh pengaruh hypnose itu pada orang yang bersangkutan.

Pengertian vis absoluta seperti contoh-contoh di atas tidak termasuk dalam pengertian daya paksa dari pasal 48 KUHP. Daya paksa Pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis compulsiva), Istilah "

didorong " (gedrongen) menunjukkan bahwa paksaan itu sebenarnya dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Muljatno hanya menyebut "karena pengaruh daya paksa").17 Contoh : seorang kasir Bank tiba-tiba ditodong oleh seseorang dengan menempelkan pisau didada agar kasir bank menyerahkan uang yang ada di Brankas. Kasir bank masih ada kesempatan berpikir apakah ia akan memenuhi kewajibannya atau akan menyerahkan uangnya. Disini ada paksaan, tetapi tidak absolute. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan.

Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si-pembuat di lain pihak harus ada keseimbangan. Pada daya paksa (overmacht) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada di tengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si-pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam keadaan lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.

17 Moeljanto, Asas-asas hukum pidana, Rineka cipta, jakarta 2008, hlm 152

(14)

c. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48 KUHP, namun soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht. Dalam Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat.

Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang. KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan, dimana suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan bahaya itu terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. Keadaan itu dapat terjadi dalam bentuk:

1) Perbenturan antara dua kepentingan hukum.

Contoh klasiknya adalah kasus "Papan dari Carneades".

Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpengangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang di antaranya mendorong temannya sehingga yang didorong itu mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut. (Cerita ini berasal dari CICERO dalam bukunya De Republic et de officio).18

Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu tidak susila, namun menurut hukum perbuatan itu dapat difahami, karena adalah naluri

18 Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., , Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 153.

(15)

setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dibeberapa negara (Rusia dan Inggris) orang yang mendorong temannya itu tetap dipidana, meskipun pidananya diringankan.19

2) Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum

Contoh klasiknya adalah Arrest optician. Seorang pemilik toko kaca mata yang menjual kaca mata kepada seorang yang kehilangan kaca matanya. Padahal pada saat itu menurut Peraturan Daerah, sudah saatnya jam penutupan took, sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan.

Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kaca mata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kaca mata dapat dikatakan bertindak dalam kedaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R. (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesama.20

Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang- barangnya. Disini ada perbenturan antara kepentingan hukum untuk menyelamatkan barang- barang miliknya dengan kewajiban hukum menghormati hak orang lain.

3) Perbenturan kewajiban hukum antara kewajiban hukum

19 Ibid

20 Marcus Priyo Gunarto, http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/penghapusan- pidana.html, diakses pada selasa, 12 april 2016.

(16)

Contoh klasiknya adalah putusan dokter tentara.

Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan oleh atasannya untuk memeriksa dan melaporkan apakah para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) kejangkitan penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya. Di sini dihadapkan pada dua kewajiban hukum antara melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara) atau memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.

Dokter tersebut tidak melaporkan kepada atasannya dan memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya. Dokter tersebut memilih patuh pada sumpah dokter. Oleh Pengadilan Tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan Mahkamah Tentara Tinggi membebaskannya karena ia ada di dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 Nopember 1916). Dalam satu hari yang sama seseorang dipanggil menjadi saksi di dua tempat saling berjauhan. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak mungkin menghadiri persidangan di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Disini terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.

Menurut VAN HATTUM, daya paksa (overmacht) dengan keadaan darurat (noodtoestand) terdapat perbedaan. Pada daya paksa dalam arti sempit si-pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psychis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si-pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psychis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan

(17)

yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si-pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap Undang-undang.21

d. Pembelaan darurat

Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ditemukan di dalam KUHP. Istilah noodweer atau pembelaan darurat berasal dari doktrin. Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi :

"tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga".

Nampaklah di dalam noodweer itu yang dibela tidak perlu kepentingan hukum sendiri, tetapi dapat pula untuk membela kepentingan orang lain.22

Dalam pembelaan darurat (noodweer) dan supaya orang dapat mengatakan dirinya dalam pembelaan darurat menurut bunyi pasal diatas harus dipenuhi tiga macam syarat-syarat sebagai berikut:23

1) Perbuatan yang itu harus terpaksa untuk membela dan pembelaan itu harus harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain.

2) Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan.

21 Soedarto. Ibid, hlm. 145-147 22 Satochid Kartanegara, hlm. 462.

23 http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/penghapusan-pidana.html, diakses pada selasa 12 april 2016

(18)

3) Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam pada ketika itu.

Pada hakekatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan tetapi dalam batas tertentu diperkenankan karena semata- mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan demilikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri. Pembelaaan terpaksa harus dikerjakan oleh keadaan yang terpaksa “noodzakelijke verdediging” dalam arti yang tidak terlampau luas dan tidak pula disempitkan.24

e. Melakukan Perintah Undang-Undang (Wettlijkvoorchrift)

Menjalankan Peraturan Undang-Undang tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP menyatakan Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan UndangUndang, tidak dipidana.

Pada awalnya yang diartikan Undang-Undang hanyalah dalam arti sempit atau formil, yaitu hanya produk peraturan yang dibuat oleh DPR/dan Raja. Pandangan itu lama-kelamaan berubah, kemudian H.R. mengartikan secara materiil, yaitu setiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dengan demikian tidak hanya UU, tetapi dalam perundang-undangan Indonesia bisa meliputi Perpu, peraturan pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut, dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan

24 http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/penghapusan-pidana.html, diakses pada selasa 12 april 2016

(19)

suatu kewajiban. Dengan perkataan lain kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang.25 Bertindak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang menurut pasal 50 KUHP tidak dipidana.didalam pasal 50 KUHP berbunyi, “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang – undang, tidak dipidana”.

f. Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)

pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum”. Melaksanakan perintah jabatan hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya maupun peraturan itu sendiri.26

Apa yang dirumuskan pada Pasal 51 ayat 1 ini merupakan alasan penghapus pidana yang bersandarkan pada perintah yang sah. Contoh: Seorang Ajun Inspektur Polisi diperintah oleh Kombes Polisi untuk menangkap penjahat. Kombes Polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini Ajun Inspektur Polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah.

Dalam melaksanakan perintah itupun harus patut dan wajar.

Seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan . Polisi diperintah oleh atasannya untuk menangkap seseorang yang telah melakukan kejahatan, dalam melaksanakan perintah itu cukup ia menangkap dan membawanya saja, tidak boleh polisi itu melakukan pemukulan atau penganiayaan lainnya. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.

Selanjutnya Pasal 51 ayat 2 menentukan “Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menghapuskan pidana, kecuali jika yang

25 http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/penghapusan-pidana.html, diakses pada selasa 12 april 2016

26 Moeljanto, Asas-asas hukum pidana, Rineka cipta, jakarta 2008, hlm 137

(20)

diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Suatu perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat-syarat:

1) Jika perintah yang pada kenyataanya tidak sah itu, dikiranya perintah yang sah, atau secara patut ia mengira bahwa perintah itu adalah sah (ia mengira dengan iktikad baik jujur hati bahwa perintah itu sah);

2) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

Selain karena hal-hal atau keadaan yang diatur di dalam undang-undang seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak di pidana, diluar undang-undang juga terdapat alasa-alasan yang menyebabkan seseorang yang melakukan perbuatan yang mencocoki lukisan undang-undang tidak dipidana, misalnya:

a. hak orang tua mendidik anaknya dan hak guru untuk menertibkan anak-anak didiknya. Hak-hak ini disandarkan pada hak orang tua untuk mengajar anak/ anak didiknya (tuchtrecht van de ouders), yang harus dilakukan secara patut dan layak;

b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memberantas suatu penyakit. Guna mencapai tujuan itu seringkali dilakukan percobaan- percobaan terhadap hewan. Perbuatan menyakiti atau menyiksa hewan itu dirumuskan sebagai perbuatan pidana Pasal 302 KUHP, namun perbuatan ini tidak dipidana berdasarkan hak yang timbul dari pekerjaan);

(21)

c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);

d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);

e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang meteriil (contoh klasiknya arrest dokter hewan);

f. tidak adanya kesalahan sama sekali (taksi atau avas).

Alasan penghapus pidana yang tersebut nomor 1-5 merupakan alasan pembenar, yaitu menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, sedang yang tersebut nomor 6 adalah alasan pemaaf yaitu menghapus kesalahannya.27

3. Alasan Penghapusan Pidana di Inggris dan Amerika

Alasan hukum pidana di negara Inggris dan Amerika pada dasarnya memiliki kesamaan. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut menganut sistem hukum yang sama yaitu common law.

Dalam sistem hukum tersebut, seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Alasan pembelaan dapat bersifat umum (general defence), artinya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana pada umumnya; dan dapat pula bersifat khusus (special defence) yang hanya diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana tertentu.28

Alasan penghapus pidana yang termasuk kedalam general defence yaitu meliputi:

a. Mistake (kesesatan).

Umumnya, dalam hukum pidana Inggris hanya mengakui mistake (kesesatan) mengenai fakta (ignorantia facti excusat) sebagai alasan penghapus pidana, sedangkan kesesatan

27 Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, hlm. 155

28 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 70

(22)

mengenai hukum (ignorantia juris) tidak dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi sebagai pengecualian untuk kasus tertentu, khususnya kasus pencurian yang terdapat unsur ignorantia juris di dalamnya, apabila terdakwa tidak mempunyai mens rea seperti yang disyaratkan untuk tindak pidana yang dituduhkan maka Ignorantia juris dapat digunakan sebagai alasan penghapus pidana.29

Beberapa kondisi atau syarat untuk diterimanya pembelaan berdasarkan alasan mistake, ialah:30

1) Kesesatan itu harus sedemikian rupa sehingga fakta-fakta sebagaimana yang dinyatakan oleh terdakwa itu menyebabkan tidak adanya actus-reus maupun mens-rea yang disyaratkan untuk adanya tindak pidana itu.

2) Kesesatan itu harus beralasan (reasonable).

3) Kesesatan itu harus mengenai fakta, bukan mengenai hukum.

b. Compulsion ( Tekanan atau Paksaan)

Compulsion ( Tekanan atau Paksaan) terdiri dari beberapa bentuk, yaitu:

1) Duress perminas (by threats/dengan paksaan).

Merupakan tekanan atau paksaan yang dilakukan oleh

“orang”. Artinya, terdakwa tidak mempunyai kehendak bebas untuk menentukan perbuatannya, dikarenakan dirinya berada di bawah ancaman.31 Hal tersebut memiliki kemiripan dengan daya paksa (Overmacht) menurut KUHP Indonesia, tetapi berlaku lebih terbatas.

Duress perminas berlaku terbatas, yakni terbatas pada kasus-kasus tertentu yakni: penghianatan (treason), penadahan (receiving stolen goods), pencurian (larceny), pengrusakan

29Rusmilawati windari http://rose-paper.blogspot.co.id/2007/02/alasan-penghapusan- pidana.html, diakses pada selasa, 12 april 2016

30 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 71 31 Rusmilawati windari , Ibid

(23)

barang (malicious damage) dan sumpah palsu (perjury). Akan tetaapi, alasan penghapusan pidana ini dikecualikan untuk kasus pembenuhan (murder).32

Syarat-syarat Duress perminas:33

a) harus ada ancaman yang serius terhadap kematian;

b) perlukaan badan, atau dimasukkan ke dalam penjara (ancaman kerugian harta benda tidak cukup untuk disebut sebagai ancaman yang serius);

c) merupakan ancaman yang seketika atau pada saat itu juga (present threat);

Pembelaan berdasarkan duress perminas tidak dapat diterima apabila terdakwa mempunyai kesempatan untuk menghindari ancaman tersebut.

2) Necessity (Kedaan terpaksa).

Necessity, merupakan tekanan yang terjadi karena

“keadaan”. Artinya, alasan penghapus pidana ini timbul apabila seseorang (terdakwa) menghadapi pilihan untuk melakukan suatu kejahatan atau membiarkan berlangsungnya suatu kemalanngan yang lebih besar, dan ia lebih memilih untuk melakukan kejahatan itu. Syarat-syarat necessity, yaitu: 34 a) Kejahatan yang dilakukannya tersebut mempunyai dampak

kemalangan yang lebih kecil (a lesser evil) daripada kemalangan yang ingin dihindari;

b) Kemalangan yang lebih besar tersebut tidak mungkin dihindari selain dengan perbuatannya tersebut.

3) Obidience to Order.

Dalam kedaan tertentu “mematuhi perintah atasan dapat digunakan untuk meniadakan mens rea (bandingkan dengan Pasal 51 (1) KUHP yang merupakan alasan pembenaran dan

32 Rusmilawati windari , Ibid 33 Ibid

34 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 74

(24)

Pasal 51 ayat (2) yang merupakan alasan pemaaf). Obediance to order ini dapat merupakan alasan pembelaan, apabila dengan adanya perintah alasan ini menyebabkan adanya mistake of fact, artinya merasa yakin perbuatan yang ia lakukan tidak melawan hukum dan keyakinannya itu cukup beralasan (reasonable).35

4) Martial Coercion

Dalam common law ada anggaan, bahwa apabila seseorang istri (X) melakukan kejahatan dan suaminya (Y) berada di tempat kejadian itu, berarti X melakukan perbuatan itu atas paksaan Y. Tidak perlu dibuktikan adanya intimidasi aktual oleh suami terhadap istri itu. Akan tetapi, pembelaan ini tidak berlaku untuk treason, murder, manslaughter, dan robbery.36

c. Intoxication (keracunan/kemabukan).

Pada dasarnya sejak abad 19, intoxication di Inggris menjadi alasan pemberat pidana (aggravating). Namun, untuk mabuk yang tidak disengaja (involuntary drunkeness), yakni mabuk yang disebabkan karena paksaan atau karena perbuatan orang lain, menjadi alasapn penghapus pidana apabila dalam keadaan mabuknya tersebut, seseorang melakukan kejahatan. Sedangkan, untuk mabuk yang disengaja (voluntary drunkeness) dapat menjadi alasan penghapus pidana apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini:37

1) mabuk tersebut menyebabkan atau menghasilkan atau membuat orang yang bersangkutan terganggu jiwanya atau gila (insanity);

35 Ibid, hlm 76

36 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 76

37 Rusmilawati windari , Ibid, diakses pada selasa 12 april 2016

(25)

2) mabuk tersebut meniadakan setiap kesengajaan atau bentuk- bentuk lain dari mens rea yang disyaratkan untuk kejahatan yang dituduhkan terhadapnya.

d. Automastim (Gerakan Otomatik/Tidak terkontrol).

Automastim Merupakan setiap perbuatan yang timbul karena gerak otot yang tidak terkontrol, Seperti:38

1) Spasm (kejang urat);

2) Gerak refleks (reflex action);

3) Sawan (convulsion);

4) Somnambulisme (sleep walking) yaitu seseorang yang tidak menyadari apa yang ia lakukan.

e. Insanity (Kegilaan/Ketikdawarasan).

Istikah Insanity dan insane mempunyai arti yang sangat khusus dalam hukum pidana yang berbeda dengan pengertian medis. Ketidaksehatan jiwa (insanity) seseorang dilihat dari sudut medis tidak cukup sebagai dasar untuk pembelaan.

ketidaksehatan itu harus sedemikian rupa sehingga mempengaruhi pertanggungjawabannya menurut hukum.

Pertanggungjawabannya ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam M’Naghten rules. Ketentuan (rules) ini merupakan legal criteria yang digunakan sebagai pertimbangan apabila insanity diajukan sebagai alasan pembelaan.39

Dalam hukum pidana Inggris, tidak semua bentuk insanity dapat dijadikan alasan penghapus pidana meskipun menurut medis keadaan seseorang tersebut dapat disebut insanity (insanity juris≠ insanity medis). Insanity medis tidak cukup dijadikan dasar untuk pembelaan. Insanity dapat dijadikan alasan penghapus pidana apabila telah memenuhi kriteria yang

38 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 77 39 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 77

(26)

disyaratkan oleh M’Naughten Rules, yang memuat hal-hal berikut ini:40

1) presumption of sanity (praduga waras/keadaan jiwa yang normal);

2) defect of reason (pertimbangan akal sehat yang rusak karena penyakit jiwa);

3) insane delusion.

f. Infancy (Anak di Bawah Umur).

Batasan usia bertanggung jawab (the age of responsibility), yakni anak di bawah umur dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana. Dikatakan demikian karena anak di bawah umur dikatakan belum mengerti atau memahami, dan belum mampu untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukkannya. Ada pun batasan usia yang dimaksud adalah sebagai berikut:41

1) Di bawah usia 10 tahun, tidak dapt dinyatakan bersalah atau dipidana.

2) Umur 10 tahun tetapi dibawah 14 tahun, dinyatakan doli incapax, namun bisa juga dibuktikan adanya kehendak jahatnya.

3) Di atas 14 tahun, kelompok usia ini sepenuhnya dipandang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan.

g. Consent of the victim (persetujuan korban).

Consent of the victim dapat dipergunakan sebagai alasan penghapus pidana apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini:42 1) rang yang memberikan persetujuan harus merupakan orang

yang mampu memberikan persetujuan (capable);

40 Rusmilawati windari , Ibid, diakses pada selasa 12 april 2016 41 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 82

42 Rusmilawati windari , Ibid, diakses pada selasa 12 april 2016

(27)

2) Tindak pidana yang dilakukan harus merupakan jenis Ttindak pidana yang memang persetujuan dapat diberikan (consentable crime);

3) persetujuan itu tidak dapat diperoleh karena penipuan atau ancaman;

4) persetujuan itu harus diberikan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk menyetujui.

CoV tidak dapat dipergunakan sebagai alasan penghapus pidana untuk pembunuhan (murde) dan TP yang mempunyai dampak luas bagi masyarakat.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan penghapus hukum pidana dalam teori hukum pidana dibedakan menjadi alasasn pembenaran, pemaaf, dan penghapus penuntutan. Alasan penghapus pidana di Indoenesia terdiri dari alasan penghapus pidana yang ada dalam undang-undang seperti Insanity (Pasal 44 KUHP), daya paksa (Overmachet) (Pasal 48), pembelaan diri (noodweer) (Pasal 49), dan perintah jabatan atau undang- undang (Pasl 51 ayat (1 dan 2)). Selain itu ada juga alasan penghapus pidana diluar undang undang seperti tuchtrecht van de ouders, hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht), ijin atau persetujuan (consent of the victim).

(28)

Secara umum, hukum pidana Inggris membagi alasan penghapus pidana menjadi 2 (dua) klasifikasi, yakni:

1. General defences, yaitu alasan penghapus pidana yang berlaku untuk tindak pidana umum

2. Special defences, yaitu alasan penghapus pidana yang berlaku untuk tindak pidana tertentu.

Alasan penghapus pidana yang termasuk general defences meliputi :

1. Mistake (kesesatan);

2. Compulsion (paksaan);

3. Intoxication (keracunan/mabuk alkohol);

4. Automatism (gerak reflek);

5. Insanity (ketidakwarasan/gila;

6. Infancy (anak di bawah umur);

7. Consent of victim (persetujuan korban).

Sedangkan, yang termasuk special defences, contohnya yaitu dalam delik abortus yang dilakukan berdasarkan alasan-alasan tertentu, semisal karena apabila tidak melakukan abortus akan menimbulkan cacat fisik si anak atau matinya si Ibu; dalam delik penyebaran/publikasi tulisan cabul (porno), yang dibenarkan apabila ditujukan untuk ilmu pengetahuan, seni, dsb (diatur dalam The Obscene Publication Act).

(29)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku.

Bambang Purnomo , “azas-azas Hukum Pidana”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013

D Schaffmeister, (et. Al), “Hukum Pidana”, Citra aditya bakti, Bandung, 2007.

Moeljanto, “Asas-asas hukum pidana”, Rineka cipta, jakarta 2008.

Romli atmasasmita, “perbandingan hukum pidana”, C.V Mandar maju, Bandung, 2000

Soedarto, “Hukum Pidana I”, Yayasan Soedarto, Semarang, 1994.

2. Sumber lain

Marcus Priyo Gunarto,

http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/penghapusan- pidana.html, diakses pada selasa, 12 april 2016.

Rusmilawati windari, http://rose-

paper.blogspot.co.id/2007/02/alasan-penghapusan- pidana.html, diakses pada selasa, 12 april 2016.

Referensi

Dokumen terkait

18 决定接受注册官的意见,将二校原日拼合之校友会作分别组会并各自进行办理有关申 请注册事宜,对于所致二校职员之变动,中华小学将补选 5 名男校友为职员以替代原 已委定之女校友,且二校亦宣布凡在校肄业之学生俱不接受参加为会员。66直至 1968 年 10 月 23 日,公立女校之校友会在陈宝珠老师(生卒年不详)的积极带动、协助申

 Above normal by 2 to 40C over Arunachal Pradesh, Meghalaya, Nagaland, Manipur, many parts of Himachal Pradesh, Assam, West Rajasthan, some parts of Punjab, East Rajasthan,