• Tidak ada hasil yang ditemukan

anak jalanan penggunaan lem aibon di kota makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "anak jalanan penggunaan lem aibon di kota makassar"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ANAK JALANAN PENGGUNAAN LEM AIBON DI KOTA MAKASSAR (STUDI FENOMENOLOGI)

OLEH :

Melcy Anjella Saputri 4519022008

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Strata Satu (S1) Pada Program Studi Sosiologi Universitas Bosowa Makassar

PROGRAM STUDI ILMU SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2022/2023

(2)
(3)
(4)
(5)

Abstrak

Anak jalan adalah jenis struktur yang digunakan oleh anak-anak dan anak-anak yang tinggal di jalan. Menurut Kementerian Sosial RI, anak jalanan adalah anak yang sudah lama terbiasa mencari nafkah atau keluaran di jalanan atau di tempat lain. Anak Jalanan adalah anak-anak yang telah meninggalkan rumah, sekolah, dan masyarakat sekitarnya sebelum usia enam belas tahun dan telah hanyut dalam kehidupan jalanan yang berpindah-pindah (H.A. Soedijar, 1988:16).

Perilaku menghisap lem sangat umum terjadi di masyarakat karena lingkungan.

Dua jenis lem yang paling banyak digunakan adalah lem rubah dan lem ibon.

Lem rubah dan aibon adalah zat yang berbahaya dan sangat adiktif. Anak akan terbebani secara finansial jika menggunakan obat atau media suntik sebagai pengganti media lem ini yang lebih hemat biaya. Karena lebih murah dan lebih mudah didapat dengan media lem, maka anak akan lebih banyak mengkonsumsi zat adiktif (Ngelem).

Kata kunci : anak jalanan, perilaku mengisap lem.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala syukur dan puji hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah-Nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu persyaratan dalam mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Universitas Bosowa.

Adapun judul dari penulisan skripsi ini adalah :

“ANAK JALANAN PENGGUNAAN LEM AIBON DI KOTA MAKASSAR (STUDI FENOMENOLOGI)”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi sempurnanya skripsi ini, penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangsih pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis dengan penuh hormat mengucapkan terimakasih dan mendoakan semoga Allah memberikan balasan terbaik kepada:

1. Bapak Dr. A Burchanuddin, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bosowa.

2. Bapak Dr. Syamsul Bahri, S.Sos., M.Si dan bapak Dr. Harifuddin Halim, S.Pd., M.Si selaku pembimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi.

3. Dosen-dosen Prodi Sosiologi Universitas Bosowa

4. Bapak Dr. Iskandar, M.Si dan Ibu Dr. Hj. Asmirah, M.Si yang telah menjadi penguji dalam seminar proposal penelitian dan sidang skripsi penulis.

5. Orang tua tercinta, saudara-saudara ku Denny, Tari, Rendy dan Dewi, Keluarga Besar Alm. Ruben Sulle, yang telah memberikan doa, kasih sayang, dorongan, semangat, serta motivasi kepada

(7)

penulis dalam berbagai hal baik terutama dalam penyusunan skripsi ini.

6. Karyawan dan Karyawati Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bosowa.

7. For Holy Spirit, sumber segala hikmat selama penulisan ini, sumber pengetahuan utama, sumber inspirasi, sumber kekuatan, sumber sukacita, kepada Dia, Yesus, dan Allah Bapa di Surga, the Only Wise God, kemuliaan selama-lamanya.

Semoga Tuhan Yesus senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya selalu. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis pada khususnya maupun bagi yang memerlukan bagi umumnya.

Amin...

Makassar, 16 Februari 2023

Melcy Anjella Saputri

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENERIMA ... ii

SURAT PERYATAAN BEBAS PLAGIAT ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR BAGAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 6

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Jalanan ... 7

B. Landasan Teori ... 23

C. Teori Fenomenologi ... 23

D. Kerangka pikir ... 26

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 27

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian... 27

C. Informan Penelitian ... 27

D. Sumber Data ... 28

(9)

E. Instrumen Penelitian ... 28

F. Teknik Pengumpulan Data ... 29

G. Teknik Analisis Data ... 30

H. Keabsahan Data ... 32

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Deskripsi Umum Kota Makassar ... 34

B. Kependudukan di Kota Makassar ... 37

C. Kondisi Sosial ... 38

D. Data Anak Jalanan Di Kota Makassar ... 40

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 43

1. Profil Anak Jalanan ... 43

2. Pengalaman Anak Jalanan Selama Menggunakan Lem Aibon.. 45

B. Pembahasan ... 49

1. Faktor-faktor penyebab anak jalanan menggunakan lem aibon ... 52

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN

(10)

Daftar Tabel

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Dan Jenis Kelamin Di Kota Makassar Tahun

2021 ...

38

Tabel 2. Daftar Nama Profil Informan ...

44

(11)

Daftar Bagan

...

26

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak-anak yang hidup di jalanan sendiri disebut sebagai “anak jalanan”.

Anak-anak yang tinggal di jalanan atau di tempat umum lainnya atau mencari nafkah di sana dianggap sebagai anak jalanan oleh Kementerian Sosial RI. Menurut H.A. Soedijar (1988:16). Sebelum usia 16 tahun, anak jalanan telah meninggalkan keluarga dekat, sekolah, dan masyarakat untuk hidup di jalanan.

Ketika seorang remaja bertransisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, mereka semua harus melalui masa perubahan. Ketidakstabilan remaja menyebabkan sensasi yang dirancang untuk menarik perhatian. pemahaman tentang keberadaan mereka secara umum. Orang yang tidak memiliki landasan moral dan keyakinan sering mengalami emosi negatif dan bahkan melakukan kejahatan, meskipun perasaannya positif. 1999, Kauma Fuad: 9).

Ketika mereka beranjak remaja, anak-anak memasuki tahap kehidupan baru yang dikenal dengan pubertas. Anak dapat dengan mudah terbawa oleh arus di lingkungannya jika dia kurang pengetahuan, iman yang kuat, dan moral pada saat ini. Konsekuensinya, pada masa pubertas, orang tua harus memperhatikan anaknya dengan baik. Sejumlah perilaku yang diperlihatkan orang di usia dua puluhan dapat dikaitkan dengan emosi yang masih tidak stabil yang dialami remaja. Anak-anak menunjukkan perilaku seperti kecenderungan untuk meniru, keinginan untuk diperhatikan, kecenderungan untuk tertarik pada lawan jenis, keinginan konstan

(13)

untuk mencoba hal-hal baru, kapasitas ledakan emosi, dan kecenderungan untuk meniru.

Salah satu dari banyak faktor yang mendorong anak-anak untuk berkeliaran di jalanan adalah pengaruh dan persuasif dari teman-temannya. Banyak anak diajari bahwa jika mereka membutuhkan bantuan, mereka akan dihargai karenanya dan bahwa seseorang akan ada di sana untuk membantu mereka. Banyak siswa SD, SMP, dan SMA yang menyimpang dari norma sosial dengan menyalahgunakan narkotika dalam lem Fokx dan Aibon.

Mengisap lem berulang kali merupakan salah satu zat yang bisa berbahaya jika sering digunakan. Salah satu dari banyak kebiasaan buruk yang dilakukan remaja saat ini, beberapa di antaranya bahkan ilegal, adalah mengisap lem.

Ketidakmampuan suatu masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan seringkali menimbulkan penyimpangan sosial yang bertentangan dengan norma dan aturan masyarakat tersebut.

Perilaku menghisap lem sangat umum terjadi di masyarakat karena lingkungan. Dua jenis lem yang paling banyak digunakan adalah lem rubah dan lem ibon. Lem rubah dan aibon adalah zat yang berbahaya dan sangat adiktif. Anak akan terbebani secara finansial jika menggunakan obat atau media suntik sebagai pengganti media lem ini yang lebih hemat biaya. Karena lebih murah dan lebih mudah didapat dengan media lem, maka anak akan lebih banyak mengkonsumsi zat adiktif (Ngelem).

Keikutsertaan seorang anak dalam kegiatan ngelem dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Misalnya, kemampuan anak

(14)

menggunakan lem dapat mengakibatkan melayang, senang, dan berhalusinasi (Anonim 2, 2008).

Perilaku menghisap lem juga dapat ditemui di luar negeri. Salah satu kota negara diluar negeri yang marak dijumpai perilaku tersebut yaitu di negara Australia. Di Indonesia juga khususnya di kota-kota besar seperti Kalimantan sering dijumpai perilaku menghisap lem.

Kasus menghisap lem juga terdapat di Kota Makassar tepatnya di daerah Pampang. Dari hasil observasi lapangan yang telah saya lakukan masih banyak anak jalanan yag meghisap lem aibon. Anak jalanan menghisap lem kita mereka berkumpul dengan rekan-rekannya di pinggir jalan. Lem yang mereka gunakan yaitu lem aibon yang mereka beli sendiri dikarenakan haganya yang sangat murah.

Perilaku menghisap lem dijadikan sebagai trend atau sesuatu yang dalam lingkungan anak-anak jalanan, dan memunculkan sikap bahwa apabila ada seseorang yang tidak menghisap lem, pemakai yang lain akan mengatakan bahwa mereka yang tidak mengikuti mereka menghisap lem sebagai anak yang tidak gaul, ketinggalan zaman, dan pengecut. Kondisi tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar lingkungan remaja, apalagi bagi remaja yang pola pikirnya belum stabil akan merasa tertantang dan ujungnya ia mencoba perilaku menyimpang tersebut (Tamrin, et al, 2013).

Pengaruh lingkungan menimbulkan rasa keingintahuan untuk mencoba.

Rasa ingin tahu mendorong anak-anak jalanan menghirup lem dari ingin coba-coba sehingga menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan anak jalanan ketagihan hingga akhirnya kembali melakukan perilaku (relapse) ngelem. Hal ini tidak

(15)

terlepas dari pengaruh rasa pening yang dialami jika tidak kembali ngelem.

Ketagihan mengakibatkan anak jalanan sulit untuk meninggalkan kebiasaan menghirup aroma lem dan mendorong anak jalanan menjadikan ngelem sebagai sesuatu kebiasaan yang menyenangkan karena dapat membuat mereka tenang sesaat setelah mereka menghirup aroma lem tersebut.

Pada penelitian berjudul "Narkoba Membelenggu Anak Jalanan" yang diselenggarakan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) pada tahun 2008, diketahui bahwa semua anak jalanan atau 100 persen anak jalanan pernah ditawari narkoba.

Terungkap juga sebanyak 28 persen anak jalanan mengkonsumsi rokok, 32 persen diantaranya pernah mencoba narkoba, 30,2 persennya pernah "ngelem" atau penyalahgunaan inhalen, yakni dengan menghirup benda-benda sejenis lem, zat pelarut (thinner cat) atau zat lain sejenisnya, dan sebanyak 69 persennya mengaku pernah dirazia (Wahyu, 2008). Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel independen dukungan sosial pengambilan sample menggunakan total sampling, waktu dilakukan pada bulan januari 2015, tempat penelitian di Kota Malang.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratta (2008) Dampak Psikologis Ngelem pada Anak Jalanan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunsksn pendekatan fenomenologi. Subjek peneliti dua anak jalanan usia dibawah 18 tahun, sedang mengkonsumsi lem. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive, metode pengambilan data dengan wawancar, penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 mei 2008 sampai 24 juni 2008, hasil penelitian dampak psikologi ngelem pada anak jalanan yaitu sering ngelamun, berhayal, ketergantungan yang menerus, emosi tidak stabil, panic atau cemas dan gugup dlam

(16)

menghadapi masalah, sulit berpikir, sulit berkonsentrasi, mudah lupa, tidak focus dengan apa yang mereka lihat dan apa yang dialami. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada variable dependen relapse ngelem, waktu dilakukan pada bulan januari 2015, tempat penelitian di Malang, dan teknik pengambilan sample menggunakan total sampling.

Penelitian yang dilakukan oleh Tamrin (2013) “Perilaku Ngelem Pada Remaja Kecamatan Paleteang Kabupaten Pinrang”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan datan diperoleh dengan tiga cara yaitu : data primer yang diperoleh dari hasil, Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam (indepth Interview) dan Observasi secara langsung terhadap informan yang telah direkomendasikan oleh salah satu remaja yang sampai saat ini melakukan aktifitas ngelem yang bersedia untuk wawancarai. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan thematic analysis yang disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian dari factor internal, yaitu pengetahuan, sikap dan factor eksternal, yaitu keluarga, teman sebaya dan ketersediaan dan keterjangkauan lem.

Di Makassar, fenomena anak jalanan mengisap lem menarik perhatian peneliti. Beragam pengalaman mereka Ketika mengkonsumsi barang tersebut. Di lain sisi mereka juga dengan mudah bisa mendapatkannya walau mereka tidak punya penghasilan. Adapun fokus penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti anak jalanan yang mengisap lem di kota Makassar.

(17)

B. Rumusan Masalah

Mengingat konteks historis masalah, peneliti menyarankan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengalaman anak jalanan selama menggunakan lem aibon?

2. Faktor-faktor penyebab anak jalanan menggunakan lem aibon?

C. Tujuan Masalah

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk Bagaimana pengalaman anak jalanan selama menggunakan lem aibon.

2. Untuk Faktor-faktor penyebab anak jalanan menggunakan lem aibon?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan pengetahuan peneliti tentang menganalisis pengaruh perilaku menyimpang ngelem anak jalanan.

2. Bagi Pihak Lain

Sebagai referensi bagi pihak lain yang nantinya bisa digunakan sebagai perbandingan pada saat melakukan penelitian.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan

Kementerian Sosial Republik Indonesia mendefinisikan “anak jalanan”

sebagai anak muda yang hidup atau menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan. Ciri-ciri anak jalanan adalah sebagai berikut: Mereka mengikuti kegiatan atau berkeliaran di jalan, dan usia mereka berkisar antara 5 sampai 18 tahun.

Mereka sering terlihat kusam, pakaian mereka berantakan, dan mereka sering berpindah-pindah. Selain itu, Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan Lansia Departemen Sosial (2001: 30) menjelaskan bahwa anak-anak berusia antara 6 dan 18 tahun yang melakukan perjalanan untuk bekerja atau bermain menghabiskan waktu lebih dari empat jam sehari berkeliaran di jalanan dan tempat umum.

Pada hakekatnya, anak jalanan menghabiskan waktunya di jalanan baik secara sukarela maupun paksaan orang tua untuk mencari nafkah. Jika seorang anak menghabiskan banyak waktu berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya atau mencari nafkah di sana, mereka dianggap sebagai anak jalanan. Ada anak-anak yang rela melakukan berbagai hal demi mencari nafkah di jalanan dengan hati nuraninya sendiri, padahal banyak anak yang diajari mengemis, menyanyi, menyemir sepatu, dan sebagainya. mengelilingi mereka, terlepas dari apakah orang tua mereka atau anggota keluarga lainnya sedang mengalami kesulitan keuangan.

(19)

Anak-anak berusia antara 6 dan 18 tahun yang menghabiskan lebih dari empat jam sehari untuk bermain atau hanya nongkrong di jalanan dianggap sebagai anak jalanan. Mereka jarang mengenakan pakaian, tampak menjemukan, dan sangat mobile.

2. Karakteristik Anak Jalanan a. Menurut Umur

Anak-anak berusia antara 6 dan 18 tahun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau tempat umum lainnya, menurut Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan Lansia di Kementerian Sosial. tempat. Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia (2001, hlm. 23–24), anak-anak antara usia 6 dan 18 tahun merupakan indikator anak jalanan yang berkaitan dengan usia. Menurut penjelasan ini, orang yang berusia 6 sampai 18 tahun dianggap sebagai anak jalanan.

b. Begitu pula dengan Surbakti et al. System of grouping in 1997: 59

Temuan studi lapangan menunjukkan bahwa ada tiga kategori utama anak jalanan: Pertama, anak yang bekerja sebagai anak jalanan tetapi memelihara hubungan dekat dengan orang tuanya, terutama mereka yang melakukannya. Karena tidak mampu meringankan beban atau tekanan kemiskinan pada kedua orang tuanya, maka sebagian dari pendapatannya disisihkan untuk keperluan tersebut.

(20)

Kedua, anak jalanan, juga dikenal sebagai anak muda yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan jalanan dalam tataran sosial dan moneter:

meskipun orang tua mereka mungkin tidak selalu berkumpul secara teratur, beberapa dari mereka terus berkomunikasi dengan mereka.

Mayoritas dari mereka adalah anak muda yang mengungsi atau meninggalkan keluarganya karena berbagai alasan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dalam kategori ini sangat rentan terhadap pelecehan sosial, emosional, fisik, dan seksual. Ketiga, anak-anak, terutama yang lahir dari keluarga yang merindukan tanah airnya.

Meski memiliki banyak ikatan keluarga dekat, anak-anak ini sering berpindah-pindah dan rentan terhadap berbagai bahaya. Salah satu aspek terpenting dari kategori ini adalah paparan anak terhadap kehidupan jalanan sejak lahir dan bahkan saat anak masih dalam kandungan. Meski jumlah pastinya tidak diketahui, kategori ini dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia di bawah berbagai jembatan, di pemukiman liar di sepanjang rel kereta api, dan di sepanjang sungai.

c. Berdasarkan Ciri Fisik dan Mental

Anak jalanan memiliki ciri mental dan fisik yang berbeda. 2001: Daftar ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan telah disusun oleh Departemen Sosial RI (2005: Departemen Sosial RI (halaman 23–24). 5), berikut adalah ciri-cirinya anak jalanan: Mereka berpartisipasi dalam kegiatan atau berkeliaran di jalanan, dan usia mereka berkisar antara 5 sampai 18 tahun. Penampilan mereka kusam,

(21)

pakaian mereka tidak rapi, dan mereka banyak bergerak. Berikut adalah ringkasan dari informasi di atas mengenai ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan:

1) Ciri-ciri: penampilan dan kulit kusam; b) Rambut gelap; c) tubuh yang sangat kencang; d) pakaian yang belum dirawat; e) banyak ruang untuk kesalahan. 2) Keterangan

d. Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga

Pekerjaan utama anak jalanan adalah bekerja atau berpartisipasi dalam kegiatan jalanan lainnya, tergantung pada intensitas hubungan keluarga mereka.

Akibatnya, hubungan anak jalanan dengan keluarganya menjadi kurang intens.

Pada tahun 2001, Departemen Sosial RI menyatakan: 23), berikut adalah indikator anak jalanan berdasarkan seberapa dekat mereka dengan keluarganya:

1. Masih sering berkomunikasi, minimal sekali sehari 2. Waktu keluarga sangat terbatas.

Selain itu, kemitraan antara United Nations Development Programme (UNDP) dan Kementerian Sosial RI (BKSN, 2000: 2-4), ada tiga cara hubungan anak jalanan dengan keluarganya bervariasi intensitasnya: hubungan dengan orang tuanya , apakah itu putus cinta, absen lama, berbagi tempat tidur dan tidur dengan mereka, atau hanya kunjungan biasa.

Badan Kesejahteraan Sosial Nasional menyatakan pada tahun 2000: 61- 62), hubungan anak jalanan dengan keluarganya dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: Mereka mengunjungi orang tuanya setiap satu sampai tiga bulan sekali, tetapi hubungan mereka tidak baik. Berdasarkan intensitas kontak

(22)

keluarga dengan anak jalanan, dapat ditarik tiga kesimpulan dari berbagai sumber tersebut di atas:

1) Masih terus berkomunikasi dengan orang tua atau anggota keluarga lainnya;

2) Tetap berhubungan, jika ada, dengan orang tua atau anggota keluarga lainnya;

3) Mereka tidak lagi berinteraksi dengan orang tua atau anggota keluarga lainnya.

Berdasarkan pengelompokannya, anak jalanan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Anak-anak yang hidup bersama di jalanan. Karakteristik::

a) Selalu hidup, bekerja, atau tidur di jalanan;

b) Tinggal sendiri atau dengan sekelompok kecil orang;

c) Bermalam di cekungan atau ruang perkotaan seperti: di bawah terminal, pertokoan, jembatan, dan serambi toko;

d) Orang tuanya jarang cocok;

e) Ia bekerja sebagai penyemir sepatu, kuli angkut, dan pemulung adalah contoh pengemis.

2. kelompok remaja yang tetap bekerja di jalanan dan sering mengunjungi keluarganya. Karakteristik:

a) Ia jarang mengunjungi atau berbicara dengan orang tuanya, biasanya hanya sekali atau dua kali dalam sebulan. Mereka biasanya bekerja di jalanan dan berasal dari luar kota.

b) Hubungan buruk antara orang tua mereka berlanjut.

(23)

c) Sebagian besar dari mereka sudah putus sekolah, dan beberapa dari mereka mungkin akan terus melakukannya selama sisa hidup mereka.

d) Mereka bekerja berdasarkan kontrak atau hidup sendiri di jalanan bersama teman, orang tua, atau saudara kandung.

e) Rata-rata, mereka pulang sekali atau dua kali seminggu.

f) Di antara proyek mereka adalah: Pengamen di perempatan, pengemis, penjual koran, kernet, dan tukang ojek payung 3. sekelompok anak muda yang bekerja di jalanan dan datang ke

desanya sekali atau dua kali dalam sebulan. Karakteristik:

a) Terlibat dalam interaksi publik: Penjual makanan keliling termasuk, misalnya, kuli angkut dan pedagang asongan.

b) Tinggal serumah dengan orang lain dari lingkungan yang sama atau di ruang publik seperti masjid atau tempat ibadah

c) Relokasi selama satu sampai tiga bulan kembali ke rumah.

d) membantu keluarga desanya.

4. Anak yang tidak bersekolah tetapi berisiko menjadi anak jalanan dan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Tidur atau menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya;

b) Hidup di jalanan selama empat sampai lima jam;

c) Tetap bersekolah;

d) Industri: Penjual koran, pengamen, dan penyemir sepatu e) Usia umumnya di bawah 14 tahun.

(24)

5. Menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan; kelompok remaja bermasalah

a) Sebagian dari mereka tidak lagi bersekolah;

b) Beberapa dari mereka menggunakan narkoba atau bergumul dengan mereka;

c) Mereka lebih cenderung memiliki anak, ada yang hamil, dan ada yang melakukan pergaulan bebas;

d) Keluarga mereka sedang berjuang secara finansial.

e. Berdasarkan Tempat Tinggal

Situasi di mana anak jalanan yang kami temui tinggal bervariasi.

Pada tahun 2001, Kementerian Sosial RI menyatakan: 24) Berikut indikator anak jalanan berdasarkan tempat tinggalnya:

1) Tetap berhubungan dengan orang tua;

2) Bergaul dengan teman dalam kelompok;

3) Tidak memiliki tempat tinggal Untuk sementara, UNDP dan Kementerian Sosial Republik Indonesia melakukan penelitian (BKSN, 2002: 13 sampai 15), ada beberapa kategori rumah yang berbeda untuk anak jalanan: menurut BKSN (2000: ), beremigrasi, tidur di jalanan, menyewa kamar dengan teman atau sendiri, atau tinggal bersama orang tua atau keluarganya, yang biasanya tinggal di daerah kumuh 61-62),

(25)

Beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah sebagai berikut:

1) Saat tidur di jembatan, bangku taman, tenda toko, terminal stasiun, dan lainnya lokasi acak dan hidup di jalanan;

2) Dapatkan sewa tempat tinggal sendiri atau bersama teman;

Menurut sumber-sumber tersebut di atas, beberapa lokasi tempat tinggal anak jalanan adalah: 1) Mereka menjadi gelandangan dan tidur di jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal; 2) Mereka dapat bekerja secara mandiri atau berkelompok; 3) Tinggal bersama orang tua atau wali sah di rumah mereka.

f. Berdasarkan Aktivitas

Definisi anak jalanan memperjelas bahwa sebagian besar waktu mereka dihabiskan di jalanan. Beragam aktivitas dilakukan di jalanan. Pada tahun 2001, Kementerian Sosial RI menyatakan: 24) Indikator anak jalanan berdasarkan kegiatannya adalah sebagai berikut: dapat berjualan, berperan sebagai perantara, berjualan koran atau majalah, membersihkan mobil, mencuci mobil, mengais, mengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, atau bertindak sebagai penghubung atau penjual jasa. Mereka juga bisa membersihkan mobil, mencuci mobil, dan bertindak sebagai pengamen.

Mereka juga bisa menjual majalah dan koran. Mereka bisa mencuci mobil. Mereka juga bisa menjual koran dan majalah. Mencuci dan membersihkan mobil adalah dua opsi tambahan. Ada cara lain untuk membersihkan dan mencuci mobil.

(26)

Kendaraan juga bisa dicuci dan dibersihkan, dua opsi tambahan.

Pada tahun 2002, Kementerian Sosial Republik Indonesia menyatakan:

Biasanya antara usia 13 dan 15 tahun, anak jalanan terlibat dalam mengemis, memulung, menjual koran, berjalan kaki, mencuci bus, menyemir sepatu, dan menguliti kepala. termasuk aktivitas gelandangan di jalanan. Administrasi Jaminan Sosial Nasional didirikan pada tahun 2000:

Anak jalanan dipekerjakan sebagai pengamen, pemulung, pengemis, penjual koran, pedagang asongan, pencuci bus, pengemis, dan makelar, sebagaimana dirinci.

Anak-anak yang hidup di jalanan dapat dipekerjakan atau hanya tunawisma, menurut sumber-sumber tersebut di atas. Beberapa kegiatan yang dilakukan anak jalanan antara lain menyemir sepatu, berjualan koran atau majalah, mencuci mobil, memulung, mengamen, porter, menyewakan payung, dan menjadi penghubung atau penjual jasa. Kegiatan lain termasuk pemulungan. Hal lain yang harus dilakukan adalah memulung.

3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Munculnya Anak Jalanan

Sangat jelas dari definisi anak jalanan bahwa mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan. Di jalanan, berbagai macam kegiatan dilakukan. Departemen Sosial RI tahun 2001 menyatakan: 24) Berdasarkan kegiatannya, indikator anak jalanan adalah: Bisa berjualan, berperan sebagai perantara, berjualan koran atau majalah, membersihkan mobil, mencuci mobil, mengais, mengamen, bertindak sebagai kuli angkut, menyewakan payung, atau

(27)

bertindak sebagai penghubung atau penjual jasa. Mereka juga bisa menjual koran atau majalah. Mereka bisa membersihkan mobil.

Mereka juga bisa menjual majalah dan koran. Dua opsi tambahan adalah pembersihan dan pencucian mobil. Mobil bisa dicuci dan dibersihkan dengan cara lain. Dua opsi tambahan adalah membersihkan dan mencuci kendaraan.

Kementerian Sosial Republik Indonesia menyatakan pada tahun 2002: Anak jalanan, biasanya berusia antara 13 dan 15 tahun, mengemis, memulung, menjual koran, berjalan kaki, mencuci bus, menyemir sepatu, dan menguliti kepala.

termasuk kegiatan jalanan para tunawisma. Pada tahun 2000, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dibentuk:

Menurut keterangan anak jalanan dipekerjakan sebagai pengamen, pemulung, pengemis, penjual koran, pedagang asongan, pencuci bus, pengemis, dan calo. dan pengembara. Menurut sumber-sumber tersebut di atas, anak-anak yang hidup di jalanan mungkin saja dipekerjakan atau hanya tunawisma.

Menyemir sepatu, menjual koran atau majalah, mencuci mobil, memulung, mengamen, porter, menyewakan payung, dan menjadi penghubung atau penjual jasa adalah beberapa kegiatan yang dilakukan oleh anak jalanan. Memulung adalah kegiatan lainnya.

Odi Shalahudin juga menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keluarga berikut ini (2004:71):

1. Keluarga miskin: Mayoritas anak jalanan berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Mayoritas dari mereka berasal dari kota, di mana tanah milik negara ditempati oleh rumah-rumah padat yang dapat digusur

(28)

kapan saja. Anak-anak dari desa miskin merupakan mayoritas dari mereka yang hidup di jalanan di kota. Mayoritas anak-anak yang berakhir di jalanan terutama disebabkan oleh kemiskinan. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih cenderung menjadi anak jalanan karena mereka kurang terlindungi dari kemiskinan..

2. Perceraian dan kematian orang tua merupakan salah satu faktor risiko yang mendorong anak untuk hidup di jalanan. Ketika orang tua bercerai atau berpisah hanya untuk menikah lagi atau menemukan pasangan hidup baru yang tidak ada ikatan pernikahan, anak-anak seringkali menjadi frustrasi.

Frustrasi ini akan tumbuh ketika anak-anak ditempatkan dalam pengasuhan kerabat orang tuanya atau ketika anak-anak yang biasanya lebih memilih tinggal bersama ibunya merasa tidak diperhatikan dan malah diperlakukan buruk oleh ayah tiri atau pacar ibunya.

3. Kekerasan dalam rumah tangga. Karena kemungkinan terjadinya kekerasan dalam keluarga, mayoritas anak memilih untuk meninggalkan rumah mereka dan hidup di jalanan. Sejumlah faktor risiko lain yang terkait dengan hubungan anak dan keluarganya tidak lepas dari isu kekerasan. Misalnya, anak-anak yang dipaksa menyerahkan sejumlah uang setiap hari dan menjadi sasaran eksploitasi ekonomi berisiko menjadi korban kekerasan jika mereka tidak mencapai tujuan tersebut. Kekerasan dalam keluarga dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual, mental, dan fisik.

(29)

4. Ruang dalam rumah terbatas. Jika tidak ada cukup ruang di dalam rumah, anak-anak bisa berakhir di jalanan. Ini biasanya terjadi di antara anak-anak yang tinggal di tanah milik negara di beberapa permukiman perkotaan.

Sebagian besar rumah petak non-permanen dibangun dengan bahan bekas yang diimprovisasi dan memiliki ruang yang sangat sempit—terkadang hanya berukuran tiga kali empat meter. Ini adalah struktur dan bentuk yang tidak dimiliki oleh sebuah rumah, tetapi banyak orang menyebutnya rumah.

Anak-anak, misalnya, biasanya memilih atau diperbolehkan tidur di luar rumah, seperti di lembaga keagamaan, yang tentunya berdampak negatif bagi keluarga yang mencakup perkawinan antara suami dan istri.

mushola, juga disebut sebagai masjid), pos patroli, atau area publik di desa mereka.Eksploitasi ekonomi.

Anak-anak yang turun ke jalan karena didorong oleh orang tua atau keluarganya sendiri atau biasanya bersifat eksploratif. Anak ditempatkan sebagai sosok yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Anak- anak yang masih bersekolah diminta untuk menyumbang sejumlah uang selama krisis, dan orang tua mereka mendorong mereka untuk menghasilkan uang. Ini disebut sebagai eksploitasi ekonomi oleh orang tua.

5. Keluarga tanpa rumah yang tinggal di jalanan Seorang anak yang berakhir di jalanan bisa juga berasal dari keluarga tanpa rumah. Selain itu, dijelaskan pula alasan-alasan di balik perpisahan keluarga dan anak (BKSN, 2000:

111), yaitu:

(30)

1. Faktor pendorong:

a) Karena keadaan keuangan keluarga menjadi lebih rumit akibat kebutuhan kepala keluarga yang besar, maka wajar baginya untuk tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, banyak anak yang terpaksa bekerja di jalanan untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

b) Ketidakcocokan keluarga, yang menyebabkan anak lari dari keluarga atau merasa tidak nyaman tinggal di rumah.

c) Anak-anak meninggalkan rumah mereka ketika orang tua mereka bertindak kasar atau lalai terhadap mereka.

d) Tantangan hidup di desa; Anak-anak mengikuti orang dewasa dan mencari pekerjaan di kota..

2. Faktor penarik:

a) Kehidupan jalanan uang menjanjikan karena memungkinkan anak- anak bermain dan bersosialisasi dengan bebas sambil menghasilkan uang.

b) Anda diundang oleh seorang teman.

c) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal atau keahlian..

b. Tingkat Messo (Underlying Causes)

Banyak faktor komunitas membuat anak jalanan tingkat messo layak.

Pada tahun 2001, Kementerian Sosial RI menyatakan: 25-26), dan pada tingkat messo (masyarakat), penyebab-penyebab berikut dapat diidentifikasi:

(31)

1. Anak-anak diajari untuk bekerja di komunitas miskin, di mana mereka adalah aset yang membantu keluarga mendapatkan lebih banyak uang, yang menyebabkan mereka putus sekolah.

2. Di masyarakat lain, urbanisasi mendarah daging dalam kehidupan anak- anak.

Faktor lingkungan yang dapat dipecah menjadi faktor messo level dan berkontribusi terhadap munculnya anak jalanan antara lain penolakan dari masyarakat. Persepsi bahwa anak yang hidup di jalanan adalah potensi kriminal 71) :

a. Ikut-ikutan teman

Menurut penelitian sebelumnya, salah satu faktor risiko yang menyebabkan anak turun ke jalanan adalah berteman berdasarkan pengalaman pendampingan. Istilah “teman” dapat digunakan dalam konteks ini untuk merujuk pada tetangga anak, teman dari lingkungan tempat tinggal anak, teman dari sekolah yang pernah mengikuti kegiatan atau kegiatan di jalanan sebelumnya, atau teman dari sekolah. Jika mayoritas temannya sudah turun ke jalan, pengaruhnya akan cepat menyebar.

Ketika diminta untuk mengikuti teman mereka, mereka mungkin awalnya hanya menonton. Ketika anak-anak mengetahui bahwa temannya dapat menghasilkan uang, mereka secara bertahap menerima tawaran atau dorongan untuk berpartisipasi dalam kegiatan jalanan. Jika keluarga dan masyarakat sekitar tidak peduli dengan jumlah anak yang hidup di jalanan,

(32)

maka teman akan memberikan dampak yang lebih besar. Akibatnya, mereka tidak berusaha mencegah anak-anak mereka pergi ke jalanan.

b. Masalah dengan tetangga atau masyarakat Anak-anak yang turun ke jalan karena masalah dengan tetangga atau masyarakat biasanya berawal dari anak muda yang suka mencuri.

c. Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan anak jalanan Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan anak jalanan sangat mendorong penambahan anak jalanan. Ini biasanya terjadi di lingkungan miskin di mana kebanyakan orang bekerja di jalanan, terutama sebagai pengemis.c. Tingkat Makro (Basic Causes)

Secara makro, faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan dihubungkan dengan struktur makro. Departemen Sosial Republik Indonesia (2001: 25-26), faktor-faktor tingkat makro (struktur masyarakat) dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Adanya kesempatan kerja di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal terampil, ketimpangan yang mendorong urbanisasi antara desa dan kota, serta ekonomi. Untuk memanfaatkan peluang ini, individu harus menghabiskan banyak waktu di jalanan dan putus sekolah. Karena perbedaan pembangunan perkotaan dan pedesaan, aksesibilitas transportasi, dan undangan dari kerabat, banyak keluarga pedesaan terpaksa bermigrasi ke kota, beberapa di antaranya mengungsi, dan anak- anak mereka terlempar ke jalanan.

(33)

2. Kebijakan ekonomi makro pemerintah, yang lebih menguntungkan segelintir orang, dan pengusiran dan pengusiran keluarga miskin dari rumah dan tanah mereka "demi pembangunan" semakin memberi mereka kekuatan yang semakin berkurang.

3. Meningkatnya jumlah anak putus sekolah karena alasan keuangan disebabkan oleh hal-hal seperti diskriminasi guru, pembatasan teknis dan birokrasi yang menghambat siswa untuk belajar, dan pendidikan, khususnya SPP. Akibatnya, beberapa anak turun ke jalan demi uang.

4. Strategi kesejahteraan yang memandang anak jalanan sebagai kelompok yang membutuhkan perlakuan, dan strategi keamanan yang memandang anak jalanan sebagai pembuat onar atau onar, belum menjadi strategi tersendiri pemerintah.

5. Ketika keluarga dan anak-anak menghadapi kesulitan, tidak ada jaring pengaman sosial karena sistem yang cacat. 6. Tempat bermain anak—taman, lapangan, dan tanah kosong—terkorbankan akibat pembangunan. Anak-anak dari daerah kumuh perkotaan yang bermain dan bekerja di jalanan merasakan dampaknya.

d. . Landasan Teori

1. Teori Fenomenologi

Fenomenologi merupakan metode penelitian yang mencakup dan memaparkan makna atas fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada individu (Emzir, 2011). Pengumpulan data

(34)

diperoleh dengan tiga cara, yaitu data primer yang diperoleh dari hasil, Focus Group Discussion (FGD),wawancara mendalam (Indepth Interview) dan Observasi secara langsung terhadap informan yang telah direkomendasikan oleh salah satu remaja yang sampai saat ini melakukan aktivitas “ngelem” yang bersedia untuk diwawancarai.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah pedoman wawancara (Alat tulis, Tape Recorder dan Kamera). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik matriks dan selanjutnya dilakukan dengan analisis isi (Content Analysis).

Menurut Jurgen Ruesch (1972) ketiga tahapan prosedur ynag terdiri dari deskriptif, reduksi dan interpretasi yang mengacu kepada sebuah proses awal dari komunikasi. Fenomenologi sebagai metodologi diperkenalkan oleh Richard L. Lanigan. Menurutnya, fenomenologi sebagai sebuah metodologi memiliki beberapa tahan yaitu:

1) Deskriptif fenomenologi

Tahapan ini digunakan untuk mengingat jika kita berhubungan dengan pengalaman sadar.

2) Reduksi fenomenologi

Tahapan ini bertujuan untuk menentukan bagian mana dari sebuah deskriptif yang penting dan yang tidak penting. Dalam artian bertujuan untuk melakukan sebuah pemisahan dari suatu bjek kesadaran yang masuk kepada pengalaman yang dimiliki.

(35)

3) Interpretasi fenomenologi

Tahan ini merupakan sebuah teknis yang memiliki berbagai ragam analisi. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menjellaskan sebuah pemaknaan yang lebih khusu atau penting di dalam reduksi serta deskriptisi dari sebuah pengalaman yang sedang diteliti.

Menurut Mark P. Orbe melalui Encyclopedia of Communication Theory (2009 : 751-752), fenomenologi memiliki 5 (lima) asumsi dasar, yaitu :

Asumsi pertama adalah penolakan terhadap gagasan bahwa para peneliti dapat bersikap objektif. Para ahli fenomenologi percaya bahwa pengetahuan mengenai esensi hanya dapat dilakukan dengan cara mengasah berbagai asumsi yang telah ada sebelumnya melalui suatu proses-yang dalam fenomenologi dikenal dengan istilah epoche. (Baca juga: Jenis – jenis Interaksi Sosial)

Asumsi kedua adalah bahwa pemahaman yang mendalam terhadap sifat dan arti dari hidup terletak pada analisis praktik kehidupan yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya.

Asumsi ketiga adalah eksplorasi manusia yang bertentangan dengan individu adalah hal sangat penting dalam fenomenologi.

Manusia dipahami melalui berbagai cara yang unik sebagaimana mereka merefleksikannya melalui keadaan sosial, budaya, dan sejarah kehidupannya.

(36)

Asumsi keempat adalah bagaimana manusia dikondisikan dalam sebuah proses penelitian. Para peneliti fenomenologi tertarik untuk mengumpulkan berbagai pengalaman sadar manusia yang dianggap penting melalui intepretasi seorang individu dibandingkan dengan pengumpulan data secara tradisional.

Asumsi kelima berkaitan dengan proses. Fenomenologi adalah sebuah metodologi yang berorientasi pada penemuan yang secara spesifik tidak menentukan sebelumnya apa yang akan menjadi temuannya.

(37)

D. Kerangka Pikir

Berikut adalah kerangka pikir dari penelitian yang dilakukan.

MENGISAP LEM AIBON

NIKMAT MELAYANG

LUPA MASALAH

ANAK JALANAN

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif berbasis studi kasus. Jenis penelitian yang dilakukan dipengaruhi oleh tingkat pembahasan seputar subjek.

Penelitian deskriptif berfokus pada gejala tertentu untuk menjelaskan sifat suatu kondisi yang hanya muncul secara singkat pada saat penelitian.

Memanfaatkan sumber informasi dan perilaku yang dapat diamati, penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Penelitian lapangan digunakan dalam penelitian ini, yang melibatkan pergi ke lokasi penelitian secara langsung untuk mendapatkan informasi tentang subjek yang diteliti. Karena itu, pengumpulan data yang lengkap dimungkinkan.

B. Lokasi Dan Waktu

Dalam melaksanakan sebuah penelitian ini, penulisan melakukan sebuah penelitian di kota Makassar. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November 2022 sampai dengan Februari 2023.

C. Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, informan yang diambil adalah orang-orang yang dapat memberikan pendapatnya mengenai masalah yang diangkat. Informan yang dimaksudkan adalah aktor utama (anak jalanan) yang mengetahui secara teknis dan detail mengenai masalah yang diangkat.

(39)

D. Sumber Data

Tempat, orang, atau hal-hal yang peneliti dapat melihat dan menanyakan tentang variabel yang diteliti adalah subjek dari data ini. Semua sumber data dan informasi penelitian ini diyakini memiliki pengetahuan dan mampu menjelaskan bagaimana data atau materi pelajaran berfungsi. hasil wawancara, observasi, dan catatan penelitian Penelitian ini menggunakan sumber data sebagai berikut:

1) Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan langsung dari subjek penelitian disebut sebagai “data primer”. Peneliti dapat mengandalkan sumber data primer untuk informasi tentang penelitian mereka.

2) Secara tidak langsung subjek penelitian ini memberikan data penelitian.

Data sekunder mengacu pada informasi yang merupakan tambahan dari data primer yang dikumpulkan melalui literatur dan terkait dengan masalah yang sedang dipelajari.

E. Istrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan disini adalah melalui sebuah observasi dan wawancara. Observasi yang diakukan oleh peneliti meliputi tempat,waktu, kegiatan,peristiwa,dan tujuan.

Sedangkan untuk melakukan wawancara/interview, peneliti perlu mempersiapkan sebuah pertanyaan yang akan di tanyakan kepada narasumber yang akan dijadikan bahan data atau sumber yang relevan dalam penelitian tersebut.

Pertanyaan wawancara ini antara lain seperti berikut:

(40)

1. Apa yang dirasakan saat mengonsumsi lem?

2. Apakah dalam mengisap lem dilakukan secara berkelompok atau sendiri?

3. Apa yang digunakan untuk membeli lem tersebut?

4. Bagaimana apabila uang tidak ada, apa yang anda lakukan untuk bisa membeli lem?

5. Apakah orang tua mengetahui hal tersebut?

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data informasi yang akurat penulis menggunakan beberapa teknik yakni sebagai berikut.

1. Teknik Wawancara

Wawancara adalah penelitian dengan maksud tertentu, percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara terbuka (open-ended interview), tujuannya adalah untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri tiap informan.

2. Teknik Observasi

Usman menjelaskan bahwa observasi adalah “pengamatan dan penentuan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti”. Observasi ialah pengumpulan data dengan cara melihat dan mengamati secara

(41)

langsung terhadap objek penelitian, serta dilakukan secara intensif dan berulang kali.

Observasi yang digunakan peneliti adalah observasi tak berstruktur, karena ingin memperoleh data secara komprehensif tentang keadaan yang sesungguhnya. Melalui teknik observasi ini penulis ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya tentang bagaimana proses bimbingan berlangsung. Metode ini juga diharapkan dapat memperlihatkan hal-hal yang kurang atau hal-hal yang tidak diamati oleh orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu karena sudah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara.

3. Dokumentasi

Dokumentasi bertujuan menggali data-data masa lampau secara sistematis dan objektif. Dokumen bisa berbentuk dokumen publik atau dokumen privat. Pada penelitian ini, dokumen dapat diperoleh dalam bentuk screenshoot (tangkapan layar), artikel, foto, atau video.

G. Teknik Analisis Data

Analisis Data M. Djunaidi dan Fauzan menjelaskan secara gamblang terkait dengan analisis data yaitu dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik data dari wawancara, catatan lapangan maupun dokumentasi-dokumentasi, setelah dicermati, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Kemudian menyusunnya dalam satuan-satuan, yang kemudian dikategorikan sambil memberi kode. Tahap terakhir yaitu mengadakan

(42)

pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini selesai, maka harus ditafsirkan menjadi teori substansif dengan beberapa metode tertentu.

Adapun proses dari analisis data kualitatif menurut Seiddel sebagaimana dikutip oleh M. Dhunaidi dan Fauzan adalah sebagai berikut:

1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dpat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilih dan memilah, mengklarifikasikan, mensistensiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.

3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif untuk melihat data.

Data dikumpulkan, dihasilkan, dijelaskan, dan dianalisis dengan metode analisis yang dikenal dengan analisis kualitatif deskriptif untuk memberikan informasi dan gambaran yang jelas tentang subjek yang diteliti. Penulis telah melakukan sangat sedikit, termasuk yang berikut: Selama studi fenomenologis atau melalui pengamatan dan pencatatan, peneliti mendapatkan analisis data.

Untuk melakukan analisis data, peneliti juga melakukan wawancara dengan orang-orang yang dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diangkat. Data dari dokumentasi dapat berupa catatan, video, atau foto yang semuanya digunakan dalam analisis data. Selain itu, sumber pendukung menyediakan data ini. Sumber-sumber tersebut antara lain internet, dimana peneliti dapat membaca hasil penelitian peneliti lain untuk mendukung penelitiannya

(43)

sendiri, serta sumber buku yang ada terkait dengan masalah yang diangkat oleh peneliti.

H. Teknik Pengabsahaan Data

Pengabsahan data adalah untuk menjamin bahwa semua yang telah diamati dan diteliti penulis sesuai dengan data yang sesungguhnya ada dan memang benar- benar terjadi. Hal ini dilakukan penulis untuk memelihara dan menjamin bahwa data tersebut benar, baik bagi pembaca maupun subjek penelitian. Guna memperoleh tingkat keabsahan data penulis menggunakan triangulasi, yaitu mengadakan perbandingan antara sumber data yang satu dengan yang lain.

Sebagaimana yang dikemukakan Moleong, bahwa “Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data tersebut”.

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ialah triangulasi sumber dan triangulasi teknik atau metode. Triangulasi dengan sumber, berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal demikian dapat dicapai dengan jalan:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu

(44)

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang-orang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berasda, orang pemerintahan.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Dalam penelitian ini, peneliti dapat melakukan beberapa langka yang harus dilakukan yakni data yang telah diperoleh dan diteliti sesuai dengan apa yang terjadi, hal tersebut menjamin bahwa data informasi yang dikumpulkan itu benar.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan perbandingan anatara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain untuk memastikan atau membandingkan data tersebut.

(45)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Deskripsi Umum Kota Makassar

Mpu Prapanca menyebut Makassar sebagai salah satu daerah taklukan Majapahit abad ke-14 dalam kitab Nagarakretagama. Namun, Makassar diyakini pertama kali dikembangkan oleh Tumaparisi Kallonna, Raja Gowa ke-9 yang memerintah dari tahun 1510 hingga 1546. Ia mendirikan benteng di muara Sungai Jeneberang, memindahkan pusat kerajaan ke pesisir, dan mengangkat seorang syahbandar ke mengawasi perdagangan.

Makassar menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara dan pusat perdagangan dominan di Indonesia Timur pada abad ke-16. Semua pengunjung Makassar berhak berbisnis di sana di bawah kebijakan perdagangan bebas yang ketat dari raja-raja Makassar, yang menentang upaya VOC (Belanda) untuk memonopoli kota tersebut.

Selain itu, meskipun Islam semakin menjadi agama mayoritas di daerah tersebut, umat Kristiani dan pemeluk agama lain masih diperbolehkan berbisnis di Makassar. Sebagai akibat langsung dari hal ini, Makassar berkembang menjadi pusat penting bagi orang Melayu yang terlibat dalam perdagangan di Kepulauan Maluku dan basis penting bagi para pedagang Eropa dan Arab. Kebijaksanaan Raja Gowa-Tallo saat itu dibutuhkan untuk mendapatkan semua keistimewaan tersebut.

Sultan Alauddin dari Gowa dan Sultan Awalul Islam dari Tallo).

(46)

1. Aspek Geografis dan Administrasi

Secara administrasi kota ini terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan.

Kota ini berada pada ketinggian antara 0-25 m dari permukaan laut.

Penduduk Kota Makassar pada tahun 2000 adalah 1.130.384 jiwa yang terdiri dari lakilaki 557.050 jiwa dan perempuan 573.334 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 1,65 %.

 Letak : Koordinat 5°8′S 119°25′E di pesisir barat daya pulau Sulawesi, menghadap Selat Makassar.

 Batas-batas administrasi Kota Makassar adalah:

 Batas Utara: Kabupaten Maros

 Batas Timur: Kabupaten Maros

 Batas Selatan: Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar

 Batas Barat: Selat Makassar.

Penduduk Kota Makassar berasal dari berbagai latar belakang etnis dan hidup bersama dengan damai. Mayoritas penduduk Makassar adalah suku Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Tionghoa, Jawa, dan lainnya. Umat Islam merupakan mayoritas penduduk. Segmentasi Berdasarkan Wilayah:

Terdapat 4.446 RT, 885 RW, 14 kelurahan, dan 143 kelurahan di Kota Makassar. Situasi Wilayah: Ketinggian Kota Makassar antara 0 sampai 25 meter di atas permukaan laut, dan suhu di sana berkisar antara 20 sampai 32 derajat Celcius.

(47)

Kota Makassar dibatasi oleh dua sungai: Selain itu, lihatlah setiap aspek geografi Makassar. Luas : luas 128,18 km2 atau 175,77 km2, batas kecamatan: Tamalanrea: 31,84 km²; Biringkanaya berukuran 48,22 km2;

Mangala berukuran 24,14 km2; Panakkukang berukuran 17,05 km2;

menempati 5,83 km2; Batas tanah 5,94 km2; Bontoala berukuran 2,10 km2;

Wajo seluas 1,99 km2; Ujung Pandang seluas 2,63 km2; Makassar seluas 2,52 km2; Rappocini berukuran 9,23 km2; Tamate seluas 20,21 km2, Mamajang seluas 2,25 km2; 1,82 km2 mariso

• Kepadatan Penduduk: 6.646,5/km2

• Jumlah penduduk: Selat Makassar, Kabupaten Kepulauan Pangkajene, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Maros di selatan mendefinisikan Makassar, yang merupakan rumah bagi 1.168.258 rakyat.

Karena merupakan rumah bagi berbagai suku bangsa, kota ini dianggap sebagai salah satu yang terbesar di Indonesia dalam hal pembangunan dan populasi. Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa adalah kelompok etnis utama di Makassar.

(48)

Gambar 4.1 : Peta Administrasi Kota Makassar (Sumber: BPS Kota Makassar)

Karena berada di persimpangan jalur lalu lintas dari barat ke timur di Indonesia, utara ke selatan di Indonesia, dan utara ke selatan di provinsi Sulawesi, kota Makassar berada di lokasi yang sangat penting. Dengan kata lain, Makassar terletak di 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan, dan ketinggian kota berkisar antara 1 hingga 25 meter di atas permukaan laut.

Sungai Tallo bermuara di bagian utara Kota Makassar, sedangkan Sungai Jeneberang bermuara di wilayah selatan kota. Terdapat kemiringan 0 hingga 5 derajat di sisi barat Kota Makassar. Di sisi-sisinya terdapat dua muara sungai.

B. Kependudukan di Kota Makassar

Penduduk di kota Makassar berdasarkan data penduduk tahun 2019 sebanyak 1.480.480 jiwa yang terdiri dari 741.326 jiwa penduduk perempuan dan 739.154 jiwa penduduk laki-laki. Pada tahun 2018 kota Makassar memiliki jumlah penduduk sekitar 1.6 juta jiwa dan memiliki laju pertumbuhan sebesar 1.29%.

(49)

Tabel 4.2 : Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Makassar tahun 2019-2021

Kecamatan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Makassar (2021) laki-laki Perempuan Jumlah

Mariso 28903 57594 57594

Mamajang 27520 56056 56056

Tamalate 90757 181533 181533

Rappocini 70802 144619 144619

Makassar 40699 82142 82142

Ujung Pandang 11895 24526 24526

Wajo 15002 30033 30033

Ujung Tanah 17995 35947 35947

Kepulauan Sangkarang 7051 14187 14167

Tallo 73289 145400 145400

Panakukkang 69693 139635 139635

Manggala 73649 147549 147549

Biringkanaya 104997 210076 210076

Jumlah 711006 1427619 1427619

Sumber : BPS Kota Makassar dalam tahun 2019-2021 C. Kondisi Sosial

1. Kesehatan

keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan dapat dilihat dari 2 aspek yaitu sarana kesejatan dan dari sumber daya manusianya. Pada tahun 2019 di Kota Makassar terdapat 59 Rumah Sakit dan 46 Puskesmas.

(50)

2. Ekonomi

Pada tahun 2020, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Makassar mulai mengkaji aspek sosial ekonomi kota Makassar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meringkas dua tema besar: keadaan sosial dan ekonomi Makassar serta perekonomiannya.

Rasio gini, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi semuanya diperiksa secara menyeluruh dalam analisis kondisi ekonomi. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan analisis kondisi sosial lebih erat hubungannya.

Sebagai peneliti senior di Pusat Pengembangan Kebijakan Pembangunan (P2KP) Universitas Hasanuddin dan dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Dr. Agussalim turut serta dalam penelitian ini. SE, M.Si., Muhammad Afif Sallatu membantu tim penyusun dalam mengumpulkan, menyusun, dan mengevaluasi data.

Salman Samir, MS, SE juga dari Consultant Institute for Local Governance (LOGOV) Makassar. Beberapa temuan umum studi tersebut adalah sebagai berikut: Kinerja perekonomian Makassar tetap stabil dan terus membaik selama lima tahun terakhir.

Sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran, sektor konstruksi, dan sektor jasa perusahaan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Makassar tahun 2019. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga yang terus meningkat dan peningkatan yang pesat konsumsi LNPRT di sisi penggunaan menyumbang sebagian besar

(51)

pertumbuhan ekonomi. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dan pendapatan per kapita keduanya meningkat sebagai akibat dari keadaan ini.

Sementara itu, baik rasio gini maupun tingkat inflasi mengalami penurunan. Distribusi, jumlah, laju pertumbuhan, dan aspek sosial dari kondisi demografis—seperti kepadatan dan distribusi populasi—secara umum telah membaik. Sementara itu, IPM mendapat peringkat sangat tinggi sejak 2016. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan (P2) juga menurun, begitu pula jumlah dan persentase penduduk miskin.

D. Data Anak Jalanan Di Kota Makassar

Menurut Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dinas Sosial Provinsi Sulawesi , terdapat 18.555 anak dan balita terlantar, 387 anak jalanan, 1.812 anak tidak mampu perlindungan khusus, dan 1.418 anak yang telah dianiaya.

Selain itu, pencatatan dan pelaporan kasus anak di Sulawesi Selatan tahun 2017 menunjukkan bahwa persentase korban yang masih anak-anak satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan persentase korban yang sudah dewasa. Ini hanyalah puncak gunung es dalam hal jumlah kasus kekerasan, khususnya kejahatan dan eksploitasi seksual; Akibatnya, deskripsi mungkin jauh lebih luas. 2.943.089 anak antara usia 0 dan 18 merupakan 35% dari populasi di provinsi Sulawesi Selatan.

Menurut Data Baseline Pembangunan Berkelanjutan Sulawesi Selatan, 55%

anak mengalami dua bentuk kemiskinan atau lebih, dan hampir 355.000 anak, atau 12% populasi, hidup di bawah garis kemiskinan. Sangat jelas dari data sebelumnya

(52)

bahwa banyak anak membutuhkan layanan kesejahteraan dan perlindungan yang komprehensif.

Mirisnya, pelayanan kesejahteraan dan perlindungan anak tetap berkonsentrasi pada penanganan korban atau kasus yang sudah terjadi. Padahal penanganan korban membutuhkan biaya yang lebih besar dan dampak yang lebih besar bagi anak. Pemerintah telah memutuskan untuk memperluas PKSAI ke daerah-daerah baru karena meningkatnya variasi dan kualitas layanan yang ditawarkan kepada anak-anak yang rentan dan berisiko serta keluarganya. Sesuai UU No. Sebagai kebutuhan pokok, Pasal 23 Tahun 2014 mengamanatkan pemerintah daerah menyelenggarakan pelayanan sosial.

Peraturan Nomor: Menurut dokumen Kementerian Sosial, Pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial, penyediaan dan penguatan lembaga penyedia layanan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, penyediaan layanan dasar bagi anak terlantar, pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan terhadap anak, dan penyediaan pelayanan dasar bagi anak terlantar merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PKSAI), salah satu komponen sistem perlindungan anak, berfokus pada pencegahan, pengurangan risiko, dan penanganan anak yang dilecehkan, ditelantarkan, atau dilecehkan dengan cara lain.

Kunci layanan PKSAI adalah sebagai berikut: Upaya pencegahan dini PKSAI untuk mengurangi kerentanan anak terhadap ancaman, penelantaran, dan kekerasan dalam bentuk apapun adalah signifikan.

(53)

Identifikasi yang akurat atas isu-isu spesifik dan kelompok anak-anak yang rentan. Integrasi penyampaian layanan dengan menurunkan risiko bagi keluarga dan anak-anak melalui kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan.

(54)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN

1. Profil Anak Jalanan

Dalam perkembangan yang relatif pesat dewasa ini, setiap orang di kota, termasuk penduduk yang terus bertambah, harus ikut serta dalam laju pembangunan yang semakin pesat. Orang menjadi terlalu tergantung pada fasilitas dan fasilitas yang dibangun pemerintah. Sebagai akibat langsung dari hal ini, sejumlah besar anak-anak dan bahkan remaja di bawah usia 18 tahun terlibat dalam pergaulan bebas, terjun ke dalam lubang dan membahayakan prospek masa depan mereka.

Akibatnya, beberapa anak terdampar di jalanan. Fenomena lapangan akan dikaji dalam penelitian ini untuk mengetahui penyebab mendasar dari perilaku menyimpang anak jalanan yang menggunakan lem aibon. Sebagai hasil dari pendekatan kualitatif penelitian ini, data deskriptif tentang perilaku anak jalanan dapat diperoleh dengan menganalisis kata-kata tertulis dan lisan. Sebelum memulai wawancara, pengumpulan data, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau analisis data, peneliti menyusun daftar pertanyaan.

Orang yang bersedia memberikan peneliti informasi diprofilkan di bawah ini.

(55)

Tabel 5.1 : Profil Anak Jalanan

No. Nama Asal JK Jenjang Pendidikan

1. Dendra Putra Makassar L SMA

2. Wawan Makassar L Drop Aout

3. Dwi Angga

Saputra

Makassar L SMA

4. Trianto Indra Makassar L SMA 5. Rezkianto Makassar L Drop Aout

Sumber : Hasil Penelitian Lapangan 2023

Informasi di atas berkaitan dengan anak jalanan yang ditemukan selama kerja lapangan. Selama proses pengumpulan data, informasi dikumpulkan di lokasi- lokasi kegiatan anak jalanan.

A. Dendra Putra (DP)

Dendra Putra adalah laki-laki yang lahir di Makassar pada tanggal 3 Mei 2006. Umurnya 17 tahun dan bersekolah di SMA Makassar. Dini adalah anak pertama dari saudara kedua. Ibu dan adik laki-lakinya yang masih kelas dua tinggal bersamanya. Orang tua Dini jarang memiliki pekerjaan.

Dia adalah anak laki-laki dari keluarga bahagia yang mengikuti orang tua mereka.

B. Wawan

Wawan adalah seorang laki-laki yang lahir di Makassar pada tanggal 23 Agustus 2004. Ia berhenti sekolah pada usia 19 tahun sekarang. Dia adalah anak kedua dan saudara kelima. Orang tuanya bekerja paruh waktu. Ibunya tidak memiliki pekerjaan, dan ayah serta keluarganya adalah penyemir

(56)

sepatu jalanan. Selain itu, karena kendala keuangan, saudara-saudaranya tidak dapat bersekolah.

C. Dwi Angga Saputra

Seorang anak laki-laki lahir di Makassar pada tanggal 9 Mei 2005. Saat ini berusia 18 tahun dan sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA di Makassar. Dia adalah anak tunggal dan tinggal bersama kakek neneknya karena orang tuanya sudah lama bercerai.

D. Trianto Indra

Trianto Indra adalah laki-laki yang lahir pada tanggal 24 Maret 2002 di Makassar. Orang tuanya bekerja tidak tetap dan mengontrak rumah di Makassar. Ayahnya adalah seorang buruh harian, dan ibunya adalah seorang pembantu rumah tangga untuk seorang tetangga. Tuti adalah anak pertama dari ketiga bersaudara.

E. Rezkianto

Rezkianto adalah pria yang lahir di Makassar pada 16 Juni 2002. Ia merupakan anak pertama dari lima bersaudara di keluarganya. Orang tuanya adalah pemulung setiap hari. Mereka tinggal di rumah kontrakan kecil.

2. Pengalaman Anak Jalanan Selama Menggunakan Lem Aibon

Lima orang yang saya ajak bicara yang sebelumnya menggunakan lem mengatakan mereka merasa hanyut, mabuk, mengantuk, dan bahkan kehilangan kesadaran. Laporan informan DAS dan R menyatakan:

"Yang saya rasakan menggunakan lem, Itu membuat saya merasa baik, menenangkan pikiran saya, membuat saya merasa seperti melayang,

(57)

membuat saya mabuk, dan membuat saya merasa seperti tidak ada beban kalau saya menghirup lem terlalu lama”.

Yang lain menegaskan bahwa selama menggunakan lem biasa dilakukan secara sendiri bahkan biasa dilakukan secara berkelompok. Informan DP menegaskan:

“Kak, kalau saya hisap lem, sembunyi ka di kamar karena takut ka na lihat orang di rumah terus enak ki dirasa ka tidak ka tidak ada yang mau ganggu ki jadi puas sekali dirasa. Sering sekali ka itu hisap lem kalau dikamar, biasa sampai malam ka dikamar terus hisap lem ka saking enak sekali saya rasa.

Anak jalanan berinisial W mengatakan :

“Biasa ka lakukan ki sendiri itu isap lem ditempat sepi, biasa tong juga sama ka teman-teman ku kalau lagi nongkrong karena mulai ka hisap lem juga karena teman-teman ku ji yang ajak ka terus coba ki itu lem, karena penasaran ku mi itu mau ki coba keterusan pakai ki itu lem”.

Mayoritas dari mereka menggunakan lem secara berkelompok dengan teman-temannya karena merekalah yang mengajak temannya untuk mengisap lem, seperti yang dapat disimpulkan dari dua tanggapan tersebut.

a. Bagaimana Cara Anak Jalanan untuk Mendapatkan Uang Dalam Membeli Lem

Peneliti juga mengajukan pertanyaan kepada responden dari mana informan bisa mendapat uang untuk membeli lem dan dari kelima responden yang menjawab rata-rata mereka mendapatkan uang dari hasil ngamen di lampu merah, menjadi tukang parkir dan bahkan ada yang memalak teman-temannya untuk bisa membeli lem tersebut.

(58)

Informan T dan DAS mengatakan :

“cara ku biasa supaya bisa ka beli ki itu lem, biasa ngamen ka sama teman- teman ku di lampu merah kalau tidak ngamen ka biasa ka juga palak teman ku biar na kasih ka uangnya atau biasa ka juga palak ki lemnya yang na punya”.

Lima orang responden menjawab bahwa rata-rata mendapatkan uang untuk membeli lem dengan cara mengamen di lampu merah, bekerja sebagai tukang parkir, bahkan terkadang mencontek teman saat peneliti menanyakan dari mana informan mendapatkan uang tersebut.

b. Apakah Dalam Mengisap Lem Dilakukan Secara Sendiri atau Berkelompok?

Dari kelima anak jalanan yang telah diteliti, peneliti menarik kesimpulan dari dua anak jalanan yang telah diteliti.

TI dan DP mengatakan :

“terkadang to sendiri ja pakai itu, apalagi kalau malam di kamar ku ma itu hisap ki itu lem karena biasa malas ma keluar kalau malam jadi lebih ku pilih hisap itu lem di kamar. Tapi biasa tong ja juga sama teman-teman ku hisaip ki kalau lagi nongkrong di jalanan, ku hisap mi itu lem sama teman- teman ku tapi baku gilir ka biasa hisap ki”.

Dari kelima anak jalanan yang menggunakan lem mengaku bahwa mereka terkadang menghisap lem sendiri di kamarnya, namun terkadang juga mereka menghisap lem secara berkelompok bersama teman-teman nongkrongnya.

(59)

c. Apa yang digunakan untuk membeli lem?

Dari beberapa anak jalanan yang diwawancarai di lapangan, mereka mengaku kerap kali menggunakan uang saku mereka untuk membeli lem aibon.

Tapi sering kali juga mereka harus mencari uang dengan cara mengamen bahkan mejadi tukang parkir demi mendapatkan uang untuk membeli lem. Seperti hasil wawancara anak jalanan berinisial DP dan DAS yang mengatakan :

“ yang biasa ku pakai beli itu lem biasa uang jajan ku saya pakai kalau dikasih ka, tapi biasa tidak cukup ki itu uang ku ka dua ribu ji dikasih ka, makanya biasa jadi ka tukang parkir untuk bisa dapat uang ku pakek beli lem, biasa tong ka ikut sama teman-teman ku ngamen di lampu merah”.

Untuk dapat memenuhi kebutuhannya dalam menghisap lem, anak jalanan terkadang menggunakan uang jajannya untuk membeli lem, namun apabila uang mereka habis, mereka akan bekerja menjadi tukang parkir dan bahkan mereka mengamen di lampu merah untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membeli lem.

d. Apakah orang tua mengetahui hal tersebut?

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap anak jalanan mereka mengaku bahwa orang tua mereka tidak mengetahui bahwa mereka menghisap lem dikarenakan mereka takut apabila orang tua mereka mengetahuinya. Seperti yang dikatakan anak jalanan yang berinisial RZK dan TI

“tidak na tau ki orang tua ku kak kalau saya biasa ka hisap lem, karena takut tong ka kalau na tau ki. Makanya to kak biasa ka hisap itu lem sembunyi-sembunyi diluar rumah karena kalau na tau ki orang tua ku pasti namarahi ka.

(60)

Kelima anak jalanan yang telah diwawancarai, mereka mengaku bahwa orang tua mereka tidak mengetahui jika mereka menghisap lem dan mereka ju

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Dan Jenis Kelamin Di Kota  Makassar Tahun
Tabel  4.2  :  Jumlah    Penduduk  Menurut  Kecamatan  dan  Jenis  Kelamin  di  Kota  Makassar tahun 2019-2021
Tabel 5.1 : Profil Anak Jalanan

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan untuk memahami anak jalanan melalui pemahamanan terhadap latar belakang ekonomi keluarga anak jalanan tetap perlu digunakan, tetapi perlu ditambah

Hanna Djumhana Bastaman. Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis.. Sardjono berpendapat bahwa jalanan adalah tempat pendidikan kriminal terbaik. 9

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan belajar yang dirasakan oleh anak jalanan di Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar cukup bervariasi, setidaknnya terdapat

Kedua , Anak jalanan yang ditemui oleh penulis juga memberikan informasi bahwa mereka berada di jalanan juga mengalami berbagai problematika yang sangat kompleks,

Hasil Wawancara dengan Kamil Kamaruddin, Kepala Seksi Pembinaan Anak Jalanan, Gepeng dan Pengamen, Dinas Sosial Kota Makassar, Pada Jum’at, 21 April 2017, Pukul 14.29

Implikasi penelitian ini adalah diharapkan kepada pihak Komunitas Peduli Anak Jalanan (KPAJ) di Kota Makassar untuk tidak patah semangat membimbing anak jalanan,

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih mengutamakan pada revitalisasi program Dinas Sosial dalam penanganan anak jalanan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penanganan anak jalanan gelandangan dan pengemis di Kota Makassar, apa program dalam pembinaan anak jalanan gelandangan