• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam dalam Hukum Waris

N/A
N/A
Nur Alam Ullumuddin Zuhri

Academic year: 2024

Membagikan "Analisis Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam dalam Hukum Waris "

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 1

in Inheritance Law

Ahmad Suganda, Muksin & Aramdhan Kodrat Permana STAI Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia

ahmadsuganda61@gmail.com, muksinakbar71@gmail.com &

aramdhankodratpermana14@gmail.com Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaiamana konstruksi hukum waris yang dibangun oleh Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) dan bagaimana relevansinya dengan tantangan dan agenda pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia ke depan. Untuk menjawab persoalan tersebut, penulis menggunakan penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang, berupa bahan- bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang dilakukan dengan menggunakan cara kualitatif dari teori-teori hukum dan doktrin-doktrin hukum serta pendapat pakar hukum Islam. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa konsep dan ide- ide pemikiran CLD-KHI dalam hukum waris memilki semangat liberalisasi hukum. Metode yang dilakukan adalah menangkap semangat dari sebuah teks al-Qur’an atau hadis nabi sehingga diperoleh pesan universal dari teks tersebut yaitu kemaslahatan umum dan tujuan syariat, bukan pada arti harfiah yang terdapat pada teks ayat tersebut. Maka sangat wajar semenjak awal kelahirannya pada tahun 2004 sampai sekarang, ide-ide dan pemikiran CLD- KHI bukan hanya menimbulkan polemik yang berkepanjangan, tetapi juga penolakan yang begitu luar biasa dari berbagai kalangan.

Kata Kunci: Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam, Hukum Islam &

Hukum Waris

Abstract

This research aims to explain how the construction of inheritance law built by the Counter Legal Draft-Compilation of Islamic Law and how is it relevant to the challenges and agenda of reforming Islamic family law in Indonesia in the future. To answer this problem, the author uses legal research with a normative juridical approach, namely legal research carried out by prioritizing researching library materials or documents in the form of primary, secondary and tertiary legal materials. The specification of this research is descriptive analytical, which aims to provide an overview that is

(2)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 2

carried out using qualitative methods from legal theories and legal doctrines as well as the opinions of Islamic legal experts. From the results of the research conducted, it can be concluded that the concepts and ideas of the Counter Legal Draft-Compilation of Islamic Law in inheritance law have the spirit of legal liberalization. The method used is to capture the spirit of a text of the Qur'an or the hadith of the prophet so that a universal message is obtained from the text, namely the general benefit and the objectives of the Shari'a, not the literal meaning contained in the text of the verse. So it is very natural that since its inception in 2004 until now, the ideas and thoughts of the Counter Legal Draft- Compilation of Islamic Law have not only caused prolonged polemics, but also extraordinary rejections from various groups.

Keywords: Counter Legal Draft-Compilation of Islamic Law, Islamic Law &

Inheritance Law

I. PENDAHULUAN

Bagi sebagian kalangan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinilai sebagai wujud nyata awal pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia dalam rangka memenuhi persyaratan hukum Islam menjadi hukum positif dalam jajaran peraturan perundang-undangan. Bahkan bagi Djazumi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu merupakan

“wajah baru” hukum keluarga Islam di Indonesia (Jazuni, 2005).

Nilai lebih dari penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI), menurut Marzuki Wahid dan Rumadi (2001) adalah kemajemukan referensi Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun referensi kitab dari berbagai madzhab yang jumlahnya mencapai 38 buah untuk

digunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak satupun yang menunjukan kitab ushul fiqh. Kendati demikian, apabila dilihat dari elemen- elemen pembaharuan yang diformulasikan seperti pencatatn perkawinan, asas monogami, batas usia perkawinan dan sebagainya, tampak bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dengan menggunakan berbagai metode ushul fiqh, seperti qiyas dan al-mashlahah al- mursalah secara simultan.

Reinterpretasi dan reformulasi juga menjadi paradigma penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam arti bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengaktualisir bidang-bidang fiqh yang dirasakan tidak aktual

(3)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 3

dengan mengkaji ulang dalil-dalil yang pernah diinterpretasikan ulama terdahulu untuk menghasilkan fiqh pada masanya, kemudian ditafsirkan kembali dengan tuntutan syariat dan maqasid as-syariah. Cara ini dianggap cukup efektif untuk mewujudkan kemaslahatan.

Meskipun demikian, sebagian yang lain masih menganggap bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) tetap niscaya memuat beberapa pasal yang mungkin tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang dan perlu ditinjau ulang. Dalam konteks inilah kemudian muncul CLD-KHI yang merupakan produk antitesa terhadap eksistensi Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Nalar pembentukan hukum CLD-KHI mengusung enam visi hukum Islam yang dicita-citakan, yaitu pluralisme (ta’addudiyah), nasionalitas (muathinah), penegakan HAM (iqamah al- huquq al-insaniah), demokratis (dimoqrathiyah), kemaslahatan (maslahah) dan kesetaraan gender (al-musawa al-jinsiyah). Keenam prinsip dasar tersebut merupakan kerangka yang menjiwai seluruh ketentuan hukum Islam versi CLD-KHI. Oleh karena sesuai

dengan perspektif yang digunakan, visi yang dicita-citakan dan prinsip-prinsip penyusunan yang digunakan, CLD-KHI tidak hanya menawarkan pokok-pokok ketentuan hukum Islam yang berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi juga merubah kerangka pandang terhadap konsep perkawinan, relasi laki-laki dan perempuan, serta tata cara perkawinan, perceraian, talak dan rujuk serta persolan hukum waris ke arah relasi yang yang adil, demokratis dan pluralis, baik antar suami dan istri, orang tua dan anak, maupun keluarga dan masyarakat (Wahid dan Rumadi, 2001).

Naskah CLD-KHI

menawarkan 23 ketentuan agenda pembaruan hukum keluarga Islam yang secara prinsip berbeda dengan ketentuan hukum keluarga sebelumnya. Secara keseluruhan, naskah tersebut dimaksudkan sebagai seperangkat rumusan hukum Islam yang dapat menjadi referensi dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menunjang nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak- hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya

(4)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 4

kemaslahatan bagi seluruh ummat manusia. Selain itu CLD-KHI juga menawarkan rumusan (baru) syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mncerminkan karakter asli kebudayaan Indonesia, sebagai alternatif dari tuntutan formalisasi syariat Islam yang kaffah pada satu sisi dengan keharusan menegakan demokrasi dalam kontek negara Indonesia (nation state) pada sisi yang lain.

Prinsip kesetaraan gender muncul akibat perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai bentukan sosial dan budaya, bukan bersifat biologis atau kodrati, dengan kata lain, perbedaan sifat non-biologis (Nasution, 2012) menunjukan suatu pemikiran yang ingin memberikan ruang keniscayaan gender dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, seperti pertukaran tugas dan peran dalam keluarga, termasuk hak- haknya.

Sementara penjabaran prinsip pluralisme, setelah melalui model pembacaan teks ayat-ayat al-Qur’an, kenyataan historis, pengamalan para sahabat dan kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia yang banyak mempraktekan perkawinan beda agama, mengantarkan CLD-KHI

menegaskan kebolehan perkawinan beda agama (Wahid dan Rumadi, 2001)

Hukum tentang kewarisan menjadi satu bahasan yang sangat penting dalam hukum keluarga Islam. Ulama klasik dan para pemikir Islam kontemporer selalu memberikan perhatian serius terhadap pembahasan kewarisan.

Intensitas mereka terhadap persoalan waris disebabkan al- Qur’an dan hadis yang menjadi rujukan pertama hukum Islam menerangkan pengaturannya dengan sangat terperinci dan ketentuan-ketentuan yang lugas (Syafi’e, 2011).

Seiring dengan

perkembangan zaman dan situasi dan kondisi yang terus berubah, pengaturan kewarisan yang telah tegas diatur itu sedikit banyak mengalami problem bahkan benturan-benturan sosial yang tidak dapat dihindarkan. Situasi dan perubahan zaman yang berlangsung begitu cepat itu mendorong banyak pemikir Islam kontemporer sebut saja misalnya Abdullah Ahmed An-Na’im dan Asgar Ali Engineer untuk kembali melakukan ijtihad dengan menggali nilai-nilai universal dan abadi yang ada di dalam al-Qur’an

(5)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 5

dan Hadis Nabi (1994). Karena itu, pemikiran tentang hukum kewarisan sampai sekarang masih belum berhenti dan akan terus berlanjut ke depan, walaupun telah diketahui betapa agama Islam telah mengatur hukum kewarisan tersebut dalam waktu yang cukup lama. Dalam konteks ini, para ulama telah sepakat untuk menjadikan ilmu tentang kewarisan yang kemudian disebut faraidh sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Bahkan dalam ajaran Islam mempelajari ilmu tentang kewarisan mendapatkan seruan yang istimewa.

II. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang datanya berbentuk deskriptif (kata/pernyataan) dalam produk hukum dan pendapat para ulama dalam kitab fiqh relevan yang bisa dijadikan bahan dalam menyusun informasi. Sumber data penelitian selanjutnya diperoleh dari dua sumber, yaitu; Pertama : Sumber data primer yang diperoleh dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan draft CLD-KHI.

Kedua: Sumber data sekunder yang diperoleh dari pendapat para ulama dalam kitab fiqh yang

relevan. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka dan studi dokumen.

Dari sana kemudian data-data yang yang ada dilakukan analisa isi (content) dan analisa narasi (narative) untuk memperoleh gambaran dan atau kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan CLD-KHI hadir dalam sejarah sebagai produk pembaharuan hukum keluarga di Indonesia yang dilihat dari metode dan konsepsi pembaharuannya keduanya memiliki kesamaan konsep yaitu Intra doctrinal reform yang tetap merujuk pada konsep fiqh konvensional dengan cara;

tahyir (memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama di luar madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat) dan Extra doctrinal reform yang pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi) (Nasution, 2012)

(6)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 6

Meskipun demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan CLD-KHI nampak jelas memiliki semangat yang berbeda.

Konsepsi yang coba dibangun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinilai mewakili pandangan hidup rakyat Indonesia yang religius, yang banyak dibentuk oleh ajaran agama. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa dan negara Indonesia tidak akan lepas dari nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa serta kesadaran hukum dan cita-cita hukum rakyat indonesia yang berdasarkan nilai-nilai hukum agama (Ichtijanto: 46) juga mewakili kondisi masyarakat Indonesia yang parental (bilateral), sebaliknya CLD-KHI mengusung semangat liberalisasi ala barat yang oleh sebagian kalangan dinilai jauh dari ajaran Islam dan tidak mencerminkan kondisi ummat Islam di Indonesia.

Itulah sebabnya mengapa rumusan CLD-KHI dari awal kelahirnya di tahun 2004 sampai dengan sekarang tidak hanya menjadi polemik yang berkepanjangan tetapi juga mendapatkan resistensi yang begitu luar biasa.

Di dalam ide-ide pembaharuan hukum waris, kritik yang dilayangkan kepada

kerangka pemikiran CLD-KHI diarahkan kepada lima sasaran, di antaranya:

Pertama, konsep CLD-KHI Memilki Semangat Liberalisasi Hukum. Sebagaimana diketahui keseluruhan doktrin Islam dirujuk kepada al-Qur’an yang berkedudukan sebagai sember primer, demikian juga halnya dengan hukum kewarisan Islam.

Hukum kewarisan Islam merupakan ekspresi langsung dari teks-teks suci al-Qur’an. Hukum kewarisan Islam bahkan menjadi satu-satunya bentuk aturan yang dipermaklumkan langsung lewat al- Qur’an secara sangat terperinci. Tidak ditemui aturan lain yang ditunjuk oleh nas al- Qur’an selengkap mawaris (Ali As-Sabuni, 1989).

Ada penjelasan yang sangat teknis aplikatif menyangkut pembagian harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Penejelasan- penjelasan tersebut terkait dengan proses dan tata cara pembagiannya. Diatur dengan sistematis tindakan-tindakan pendahuluan yang merupakan kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan pewaris, sebelum dilakukannya pembagian harta warisan. Ditegaskan pula

(7)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 7

secara eksplisit dengan ungkapan- ungkapan yang kategoris mengenai orang-orang yang berhak menerima harta warisan dan jumlah bagiannya masing- masing.

Muhammad Ali As-sabuni sampai- sampai mengatakan bahwa pemilikan harta melalui cara waris merupakan salah satu sebab kepemilikan yang paling utama (Muhammad Ali As- Sabuni, 1989). Dan adalah menjadi suatu fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa kelahirannya dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis. Terkadang-pertama pada mula pertama diwahyukan- ketentuan waris bersifat responsif, ia menjawab dan memberi kepastian terhadap problem hukum. Akan tetapi, lebih jauh kemunculan aturan waris adalah demi mengisi kebutuhan hukum Islam sebagai konstruksi ajaran (Sarmadi, 1997)

Istilah-istilah teknis yang digunakan al-Qur`an banyak sekali yang mengindikasikan bahwa aturan-aturan kewarisan bersifat rigit dan merupakan compulsory law yang diterima apa adanya, tidak perlu ditelaah lebih lanjut, dan tinggal dilaksanakan

saja sesuai dengan kehendak teks.

Lafaz seperti nasib, mafruda, farradna adalah beberapa di antaranya.

Dalam perspektif

kemungkinan dipahami maksudnya oleh manusia, maka ayat-ayat kewarisan termasuk pada kategori muhkam. Dalam pengertian umum, sesungguhnya semua ayat al-Qur`an adalah muhkam, sebagaimana firman Allah Swt: QS. Hud [11] ayat 1:

“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”

Dalam arti khusus, muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, hanya mengandung satu wajah, maknanya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain (al- Qattan, 2011) Pada ayat 7 surah Ali Imran ada penjelasan tentang pembagian ayat-ayat al- Qur`an kepada muhkam dan mutasyabih:

Memahami lebih seksama ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan ketentuan- ketentuan kewarisan dapat digunakan pendekatan dalalah lafaznya. Dan memperhatikan

(8)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 8

redaksi ayat-ayat kewarisan dimaksud terlihat dengan jelas bahwa petunjuk-petunjuk lafaznya kepada makna termasuk pada kategori mantuq, yaitu berdasarkan kepada bunyi yang tersurat. Jika ditelaah lebih rinci lagi, ayat-ayat kewarisan ini termasuk pada klasifikasi mantuq yang disebut nass, yaitu lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Lafaz ayat-ayat kewarisan dapat dipahami cukup dengan menyimaknya saja, tanpa memerlukan kajian mendalam tentang lafaznya karena sudah otomatis ditangkap oleh akal pikiran secara gamblang. Tidak adanya peluang untuk dipahami lain, karena memang demikianlah makna lafaz-lafaz tersebut dalam pemakaian praktis sehari-hari. Ini berbeda dengan kategori mantuq yang lain, yaitu zahir yang masih terbuka kemungkinan untuk makna lain yang lemah (marjuh).

Ayat-ayat kewarisan dengan terang benderang langsung menyebut angka-angka yang pasti, tanpa mengandung kemungkinan untuk makna lain.

Ayat-ayat kewarisan dalam al-Qur`an terlihat begitu kokoh dan merupakan suatu system yang bersatu padu, tidak terdapat ayat- ayat yang saling bertentangan.

Fakta ini menutup kemungkinan terjadinya nasikh mansukh menyangkut ayat mawaris. Jika misalnya ada pertentangan maka dapat saja diberlakukan nasikh mansukh, dengan memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan untuk mengetahui hukum yang sesungguhnya. Pembahasan nasikh-mansukh hanya dapat dihubungkan dengan ayat kewarisan dengan asumsi bahwa ayat-ayat kewarisan dimaksud telah membatalkan hukum kewarisan yang berlaku pada masa pra- Islam, sebab menurut sebagian pendapat pengertian naskh juga mencakup pemahaman demikian.

Lafaz-lafaz yang

memfaedahkan keyakinan yang pasti tentang bakunya bagian- bagian kewarisan dapat dibahas sebagai berikut: Penggunaan lafaz nasiban pada ayat 7 surah an-Nisa`

meniscayakan pemahaman bahwa sejumlah kadar tertentu harus diberikan kepada pemiliknya.

Setiap ahli waris olah- seolah

(9)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 9

berkata : “qad wajaba li nashibun biqaulillahi subhanahu wata’ala”

Dan penggunaan lafaz nasiban yang dirangkaikan dengan mafruda memberi pengertian wajibnya menyampaikan setiap bagian kepada yang berhak, sedikit atau banyak. Dan memadukan kedua lafaz tersebut dalam bentuk na’at man’ut mengandung makna ta`kid (Abu Ishaq Ibrahim, 2004). Lafaz faridah yang terdapat pada akhir ayat 11 surah an-Nisa`, maknanya adalah bagian yang disampaikan dalam bentuk masdar yang mu`akkad. Penggunaan lafaz ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tidak terbuka kesempatan bagi penggunaan ijtihad. Menutup pintu ijtihad dalam hal pembagian harta warisan ini lebih maslahah bagi para ahli waris (al-Qurthibi, : 5).

Pedoman yang baku akan memberi kepastian hukum kepada semua pihak, sehingga tarik menarik kepentingan yang berpotensi memunculkan konflik antara sesama ahli waris dapat dihindari. Ayat 11 Qs an-Nisa`

tersebut ditutup dengan kalimat

“Innallaha kana ‘aliman hakima” . Maksudnya Allah lebih tahu tentang bagian-bagian yang pantas

dan membawa nilai keadilan yang bersifat transcendental dan menenteramkan jika betul-betul dipatuhi dengan penuh kesadaran.

Pada ayat 12 surah an-Nisa`

tersebut terdapat pula kalimat penutup yang turut memperkuat petunjuk terhadap kewajiban mengikuti ketentuan tekstual ayat- ayat mawaris. Kalimat “wallahu

‘alimun halim” , bermakna maha mengetahui orang-orang yang patuh terhadap aturan kewarisan dan maha mengetahui orang-orang yang meninggalkan kewajiban mematuhi aturan kewarisan.

Penegasan terhadap kewajiban mematuhi ketentuan kewarisan dipungkasi oleh dua ayat berikutnya, yaitu ayat 13 dan 14 yang memperingatkan adanya balasan yang setimpal terkait dengan respon setiap mukallaf terhadap ketentuan kewarisan dimaksud. Diingatkan dengan keras bahwa demikianlah hududullah (dalam masalah kewarisan), syari’ah, aturan yang baku yang ditetapkan untuk hambanya, agar mereka mengetahui dan kemudian tidak melanggarnya. Kata hudud ini lebih lazim digunakan untuk hal- hal yang bersifat haram, yang terlarang untuk dilakukan. Dalam

(10)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 10

konteks ini maksudnya adalah dilarang untuk melanggar aturan- aturan baku kewarisan (Wahbah Zuhaili, 286). Peringatan keras dengan imbalan surga bagi yang patuh dan neraka bagi yang melanggar, disampaikan setelah pada ayat 12 disebutkan bahwa Allah betul-betul maha mengetahui siapa yang patuh dan yang melanggar.

Berdasarkan rentetan argumentasi di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya tidak terbuka peluang bagi ahli waris untuk berusaha mencari cara sendiri berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan kondisi dan situsai yang melingkupinya. Ahli waris tidak diperkenankan membuat kesepakatan yang berbeda dari ketentuan baku tentang kewarisan yang terdapat secara jelas pada ayat-ayat al-Qur`an. Larangan membuat kesepakatan ini juga termasuk setelah semua ahli waris menyadari bagiannya masing- masing. Sebab memang tidak ada ruang untuk menciptakan aturan sendiri sepanjang itu dinisbahkan kepada pembagian harta warisan. Membagi harta warisan tidak boleh tidak, mesti sesuai dengan faraid. Yang boleh dilakukan adalah setelah setiap

ahli waris menerima bagiannya masing-masing, mereka boleh menghibahkan hak miliki individunya itu kepada siapa saja yang ia kahendaki. Artinya perbuatan tersebut sudah termasuk pada kategori hibah, bukan pembagian harta warisan.

Berbeda dengan pemikiran di atas, tim perumus CLD-KHI

berpendapat bahwa

berkembangnya berbagai pemikiran mengenai waris tersebut, disebabkan munculnya beragam masalah, dan kondisi yang berbeda dengan situasi Islam di masa nabi. Tim perumus CLD- KHI menggangap bahwa hukum Islam yang berhubungan dengan hukum waris saat ini, tidak lagi cocok diterapkan di masa modern, ketika tatanan zaman telah berubah. Jika dipaksakan, menurut mereka, hukum Islam akan kehilangan wibawa, dan akan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri, karena dianggap tidak mencerminkan sikap adil. Oleh karena itu, jika kondisi sosio kultural telah berubah, apakah hukum Islam tidak mengalami perubahan? Demikian setidaknya alur filosofi tim perumus CLD- KHI di dalam memahami perlunya segera melakukan

(11)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 11

rekonstruksi dan pembaharuan terhadap hukum waris di Indonesia.

Argumentasi mereka banyak diilhami oleh para pemikir Islam kontemporer, sebut saja misalnya Mahmud Thaha, sebagaimana dikutip oleh Masdar F. Mas’udi, menyatakan bahwa semua ketentuan ayat tentang waris bersifat kondisional. Ayat tersebut merupakan ayat Madaniyah. Dan yang Madaniyah itu kondisional, sehingga ketika menilainya kita juga harus mempertimbangkan konteks. Jangan sampai menilai suatu gagasan empat belas abad yang lalu dalam perspektif hari ini.

Dengan mengatakan bagian warisan perempuan separo bagian laki-laki dalam perspektif hari ini, tawaran al-Quran tadi tidak radikal. Tapi dalam perspektif saat itu dinilai sangat radikal, karena sebelumnya perempuan hanya bagian dari barang warisan (Munir, 1999). Kemudian Islam datang dan mengangkat perempuan dari objek menjadi subjek, meskipun belum full capacity. Mungkin karena caranya yang tadrîj (bertahap), sehingga tidak langsung seratus persen sebagaimana laki-laki. Ini sebenarnya baru langkah pertama.

Suatu saat jika memungkinkan dan dikehendaki, perempuan bisa mendapatkan sama, bahkan lebih dari laki-laki.

Dari uraian tersebut, kemudian menjadi jelas tim perumus CLD-KHI tampaknya ingin menyampaikan pesan melalui semangat liberalisasi dengan mengusung enam visi hukum Islam yang dicita-citakan, yaitu pluralism (ta’addudiyah), nasionalitas (muathinah), penegakan HAM (iqamah al- huquq al-insaniah), demokratis (dimoqrathiyah), kemaslahatan (maslahah) dan kesetaraan gender (al-musawa al-jinsiyah), karena itu banyak kalangan menilai mereka dianggap telah melampaui batas-batas di dalam melakukan istinbat hukum dan penafsiran ayat-ayat tentang waris, mereka secara terbuka hendak meletakan ayat-ayat waris yang muhkam-ta’abudi ke ranah mu’amalah sehingga bagi mereka teks-teks al- qur’an harus tunduk (legitimed) di bawah realitas, teks al-Qur’an harus mengikuti otoritas akal, bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana menangkap pesan universal dari ayat al-qur’an yaitu kemaslahatan umum dan tujuan syariat, bukan pada arti

(12)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 12

harfiah yang terdapat pada teks ayat tersebut.

Yusuf Qardhawi, seorang ulama besar ahli fiqih dari Mesir menjelaskan, bahwa syarat-syarat sebuah metodologi ijtihad bisa terima secara ilmiah apabila ; pertama, Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemempuan. Dalam arti ada usaha untuk mencurahkan segenap kemampuan dalam mengikuti dalil- dalil dan meneliti dalil-dali zanni, kedua, Tidak ada ijtihad di dalam masalah yang qath’i. Hal ini untuk menghindarkan seseorang agar tidak terjebak oleh arus orang yang berusaha mempermainkan agama, yaitu yang berusaha mengubah nash yang jelas pada nash yang belum jelas. Mengubah hukum hukum qath’I menjadi zanni. Ketiga, Tidak boleh menjadikan zanni menjadi qath’i, kita harus menjaga tingkat urutan hukum sebagaimana adanya.

Keempat, menghubungkan fiqih dan hadis. Perlunya mengonsentrasikan perhatian untuk melihat dan menganalisis illat hukum, kaidah syariah dan tujuannya. Kelima, Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita. Sebuah ijtihad tidak ditujukan sebagai legitimasi

terhadap realita yang ada.

Keenam, Mengantisipasi pembaharuang yang bermanfaat.

Ketujuh, Tidak mengabaikan

semangat zaman dan

kebutuhannya. Kedelapan, Transformasi menuju ijtihad kolektif.

Lapangan atau medan ijtihad dapat memainkan perannya pada hal-hal berikut ; (1) Masalah- masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al- Qur’an atau Sunnah secara jelas, (2) Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma’ oleh ulama atau aimmatul mujtahidin, (3) Nash-nash zanni dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan, dan (4) Hukum Islam yang ma’qul al-makna (ta’aqquli) atau kausalitas hukumnya/illatnya dapat diketahui mujtahid (al- Qardawi, 2000). Dari uraian Yusuf Qardhawi tersebut, kiranya dapat menjelaskan kelemahan- kelemahan metodologis tim perumus CLD-KHI di dalam melakukan istinbat hukum terhadap nash al-Qur’an.

Kedua, konsep CLD-KHI tidak relevan dengan sosiologis masyarakat Indonesia. Nalar dan visi hukum CLD-KHI, sebagaimana diketahui

(13)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 13

mengusung enam visi hukum Islam yang dicita-citakan, yaitu pluralisme (ta’addudiyah), nasionalitas (muathinah), penegakan HAM (iqamah al- huquq al- insaniah), demokratis (dimoqrathiyah), kemaslahatan (maslahah) dan kesetaraan gender (al-musawa al-jinsiyah). Keenam prinsip dasar tersebut merupakan kerangka yang menjiwai seluruh ketentuan hukum Islam versi CLD-KHI.

Paparan di atas sekali lagi menjelaskan betapa tim perumus CLD-KHI ingin menyampaikan pesan secara terbuka bahwa prinsip-prinsip pluralisme (ta’addudiyah), nasionalitas (muathinah), penegakan HAM (iqamah al-huquq al- insaniah), demokratis (dimoqrathiyah), kemaslahatan (maslahah) dan kesetaraan gender (al-musawa al- jinsiyah), yang menjadi visi dan cita-cita pembentukan hukum Islam adalah pesan universal al- qur’an yang harus diterapkan di seluruh negara muslim termasuk di Indonesia betapapun negara- negara tersebut memiliki akar budaya dan secara historis berbeda. Pada akhirnya tim perumus CLD- KHI melalui semangat liberalisasi yang

diusung seolah-olah ingin mengubah kerangka berfikir pembentukan hukum Islam dari teosentrisme ke antroposentrisme dari elitis ke populis, dari deduktif ke induktif dan ini dilakukan karena mempertimbangkan realitas kebudayaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan arab dan timur tengah, juga memperhatikan kondisi banyak perempuan Indonesia yang dewasa ini mampu membiayai diri dan keluarga dari pekerjaan produktifnya dan banyak perempuan yang menjadi pemimpin publik, mulai dari kepala desa, kepala kepolisian hingga presiden. Oleh karenanya mereka begitu mengebu-gebu untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dianggap tidak lagi relevan dengan tuntutan modernitas.

Kalaulah mencermati kerangka pembentukan hukum waris di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) setidaknya keadilan distributive telah tercermin di dalam setiap pasal waris di dalamnya. Perkembangan pemikiran kesetaraan gender, juga diakomodir dalam Kompilasi

(14)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 14

Hukum Islam (KHI) yang merupakan ijma’ ulama Indonesia dan mendapat legal force (kekuatan hukum) dari pemerintah dengan memperhatikan “living law”

(hukum yang hidup) di tengah- tengah masyarakat tanpa kehilangan “ruh syari’at”, dengan melakukan terobosan hukum yang kadang terkesan berbeda dengan fikih konvensional dan terobosan tersebut dilakukan dalam upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Di antara pasal-pasal yang dapat mengakomodir kesetaraan gender dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu: Pasal 1 huruf (f) yang cukup signifikan dalam menetapkan kemitraan suami-istri.

Dalam kitab fikih klasik belum mengakui secara eksplisit eksistensi dan peran istri dalam melahirkan harta bersama, maka Pasal 1 huruf (f) cukup representatif mengakui peran istri. Adanya harta bersama tidak dikaitkan dengan siapa yang memperoleh dan tidak dikaitkan dengan pendaftarannya atas nama siapa. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagaimanapun pola relasi suami istri dan masing-masing pihak tidak dapat melakukan perbuatan

hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pihak lain.

Pasal 29 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ekplisit menetapkan bahwa kesetaraan gender suami istri dimulai sejak akad nikah. Perkawinan tidaklah menempatkan istri sub-ordinasi di bawah posisi suami. Dalam ayat

“arrijalu qawwamuna ala annisa’

diartikan dengan “suami pelindung (protector, maintainers) istri”.

Bukan sebagai “pemimpin” yang terkesan lebih dominan dan otoriter.

Demikian pun Pasal 45 sampai dengan Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur tentang perjanjian kawin. Dalam kitab- kitab fikih konvensional tidak membahas perjanjian perkawinan.

Terkesan bahwa akad nikah hanyalah perjanjian antara wali dengan suami, di mana mempelai wanita atau istri tidak berhak menyatakan pendapat atau kemauannya sehubungan dengan terjadinya peristiwa hukum perkawinan tersebut. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara eksplisit mencantumkan perjanjian perkawinan yang merupakan media untuk mempercepat terwujudnya “mu’asyarah bi al- ma’ruf”. Dengan adanya peluang untuk mengadakan perjanjian

(15)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 15

perkawinan, maka eksistensi dan peran istri sebagai mitar suami semakin kuat. Secara lebih lugas Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa bila perjanjian perkawinan dilanggar, maka dapat dijadikan alasan oleh istri untuk pembatalan nikah atau alasan gugatan perceraian.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 tentang hak dan kewajiban serta kedudukan suami istri. Pandangan bahwa suami lebih dominan daripada istri dalam relasi perkawinan ditegaskan oleh ketiga pasal tersebut di atas. Suami tidak dapat memaksakan pendapat dan kemauannya kepada istri. Untuk hal-hal yang prinsip seperti upaya menciptakan rumah tangga sakinah, pengasuhan dan pemeliharaan anak, mereka harus bekerja sama.

Jika salah satu pihak melalaikan kewajibannya, pihak lawannya dapat menggugat ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai tersebut memenuhi kewajibannya.

Di samping itu, penentuan tempat kediaman bersama harus diputuskan bersama- sama.

Contoh di atas merupakan semangat kesetaraan gender yang diakomodir Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berpengaruh

terhadap hukum kewarisan yang berkaitan dengan persoalan- persoalan kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan masyarakat dan semakin heterogen suatu masyarakat semakin komplek pula persoalannya. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas merupakan antisipasi adanya perubahan sosial sebagaimana telah diuraikan di atas, dan cukup signifikan untuk menjawab tuntutan kesetaraan gender dalam koridor yang dibenarkan oleh Islam.

Pasal-pasal yang dianalisis tersebut di atas menunjukkan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan visi masa depan dalam upaya menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam. Pasal-pasal yang mengakomodir kesetaraan gender tersebut membuktikan bahwa hukum Islam di indonesia telah maju selangkah dalam rangka pembangunan hukum nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengembangkan semangat hukum Islam yang terdapat dalam berbagai sumber hukum seperti al- Qur’an, as-Sunnah dan lain sebagainya dalam upaya memenuhi

(16)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 16

rasa keadilan masyarakat, atas dasar prinsip maslahah.

Ketiga, konsep HAM dan pluralisme yang dirumuskan tidak sesuai dengan konteks al- Qur’an. Setiap pendekatan- pendekatan yang dipakai dalam studi Islam mengandung makna dan nilai di dalamnya. Sekalipun makna tersebut tidak semuanya diketahui secara tersurat, hanya mereka yang merumuskan yang mengetahui detailnya.

Konsep HAM yang dipakai dalam metodologi pendekatan CLD-KHI menurut Marwoto, seorang hakim di Pengadilan

Agama (PA) Sleman

menjelaskan bahwa konsep HAM sangat dianjurkan di dalam Islam. HAM merupakan modal dasar bagi perwujudan keadilan di tengah masyarakat. HAM juga menjamin setiap anggota masyarakat dapat hidup, merdeka bebas dan bertanggung jawab.

Akan tetapi setiap konsep pastinya mempunyai batasan-batasan yang tidak bisa diterapkan secara total.

Islam mengajarkan HAM bertindak dalam segala aspek kehidupan, tetapi pastinya setiap tindakan tersebut ada kadar- kadar dan norma-norma yang harus dipatuhi, sehingga

rasionalitas tidak menjadi Tuhan dalam menentukan jalan hidup.

HAM yang bisa diterima oleh masyarakat adalah HAM yang masih terikat dengan syariat dan kaidah- kaidah Islam. (Marwoto Hakim: 2019: 42).

Keempat, materi CLD-KHI masih Hukum Islam (KHI), maka alangkah lebih baik apabila mereka merubah terlebih dahulu Undang-Undang Perkawinan 1974 sebagai langkah awal di dalam proses pembaharuan hukum Islam.

Peranan otonomi akal yang mereka mainkan sebagai bentuk kebebasan berpikir telah melewati dari garis-garis ketentuan syari’ah.

Bagaimana hakim dapat meyakini bahwa materi yang disampaikan menjamin kebaikan dan kemashlahatan. Apabila mereka memberikan pengertian bahwa pernikahan adalah mua’malah dan bukan ibadah. Pada pasal pembukaannya sudah menyalahi aturan, apalagi pasal-pasal berikutnya.

Dari semua paparan yang telah diuraikan di awal, penulis ingin menyampaikan statemen akhir, bahwa gemuruh formalisasi hokum Islam yang hingga saat ini masih terasa begitu kuat di Indonesia. Ide-ide pembaharuan

(17)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 17

hokum waris di Indonesia juga sejatinya tidak diarahkan untuk mendekonstruksi hokum materil (konten) hokum waris itu sendiri, tetapi bagaimana menyadarkan masyarakat muslim di Indonesia untuk terus memperjuangkan hokum formil bagaimana hokum waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ke depan mampu memiliki derajat hokum yang lebih tinggi daripada saat ini, yaitu menjadi Undang- Undang.

Tujuannya adalah menaikan derajat Kompilasi Hukum Islam (KHI) di dalam hirarki perundang-undang dari Instruksi Presiden (Inpres) menjadi Undang-undang. Masyarakat muslim di Indonesia telah menerima kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai consensus para ulama dan umaro.

Oleh karena itu mereka juga menaruh harapan yang sangat besar kepada mereka yang concern (praktisi hukum, akademisi, eksekutif maupun legislator) terhadap proses tersebut dan dari mereka pula masyarakat muslim Indonesia ingin menyaksikan tonggak sejarah keberhasilan perjuangan panjang program legislasi nasional (Prolegnas) Kompilasi Hukum

Islam (KHI), sebuah pencapaian prestasi yang apabila berhasil akan dikenang oleh masyarakat muslim di Indonesia, hari ini dan nanti.

Di dalam materi CLD-KHI terdapat pembaharuan pemahaman yang diangkat melalui beberapa pendekatan seperti gender, HAM, demokrasi, pluralisme, nasionalitas, dan kemaslahatan.

Pendekatan yang digunakan di dalam CLD- KHI harus diakui terinspirasi dari hukum perdata umum, suatu pemikiran yang muncul dari filsafat barat yang liberal dan tidak selaras dengan nilai-nilai agama. Di dalamnya terdapat ketentuan yang sudah dibatalkan dalam UU perkawinan 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan hanyalah dalam hubungan keperdataan saja.

Ketentuan seperti ini telah dihapus oleh undang-undang Perkawinan dan tidak dimunculkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kelima, peran otonomi akal telah melewati ketentuan syari’ah.

Di dalam CLD- KHI tidak terdapat pemahaman baru yang menjadikan draft tersebut layak diangkat menjadi Undang-undang yang menjadi tandingan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yuniati dan

(18)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 18

Akhbaruddin, hakim di Pengadilan Agama (PA) Yogyakarta berpendapat semua itu hanyalah permainan orang-orang liberal. Menurut pendapatnya, apabila Tim Pengarus Utamaan Gender (PUG) hendak melakukan perubahan terhadap draft atau pasal yang ada di dalam Kompilasi telah diakui negara dan agama.

IV. KESIMPULAN

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memandang bahwa hukum waris bersifat ta’abbudi karena semua teknis dan detilnya telah terperinci (muhkam) tercantum

di dalam ayat-ayat al-Qur’an sehingga secara otomatis menutup ruang bagi pintu ijtihad. Semua ketentuan hukumnya harus diterima sebagai sebuah ibadah dan ketaatan. Hal ini berbeda dengan ide-ide pemikiran hukum CLD-KHI yang memandang bahwa hukum waris di dalam al- Qur’an bersifat mu’amalah, sehingga bagi mereka ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan waris harus ditangkap dari semangat dan pesan universalnya, mereka menghindari pemaknaan ayat secara literar.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-lakhmi Al-gharnathi Al-maliki. (2004). Al- muwafaqat fi Ushul Al-ushul Al-syari’ah. Beirut: Dar Al-kutb Al- islamiyyah.

Ali Ash-Shabuni, Syekh Muhammad. (1989). Hukum Waris Menurut al- Qur’an dan Hadits. Bandung: Trigenda Karya.

Al-Qattan, Manna Khalil. (2011). Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

al-Qarḍawi, Yusuf. (2000). al-Ijtihad al-Muasir Baina al-Indibat wa al- Infirat, Terj. Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer : Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Risalah Gusti.

An-Na’im, Abdullahi Ahmed. (1994). Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan Hubungan Internasional Dalam Islam.

Yogyakarta, LKIS.

Jazuni. (2005). Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

(19)

At-Ta'dil: Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 01 Nomor 1 Tahun 2022 19

Munir, Lily Zakiah. Ed. (1999). Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. Bandung: Mizan.

Nasution, Khoiruddin. (2012). Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia + Tazaffa.

Sarmadi, A. Sukris. (1997). Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT.RajaGrafindo Pusaka.

Syafi'e, M. (2011). Hak Non Muslim Terhadap Harta Waris (Hukum Waris Islam, KHI, dan CLDKHI di Indonesia). Jurnal Al-Mawarid, 11 (2), 175-193.

Wahid, Marzuki. (2014). Fiqh Indonesia : Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. Jawa Barat, ISIF.

Wahid, Marzuki dan Rumadi. (2001). Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan bunyi isi Pasal 209 KHI ayat 1 dan 2 tersebut, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh KHI adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan

Studi Analisis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Tentang Nikah Sirri,. Nikah Mut’ah, Dan Nika Beda Agama Dalam Perspektif Fiqih ini adalah benar- benar disusun dan

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsep perjanjian perkawinan tentang jangka waktu perkawinan dalam pasal 28 Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam merupakan konsep

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177

2 untuk istri sebagaimana dalam isi putusan dimaksud tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan KHI, dimana di dalam KHI janda atau duda cerai hidup masing-masing

Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum

Pasal 173 KHI menentukan bahwa, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena (a)

hakim Pengadilan Agama beranggapan bahwa konsep yang ditawarkan CLD-KHI memilki implikasi terhadap masyarakat walaupun tidak semua pasal menyimpang dari