Analisis Penyebab Kecacatan dan Usulan Perbaikan Produk Tepung Crispy dengan Metode Failure Mode Effect Analysis
Achmad Rizal Firmansyah1, Deny Andesta2,
1,2Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Gresik Jl. Sumatra No.101, Randuagung, Kabupaten Gresik, Jawa Timur 61121
*Koresponden email: [email protected], [email protected]
Diterima: 4 April 2022 Disetujui: 19 April 2022
Abstract
Small and medium enterprises (SMEs), one of which is UD. RCR, which is one of the micro industries that produces crispy flour, uses a lot of machines to process it so that the product is prone to defects. To reduce the number of product defects produced and improve product quality, an analysis using the FMEA (Failure Mode Effect Analysis) method can be used to identify the source and root cause of the quality of the product with an analysis of 3 failures, namely: inappropriate weight, leaky packaging, and the production code on the packaging is damaged. From the type of failure obtained a Risk Priority Number (RPN). After conducting a survey and data processing, there is the highest RPN value with an RPN value of 245, an RPN value of 180, and an RPN value of 100. From these RPN values, recommendations for improvement include: Checking regularly before production, Checking the temperature on the sealer machine before carry out the packing process, and check the production code printing machine. So that the quality of the product can be maintained and safe when in the hands of the customer.
Keywords: failure mode effect analysis, risk priority number, quality, defect production
Abstrak
Usaha kecil menengah (UKM) yang salah satunya adalah UD. RCR yang merupakan salah satu industri mikro yang memproduksi tepung crispy yang pengerjaannya banyak menggunakan mesin sehingga produk rentan terjadinya cacat (defect). Untuk mengurangi jumlah kecacatan produk yang dihasilkan dan meningkatkan kualitas produk, bisa digunakan analisa dengan menggunakan metode FMEA (Failure Mode Effect Analysis) dengan mengidentifikasi sumber dan akar penyebab kualitas dari produk tersebut dengan analisa 3 kegagalan, yakni : berat tidak sesuai, kemasan bocor, dan kode produksi pada kemasan rusak.
Dari jenis kegagalan diperoleh Risk Priority Number (RPN). Setelah dilakukan survey dan pengelolaan data, terdapat nilai RPN tertinggi dengan nilai RPN 245, nilai RPN 180, dan nilai RPN 100. Dari nilai RPN tersebut perlu dilakukan rekomendasi perbaikan antara lain : Melakukan pengecekan secara teratur sebelum produksi, Periksa suhu pada mesin sealer sebelum melakukan proses packing, dan melakukan pengecekan pada mesin print kode produksi. Sehingga kualitas produk bisa tetap terjaga dan aman saat berada di tangan customer.
Kata Kunci: failure mode effect analysis, risk priority number, kualitas, produk cacat
1. Pendahuluan
Dalam pembangunan ekonomi Indonesia, Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki peran vital.
UKM di negara yang masih berkembang mempertahankan tingkat kelangsungan usaha yang tinggi karena diberdayakan dan secara konsisten berinovasi agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan UKM dan mitranya [1]. Konsumen tentunya mengutamakan kualitas. Produk yang memberikan kualitas unggul dengan harga yang wajar dapat menarik banyak orang untuk terus mengonsumsinya [2]. UD. RCR adalah salah satu industri mikro yang memproduksi tepung crispy.
Diantaranya produk yang dihasilkan ada yang tidak sempurna atau bisa dibilang banyak yang masih cacat (defect). UD. RCR bergerak di bidang industri manufaktur yang mempekerjakan sejumlah besar mesin dan dengan demikian rentan terhadap kegagalan. Selain itu, barang-barangnya harus bersaing dengan kompetitor yang notabenenya menggunakan tenaga mesin secara ekstensif yang tetap mempertahankan harga dan kualitas. Hal ini secara tidak langsung sebagai tuntutan kualitas dari konsumen yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
Bagian tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengurangi jumlah produk yang cacat dan untuk meningkatkan kualitas produk melalui penggunaan pendekatan FMEA. FMEA adalah teknik terorganisir
untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. FMEA merupakan suatu metode yang cukup komprehensif untuk meminimalisir kemungkinan mode kegagalan [3].
Pengertian kualitas memiliki cakupan yang cukup besar, relatif, berbeda-beda serta berubah- ubah.
Alhasil pada dasarnya pengertian kualitas yang mempunyai banyak standar mesti dicocokkan lagi bersumber pada konteksnya paling utama bila diamati dari bagian evaluasi akhir konsumen serta pengertian yang diberikan oleh berbagai pakar dan dari sudut pandang produsen selaku pihak yang menghasilkan kualitas [4]. Karena kualitas merupakan gambaran bentuk kualitas suatu produk yang menunjukkan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan, maka sangat penting untuk memiliki kesesuaian antara bisnis dan keinginan pelanggan ketika mengembangkan suatu produk untuk menciptakan citra yang unik bagi konsumen [5]. Dari hal tersebut ada pula pengertian kualitas, antara lain:
a. Menurut ref. [6] produk yang memiliki kualitas baik dapat diketahui dari tingkat kepuasan pada pelanggan.
b. Ref. [7] hubungan antara kualitas dengan produk, pelanggan, proses, pelanggan, jasa maupun lingkungan adalah tidak tetap untuk memenuhi maupun melebihi ekspektasi konsumen.
c. Menurut ref. [8] Kualitas ialah salah satu aspek terpenting dalam suatu produk atau pelayanan yang diserahkan pada pelanggan.
d. Menurut ref. [9] kualitas merupakan standarisasi yang telah ditentukan untuk dijadikan tujuan agar sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut ref. [10] kecacatan produk yakni produk yang tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, supaya dapat diperbaiki secara teknis dan untuk memperkecil biaya produksi agar dapat mencapai produk yang berkualitas baik. Suatu produk dianggap cacat jika berbahaya untuk digunakan, tidak memenuhi standar tertentu seperti yang diantisipasi oleh orang-orang dalam kondisi tertentu, terutama tampilan produk, tujuan penggunaan produk, dan tanggal pemasaran. Suatu produk tidak dapat dikatakan cacat jika dapat diterima oleh pelanggan setelah disebarluaskan.
FMEA adalah proses untuk menentukan asal dan akar penyebab masalah kualitas dalam melakukan aktivitas produksi dan telah diimplementasikan guna mengevaluasi kecacatan produk pada skala usaha mikro sampai besar. penelitian yang dilakukan oleh ref. [11]. Penulis tersebut memberikan saran perbaikan berdasarkan hasil prosedur FMEA dan perhitungan nilai RPN. Perhitungan RPN mengungkapkan tiga penyebab, dengan nilai tertinggi adalah campuran cat yang memungkinkan pasir masuk sebesar 252 dan rekomendasi perbaikan berupa penambahan filter pada filter penyemprotan cat untuk mencegah pasir keluar, diikuti dengan cacat lubang dengan ukuran 210 dan rekomendasi untuk perbaikan, dan akhirnya cacat Runs di 294 dengan rekomendasi perbaikan, lalu mendidik pekerja cat tentang teknik mengecat yang sesuai.
Seperti penelitian yang dilakukan di pabrik pembuatan plastic packaging yang dilakukan oleh [12]
menunjukkan hasil analisis menggunakan tabel FMEA (Failure Mode And Effects Analysis), diketahui bahwa upaya yang diusulkan untuk meningkatkan kualitas kemasan cat plastik dengan memperhatikan mode kegagalan label miring yang menjadi penyebab kegagalan. Yang pertama adalah kurangnya penahan label, yang memiliki nilai RPN tertinggi 336. Bagian Label Pengambilan sedang dibuat / dimodifikasi, dan Kompensator Pengisap Vakum ditambahkan di tengah untuk mengamankan label pada tempatnya saat Mandrell Vacum beroperasi. Menurut penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan FMEA, membeli produk dari vendor yang terjamin kualitasnya, memeriksa kertas sebelum produksi, mengganti produksi jika lembab, dan menjemur kertas di bawah sinar matahari atau dengan pengering pasir adalah beberapa solusi yang ditawarkan [13].
2. Metode Penelitian
Penelitian ini memerlukan langkah-langkah berikut: pengamatan proses, identifikasi potensi kegagalan yang mungkin terjadi dari kesalahan pada proses yang diamati, dan identifikasi dampak potensial yang dihasilkan oleh mode kegagalan potensial yang diidentifikasi. Menetapkan nilai keparahan (S) menunjukkan keseriusan pengaruh mode kegagalan pada proses yang berkelanjutan, serta menentukan alasan (kemungkinan penyebab) dari mode kegagalan. Dengan menentukan nilai kejadian (O), penelitian dapat menentukan frekuensi munculnya masalah sebagai akibat dari kemungkinan penyebab. Identifikasi kontrol proses saat ini, yang merupakan deskripsi kontrol yang ada untuk mencegah apa pun yang menyebabkan mode kegagalan terjadi. Menetapkan nilai deteksi (D), di mana deteksi mengacu pada kemampuan proses kontrol untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya mode kegagalan. Melakukan peralihan variabel keparahan (S), kejadian (O), dan deteksi (D) untuk mendapatkan RPN (nomor prioritas risiko).
RPN = Severity (S) x Occurance (O) x Detection (D)
Nilai RPN menunjukkan tingkat keparahan kegagalan prospektif; semakin besar angka RPN, semakin serius kegagalannya. Tidak ada angka referensi RPN yang tersedia untuk tujuan perbaikan dan segera membuat rekomendasi peningkatan. Terhadap kemungkinan penyebab, alat kontrol, dan dampak yang dihasilkan. Kriteria dengan nilai RPN tertinggi didahulukan untuk perbaikan ketika datang ke sumber penyebab cacat yang paling umum [14].
Penentuan nilai Severity (S), Occurance (O), Detection (D) dan RPN
Untuk mendapatkan nilai RPN, terlebih dahulu harus ditentukan nilai keparahan (S), kejadian (O), dan deteksi (D). Langkah-langkah berikut berguna untuk menentukan nilai keparahan (S), kejadian (O), dan deteksi (D):
Severity (S)
Analisis tingkat keparahan adalah langkah pertama dalam analisis risiko. Hal ini menentukan sejauh mana suatu insiden atau kejadian mempengaruhi hasil akhir proses. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, efek ini dinilai pada skala 1 sampai 10, dengan 10 yang paling parah.
Tabel 1. Skala penilaian severity
Effect Rank kriteria
Tidak ada 1 Operator tidak mendeteksinya (Proses/Produk) Sangat Sedikit 2 Dampak tidak substansial (produk)
Sedikit 3 Operator mungkin menyadari dampaknya, tetapi tidak substansial (Proses dan Produk).
Minor (kecil) 4 Proses di tingkat lokal dan/atau hilir dapat terpengaruh (Proses). Pengguna akan menemukan sedikit efek negatif pada produk (produk).
Sedang 5 Dampaknya akan terasa sepanjang durasi operasi (proses). Mengurangi kinerja secara bertahap. Konsumen yang tidak puas (produk)
Parah 6 Proses hilir terganggu (Proses). Meskipun perangkat tetap berfungsi dan aman, kinerjanya telah menurun. Konsumen tidak puas (produk).
Tingkat Keparahan
Tinggi 7 Downtime yang substansial (Proses). Performa produk sangat terpengaruh.
Konsumen sangat kecewa (Produk) . Tingkat Keparahan
Sangat Tinggi 8
Downtime substansial dan berpengaruh pada keuangan (Proses). Meskipun produk ini tidak dapat dioperasikan, masih dalam taraf aman. Pelanggan sangat kecewa (Produk)
Ekstrem
Keparahan 9 Kegagalan yang mengakibatkan konsekuensi negatif sangat mungkin terjadi.
Kekhawatiran tentang keamanan dan regulasi (Proses dan Produk) Maksimum
Keparahan 10
Kegagalan dengan konsekuensi negatif hampir tak terelakkan. Tidak membahayakan atau melukai personel operasional (proses). Kesesuaian dengan peraturan pemerintah yang berlaku (Produk)
Sumber : Ref. [15]
Occurrence (O)
Occurrence merupakan kemungkinan terjadinya kegagalan dalam suatu proses yang dievaluasi pada skala 1-10. Tabel 2 merinci faktor-faktor untuk menentukan peluang kegagalan.
Tabel 2. Skala penilaian occurrence Probability of
Failure Failure Rates Rating
Sangat Tinggi
1 in 2 10
1 in 3 9
1 in 8 8
Tinggi 1 in 20 7
1 in 80 6
Sedang 1 in 400 5
1 in 2000 4
rendah 1 in 15000 3
Sangat rendah 1 in 150000 2
remote 1 in 1500000 1
Sumber : Ref. [15]
Detection (D)
Deteksi adalah metrik kinerja kontrol yang mengukur kemampuan sistem kontrol untuk mengidentifikasi dan mengurangi insiden kesalahan proses. Tabel 3 berisi informasi tentang skala peringkat deteksi.
Tabel 3. Skala penilaian detection
Detection Criteria of Detection by Process %R&R %Repeatibility≥ Rangking Hampir tidak
mungkin
Tidak tersedia pengontrol yang dapat
mengidentifikasi ≥100% %Repeatibility≥
%Reproducibility 10 Sangat jarang Pengontrol yang tidak mudah dipahami sehingga
menimbulkan kegagalan ≥100% %Repeatibility≤ 9 Jarang Kemampuan alat kontrol untuk menentukan sifat
dan penyebab kegagalan sangat terbatas. ≥80% %Repeatibility≥
%Repeatibility 8 Sangat rendah Kapasitas alat kontrol untuk menentukan jenis dan
penyebab kegagalan sangat tidak baik ≥80% %Repeatibility≥ 7 Rendah Kapasitas alat kontrol untuk menentukan jenis dan
penyebab kegagalan tidak baik ≥60% %Repeatibility≥
%Repeatibility 6 Sedang Kapasitas alat kontrol untuk menentukan jenis dan
penyebab kegagalan berada di tingkat rata-rata ≥60% %Repeatibility≥
%Repeatibility 5 Agak tinggi Kemampuan alat kontrol untuk menentukan bentuk
dan penyebab kegagalan sangat kuat. ≥30% %Repeatibility≥
%Repeatibility 4 Tinggi Kemampuan alat kontrol untuk menentukan bentuk
dan penyebab kegagalan sangat baik. ≥30% %Repeatibility≥
%Repeatibility 3 Sangat tinggi Kemampuan alat kontrol untuk menentukan bentuk
dan penyebab kegagalan sangat kuat. ≥30% %Repeatibility≥
%Repeatibility 2 Hampir pasti Kapasitas perangkat kontrol untuk menentukan
bentuk dan penyebab kerusakan mendekati pasti. ≥30% %Repeatibility≥
%Repeatibility 1 Sumber : Referensi [15]
3. Hasil dan Pembahasan
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung di lantai pabrik, sesuai dengan proses produksi di UD. RCR dilakukan setiap minggu. Data yang dibutuhkan adalah informasi mengenai masalah kualitas produk pada UD. RCR September 2021 seperti terlihat pada Tabel 4: kesalahan pada data berat, yang terjadi ketika mesin pengisi tidak dirawat dengan benar dan tepung menempel pada isian sehingga menjadi kerak, sehingga mengurangi volume pengisian di setiap produk. Kebocoran kemasan terjadi ketika lubang kecil ditemukan pada kemasan suatu produk. Kode produksi pada kemasan rusak, yaitu pada bagian mesin pencetak kode produksi terletak pada bagian pita tinta mengalami pergeseran sehingga kode produksi tidak tercetak.
Tabel 4. Data jumlah produk cacat selama bulan September 2021 di UD. RCR Bulan Minggu
Jenis cacat (unit)
Total defect Berat tidak sesuai Kemasan bocor Kode produksi pada
kemasan rusak September
Minggu ke-1 45 37 14 96
Minggu ke-2 41 44 15 100
Minggu ke-3 33 38 17 88
Minggu ke-4 54 49 20 123
Total 173 168 66 407
Sumber : UD. RCR (2021)
Dari hasil jumlah kegagalan produk tepung crispy di atas diketahui bahwa jumlah kegagalan pada produk tepung crispy adalah berat tidak sesuai 173, kemasan bocor 168, kode produksi pada kemasan rusak 66, dan total keseluruhan data kecacatan produk 407. Dari jumlah defect digunakan dalam pengukuran tingkat keseringan atau frekuensi terjadinya jenis kegagalan tertentu.
Tabel 5 berisi data kegagalan proses penimbangan yang tidak tepat, pengemasan yang bocor, dan kode produksi pada pengemasan yang rusak. Data dikumpulkan sebelum studi kegagalan pada periode Juni s/d September 2021.
Tabel 5. Data jumlah produk cacat selama bulan Juni 2021 di UD. RCR Bulan Minggu
Jenis cacat (unit)
Total defect Berat tidak sesuai Kemasan bocor Kode produksi pada
kemasan rusak Juni
Minggu ke-1 43 35 12 90
Minggu ke-2 39 45 14 98
Minggu ke-3 32 36 15 83
Minggu ke-4 54 48 20 123
Total 168 164 61 394
Sumber: UD. RCR (2021)
Tabel 6. Data jumlah produk cacat selama bulan Juli 2021 di UD. RCR Bulan Minggu
Jenis cacat (unit)
Total defect Berat tidak sesuai Kemasan bocor Kode produksi pada
kemasan rusak Juli
Minggu ke-1 38 30 12 80
Minggu ke-2 44 34 10 88
Minggu ke-3 36 25 11 72
Minggu ke-4 46 41 13 100
Total 164 130 46 340
Sumber: UD. RCR (2021)
Tabel 7. Data jumlah produk cacat selama bulan Agustus 2021 di UD. RCR Bulan Minggu
Jenis cacat (unit)
Total defect Berat tidak sesuai Kemasan bocor Kode produksi pada
kemasan rusak Agustus
Minggu ke-1 44 37 16 97
Minggu ke-2 35 32 12 79
Minggu ke-3 40 35 17 92
Minggu ke-4 60 43 19 122
Total 179 147 64 390
Sumber: UD. RCR (2021)
Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab terjadinya defect
Bagian ini mengidentifikasi asal-usul dan penyebab yang mendasari masalah dengan pengamatan langsung dari pemilik perusahaan, yang memiliki pengalaman kerja yang signifikan dan merupakan pemilik perusahaan. Kapasitasnya untuk mengidentifikasi asal-usul dan penyebab yang mendasari kegagalan pada proses produk.
Tabel 8. Dampak kegagalan pada berat tidak sesuai
Jenis kegagalan pada produk Dampak kegagalan
Berat tidak sesuai
Kurang adanya maintenance pada mesin Mesin mengalami trouble
Penempatan sensor tidak sesuai Sumber: Data diolah (2021)
Tabel 9. Dampak kegagalan pada kemasan bocor
Jenis kegagalan pada produk Dampak kegagalan
Kemasan bocor
Suhu pada mesin sealer kurang panas Kecepatan mesin terlalu cepat Mesin sealer kotor
Sumber: Data diolah (2021)
Tabel 10. Dampak kegagalan pada kode produksi pada kemasan rusak Jenis kegagalan pada produk Dampak kegagalan
Kode produksi pada kemasan rusak
Tinta kode produksi pada kemasan kurang jelas dan terang Mesin print produksi mengalami trouble
Kurangnya pengalaman pekerja Sumber: Data diolah (2021)
Pengolahan Data
Pada tahap pengolahan data, dimungkinkan untuk menentukan prioritas suatu jenis kegagalan dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap tiga faktor kegagalan yang menunjukkan risiko yang terkait dengan setiap potensi kegagalan, yaitu Severity, Occurrence, dan Detection, dengan hasil akhir merupakan perkalian dari nilai ketiga jenis kegagalan berupa RPN. Mengenai individu yang memberikan nilai pada ketiga elemen ini, yaitu pemilik perusahaan, dia harus sudah memiliki pengalaman kerja yang memadai dan kapasitas untuk menilai keadaan cacat suatu produk. Jika terjadi gap pada saat proses pengisian nilai ketiga elemen tersebut, maka digunakan pendekatan brainstorming.
Tabel 11. Jenis kegagalan dan perhitungan nilai RPN Metode
Kegagalan (Failure
Mode)
Severity (S)
Potensi Penyebab Kegagalan
(Cause of Failure)
Occurance (O)
Proses Control (Control Process)
Detection (D)
Risk Priority Number (RPN)
Berat tidak
sesuai 7
Kurang adanya maintenance pada mesin
5
Melakukan pengecekan secara teratur sebelum produksi
5 175
Mesin mengalami trouble
3 Melakukan perawatan
mesin dilakukan berkala 5 105 Penempatan
sensor tidak sesuai
4
Sebaiknya pekerja lebih sering memeriksa sensor disaat produksi
3 84
Kemasan
bocor 6
Suhu pada mesin sealer kurang panas
4
Periksa suhu pada mesin sealer sebelum
melakukan proses packing
6 144
Kecepatan mesin
terlalu cepat 4
Sebelum melakukan proses produksi sebaiknya memeriksa terlebih dulu pada mesin apakah sudah berada di titik yang sesuai standar
3 72
Mesin sealer
kotor 5 Kurangnya perawatan
pada mesin sealer 3 90
Kode produksi pada kemasan rusak
5
Tinta kode produksi pada kemasan kurang jelas dan terang
4
Melakukan pengecekan pada mesin print kode produksi
5 100
Mesin print produksi mengalami trouble
3
Mengganti mesin print produksi dengan mesin print manual (stempel)
4 60
Kurangnya pengalaman pekerja
5 Melakukan pelatihan
kerja 3 75
Sumber : Data diolah (2021) Rekomendasi Perbaikan
Untuk memberikan rekomendasi perbaikan, harus dilihat akar penyebab utama dari kekurangan yang dianggap paling berpengaruh dan lazim dalam proses pembuatan tepung renyah. Akar penyebab krusial ditentukan oleh nilai RPN penyebab dengan nilai terbesar.
Tabel 12. Alternatif rekomendasi untuk mengatasi kegagalan pada berat tidak sesuai Jenis
kegagalan
Cause dengan RPN
tertinggi Rekomendasi
Berat tidak sesuai
Kurang adanya maintenance pada
mesin
Seharusnya melakukan pelatihan pada pekerja agar dapat mengidentifikasi kerusakan pada mesin agar tidak perlu melakukan perbaikan, sehingga dapat mengurangi waktu downtime dan memaksimalkan waktu proses produksi
Sumber : Data diolah (2021)
Pada situasi saat ini, observasi dilakukan di tempat produksi yang kurang adanya maintenance pada mesin. Saran alternatif pada Tabel 13 adalah dengan cara meninjau apa yang kurang baik atau yang dapat memperlambat jalannya produksi (down time), sehingga perlu adanya maintenance pada mesin agar dapat menghasilkan produksi yang maksimal maka dapat dilakukan pemeriksaan mesin secara berkala.
Tabel 13. Alternatif rekomendasi untuk mengatasi kegagalan pada kemasan bocor Jenis
kegagalan
Cause dengan RPN
tertinggi Rekomendasi
Kemasan bocor
Suhu pada mesin sealer kurang panas
Sebaiknya sebelum melakukan produksi suhu pada mesin sealer harap diperiksa terlebih dahulu. agar kemasan pada produk tidak mengalami kebocoran
Sumber : Data diolah (2021)
Pada situasi saat ini, observasi dilakukan di tempat produksi seharusnya bisa mengatur dan menyesuaikan suhu pada mesin sealer yang sedang dijalankan. Saran alternatif pada Tabel 14 adalah dapat dilakukannya pemeriksaan apakah suhu pada mesin sealer sudah berada di titik yang memenuhi persyaratan minimal sesuai aturan, agar hasil yang diperoleh lebih baik dan maksimal (tidak mengalami kebocoran).
Tabel 14. Alternatif rekomendasi untuk mengatasi kegagalan pada kode produksi pada kemasan rusak
Jenis kegagalan Cause dengan RPN
tertinggi Rekomendasi
Kode produksi pada kemasan
rusak
customer tidak mau menerima produk yang kode produksinya rusak
Adapun cara yang dapat dilakukan agar kode produksi pada kemasan tidak mengalami defect (kegagalan) hendaknya pada saat pencetakan kode produksi harus melakukan inspeksi pada mesin terlebih dahulu sebelum melakukan pengiriman ke customer.
Sumber : Data diolah (2021)
Untuk kondisi di lapangan saat ini pada saat customer tidak mau menerima produk yang kode produksi pada kemasan rusak. Saran alternatif pada Tabel 14 adalah dapat dilakukan inspeksi atau menyortir ulang produk yang kode produksinya pada kemasan rusak, sehingga bisa berjalan sesuai yang di inginkan oleh para customer.
Prioritas hasil usulan RPN tertinggi
Berdasarkan hasil olah data di atas, diperoleh hasil RPN terbesar sebagai berikut:
1. Kurang adanya maintenance
Prioritas yang pertama adalah kurang adanya maintenance pada mesin. Seharusnya para pekerja sebelum memulai produksi hendaknya memeriksa kembali mesinnya, terutama untuk para pekerja perlu adanya pelatihan khusus atau pengarahan terhadap mesin bagaimana cara mengoperasikan mesin agar tidak terjadi masalah (down time) pada saat produksi.
2. Suhu pada mesin sealer kurang panas
Prioritas yang kedua adalah suhu pada mesin sealer kurang panas, sehingga kemudian yang diprioritaskan adalah untuk meminimalkan kegagalan yang disebabkan oleh pekerja yang tidak menyesuaikan tingkat suhu mesin sealer. Hal ini dicapai dengan memberikan waktu bagi pekerja untuk menyesuaikan tingkat suhu mesin sealer sebelum bekerja, agar dapat dilakukan pemeriksaan pada mesin sealer untuk mengurangi dampak kegagalan yang sering terjadi.
3. Kode produksi pada kemasan rusak
Untuk prioritas yang terakhir yaitu kode produksi pada kemasan rusak yang disebabkan oleh kurang telitinya para pekerja dalam menyortir barang produksi. Sehingga perlu adanya inspeksi agar pada saat produk dikirim tidak mengalami defect (kegagalan). Tinta merupakan faktor yang sangat penting. Perlu
adanya peningkatan kualitas produk dari pihak perusahaan yaitu dengan cara menggunakan tinta (permanen) yang sesuai standar yang layak digunakan agar tidak terjadi penurunan permintaan produk.
4. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa penyebab utama kegagalan pada proses berat yang tidak sesuai adalah kurang adanya maintenance pada mesin. Akibat kegagalan karena berat yang salah adalah terjadinya masalah (down time) pada saat produksi. Kemasan bocor menyebabkan kegagalan signifikan yang terjadi pada suhu pada mesin sealer kurang panas. Akibat yang timbul dari kegagalan pada kemasan bocor adalah kegagalan yang disebabkan oleh karyawan yang sering gagal mengubah setting suhu mesin sealer. Penyebab kegagalan yang dominan pada proses kode produksi pada kemasan rusak antara lain yang terjadi pada customer tidak mau menerima produk yang kode produksinya rusak. Akibat yang timbul dari kegagalan pada kode produksi rusak adalah penurunan jumlah permintaan produk. Perusahaan sebagai lokasi atau objek penelitian seharusnya mampu membuat kebijakan yang sejalan dengan pengamatan tersebut, dengan tujuan memberikan keuntungan bagi perusahaan di masa mendatang. Memberikan saran untuk kontrol kualitas berkelanjutan termasuk penggunaan metode FMEA.
Memberikan saran untuk bisnis, mencakup evaluasi semua elemen yang berkontribusi terhadap kegagalan, termasuk prosedur lingkungan, mesin, orang, dan material.
5. Referensi
[1] N. Ardiansyah and H. C. Wahyuni, “Analisis Kualitas Produk Dengan Menggunakan Metode FMEA dan Fault Tree Analisys (FTA) Di Exotic UKM Intako,” PROZIMA (Productivity, Optim.
Manuf. Syst. Eng., vol. 2, no. 2, p. 58, 2019, doi: 10.21070/prozima.v2i2.2200.
[2] D. F. Mayangsari, H. Adianto, and Y. Yuniati, “Usulan Pengendalian Kualitas Produk Isolator Dengan Metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Dan Fault Tree Analysis (FTA),” Tek.
Ind. Nas. Bandung, vol. 3, no. 2, pp. 81–91, 2015.
[3] R. N. Anugrah, L. Fitria, and A. Desrianty, “Usulan Perbaikan Kualitas Produk Menggunakan Metode Fault Tree Analysis ( FTA) Dan Failure Mode and Effect,” J. Online Inst. Teknol. Nas. Jur.
Tek. Ind. Itenas, vol. 03, pp. 146–157, 2015.
[4] H. Tannady and C. Chandra, “Analisis Pengendalian Kualitas dan Usulan Perbaikan pada Proses Edging di PT Rackindo Setara Perkasa dengan Metode Six Sigma,” JIEMS (Journal Ind. Eng.
Manag. Syst., vol. 9, no. 2, pp. 123–139, 2017, doi: 10.30813/jiems.v9i2.43.
[5] P. Wisnubroto and A. Rukmana, “Pengendalian Kualitas Produk Dengan Pendekatan Six Sigma Dan Analisis Kaizen Serta New Seven Tools Sebagai Usaha Pengurangan Kecacatan Produk,” J.
Teknol., vol. 8, no. 1, pp. 65–74, 2015.
[6] H. I. Mastur and N. F. Aji, “Analisis Pengendalian Kualitas Pembuatan Wellhub Dengan Pendekatan Lean Six Sigma,” vol. 22, no. 1, pp. 44–52, 2016, [Online]. Available:
https://journal.uii.ac.id/jurnal-teknoin/article/view/4653.
[7] A. Riyanto and A. B. S. I. Sukabumi, “Implikasi Kualitas Pelayanan Dalam Meningkatkan Kepuasan Pelanggan Pada PDAM Cibadak Sukabumi,” vol. 2, no. 1, pp. 117–124, 2018.
[8] Suseno and Syahrial Ihza Kalid, “Pengendalian Kualitas Cacat Produk Tas Kulit Dengan Metode Failure Mode And Effect Analysis (FMEA) Dan Fault Tree Analysis (FTA) Di PT Mandiri Jogja Internasional,” J. Cakrawala Ilm., vol. 1, no. 6, pp. 1307–1320, 2022.
[9] H. Yuliansyah, “Pengembangan Pemasaran Reza Bakery Dan Kualitas Layanan Dalam Meningkatkan Minat Beli Konsumen,” vol. II, no. 2, pp. 211–221, 2014.
[10] B. Siregar, Akuntansi Biaya. Jakarta Selatan : Salemba Empat, 2013.
[11] M. Bachtiar, S. S. Dahda, and E. Ismiyah, “Analisis Pengendalian Kuaitas Produk Pap Hanger Menggunakan Metode Six Sigma Dan Fmea Di Pt. Ravana Jaya Manyar Gresik,” JUSTI (Jurnal Sist. dan Tek. Ind., vol. 1, no. 4, p. 609, 2021, doi: 10.30587/justicb.v1i4.2924.
[12] R. Usman and N. Nanang, “Kualitas Produksi Plastic Moulding Decorative Printing Metode Six Sigma Failure Mode Effect Analysis ( FMEA ) Kemasan Cat Plastik,” J. Teknol., vol. 13, no. 1, pp.
25–32, 2021.
[13] E. Krisnaningsih, P. Gautama, and M. F. K. Syams, “Usulan Perbaikan Kualitas Dengan Menggunakan Metode FTA dan FMEA,” InTent, vol. 4, no. 1, pp. 41–54, 2021, [Online]. Available:
http://ejournal.lppm-unbaja.ac.id/index.php/intent/article/view/1401.
[14] M. Basori and S. Supriyadi, “Analisis Pengendalian Kualitas Cetakan Packaging Dengan Metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA),” Pros. Semin. Nas. Ris. Ter. SENASSET, pp. 158–163, 2017, [Online]. Available: https://e-jurnal.lppmunsera.org/index.php/senasset/article/view/442.
[15] A. Z. Muttaqin and Y. A. Kusuma, “Analisis Failure Mode And Effect Analysis Proyek X Di Kota Madiun,” JATI UNIK, vol. 1, no. 2, pp. 81–96, 2018, doi: 10.4271/770740.