1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pengumpulan Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2011), hal.30. Berdasarkan pemaparan di atas mengenai pelaksanaan dan KHI terkait rujuk, terdapat suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti, dalam hal ini penulis mencoba mengatasinya dalam skripsi yang berjudul “Analisis Kumpulan Hukum Islam (KHI) terkait rujuk dari perspektif Maslahah Murlah”. Selain itu, peneliti berharap dapat melengkapi dan melengkapi karya ilmiah tentang analisis Kumpulan Hukum Islam (KHI) mengenai penyelarasan perspektif maslahah murlah melalui penelitian ini.
Diharapkan kajian ini juga dapat memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat dapat belajar merujuk kepada komposisi hukum Islam dari sudut maslahah mursalah. Berdasarkan apa yang telah dihuraikan, masalah berkenaan adalah bagaimana Syariat Islam menilai kedudukan kebenaran merujuk kepada suami dalam tempoh Iddah dan hujah serta kaedah insinbat hukum yang digunakan oleh ulama dalam menentukan hak merujuk kepada lelaki tersebut. suami. Persetujuan isteri untuk merujuk kepada suami, yang mengikut undang-undang dan peraturan, tidak bertentangan dengan hukum syarak.
Penelitian ini membahas tentang bagaimana memahami dan mengamalkan rekonsiliasi talak tiga di desa Muara Karang, bagaimana meninjau hukum Islam dan hukum positif mengenai talak tiga di desa Muara Karang.
PENDAHULUAN
Rumusan Masalah
Tujuan Masalah
Kegunaan Penelitian
Penelitian Terdahulu
Metode Penelitian
Sistimatika Penulisan
KAJIAN TEORI
Pengertian Rujuk
Dasar Hukum Rujuk
Syarat dan Rukun Rujuk
Macam-macam Rujuk
Tujuan dan Hikmah Rujuk
Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Persyaratan Maslahah Mursalah
Macam-macam Maslahah Mursalah
Kehujjahan Maslahah Mursalah
KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Latar Belakang dan Sejarah Kompilasi Hukum Islam
Gagasan penyusunan kumpulan hukum Islam muncul setelah beberapa tahun, ketika Mahkamah Agung sedang mengembangkan bidang teknik peradilan pada peradilan agama.53 Tugas pengembangan ini juga didasarkan pada UUD no. . Meski undang-undang tersebut disahkan pada tahun 1970, namun pada tahun 1983, setelah Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama menandatangani keputusan bersama, maka dibentuklah Pengadilan Perwalian (SKB). Dalam perkembangannya peradilan agama, Mahkamah Agung menemukan beberapa kelemahan seperti hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang biasanya menimbulkan kebingungan karena adanya perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan hukum di lingkungan peradilan. didasarkan pada o perbedaan sumber referensi yang digunakan hakim dalam memutus perkara.
Undang-undang ini merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia, yang berlaku bagi seluruh warga negara54. Sebelum lahirnya undang-undang perkawinan, pemerintah mencoba menyebarkan pesan UU No. 14 Tahun 1970, proses ini memakan waktu yang cukup lama, hingga akhirnya rancangan undang-undang tentang Peradilan Agama dapat diusulkan dan disahkan serta diproklamirkan pada bulan Desember. 29 Tahun 1989 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49. Upaya ini tidak semata-mata untuk menegakkan ketentuan UU No. 14 Tahun 1970, namun untuk memenuhi dan menyerahkan ke Pengadilan Agama sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 63 ayat 1 UU Perkawinan55.
Peraturan Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1882 Nomor 152 dan Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 116 dan 610). Meskipun UU No. 7 Tahun 1989 tentang kompetensi absolut yang disebutkan dalam Pasal 1989 masih bersifat global sehingga memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, sehingga pada saat yang sama juga disusun Kompilasi Hukum Islam dengan tujuan untuk mempersiapkan penyeragaman. pedoman bagi hakim pengadilan agama. dan menjadi sebuah hukum positif yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia yang beragama Islam, agar tidak ada lagi perbedaan putusan pengadilan agama, karena dalam perkara yang sama sering kali putusannya berbeda, hal ini dikarenakan acuan hakimnya berbeda dan dibuat. oleh situasi dan lingkungan yang terkena dampak. Perbedaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya menimbulkan sikap sinis masyarakat terhadap Peradilan Agama dan hukum yang digunakannya yaitu hukum Islam. Selain itu, wawasan yang digunakan hakim terhadap hukum fiqih di Indonesia masih terbatas. Syafi fokus. 'Aku berpikir. Hal ini tidak bisa disalahkan pada hakim Pengadilan Agama. karena didukung oleh pemerintah dengan surat edaran Biro Kehakiman Agama No.B./1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjutnya.
Seiring dengan berkembangnya kesadaran hukum di masyarakat dan perkembangan hukum Islam di Indonesia sendiri pada abad ke-20, kitab-kitab fiqh tersebut menunjukkan bahwa semua kitab tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat di Indonesia, misalnya tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat di Indonesia. meliput persoalan hukum harta benda masyarakat, 57 Cik Hasan Bisri, Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persda, 2003), cet. Sehubungan dengan perkembangan tersebut, lembaga peradilan agama perlu meningkatkan kemampuannya dalam melayani pencari keadilan dan memutus perkara dengan seefisien dan seadil-adilnya. Kemampuan seperti itu akan ada apabila dalam satu kitab terdapat undang-undang yang jelas, kumpulan garis-garis hukum yang dapat digunakan oleh hakim pengadilan agama. Atas dasar pertimbangan tersebut, mungkin antara lain, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama mengeluarkan keputusan penting pada tanggal 21 Maret 1984 yang membentuk suatu panitia yang bertugas menyusun kumpulan hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
Dan jika hukum Islam tidak disusun maka akan menimbulkan inkonsistensi dalam penetapan hukum Islam, tidak jelas bagaimana menerapkan syariat, tidak mungkin menggunakan alat-alat yang ada dalam undang-undang 194558. 1 Tahun 1991 cukup kuat kedudukannya dalam menciptakan ketertiban dan memelihara keadilan serta menegakkan kepastian.Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika Kumpulan Hukum Islam yang mempunyai kedudukan yang kuat menjadi hukum materil bagi peradilan agama dan mempunyai kewenangan hukum bahkan dapat diberlakukan bagi umat Islam melalui yurisdiksi pengadilan agama.61 Sementara itu, Fajrui Falakh berpendapat, Kompendium Hukum Islam tidak mempunyai yurisdiksi untuk dijadikan hukum substantif atas perkara yang diajukan ke pengadilan agama. Kedudukan Kumpulan Hukum Isiam serupa dengan berbagai kitab fiqih yang dijadikan referensi oleh hakim agama dalam memutus perkara di pengadilan agama.
Tidak ada larangan bagi hakim agama untuk menggunakan kumpulan hukum Isiam sebagai acuan atau pedoman dalam memutus perkara di pengadilan agama.” Kedudukan Kumpulan Hukum Islam (KHI) dalam sistem hukum Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : Pertama, Kumpulan Hukum Islam (KHI) sebagai hukum yang tidak tertulis, konsep ini tercermin dari penggunaan instrumen hukum berupa instruksi presiden, yang sebenarnya tidak termasuk dalam kumpulan peraturan hukum yang menjadi sumber tertulis. hukum.
Selain itu, penerapan fiqih Islam yang merupakan produk keadilan agama di Indonesia sejak zaman dahulu, semakin menegaskan bahwa peraturan-peraturan yang terdapat dalam ketiga kitab tersebut merupakan peraturan-peraturan yang hanya masuk dalam kategori konvensi. Sumber-sumber perlakuan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa Kumpulan Hukum Islam (KHI) mempunyai muatan hukum dan aturan, yang kemudian menjadi hukum yang mempunyai potensi kekuatan politik. Instruksi Presiden no. 1 Tahun 1991 dianggap sebagai produk kekuasaan politik yang mengarahkan Kumpulan Hukum Islam ke dalam peraturan.
Pada akhirnya, masyarakat yang menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) lah yang menguji keberanian pandangan tersebut dan menjadikannya sebagai hukum tertulis. Kehadiran formalnya melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 akan membuktikan seiring berjalannya waktu bahwa masyarakat dipandang mampu memenuhi kebutuhan hukum seperti misalnya. Dapat dikatakan bahwa peraturan yang dikeluarkan Presiden dalam bentuk arahan merupakan bagian dari ilmu hukum semu yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ketentuan Rujuk Dalam Kompilasi Hukum Islam
Setelah rujuk dilakukan, Petugas Pencatat Perkawinan (PPN) atau P3NTR akan memberikan nasihat kepada suami istri mengenai hukum dan kewajibannya terkait rujuk. Daftar rekonsiliasi dibuat dalam rangkap 2 (dua) dan ditandatangani oleh masing-masing pihak dan para saksi. Satu eksemplar dikirimkan kepada Pencatat Perkawinan (PPN) di wilayahnya, disertai akta-akta yang diperlukan untuk dicantumkan dalam buku pencatatan rujuk. , yang lainnya dipertahankan (Pasal 33 PMA nomor 3/1975). Apabila daftar rujuk lembar pertama hilang, P3NTR membuat salinan daftar rujuk lembar kedua, disertai berita acara alasan kehilangan, Petugas Pencatatan Perkawinan (PPN) membuat akta rujuk dan surat keputusan. tentang rujuk dan mengirimkannya ke Pengadilan Agama tempat terjadinya perceraian dan masing-masing suami istri menerima petikan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditentukan oleh Menteri Agama.
Cabutan daripada buku pendaftaran rujukan dibuat oleh pegawai Pendaftaran Perkahwinan, yang masing-masing diberikan kepada suami yang merujuk dan isteri yang dirujuk. Lelaki yang ingin merujuk isterinya datang bersama-sama wanita itu ke Pendaftar Nikah dan Penolong Pendaftar Nikah di kawasan tempat tinggal suami isteri, membawa surat pengakuan cerai dan dokumen lain yang diperlukan 2. Dalam kes ini, ia adalah dilakukan di hadapan Penolong Pendaftar Nikah, dibuat daftar rujukan, salinan 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh setiap orang yang berkepentingan dan saksi, lembaran dikirimkan kepada Pendaftar Nikah di daerahnya, disertai dari penyokong. dokumen yang perlu didaftarkan dalam Buku Pendaftaran Rujukan dan satu lagi disimpan.
Penyerahan daftar rujuk lembar pertama oleh pembantu petugas Pencatatan Perkawinan dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah rujuk. Apabila daftar rujuk lembar pertama hilang, maka Pembantu Panitera Nikah membuat salinan daftar rujuk lembar kedua sambil menjelaskan sebab-sebab hilangnya itu. Pencatat Nikah membuat akta tentang rujuk dan mengirimkannya ke Pengadilan Agama tempat terjadinya perceraian, dan masing-masing suami istri diberi cuplikan Buku Catatan rujuk sesuai contoh yang diberikan menteri. Agama.
Mengenai penerapan rekonsiliasi dalam Kompendium Hukum Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia no. 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Perdata Perkawinan dan Tata Kerja Pengadilan Agama. Dalam melaksanakan rujuk, suami istri yang hendak rujuk datang bersama-sama di Kantor Pencatatan Perkawinan (PPN) atau P3NTR di wilayah tempat tinggal pihak perempuan dengan membawa kutipan buku pencatatan perceraian dan surat keterangan lain yang diperlukan (Pasal 32 Angka PMA 3/1975). Rangkuman Hukum Islam tentang rujuk termasuk dalam murlahin maslahah karena rujuk dalam KHI diperlukan dalam kehidupan masyarakat agar perkawinan dapat dicatatkan kembali di kantor Pencatat Nikah.
KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) TENTANG RUJUK
Analisis Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Rujuk Persfektif
PENUTUP
Saran
Kementerian Agama hendaknya memperhatikan bahwa rujuk dalam nikah siri sama pentingnya dengan nikah siri dan nikah cerai, sehingga instansi terkait seperti BP4 dan BK dapat bersinergi mengatasi permasalahan rujuk di masyarakat, khususnya pencatatan nikah. rekonsiliasi. Diharapkan jika upaya rujuk melalui keluarga kedua belah pihak gagal, maka suami istri akan bercerai dan melanjutkan proses hukum ke tahap selanjutnya, dibandingkan memaksakan perceraian secara sewenang-wenang tanpa adanya bimbingan. Apabila ada keinginan untuk kembali, diharapkan petugas pencatat dapat mendaftarkan kembali pasangan tersebut sebagai suami istri di hadapan petugas pencatat.
Halim, Abdul, Politik Islam di Indonesia, Kajian Kedudukan Islam dalam Politik Pemerintahan Era Orde Baru dan Reformasi, Tt: Badan Penelitian dan Pengembangan serta Diklat Kementerian Agama RI, 2008 Jafar, Wahyu Abdul, “Kerangka Istinbath Maslahah Murlah Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah Hukum Islam” Jurnal Hukum, Vol, 13 No. 1, Mei 2016. Koesnoe, Moh, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional di Dunia Jurnal Yudisial Varia, tahun XI nomor 122 November 1995.