• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Positif Rohmat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Positif Rohmat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Positif

Rohmat

Abstrak:

Masyarakat Indonesia yang heterogen baik

dari segi agama, ras, ataupun budaya dan adat

istiadat merupakan masyarakat yang sudah barang

tentu mempunyai norma-norma adat yang berlaku

bagi masing-masing kelompok itu. Agama Islam

adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat

Indonesia sejak Islam mulai masuk di Perlak, Aceh

sampai sekarang.

Hukum Islam yang telah lama dianut dan diamalkan oleh mayoritas bangsa ini, layak untuk menduduki posisi yang penting. Maka tidaklah diskriminatif manakala hukum positif Indonesia mendapat sumbnagan dari hukum Islam. Salah satu realisasi konkritnya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Bagaimana sumbangan hukum Islam dalam pembentukan hukum Positif, dan bagaimana pelaksanaan hukum Islam yang telah teradopsi dalam hukum Positif itu, serta bagaimana tentang pencatatan pernikahan itu sendiri.

Kata Kunci: Pencatatan Pernikahan, Hukum Positif

A. Pendahuluan

Allah swt. menciptakan manusia sudah dibekali dengan nafsu di samping akal dan intuisi atau perasaan. Dengan nafsu ini manusia mempunyai syahwat, kecenderungan dorongan, semangat dan kemauan, tergantung mana yang lebih dominan dan sejauh mana kemampuannya untuk mengelola potensi tersebut agar sesuai dengan norma-norma hukum Syari’at maupun norma bermasyarakat.

Pernikahan bukanlah sekedar pintu masuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis semata, tapi lebih dari itu yakni merupakan sunnah Rasul. Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan pernikahan. dalam diri manusia terdapat hajah atau

syahwah jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang diberikan oleh Allah dalam rangka untuk menjaga perkembang biakan manusia

(2)

(tannasul) bagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan.1

Sudah bisa dipastikan pula, perkawinan tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu kondisi yang sering kita istilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah dan rahmah. Oleh karenanya, gagasan tentang “rumahku adalah surgaku di dunia” dapat menjadi kenyataan.

Memperbincangkan masalah pernikahan sudah barang tentu terkait erat dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh hukum syari’at, hukum positif dan adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut. Perihal aturan-aturan hukum perkawinan baik hukum Islam, hukum adat maupun hukum formal tidak selamanya seiring sejalan. Hal ini disebabkan oleh produk hukum itu sendiri, hukum Islam berasal dari aturan aturan wahyu Ilahi, hadits maupun ijtihad ulama, sedangkan dalam hukum positif murni buah pemikiran manusia. Jadi tidak mengherankan bila pada gilirannya menyebabkan perbedaan materi hukumnya meskipun pada masalah yang sama, meskipun demikian pada sisi-sisi tertentu ada banyak kesamaan tapi tidak pada hal-hal yang prinsipil.

Dalam kaitan ini, penulis ingin mencermati salah satu materi dalam Kompilasi Hukum Islam perihal keharusan pencatatan pernikahan bagi mempelai yang ingin mengikatkan dirinya dalam sebuah tali pernikahan. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu undang undang hukum positif yang berlaku di negeri ini. Di dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam disebutkan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam “harus” dicatat.2 Dalam pasal 6 ayat juga mengulangi pengertian pencatatan dalam artian setiap perkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.3

Apabila kita memahami lebih dalam isi Kompilasi Hukum Islam, kata “harus” di sini adalah “wajib” menurut pengertian hukum Islam.4 Oleh karenanya pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka “tidak mempunyai kekuatan hukum”. Sedangkan dalam 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan “hanya” dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan

1MA. Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2003, hlm. 243.

2Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 2000, hlm. 15

3Ibid.

4Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 68.

(3)

perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan di dalam aturan hukum syari’at sama sekali tidak menyebutkan tentang kewajiban pencatatan perkawinan ini.5

Apa yang terkandung dalam Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, perihal keharusan pencatatan perkawinan ini menurut hemat penulis terkait erat dengan tujuan hukum (maqashid syari’ah) yakni kemaslahatan kedua mempelai di dalam terlindungi secara hukum. Mengingat hukum yang berlaku di negeri ini bukanlah hukum Islam.

B. Hukum Positif di Indonesia

Perkataan hukum yang sering kali kita gunakan sehari-hari, berasal dari kata hukm dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut dengan hukum dalam pengertian norma dalam bahasa arab tersebut memang sangat erat sekali, sebab setiap peraturan, apapun bentuk dan sumbernya, dapat dipastikan mengandung unsur norma atau kaidah sebagi intinya.6

Perangkat kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat, biasanya mengatur pelbagai bidang kehidupan, sehingga menimbulkan tata hukum tertentu. Masyarakat dan warga-warganya hidup dalam suatu wadah yang disebut negara yang berinteraksi dengan adanya sistem pemerintahan. Hubungan antara warga masyarakat dengan negara dan pemerintahan diatur oleh hukum negara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah pendapat para pakar hukum tentang pengertian hukum positif:

1. Menurut C.S.T. Kansil, hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku pada suatu masyarakat.7

2. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum positif adalah sistem atau susunan hukum yang berlaku di suatu daerah atau negara tertentu8 3. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, hukum positif adalah

hukum perundang-undangan yang mencakup semua hasil keputusan resmi yang tertulis dari penguasa/pemerintah, yang mengikat secara umum. Perundang-undangan tersebut terikat oleh

5Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, loc., cit.

6Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 44.

7 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 73.

(4)

hierarki atau tingkatan tertentu dimana perundang-undangan yang lebih rendah harus mengacu pada yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan perundang-undangan daerah seperti Perda.9

Dengan demikian, kiranya dapat diambil pengertian bahwa hukum positif adalah suatu sistem dan aturan-aturan tentang hukum yang sedang berlaku atau diberlakukan dalam sebuah negara/pemerintahan. Lebih konkretnya adalah bahwa yang di maksud dengan hukum positif Indonesia adalah hukum yang sedang berlaku di dalam wilayah negara Republik Indonesia dan dalam penetapannya dilakukan oleh negara atau atas nama negara. Hukum positif Indonesia bisa juga disebut dengan hukum Nasional Indonesia, karena secara definitif, hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.

C. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif

Menurut pasal 26 Burgerlijk Wetboek, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang ini juga memandang perkawinan hanyalah hubungan keperdataan saja.10

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.11 Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang juga merupakan Instruksi Presiden Nomor I tahun 1991, mendefinisikan pengertian perkawinan sebagai berikut: “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.12 Ketentuan ini terdapat pada bab II pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

Mengenai pengertian perkawinan yang dirumuskan dalam konteks dasar-dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, dirumuskan sedikit berbeda dengan apa yang disepakati dalam

9Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm. 85.

10Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Tanpa Tahun, hlm. 23.

11Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Jakarta: 2004, hlm. 117.

12Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm. 14

(5)

Undang-undang No. I Tahun 1974. Dalam Kompilasi, menyebut perkawinan sebagai “akad” tanpa menjelaskan maknanya, apalagi dalam artian “aqad yang kuat” atau “mitsaqan ghalidzan” sebenarnya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut, apakah sama, lebih luas atau bahkan lebih sempit dari kalimat “ikatan lahir batin” yang terdapat pada Undang-undang No. I Tahun 1974.13

Terlepas dari perbedaan definisi di atas, secara umum pengertian perkawinan menurut ketiga keterangan di atas perbedaannya tidaklah terlalu prinsipil. Maka dari itu dapat disimpulkan, secara garis besar perkawinan adalah:

1. Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin maupun janji yang sangat mengikat di antara keduanya.

2. Perkawinan tersebut dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang selanjutnya disebut sebagai pasangan suami isteri. 3. Perkawinan tersebut mempunyai tujuan membangun keluarga

yang bahagia dan kekal.

4. Perkawinan dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari pengertian-pengertian diatas, jelaslah bahwa perkawinan dalam perspektif hukum positif ini, mempunyai implikasi hukum yang mengikat yang pada gilirannya terkait penuh dengan aturan-aturan baku yang telah mempunyai ketentuan-ketentuan dan akibat-akibat hukum tersendiri.

Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Positif

Keharusan pencatatan pernikahan adalah sebuah langkah yang mesti dilakukan oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan atau meresmikan sebuah ikatan pernikahan. Adapun lebih jelasnya berikut ini dipaparkan oleh para ahli hukum:

1. Menurut M. Atho’ Muzdar, keharusan pencatatan pernikahan diharuskan sebagai akibat banyaknya orang yang melakukan kawin di bawah tangan yang pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya.14

2. Menurut M. Yahya Harahap, bahwa keharusan pencatatan pernikahan merupakan landasan yuridis bagi yang melaksanakannya. Dengan keharusan ini setidaknya mempertegas

13 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 67.

14 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, hlm. 211.

(6)

sekaligus upaya mengaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam.15

3. Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa keharusan pencatatan pernikahan dalam sebuah perkawinan adalah dalam rangka terjaminnya kepastian hukum, kepastian hukum dalam keseluruhannya hanya dapat dicapai, apabila segala ketentuan dalam Undang-undang dipenuhi.16

4. Menurut Sudarsono, bahwa pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya, pencatatan kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga di muat dalam daftar pencatatan.17

Ketentuan-Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Positif

1. Menurut Undang-Undang Nomor I tahun 1974

Merupakan sebuah kewajaran apabila dalam suatu bangsa yang terjajah sekian abad lamanya, lantas setelah merdeka, kemudian muncul desakan-desakan untuk menghapuskan hukum-hukum yang telah diwariskan oleh negara penjajah.

Dengan asumsi bahwa hukum warisan tersebut diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan corak alam keindonesiaan yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Diharapkan, aturan hukum-hukum yang baru tersebut mampu untuk menampung dan mengikuti perubahan perubahan yang dialami oleh masyarakat dalam negara tersebut.

Selain itu, terdapat kehendak dan usaha untuk menempatkan hukum, selain sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat, juga sebagai alat untuk mengubah masyarakat.18 Kemudian aspirasi ini dinyatakan dalam bentuk politik hukum nasional, yaitu sebuah pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku secara nasional dan ke arah mana sistem hukum yang dianut itu akan dikembangkan lebih lanjut.

Seperti yang dimaklumi bersama, bahwa hukum diterapkan meliputi bidang kehidupan yang sangat luas, meliputi berbagai

15 M. Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Logos, 1992, hlm. 52.

16 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, Cetakan keempat, 1960, hlm. 52.

17 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 8.

18 Soerjono Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 87.

(7)

etnik, budaya, agama yang berbeda-beda dan masing-masing telah membentuk sebuah kebudayaan tersendiri yang satu sama lain tidaklah sama. Dengan kondisi yang demikian, merupakan sebuah keniscayaan untuk mengganti hukum perseorangan menjadi hukum territorial, hukum spesial diganti menjadi hukum umum, disamping itu, tata hubungan manusia yang semula dipandang sebagai urusan pribadi, diganti menjadi urusan publik dan urusan negara.19

Dalam konteks ini, rupanya materi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, merupakan salah satu dari keinginan dan upaya mengakulturasikan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat luas tersebut. Sesuai dengan konsideran Undang-undang Nomor I tahun 1974, bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.20

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.21 Pasal ini termasuk asas dan prinsip yang tercantum dalam Undang-undang tersebut. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Di samping itu, peristiwa perkawinan tersebut juga harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan ini menjadi penting mengingat pencatatan ini dimaksudkan demi ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Baik di dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.32 Tahun 1954 maupun Undang-undang No. 1 Tahun 1974, semuanya mengharuskan pencatatan tiap-tiap perkawinan.22

Menurut Sudarsono, pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini menitikberatkan pada adanya keharusan pencatatan perkawinan.23 Dengan demikian, aturan ini semenjak

19Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1992, hlm. 3.

20Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Surabaya: Karya Anda, 1975, hlm. 5.

21Ibid. hlm. 6.

22Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 55.

23Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 17.

(8)

disahkannya hingga sekarang berlaku dan bersifat mengikat, bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.24

2. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975

Meskipun telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai sebuah Undang-undang, tapi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, belum dapat berjalan maksimal dan efektif sebelum dikeluarkannya Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, (Pasal 67 ayat 1). Akan tetapi setelah mengalami proses panjang kurang lebih selama 15 bulan sejak diundangkannya Undang-undang Perkawinan, maka pada tanggal 1 April 1975 telah berhasil diundangkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.25

Selain pertimbangan di atas, sesuai dengan konsideran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut.26

Adapun aturan rinciannya sebagai berikut:

a. Ketentuan tentang pencatatan perkawinan. (Bab II Pasal 2) 1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

2) Bagi mereka yang selain beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

24Ibid., hlm. 9.

25Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, op. cit., hlm. 53.

26Depag, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, Jakarta: 2004, hlm.141.

(9)

3) Tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

b. Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaanya. (Pasal 3)

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut, dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

c. Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan bahwa Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya.(Pasal 4)

d. Ketentuan-ketentuan beberapa unsur yang harus disampaikan. Yaitu pemberiathuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami yang terdahulu. (Pasal 5).

Menurut penjelasannya dinyatakan bagi mereka yang punya nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan pernikahan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama kecil maupun nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.

e. Ketentuan mengenai tindakan Pegawai Pencatat setelah pemberitahuan. (Pasal 6).

1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud diatas, Pegawai Pencatat meneliti pula:

(10)

b) keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

c) izin tertulis dari Pengadilan apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

d) izin Pengadilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 4 Undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri.

e) dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang.

f) surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

g) izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata. h) surat kuasa otentikatau di bawah tangan yang disahkan

oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

f. Ketentuan tindak lanjut dari penelitian Pasal 6 di atas, maka kemudian diatur bahwa:

1) Hasil penelitian sebagai dimaksud pasal 6 oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atua belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan ini segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. (Pasal 7).

Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 di mana ayat (2) pasal tersebut memerlukan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau kepada orang tuanya atau kepada wakilnya” adalah bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus ditujukan dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan.

g. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengumuman melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat. Bahwa

(11)

setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan. Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. (Pasal 8)

Memahami pada pasal 8 diatas ditegaskan bahwa maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahui bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

h. Ketentuan mengenai isi pengumuman yang ditanda tangani Pegawai Pencatat dan memuat:

1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman, dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka terdahulu. (Pasal 9).

2) Hari, tanggal, jam perkawinan akan dilangsungkan.

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengumuman dilakukan di: kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan dilangsungkan dan di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing-masing calon mempelai.27

3. Menurut Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Salah satu prestasi gemilang umat Islam pada era sembilan puluhan adalah keberhasilan untuk “membumikan” hukum Islam, menjadi hukum positif di Indonesia. Dengan keberhasilan tersebut, umat Islam kini mendapat kenyamanan dan jaminan untuk menjalankan aturan-aturan agama dan keyakinannya.

Keberhasilan tersebut berupa tersusunnya Kompilasi hukum Islam (KHI). Kata “Kompilasi” sendiri berasal dari bahasa

27 Depag, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, op. cit.,hlm.142-143.

(12)

Latin “Compilatie” yang berarti kumpulan atau pemberkasan.28 Ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai persoalan tertentu.29

Sedangkan dalam pengertian terminologinya, Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.30

KHI merupakan himpunan materi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku, yaitu buku 1 tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku tiga tentang Hukum Perwakafan. KHI telah diberlakukan sebagai Undang-undang dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. 31

Di dalam Bab II pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus di catat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.32 Kemudian pasal 6 (1) menyatakan, untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 6 ayat (2) menegaskan, bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan pasal 7 ayat (1) menyebutkan, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.33

Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya tersebut termasuk “tidak mempunyai kekuatan hukum, selain hal tersebut, perkawinan juga hanya dapat dibuktikan melalui surat

28S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1986, hlm. 24

29Abdurrahman, op. cit., hlm. 11. 30Abdurrahman, op., cit., hlm. 14.

31Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 132.

32Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, op. cit., hlm. 15. 33Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, loc., cit.

(13)

Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka dari itu mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan.

Dari keterangan ketiga hukum positif di atas, jelaslah bahwasanya perundang undangan yang berlaku, mengatur dengan tegas peraturan tentang pencatatan perkawinan. Dengan demikian, landasan yuridis bagi pasangan calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan telah diatur sedemikian rupa dalam rangka menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum perkawinan di masyarakat

Dengan landasan yuridis dalam KHI, (mengacu pada ketentuan pasal 2 undang-undang No. 1 Tahun 1974), setidaknya KHI telah mengakui sepenuhnya campur tangan penguasa dalam setiap perkawinan. Hal ini sekaligus melepaskan jauh-jauh dogma yang dikembangkan dan dipahami selama ini yang mengajarkan perkawinan sebagai individual affairs atau urusan pribadi. Bagi yang tidak mau mematuhi aturan, maka akan menanggung resiko yuridis.

Bagi mereka yang tidak mendaftarkan perkawinan atau enggan melangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya dikualifikasikan sebagai perkawinan liar dalam bentuk compassionate marriage atau kawin kumpul kerbau.34

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pencatatan pernikahan bagi setiap pasangan suami isteri yang akan melangsungkan sebuah perkawinan, menurut undang-undang yang berlaku, diharuskan untuk dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Apabila aturan hukum positif ini dilanggar maka pernikahan yang bersangkutan, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Proses Perumusan dalam Kompilasi Hukum Islam

Menurut A. Qadri Azizi, proses perumusan hukum fiqh harus menggunakan 2 (dua) metode, yaitu: deduktif dan induktif. Dalam proses deduktif, pertama yang dilakukan adalah melalui penelitian dalil-dalil nash, kemudian ditafsirkan, diuraikan dan diberi penjelasan. Cara yang kedua adalah induktif, yaitu: pola pikir kontekstualis, cara yang diambil adalah dalil diposisikan sebagai inspirasi proposisi atau landasan (starting points) analisa hukum.35

34M. Yahya Harahap, op., cit., hlm. 53.

35A. Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional, Jakarta: Gama Media, 1999, hlm. 46.

(14)

Terkait dengan hal tersebut, ide pengadaan kompilasi Hukum Islam muncul sekitar tahun 1985 dan mencuatnya ide ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Kemudian pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB), antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, yang kemudian membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI).36

Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut kemudian Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur, secara resmi KHI merupakan hasil konsesnsus (ijma’) ulama dari berbagai mazhab, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara. Dengan demikian, keberhasilan penyusunan KHI merupakan suatu proses tranformasi hukum Islam ke dalam hukum perundang-undangan nasional.

Dalam perumusannya, secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metode al-Istihsan, al-urf dan metode istidlal lainnya dengan tujuan yang pasti yaitu jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid (menarik kebaikan dan menolak kerusakan).37

Selain itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan tatanan hukum barat tertulis dan tatanan hukum adat yang memiliki titik temu dengan hukum Islam. dengan demikian, terjadi proses eklektisisme antara tatanan hukum Islam, hukum nasional dan hukum adat, ke dalam Kompilasi Hukum Islam, dengan kata lain, KHI dapat dikatakan sebagai wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan.38

Proses perumusan tersebut menurut M. Yahya harahap, meliputi 4 (empat) pendekatan, yaitu:39

5. Pendekatan melalui al-Qur’an dan Sunnah, dengan mengacu kepada tiga hal,

a. Bila nash-nash tersebut bersifat qath’I, maka ruang gerak dan ruang lingkup untuk melenturkan dan menafsirkan menjadi sangat terbatas.

b. Bila masih bersifat zanni, maka kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi sangat terbuka lebar.

36Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 33.

37Ibid., hlm. 19.

38Cik Hasan Bisri, KHI dan Peradilan Agama; Dalam System Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1992, hlm. 9.

(15)

c. Bila tidak ditemukan dalam nash dan Sunnah maka menggunakan ijtihad.

6. Mengutamakan pemecahan masalah masa kini, dengan mengacu kepada:

a. Menghindari dari pengkajian perbandingan fiqh yang berlarut-larut.

b. Memilih alternatif yang lebih rasional, praktis, operasional, dan aktual yang mempunyai potensi dan berorientasi kepada ketertiban dan kemaslahatan hukum.

7. Mengedepankan ciri hukum fiqh yang sarat dengan corak keindonesiaan.

Mengingat apabila ada hukum yang tidak sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, terutama oleh umat Islam, maka konsekwensinya hukum itu pasti tidak akan bisa dilaksanakan, sebagaimana seharusnya hukum tersebut berlaku. Bahkan mungkin hukum tersebut akan menjadi pemicu pertentangan antara rakyat dengan penguasa, sebab rakyat memandang bahwa penguasa telah menyimpang dari nilai-nilai kebenaran yang diyakini oleh mayoritas warga negara.40

8. Melalui pendekatan kompromi dengan hukum adat.

Pendekatan perumusan ini dilakukan dalam kaitan terbatasnya nilai-nilai hukum yang terkandung dalam Nash dan Sunnah. Disamping itu, nilai-nilai hukum tersebut telah tumbuh dan berkembang sebagai norma adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia.

Dengan pendekatan 4 (empat) perumusan di atas, maka semakin memantapkan langkah dan posisi Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu acuan hukum formal yang diberlakukan untuk umat Islam di Indonesia. Sekaligus sebagai upaya penyeragaman hukum dan menjamin kepastian hukum di lingkungan lembaga Peradilan Agama, yang sebelumnya belum mempunyai acuan dan landasan hukum yang kuat.

B. Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat kesamaan tentang ketentuan keharusan pencatatan pernikahan.alasan keduaanya pun

40Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 146.

(16)

sama, yakni demi ketertiban perkawinan dan mempunyai landasan serta kekuatan hukum.

2. Al-Syatibi memiliki konsep yang cukup brilian tentang maqashid

syari’ah. Konsep tersebut kemudian mengilhami para ilmuan

untuk mengekplorasi kedua sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits dengan analisa maslahah.

3. Keharusan pencatatan pernikahan merupakan produk hukum Undang-undang perkawinan yang berorientasi pada ketertiban hukum perkawinan masyarakat dalam skala luas dan untuk menjamin kepastian hukum serta melindungi kedua belah pihak dari tindakan hukumnya tersebut. Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara pandangan al-Syatibi dengan keharusan pencatatan perkawinan yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam. Sisi korelatifnya terletak pada Maqashid al-Daruriyat yang dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok (kulliyatul khoms) kehidupan manusia dalam hal ini khusus pada aspek hifdz al-Nasl (memelihara keturunan). Selain itu juga mempunyai titik temu dalam hal penekanan pentingnya segi kemaslahatan umum dan menghindari kemudaratan.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 44.

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 73.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm. 85.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Tanpa Tahun, hlm. 23.

Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Direktorat Pembinaan

Peradilan Agama, Jakarta: 2004, hlm. 117.

Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm. 14

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 67.

M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, hlm. 211.

M. Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Logos, 1992, hlm. 52. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:

Sumur Bandung, Cetakan keempat, 1960, hlm. 52.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 8.

Soerjono Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 87.

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1992, hlm. 3.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Surabaya: Karya Anda, 1975, hlm. 5.

Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 55.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 17.

Depag, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, Jakarta: 2004, hlm.141.

S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1986, hlm. 24

Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi

Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya

(18)

A. Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional, Jakarta: Gama Media, 1999, hlm. 46.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 33.

Cik Hasan Bisri, KHI dan Peradilan Agama; Dalam System Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1992, hlm. 9.

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi

Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Kerja yang disingkat Renja mempunyai fungsi penting dalam sistem perencanaan daerah, hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

Saat ini Surakarta telah berkembang menjadi salah satu tujuan pariwisata baik oleh turis lokal maupun mancanegara. Dengan berjalannya waktu beberapa kawasan yang berada

Dengan demikian adanya perilaku yang tidak etis mak diperlukan suatu karakter seorang auditor untuk pengambilan keputusan sehingga bisa untuk mendeteksi kecurangan

Dari penelitian yang dilakukan menghasilkan sebuah perangkat lunak sistem pendukung keputusan untuk seleksi karyawan baru dengan metode Simple Additive Weighting berbasis

Disiplin kerja (X) -Taat terhadap aturan Waktu - Masuk kerja sesuai waktu yang ditentukan perusahaan -Pulang kerja sesuai waktu yang ditentukan perusahaan

RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. RKA - SKPD 3.1 Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah

Berdasarkan analisis hasil tes menunjukkan bahwa mahasiswa dengan minat belajar tinggi mampu menguasai dua indikator kemampuan berpikir reflektif dengan baik, serta satu indikator

• Pada TIRT berdasarkan perhitungan di atas nilai S untuk TIRT tahun 2012 menunjukkan penurunan menjadi 0.198 dimana angka ini bila kita sesuaikan dengan