ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN PERKARA PENCURIAN OLEH ANAK SECARA DIVERSI DALAM MENCAPAI RESTORATIVE JUSTICE
TESIS
Oleh :
AVI ALVIONISA, SH
NIM : 20302100140 Konsentrasi : Hukum Pidana
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG 2023
i
ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN PERKARA PENCURIAN OLEH ANAK SECARA DIVERSI DALAM MENCAPAI RESTORATIVE JUSTICE
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Oleh :
AVI ALVIONISA, SH
NIM : 21302100121 Konsentrasi : Hukum Pidana
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG 2023
ii
iii
1
iv
v
vi MOTTO
“ Sejarah harus mencatat bahwa tragedi terbesar pada era transisi sosial seperti mengabaikan hak anak untuk mencapai keadilan bukanlah keributan yang dibuat
oleh orang-orang jahat, tapi diamnya orang-orang baik.
Barangsiapa berbuat kesalahan atau dosa, kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa
yang nyata." (Q.S An-Nisa’: 112)”
vii
PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini penulis persembahkan bagi :
1. Segenap keluarga yang senantiasa saya sayangi khususnya untuk ayah, ibu, istri dan anak-anak yang secara terus menerus mendukung, berjuang dan selalu mendoakan untuk kemudahan, kelancaran dalam menyelesaikan studi ini.
2. Civitas akademika di kampus khususnya Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang,
Semarang, Agustus 2023
AVI ALVIONISA, S.H.
Nim. 21302100121
viii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Swt atas taufiq, hidayah serta limpahan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tanpa suatu hambatan atau halangan apapun. Tesis yang telah penulis selesaikan ini ber judul ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN PERKARA PENCURIAN OLEH ANAK SECARA DIVERSI DALAM MENCAPAI RESTORATIVE JUSTICE.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang sebesar besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Gunarto, SH., M.Hum selaku Dekan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
2. Dr. Bambang Tri Bawono, SH, MH. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Agung Semarang.
3. Dr. Denny Suwondo, SH., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah melungakan waktu, menuntun dan mengarahkan penulis dalam menyusun/menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Dr. Andri Winjaya S.H., M.H. selaku Sekertaris Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah meluangkan waktu, menuntun dan mengarahkan penulis dalam menyusun/menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak dan ibu dosen Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah mengajar serta mendidik penulis 6. Semua staf Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan
Agung Semarang.
Penulis menyadari bahwa kemampuan, pengetahuan serta keilmuan penulis dalam menyelesaikan tesis ini penuh dengan kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dengan segala kerendahan hati serta tangan terbuka penulis menerima saran dan kritik untuk kesempurnaan tesis ini.
Semarang, Agustus 2023
AVI ALVIONISA, S.H.
Nim. 21302100121
ix DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... Error! Bookmark not defined.
PERNYATAAN PERSETUJUAN UNGGAHAN KARYA ILMIAHError! Bookmark not defined.
MOTTO...v
PERSEMBAHAN... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
Abstrak ...x
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian... 13
E. Kerangka Konseptual ... 14
F. Kerangka Teori ... 19
G. Metode Penelitian... 27
H. Sistematika Penelitian ... 31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 33
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 33
B. Tinjauan Tindak Pidana Pencurian... 43
C. Tinjauan Umum Tentang Diversi ... 49
D. Tinjauan Umum Tentang Restorative justice ... 61
E. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pencurian Berdasarkan Hukum Islam ... 82
BAB IV PEMBAHASAN ... 85
A. Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice ... 85
B. Kendala Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice ... 96
BAB V PENUTUP ... 102
A. Kesimpulan ... 102
B. Saran ... 102
Daftar Pustaka ... 104
x ABSTRAK
Pencurian yang dilakukan oleh anak pada tahap penyidikan, Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Apabila upaya diversi dalam jangka waktu proses penyidikan gagal, maka perkara pencurian tersbut dapat di tingkatkan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Penyerahan berkas perkara, tanggungjawab tersangka, dan barang bukti dilimpahkan ke penuntut umum di Kejaksaan Negeri. Kejaksaan Negeri melalui penuntut umum di beri kewenangan untuk melakukan pendekatan restorative justice melalui diversi terhadap perkara pencurian oleh anak wajib mengupayakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengkaji dan menganalisis Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice dan Untuk mengkaji dan menganalisis Kendala Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Yuridis Sosiologis, spesifikasi dalam penelitian ini bersifat deskriftif analistis, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, menggunakan pengumpulan data dengan wawancara dan studi kepustakaan, analisis data secara kualitatif, permasalahan dianalisis dengan teori, penegakan hukum dan kepastian hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan penyelesaian perkara pencurian oleh anak secara diversi dalam mencapai restorative justice dimasa yang akan datang dilakukan dengan jenis tindak pidana ringan dimana yang masih bisa diselesaikan dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh anak yang tidak memerlukan tindak lanjut cukup mendapatkan peringatan, dengan proses mediasi secara musyawarah dan mufakat baik pihak korban maupun pelaku dan keluarga korban maupun keluarga pelaku. Dalam proses penyelesaian perkara pelaku dalam hal ini dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan Kendala utama yang dihadapi dalam melakukan pendekatan restorative justice melalui diversi pada tahap prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon antara lain tuntutan ganti rugi yang dimuita korban terlalu tinggi sehingga tidak mampu dipenuhi oleh pelaku, selain itu adanya keinginan dari korban untuk melanjutkan perkara sampai proses peradilan sehingga pelaku mempunyai efek jera.
Kata Kunci: Tindak Pidana Pencurian, Restorative justice, Diversi
xi ABSTRACT
Theft committed by children at the investigation stage, the Indonesian National Police, in this case the investigator, must seek diversion within a maximum period of 7 (seven) days after the investigation begins. The diversion process is carried out no later than 30 (thirty) days after the start of the diversion.
If the diversion attempt during the investigation process fails, then the theft case can be increased and proceed to the prosecution stage. Submission of case files, suspect responsibilities, and evidence is delegated to the public prosecutor at the District Attorney's Office. The Public Prosecutor's Office, through the public prosecutor, is authorized to carry out a restorative justice approach through diversion in cases of theft by children, it is obligatory to seek a maximum of 7 (seven) days after receiving the case file from the investigator.
The purpose of this research is to study and analyze the settlement of cases of theft by children in diversion in achieving restorative justice and to study and analyze the obstacles to settlement of cases of theft by children in diversion in achieving restorative justice. The method used in this research is the Juridical Sociological method, specifications in This research is analytical descriptive, the data used are primary data and secondary data, using data collection by interviews and literature studies, qualitative data analysis, problems are analyzed by theory, law enforcement and legal certainty.
The results of this study indicate that the settlement of cases of theft by children in a diversionary manner in achieving restorative justice is carried out with the type of misdemeanor which can still be resolved in cases of theft committed by children who do not require follow-up, it is enough to get a warning, with a mediation process in good deliberation and consensus the victim and the perpetrator and the victim's family and the perpetrator's family. In the process of settling cases, the perpetrator in this case can be held responsible for his actions. And the main obstacle faced in carrying out a restorative justice approach through diversion at the pre-prosecution stage at the Cirebon District Attorney's Office, among others, is that the compensation demands filed by the victim are too high so that the perpetrators cannot fulfill them, besides that there is a desire from the victim to continue the case until the judicial process is over.
perpetrators have a deterrent effect.
Keywords: Theft Crime, Restorative justice, Diversion
1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system. Open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakannya mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek sebagai resosialisasi yaitu sebagai pembelajaran norma baru, nilai, sikap dan perilaku, jangka menengah sebagai pencegahan kejahatan maupun jangka panjang berguna untuk kesejahteraan sosial, sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, maka sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi, dan interdependensi dengan lingkungannya dalam masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta subsistem – subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system).
Istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan dasar pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan atau interelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain, melalui pendekatan ini kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan unsur penting dan berkaitan satu sama lain.
2 Menurut Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga- lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.1 Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas toleransi masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap suatu tindak kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi.
Toleransi tersebut sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia di dalam masyarakat.
Penanggulangan perkara pidana dengan menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu tindak pidana itu ditanggulangi, dicegah, atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana.2 Upaya penanggulangan tindak pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik kriminal atau kebijakan
1 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 1993, Hal.1
2 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit, PT.
Alumni, Bandung, 2010, Hal. 149
3 kriminal juga merupakan bagian dari penegakan hukum (law enforcement policy). Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum sudah semestinya mengerahkan seluruh energi agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai – nilai moral dalam hukum.3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang disingkat dengan KUHAP, bahwa komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dalam praktek penegakan hukum. Aparat penegak hukum dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban, saling keterkaitan dan dilakukan secara bersama- sama dalam suatu sistem peradilan pidana yang melibatkan banyak unsur didalamnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam subsistem kepolisian sebagai penyidik, subsistem kejaksaan sebagai penuntut umum, subsistem kehakiman sebagai hakim, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem rehabilitasi.
Kepolisian merupakan subsistem dalam sistem peradilan pidana yang cukup menentukan keberhasilan dan kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku tindak pidana dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggung jawab kepolisian dapan dikatakan lebih besar dari pada subsistem lainnya.
3 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta Publishing, Semarang, 2009, Hal. viii
4 Kepolisian sebagai salah satu aparatur penegak hukum memeroleh kewenangannya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 1 angka 1, dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian memliki tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Pelayanan masyarakat yang diberikan kepada masyarakat terkandung dalam tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian. Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang- undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa :
“Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”
Sehingga jelas bahwa sudah menjadi kewajiban dari Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dan upaya yang dilakukan oleh Kepolisian untuk menciptakan kondisi masyarakat yang aman dan tertib juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yaitu
5 dengan cara pencegahan serta pembinaan atau bimbingan terhadap masyarakat, yang pada akhirya bila upaya tersebut tidak berhasil maka dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Selanjutnya menurut Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan maka penyidik wajib menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara apabila telah dianggap lengkap maka penyidik menyerahkan tanggungjawab tersangka dan barang bukti.
Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana bekerja setelah ada pelimpahan perkara dari kepolisian. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan dibidang penuntutan serta tugas lain yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dalam Pasal 13 KUHAP disebutkan bahwa :
“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”
Pasal 13 KUHAP tersebut diatas, juga terdapat pada Pasal 1 angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sedangkan penuntutan menurut Undang- undang tersebut adalah tindakan penuntutan untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Mengadakan prapenuntutan adalah
6 wewenang yang dimiliki oleh Jaksa dalam menyelesaikan suatu perkara pidana sebagaimana yang ditemukan dalam Pasal 14 huruf b Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana dalam melakukan prapenuntutan Jaksa melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk meneliti kelengkapan berkas perkara baik itu kelengkapan formil maupun kelengkapan materil guna melakukan penuntutan. Dengan kata lain bahwa tindakan prapenuntutan belum termasuk dalam lingkup penuntutan, tetapi masih dalam lingkup penyidikan.
Hukum pidana dibatasi dengan prinsip-prinsip hukum yang mengatur penyelesaian perkara pidana dengan melihat prinsip-prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam lembaga pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan diversi khususnya melalui konsep Restorative justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Pergeseran paradigma dalam hukum pidana tentang keadilan yang semula keadilan restibutif, yaitu penyelesaian perkara pidana dengan menekankan keadilan pada pembalasan, anak diposisikan sebagai objek dan
7 penyelesaian masalah hukum yang tidak seimbang. Dari keadilan restibutif menuju keadilan restitutif dimana penyelesaian perkara pidana dengan menekan keadilan pemberian ganti rugi. Setelah diundangkannya sistem peradilan pidana anak, keadilan restitutif berubah dengan menggunakan keadilan retoratif yang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum di luar jalur peradilan.
Sistem peradilan pidana anak merupakan upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak di Indonesia yang bukan lagi ditujukan untuk memberikan pembalasan (dalam pandangan retributif), akan tetapi lebih diarahkan pada proses pembinaan agar masa masa depannya menjadi lebih baik. Paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekedar mengubah jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi seminimal mungkin memasukan anak ke dalam proses peradilan pidana. Oleh sebab itulah, dimasukannya konsep restorative justice ke dalam sistem peradilan pidana anak dengan pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang memberikan peluang untuk dilakukannya proses pengalihan perkara yang dilakukan oleh Polisi dan Penuntut Umum serta pejabat lain yang berwenang menjauhkan anak dari proses peradilan.
Pendekatan resorative justice diasumsikan sebagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani
8 perkara–perkara pidana saat ini. Pendekatan restorative justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dan strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan untuk menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Restorative justice dianggap sebagai model penghukuman modern yang lebih manusiawi dibandingkan dengan retributive justice yang digunakan dalam sistem peradilan pidana saat itu, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Restorative justice yang sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan sistem yang saat itu, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana pada sistem peradilan pidana. Hal tersebut mengarah pada pertanggungjawaban pelaku perkara pidana, ganti rugi bagi korban dan partisipasi penuh oleh korban, pelaku dan masyarakat.
Dipihak lain, restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang dapat digunakan dalam merespon suatu perkara pidana bagi penegak hukum.
Hal utama yang didorong dalam penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice, adalah hubungan interaktif yang spesifik dan dinamis antara para pihak yang terlibat. Gerakan restorative justice memliki potensi besar untuk mereformasi cara
9 masyarakat menanggapi kejahatan dan kesalahan. Adapun manfaat dari penyelesaian melalui mekanisme restorative justice adalah:
a. Melibatkan banyak pihak dalam merespon tindak pidana, tidak hanya sebatas urusan pemerintah dan pelaku tindak pidana, namun juga korban dan masyarakat;
b. Mengakui pentingnya keterlibatan masyarakat.
Berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak, sebagaimana diketahui bahwa telah di tetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332, yang diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012. Merujuk pada uraian latar belakang dan penjelasan umum undang-undang sistem peradilan pidana anak bahwa seseorang yang dikategorikan sebagai anak yang berhadapan hukum, menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua, masyarakat dan juga pemerintah, termasuk aparat penegak hukum, untuk memberikan perlindungan, bimbingan, pembinaan, demi masa depan anak yang berhadapan dengan hukum tersebut. Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 pada Pasal 1 angka 3, disebutkan bahwa :
“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang di duga melakukan tindak pidana”
10 Tindak pidana yang dilakukan anak dianggap sudah tidak biasa lagi, karena tindak pidana tersebut seringkali sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, pencurian dengan kekerasan dan lainnya, namun bukan berarti dapat disamakannya proses peradilan sesuai dengan orang dewasa. Hal ini menjadi tolak ukur mendasar terhadap sistem peradilan formal di Indonesia untuk memberikan ruang yang berbeda dalam perlindungan terhadap anak serta akibat yang ditimbulkan olehnya. Berpijak dari masalah pidana dan pemidanaan, secara khusus pemidanaan kepada anak, bahwa anak yang bermasalah dengan hukum harus dibedakan dengan orang dewasa.
Kehidupan masa depan anak membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus termasuk dalam dunia hukum. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi warna yang berbeda terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menghadirkan konsep diversi dan restorative justice yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. sedangkan Restorative justice merupakan proses penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak
11 yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi dimulai dari korban, pelaku, keluarga pelaku dan korban, masyarakat dan aparat penegak hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk terlibat menyelesaikan konflik. Restorative justice merupakan proses diversi yang bertujuan untuk pemulihan bukan untuk pembalasan, namun sistem retributif masih sangat kental digunakan oleh aparat penegak hukum.
Kewenangan diversi tetap dibatasi dengan syarat bahwa proses diversi hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residivis). Perkara pencurian biasa merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan diversi karena diancam dengan pidana penjara lima tahun sesuai dengan Pasal 362 KUHP. Diversi hanya dapat dilaksanakan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah tujuh tahun, maka hanya pencurian yang diatur pada Pasal 362 dan Pasal 364 KUHP saja yang dapat diupayakan diversi. Menurut penulis, perkara pencurian sangat memungkinkan untuk dilakukan diversi karena kesepakatan diversi dapat terjadi jika para pihak terutama pelaku dan korban telah sepakat untuk memenuhi syarat-syarat atau dipenuhinya ganti kerugian yang diinginkan pihak korban.
Berdasarkan uraian diatas, terhadap pencurian yang dilakukan oleh anak pada tahap penyidikan, Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Proses diversi dilaksanakan paling lama 30
12 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Apabila upaya diversi dalam jangka waktu proses penyidikan gagal, maka perkara pencurian tersbut dapat di tingkatkan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Penyerahan berkas perkara, tanggungjawab tersangka, dan barang bukti dilimpahkan ke penuntut umum di Kejaksaan Negeri. Kejaksaan Negeri melalui penuntut umum di beri kewenangan untuk melakukan pendekatan restorative justice melalui diversi terhadap perkara pencurian oleh anak wajib mengupayakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik.
Proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Upaya diversi tersebut dilakukan sebelum penuntut umum melimpahkan berkas perkara pencurian oleh anak tersebut ke pengadilan atau prapenuntutan. Jaksa penuntut umum dalam melakukan upaya diversi terhadap perkara pencurian yang dilakukan oleh anak dinamakan jaksa mediator.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang penyelesaian perkara pencurian oleh anak secara diversi, untuk itu penulis akan mengambil judul tesis yaitu
“TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN PERKARA PENCURIAN OLEH ANAK SECARA DIVERSI DALAM MENCAPAI RESTORATIVE JUSTICE”
13 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice dimasa yang akan datang?
2. Bagaimana Kendala dan Solusi Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji dan menganalisis Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice
2. Untuk mengkaji dan menganalisis Kendala dan Solusi Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khusunya bagi masyarakat Cirebon agar memberikan informasi yang bermanfaat, baik berupa masukan dan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan dengan Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi.
14 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi pembuatan kebijakan dan memberikan suatu pandangan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan suatu informasi hukum dan atau pihak – pihak terkait.
E. Kerangka Konseptual
Penelitian ilmiah harus berlandaskan dari suatu konsep sebagai dasar dan menelaah permbahasan yang dikaji. Konsep sendiri merupakan suatu ringkasan cerita dari suatu kerangka berfikir, yaitu disebut dengan definisi operasional. 4 dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa kerangka berfikir guna dasar sebagai suatu penelitian.5 Adapun konsep – konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Baar diterjemahkan dapat atau boleh. Feit diterjemahkan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.6
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti
4 Sumadi Suryabrata, 1998, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Gofindo, h. 307.
5 Soejono Soekamto dan Sri Mamudi, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, h.7.
6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007, Hlm 69
15 yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana7
Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.8 Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai tindak pidana akan lebih lengkap apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan atau undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.9
7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hlm 10
8 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2014, Hlm 35
9 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, 2009, Hlm 70
16 Sebelum mengkaji tentang tindak pidana korupsi, terlebih dahulu perlu dipahami tentang pengertian tindak pidana itu sendiri.
Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda Nv.sNI, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.
Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaaman pendapat tentang rumusan ilmiah strafbaar feit itu sendiri. Pembentuk undang – undang Indonesia telah menerjemahkan perkataan strafbaar feit sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut.
2. Restorative justice
Restorative justice dapat disamakan artinya dengan “keadilan restoratif”. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 angka 6 bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Restorative justice menekankan pada perbaikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan memperhatikan keinginan
17 korban. Korban dapat mengungkapkan secara langsung keinginannya sementara anak yang berhadapan dengan hukum dapat pula mengungkapkan rasa bersalah dan penyesalannya kepada korban secara langsung sehingga korban dan anak yang berhadapan dengan hukum dapat saling memaafkan dan menghilangkan kebencian diantara mereka
3. Diversi
Diversi adalah proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 angka 7 bahwa Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara dan mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya. Pendekatan diversi wajib diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum.
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak dimana pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan.
Alasan dasarnya yaitu proses pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap
18 jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana. Tujuan diversi di Indonesia, adalah sebagai berikut : 4. Perkara Pencurian
Perkara pidana adalah bagian dari perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku. Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkan pada Pasal 362 bahwa barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dari judul penulisan tesis ini, dikatakan perkara pencurian karena terlibatnya pelaku dengan korban dalam suatu konflik dimana konflik tersebut dapat diselesaikan secara damai karena adanya kesepakatan dari para pihak.
5. Anak
Pengertian anak sangatlah beragam dan selalu dihubungkan dengan batas umur seseorang. Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
19 perbuatan sebelum umur enam belas tahun, sedangkan menurut hukum perdata yakni orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu telah kawin. Akan tetapi yang menjadi kerangka konsep dalam penulisan tesis ini adalah sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 angka 3 bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
F. Kerangka Teori
a. Teori Penegakan Hukum.
Secara konseptional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hukum dengan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah kaidah yang mantap dan mengejawantah Dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10 Kaidah- kaidah tersebut kemudian menjadi patokan atau pedoman yang dianggap pantas atau seharusnya. Atas dasar uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila terjadi
10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 1993, hlm. 13.
20 ketidakserasian antara nilai kaidah dan pola perilaku. Timbulnya Itu masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Menurut soerjono soekanto, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum, Antara lain:11
a) Hukumnya sendiri kemungkinannya adalah terjadinya ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu.
b) Penegakan hukum, yaitu pihak pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di masyarakat, yaitu di mana hukum tersebut diberlakukan dan diterapkan.
d) Kebudayaan yaitu hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Keempat faktor tersebut saling berkaitan oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal damai, tetapi dapat juga terjadi suatu pelanggaran hukum.Di mana pelanggaran hukum tersebut harus ditegakkan melalui penegakkan hukum yang sebagaimana
11 Ibid., hlm. 3
21 mestinya.12 Suatu bentuk Tindakan penegakan hukum yang dilakukan untuk mengawal sebuah aturan agar berjalan dengan baik dan semestinya. Penegakan hukum yang dilakukan akan menjadi sebuah penilaian dan barometer bagaimana masyarakat luas dapat menilai atau memandang suatu daerah dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau justru tidak sesuai dengan aturan yang telah ada.
a. Teori Keadilan John Rawls
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yangmemberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.13John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi- institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperolehrasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.14
12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 160.
13Ibid Hal. 139
14Ibid Hal. 140
22 Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asali”
(original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).15
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya
15Ibid
23 disebut sebagai “Justice as fairness”.16 Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal libertyprinciple), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik(political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speechand expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle).
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
16John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, , Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 90
24 sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.17
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkankebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
b. Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.18 Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat
17Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media. Hal. 7
18Ibid Hal. 9
25 diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai- nialai umum,namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-
kebutuhan yang patut dipenuhi,
sepertikebutuhansandang,pangandanpapan.Tetapi kebutuhan- kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor- faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.19
Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang
19Ibid hal 12
26 berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.20
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.
Menurut Hans Kelsen:21
“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.”
Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen: pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan.
Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan
20Ibid hal 14
21Ibid
27 berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.22Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan”
bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah
“tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.23 Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.24 G. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode adalah proses dasar mengenai tatacara mencari jalan keluar suatu permasalahan, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara seksama terhadap suatu tanda-tanda guna memperoleh suatu pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai dasar tatacara untuk mencari jalan keluar masalah yang ada dalam
22Kahar Masyhur, 1985. “Membina Moral dan Akhlak”, Kalam Mulia, Jakarta. Hal. 68
23Ibid hal 71
24Suhrawardi K. Lunis, 2000. “Etika Profesi Hukum”, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 50.
28 menjalankan penelitian.25 Pendekatan yuridis Sosiologis atau disebut dengan penelitian lapangan yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya dalam masyarakat.
2. Spesifikasi Penelitian
Penulis melakukan penelitian secara deskriptif analitis yang bertujuan mengurai fakta untuk memperoleh gambaran umum, tentang permasalahan yang ada, menelaah dan mengkaji fakta hukum untuk mengetahui bagaimana Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice.
3. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis mengunakan jenis data primer dan sekunder, yaitu sebagai berikut :
a. Data Primer, merupakan data yang di dapat dari lapangan, data di peroleh dari responden. Responden yaitu seseorang atau masyarakat yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari peneliti. Responden adalah orang yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan dikaji.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari atau berasal dari bahan kepustakaan, data sekunder yang dikumpulkan pada penelitian ini antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
25 Soejono Soekamto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm.6
29 1. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang berbentuk norma hukum yang mempunyai sifat mengikat. Dalam penelitian ini yang di pakai antara lain :
a) Undang – Undang Dasar 1945.
b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana c) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
d) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang bukan berbentuk norma hukum, namun berupa pendapat para ahli, bahan ini di dapat dari literature atau buku – buku hukum, majalah, koran, internet, karyatulis sarjana – sarjana baik berupa skripsi, tesis maupun desertasi.
3. Bahan Hukum Tersier adalah suatu petunjuk yang bisa mengambarkan suatu solusi tarhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam penelitian ini adalah kamus besar bahasa indonesia, kamus hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data akan dilakukan melalui : a) Studi Kepustakaan
Dengan mengumpulkan bahan tentang suatu masalah dari berbagai sumber, baik dari buku, majalah, internet, paraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah, dengan
30 memahami isi kandungan serta mempelajarinya dan mengutip, serta dituangkan dalam analisis suatu permasalahan tersebut.
b) Studi lapangan
Cara pengumpulan data akan dilakukan melalui : a) Studi Kepustakaan
Dengan mengumpulkan bahan pustaka yang didapat dari literatur atau buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dan peraturan perundang-undangan dengan membaca, memahami, mempelajari dan mengutip bahan – bahan yang berkaitan dengan permasalahan.
b) Studi Lapangan 1. Observasi
Pengumpulan data dengan observasi atau pengamatan langsung, kemudian mengambil data yang diperlukan dari hasil observasi tersebut.
2. Wawancara
Wawancara dengan melakukan tanya jawab dengan responden yang dijadikan sebagai narasumber dengan cara bebas terpimpin, yaitu pertanyaan hanya memuat garis besar yang mengarah pada permasalahan.
Narasumber yang akan dipilih adalah yang memiliki kapasitas, kompetensi dan korelasi dalam penelitian ini, yaitu meliputi :
31 1. Penyidik Kepolisian Resor Kota Cirebon
2. Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon 5. Tekhnik Analisa Data
Data yang diperoleh dari studi dokumen dan studi lapangan setelah lengkap dan telah di cek keabsahannya akan dianalisis secara kualitatif, kemudian disusun secara sistematis agar diperoleh kejelasan dari permasalahan kemudian di tarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menjadi hal yang bersifat khusus.
H. Sistematika Penelitian
Bab I. PENDAHULUAN
terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana, Tinjauan Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tinjauan Umum Tentang Diversi, Tinjauan Umum Tentang Restorative justice
Bab III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan di paparkan analisis dan hasil penelitian yang diperoleh penulis dengan menjawab setiap pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bab ini terdiri dari dua pembahasan. Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative
32 justice dan Kendala dan Solusi Penyelesaian Perkara Pencurian Oleh Anak Secara Diversi Dalam Mencapai Restorative justice
Bab IV. PENUTUP
Pada bab terakhir tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan saran yang akan menjawab setiap pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab I, sehingga dapat diambil manfaatnya guna pembahasan atas permasalahan yang sama secara mendalam.
33 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan
“strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid” sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum” sehingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
Menurut Pompe, perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorangpelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”26.
Simons telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu “tindakan
26 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta: 2014) hlm 181-182
34 melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannnya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum27”.
Alasan dari Simons apa sebabnya “strafbaar feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena :
a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu teah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang dan
c. Setiap strafbaar feit, sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu
“onrechtmatige handeling”.
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku dapat
27 Ismu Gunadi dan Joenaidi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Sinar Grafika, jakarta :2014, hlm.37
35 dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana28.
Kapankah suatu perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum? Sifat melawan hukum suatu perbuatan terbagi menjadi dua pendapat, yaitu29:
1) Sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijk)
Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang undang, kecuali jika diadakan pengecualian- pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang sebab hukum adalah undang-undang.
2) Sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk)
Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum.
Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yaitu kaidah - kaidah atau kenyataan kenyataan yang berlaku di masyarakat.
Seseorang yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau perbuatan yang masuk dalam rumusan undang-undang hukum pidana sebagai
28 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung : 2003, hlm. 59
29 Sofian Sastrawidjadja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung : 1995, hlm. 150
36 perbuatan pidana, belumlah berarti dia langsung dipidana, tergantung pada apakah perbuatannya mengandung unsur kesalahan. Sebab terdapat asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld; auctus non facit reum nisi mens sist rea)
Kesalahan dalam hukum pidana diartikan secara luas, meliputi : sengaja, kelalaian, dan dapat dipertanggung jawabkan. Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali jika ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak mampu defence ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lingkup acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat dibuktikan dirinya mempunyai “defence” ketika melakukan tindak pidana tersebut.30
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli sebagaimana yang telah diuraiakan diatas, dapat ditarik suatu persamaan pengertian dari strafbaar feit atau tindak pidana atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) yang mengandung ancaman pidana dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dengan kesalahannya (schuld). Sifat melawan hukum (wederrechtelijk) dan kesalahan (schuld) merupakan anasir peristiwa pidana yang memiliki hubungan erat. Apabila suatu perbuatan tidak melawan hukum, maka menurut hukum positif, perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Tidak juga dimungkinkan
30 Chairul Huda, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Kencana, Jakarta: 2006, hlm. 64
37 adanya kesalahan tanpa sifat melawan hukum.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Sederhana
Secara sederhana Simons menuliskan adanya dua unsur yaitu Unsur Objektif dan Unsur Subjektif dari tindak pidana (Strafbaar Feit).
a. Unsur Objektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat openbaar atau
“dimuka umum”
b. Unsur Subjektif : orang yang mampu bertangggung jawab, adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan.31
Didalam KUHP itu pada umumnya terdapat dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-
31 Ismu Gunadi dan Joenaidi Efendi, Op. Cit, hlm.39-40