• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anjing sebagai Tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Anjing sebagai Tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial dan Budaya, Vol. 5 (1), 2023, (Januari-Juni)

ISSN Print : 2714-7762 ISSN Online : 2716-3539

Tersedia online di: http://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/istinarah/index

Anjing sebagai Tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab

Rendy Darmawan Rachmadi 1, Risman Bustamam 2, Akhyar Hanif 3

1. UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Indonesia

2. UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Indonesia

3. UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Indonesia rendydarmawanrachmadi@gmail.com

Abstract

This study aims to reveal the amtsal about dogs in the Qur'an through the character thematic interpretation method, namely to reveal the interpretation of M. Quraish Shihab about dogs as a tamtsil of the Qur'an in surah al-'Araf verses 176–177 in the Book of Tafsir al-Mishbah. This study found that M. Quraish Shihab used the Tafsir tahlili method. As for the style of tafsir used, namely that is tafsir 'ilmi and adabi ijtima’I, meanwhile the editorial of amtsal contained in the verse is amtsal musharrahah, or a clear amtsal. M. Quraish Shihab interprets that Allah SWT gives the parable of a person who denies the verses of Allah SWT with a dog that always sticks out its tongue, due to the similarity of conditions between dogs and people who always tend to the world and follow their desires.

Keywords: Amtsal, Anjing, Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap amtsal tentang anjing di dalam al-Qur’an melalui metode tafsir tematik tokoh, yakni mengungkap penafsiran M. Quraish Shihab tentang anjing sebagai tamtsil al- Qur’an di dalam surah al-‘Araf ayat 176-177 dalam Kitab Tafsir al-Mishbah. Penelitian ini menemukan bahwa M. Quraish Shihab menggunakan metode tafsir tahlili. adapun corak penafsiran yang digunakan yaitu tafsir ‘ilmi dan tafsir adabi ijtima’I, sedangkan redaksi amtsal yang terdapat di dalam ayat adalah amtsal musharrahah atau amtsal yang jelas. M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa Allah SWT memberikan perumpamaan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya, dikarenakan persamaan kondisi antara anjing dengan orang yang selalu cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya.

Kata Kunci: Amtsal, Anjing, Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab

PENDAHULUAN

Salah satu kajian dalam balaghah al-Qur’an adalah kajian tentang amtsal al-Qur’an.

Amtsal atau perumpamaan di dalam al-Qur’an merupakan salah satu uslub al-Qur’an atau gaya bahasa al-Qur’an dalam menyampaikan bermacam penjelasan. Isi al-Qur’an yang sarat akan makna menjadi lebih menarik kala disampaikan melalui kalimat amtsal dengan bahasa yang baik serta sederhana. Penyampaiannya menggunakan analogi- analogi yang memudahkan pembaca untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Ada banyak makna baik menjadi lebih indah dan menarik karena diungkapkan melalui amtsal. Amtsal menampilkan sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang kongkrit serta menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa (al-Qattan, 2019:

433).

Amtsal al-Qur’an mengandung pesan moral dan kagamaan yang mencakup bermacam aspek dalam kehidupan. Aspek tersebut meliputi akidah, syari’ah, akhlak serta mu’amalah. Selain itu, pesan yang terkandung di dalam amtsal juga meliputi masalah-masalah kehidupan dunia dan akhirat, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan pencipta- Nya (Al-Fayad, 1993: 438).

Pada al-Qur’an terdapat seruan kepada manusia agar selalu mencermati ayat-ayat Allah SWT. Hal ini bertujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran dan mengetahui

(2)

kebenaran yang hakiki mengenai kekuasaan Allah SWT. Ada banyak pelajaran berharga yang dapat diambil, tidak hanya mengenai keimanan, tetapi juga ilmu pengetahuan.

Sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an Surah az-Zumar ayat 27:

ِنٰ ا ْرقُ ْ

لا اَ

ذ ٰه ْيِف ِساَّنلِل اَنْب َر َض ْدَقَلَو ﴿ َۚن ْو ُرَ َّ

كَ ذَتَي ْم ُهَّ

ل َعَّ

ل ٍلَثَم لِ ُ ك ْن ِم ٢٧

“Dan demi (keaguangan dan kekuasaan Kami), sungguh Kami telah buatkan (dan jelaskan) untuk manusia dalam al-Qur’an ini segala macam perumpamaan supaya mereka mendapatkan pelajaran”(Shihab, 2010: 461).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memuat banyak ayat berkenaan dengan amtsal di dalam al-Qur’an, mulai dari perumpamaan terkecil hingga terbesar sebagai pelajaran dan peringatan kepada umat manusia agar mereka berfikir dan sadar akan besarnya kekuasaan Allah SWT. Salah satunya adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, yang diserupamakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surah al-

‘Araf ayat 176-177:

َّنِكٰ

ل َو ا َهِب ُهٰن ْعَف َرَل اَنْئ ِش ْوَ ل َو ﴿

ْث َهْ لَي ِه ْيَ

ل َع ْ

ل ِمْح َت ْنِا َۚ ِبْ لَ

كْ

لا ِلَثَمَك ٗهُلَثَمَف َُۚهىٰو َه َعَبَّتاَو ِض ْرَاْلا ىَلِا َدَل ْخَا ٗٓٗه كَّفَتَي ْم ُهَ َّ

ل َعَ ل َص َصقَ ْ

لا ِص ُصقاْ َ ف َۚاَنِتٰيٰ

اِب ا ْوُبَّ

ذَ ك َنْي ِذَّ

لا ِم ْوقَ ْ لا ُ

لَث َم َكِل ٰذ ْۗث َهْ ْ لَي ُهْ

كُرْتَت ْوَ

َ ا ن ْو ُر ١٧٦

“Dan seandainya Kami menghendaki, pasti Kami meninggikan (derajat)-nya dengan (melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu), tetapi dia cenderung pada dunia dan menurutkan hawa nafsunya. Maka perumpamaannya adalah seperti anjing. Jika engkau menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga).

Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu supaya mereka berpikir.”

ْي ِذَّ

لا ُم ْوَ قْ

لاۨ ا ً

لَث َم َءۤا َس ﴿

َن ْو ُم ِل ْظَي اْوُناَك ْمُه َسُفْنَاَو اَنِتٰيٰ

اِب ا ْوُبَّ

ذَ ك َن ١٧٧

“Sangat buruklah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami dan terhadap diri mereka sendirilah (bukan terhadap orang lain), mereka (terus-menerus) berbuat zalim.” (Shihab, 2010: 173)

Di masyarakat Indonesia, kata “anjing” merujuk kepada sesuatu yang bermakna negatif. Kata ini digunakan untuk mencemooh orang lain, sebagai ungkapan rasa kekecewaan, ungkapan rasa marah atau kesal terhadap orang lain. Bahkan untuk menyebut namanya saja sebagian orang enggan karena kata “anjing” dianggap berkonotasi buruk dan kasar didengar, sehingga masyarakat kerap menggunakan istilah doggy atau guguk sebagai gantinya.

Mayoritas penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam, dalam ajarannya memuat ketentuan untuk menghindari interaksi dengan anjing demi menjaga kesucian dikarenakan kenajisan air liur yang dimilikinya dianggap najis berat. Bekas jilatannya harus dicuci tujuh kali salah satu diantaranya dengan tanah (Shihab, 2021: 292).

Namun, Entah sejak kapan muncul dan tersebar makian dengan menggunakan kata

“anjing” menjadi sebuah norma sosial masyarakat baku di Indonesia yang sejatinya pemeluk agamanya bukan hanya kelompok Islam saja. Tidak hanya stigma negatif melalui substitusi kata “anjing” saja, dalam keseharianpun binatang anjing kerap dimusuhi bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan terhadapnya.

Padahal Islam sebagai agama rahmatal lil ‘alamin tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menghina ataupun menganiaya binatang apapun, justru agama Islam

(3)

mengajarkan agar menghargai semua mahluk yang hidup. Bahkan Nabi Muhammad Saw, mengajarkan bahwa sikap dan tindakan manusia bisa menentukan nasibnya di akhirat, seperti halnya seorang wanita yang disiksa diakhirat karena menganiaya seekor kucing, ia mengurungnya dan tidak memberi makan dan minum sehingga kucing itu mati. Nabi Muhammad bersabda:

امهنع للها يضر رمع نبا نع اهتطبر ةره يف رانلا ةأرما تلخد لاق ملسو هيلع للها ىلص يبنلا نع

ضرألا شاشخ نم لكأت اهعدت ملو اهمعطت ملف Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ada seorang wanita masuk neraka disebabkan mengikat seekorkucing. Dia tidak memberinya makan dan tidak melepaskannya agar dapat memakan serangga tanah” (HR. Bukhari: 3071).

Ada juga kisah seseorang yang diampuni dosanya karena memberi minum anjing yang sangat kehausan. Nabi Muhammad bersabda:

هنع للها يضر ةريره يبأ نع ترم ةسموم ةأرمال رفغ لاق ملسو هيلع للها ىلص للها لوسر نع

نم هل تعزنف اهرامخب هتقثوأف اهفخ تعزنف شطعلا هلتقي داك لاق ثهلي يكر سأر ىلع بلكب كلذب اهل رفغف ءاملا Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Ada seorang wanita pezina yang diampuni dosanya disebabkan (memberi minum seekor anjing).

Ketika dia berjalan ada seekor anjing dekat sebuah sumur yang sedang menjulurkan lidahnya dalam kondisi hampir mati kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya kemudian dia mengambil airdari sumur itu. Karena perbuatannya itulah maka dia diampuni dosanya” (HR. Bukhari: 3074).

Berdasarkan hadist di atas terlihat bahwa Agama Islam sangat menghargai keberlangsungan hidup binatang. Di dalam al-Qur’an sendiripun ada kisah mengenai seekor anjing yang dijamin akan masuk surga karena menemani jalan dakwah pemuda Ashabul Kahfi. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 18:

َر ِذ ٌط ِساَب ْم ُهُبْ لَ

كَوۖ ِلاَم ِ شلا َتاَذَو ِنْيِمَيْ

لا َتا َذ ْم ُه ُب ِلَ قُ

ن َّوۖ ٌد ْوُ

ق ُر ْم ُه َّو ا ًظاَ قْيَ

ا ْم ُه ُب َس ْح َ ت َو ﴿ ِوَ

ل ِْۗدْي ِصَوْ لاِب ِهْيَعا

ْن ِم َتْ ئ ِل ُمَ

ل َّو ا ًرا َر ِف ْم ُهْن ِم َتْيَّ

ل َوَ ل ْم ِهْيَ

ل َع َت ْعَ ل َّطا اًب ْع ُر ْم ُه

١٨

“Dan kamu mengira mereka terjaga, padahal mereka tidur. Dan Kami membolak-balikkan (tubuh) mereka ke kanan dan ke kiri, sedangkan anjing mereka menjulurkan kedua lengannya di muka pintu gua (seolah-olah menjaga mereka). Jika seandainya engkau menyaksikan mereka (dari atas gua), tentu engkau akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentu (hati) kamu akan dipenuhi dengan rasa takut terhadap mereka” (Shihab, 2010: 295).

Ayat ini menggambarkan kesetiaan anjing ketika menjaga tuannya yang sedang tidur dan ia tidak meninggalkannya sampai iapun mati bersama mereka. Anjing adalah binatang yang sangat setia membela tuannya, baik ketika tuannya melihatnya atau tidak, ketika tuannya tertidur atau terjaga dan ketika tuannya sedang lengah atau waspada (Shihab, 2021: 292).

Permasalahan mengenai anjing yang dijadikan perumpamaan di dalam al-Qur’an surah al-‘Araf ayat 176-177 bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab stigma negatif masyarakat indonesia khususnya kalangan muslim, dimana jika dilihat secara tekstual

(4)

ayat ini seolah menggambarkan bahwa anjing bermakna negatif dimana anjing disamakan dengan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT. Padahal ketika merujuk kepada al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 18 anjing memiliki makna positif karena kesetiaanya menjaga tuannya. Lantas apakah perumpamaan tersebut mengajarkan manusia untuk menghina dan merendahkan anjing? Apakah alasan yang menjadikan anjing diserupakan dengan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT? Tentu jawabanya akan ditemukan setelah memahami dan merenungkan maksud dari perumpamaan ini dan hanya orang-orang yang berilmulah yang dapat memahami maksud dibalik ayat-ayat amtsal dalam al-Qur’an. Sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surah al-‘Ankabut ayat 43.

َن ْو ُم ِل ٰعْ لا اَّ

ل ِا ٗٓا َهُ

ل ِق ْعَي ا َم َو َۚ ِساَّنلِل اَهُب ِر ْضَن ُ لاَث ْمَ

اْ لا َكْ

لِت َو ﴿ ٤٣

“Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia. Namun, tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu” (Shihab, 2021: 401).

Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai anjing sebagai tamtsil al- Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Dipilihnya Tafsir al-Mishbah, dengan pertimbangan karena penyusunnya adalah ulama tafsir kontemporer yang secara langsung terlibat dalam berbagai persoalan di tanah air. Sebagai kitab tafsir yang ditulis pada zaman modern dengan setting keIndonesiaan dengan segala problematikanya, kitab ini menarik untuk dicermati. Apakah ia memberikan uraian sebagai respons terhadap persoalan-persoalan kekinian atau tidak? Secara lebih khusus, apakah dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung amtsal memaknainya dengan konteks kekinian atau tidak? Mengingat bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang sesuai bagi setiap masa dan tingkat pemikiran, maka setiap penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dituntut untuk mampu merespons perkembangan yang muncul pada masa itu.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti memakai jenis penelitian kepustakaan (library research), yakni metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, serta laporan-laporan yang terdapat hubungannya dengan permasalahan yang dipecahkan (Nazir, 2013).

Jenis penelitian ini berbentuk kajian keislaman ataupun keagamaan terhadap karya tafsir. Peneliti hendak menggarap penelitian ini dengan memakai metode kajian tafsir tematik, tafsir tematik adalah cara menafsirkan kitab suci dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya atau dengan cara mengangkat gagasan dasar al-Qur’an yang merespon tema-tema abadi yang menjadi keprihatinan manusia sepanjang sejarah (Suprayogo, 2001: 69-70).

Metode kajian tafsir tematik ini terbagi menjadi empat bentuk kajian, yaitu:

pertama, tematik surat, yakni model kajian tematik dengan meneliti surat-surat tertentu.

Kedua, tematik term, yakni model kajian tematik yang secara khusus meneliti term (istilah-istilah) tertentu dalam al-Qur’an. Ketiga, tematik konseptual, yakni model kajian tematik tentang konsep-konsep tertentu yang secara eksplisit tidak disebut dalam al-Qur’an, tetapi secara substansial ide tentang konsep itu ada dalam al-Qur’an.

Kempat, tematik tokoh, yakni kajian tematik yang dilakukan melalui tokoh (Mustaqim, 2019: 61-63). Adapun bentuk kajian tematik yang peneliti gunakan adalah bentuk yang

(5)

keempat dengan meneliti anjing sebagai tamtsil menurut tokoh M. Quraish Shihab melalui kitab Tafsir al-Mishbah.

Analisis dalam penelitian merupakan bagian penting dalam proses penelitian karena dengan analisis inilah, data yang ada akan tampak manfaatnya, terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian (Mahmud, 2011:

189). Dalam penelitian ini dilakukan dengan menganalisis pemikiran tokoh M. Quraish Shihab tentang anjing sebagai tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah.

PEMBAHASAN

Penafsiran M. Quraish Shihab terkait ayat anjing sebagai Tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah

Sistematika Penulisan Tafsir al-Mishbah

Tasir al-Mishbah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab berjumlah XV volume, mencakup totalitas isi al-Qur’an sebanyak 30 juz. Kitab ini awal kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Jakarta, pada tahun 2002. M. Quraish Shihab menyajikan tafsirnya memakai tartib mushafi sesuai dengan urutan susunan surah dan ayat dalam mushaf dengan terlebih dulu memberikan pengantar disetiap awal surah agar memahami maksud dan tujuan surah hendak ditafsirkan. Metode ini dia jalani pada saat hendak memulai penafsiran pada masing-masing surah (Masduki, 2022: 22).

Selanjutnya M. Quraish Shihab mengelompokkan ayat-ayat dalam surah ke dalam kelompok kecil yang dikira mempunyai keterkaitan erat sehingga sehingga akan terlihat tema ayat dalam kelompok tersebut. Setelah itu ia mencantumkan terjemahan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan tulisan cetak miring. kemudian membagikan uraian tentang makna kosa-kata melalui kata kunci yang pada ayat tersebut yang sangat berfungsi dalam menguraikan penafsiran nanti dan tidak lupa menjelaskan munasabah ataupun keserasian antar ayat, lalu memberikan kesimpulan pada akhir penafsirannya dan mencantumkan kata Wallahu ‘alam (Shihab, 2002: Vol II: 659).

Metode Penafsiran Tafsir al-Mishbah

Berdasarkan penjelasan sistematika pada uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa metode tafsir yang digunakan M. Quraish Shihab termasuk ke dalam tafsir tahlili dengan sumber tafsir yang tergolong sebagai tafsir bil ma’sur dan juga tafsir bir ra’yi. Karena hampir disetiap penafsiran yang ia lakukan, ia menyebutkan riwayat dan juga menguraikan ayat berdasarkan akal atau rasio yang sangat mewarnai penafsirannya dan dari segi coraknya, tafsir M. Quraish Shihab termasuk adabi ijtimai (Masduki, 2022: 37).

Anjing sebagai Tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah

M. Quraish Shihab mengemukakan ayat tentang anjing sebagai tamtsil al-Qur’an hanya disebutkan di dalam al-Qur’an surah al-‘Araf ayat 176-177 sebagai berikut.

(6)

اَنْ ئ ِش ْوَ

ل َو ﴿

َل َع ْ

ل ِمْح َت ْنِا َۚ ِبْ لَ

كْ

لا ِلَثَمَك ٗهُلَثَمَف َُۚهىٰو َه َعَبَّتاَو ِض ْرَاْلا ىَلِا َدَل ْخَا ٗٓٗهَّنِكٰ

ل َو ا َهِب ُهٰن ْعَف َرَل

ْث َهْ لَي ِه ْي

ْم ُهَّ

ل َعَ ل َص َصقَ ْ

لا ِص ُصقاْ َ ف َۚاَنِتٰيٰ

اِب ا ْوُبَّ

ذَ ك َنْي ِذَّ

لا ِم ْوقَ ْ لا ُ

لَث َم َكِل ٰذ ْۗث َهْ ْ لَي ُهْ

كُرْتَت ْوَ

َ ا ن ْو ُرَّ

كفَتَي َ ١٧٦

“Dan seandainya Kami menghendaki, pasti Kami meninggikan (derajat)-nya dengan (melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu), tetapi dia cenderung pada dunia dan menurutkan hawa nafsunya. Maka perumpamaannya adalah seperti anjing. Jika engkau menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga).

Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu supaya mereka berpikir.”

ۤا َس ﴿

َن ْو ُم ِل ْظَي اْوُناَك ْمُه َسُفْنَاَو اَنِتٰيٰ اِب ا ْوُبَّ

ذَ ك َنْي ِذَّ

لا ُم ْوَ قْ

لاۨ ا ً لَث َم َء ١٧٧

“Sangat buruklah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami dan terhadap diri mereka sendirilah (bukan terhadap orang lain), mereka (terus-menerus) berbuat zalim” (Shihab, 2010: 173).

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah senantiasa memulai penafsiran dengan membagikan pengantar di tiap awal surah dengan tujuan untuk membagikan kemudahan untuk para pembaca supaya menguasai tema pokok surah serta poin-poin berarti yang tercantum dalam surah tersebut, saat sebelum pembaca mempelajari lebih lanjut dengan membaca urutan tafsirnya (Masduki, 2022: 23).

Menurut M. Quraish Shihab (2002: Vol IV: 3-4) Surah al-A’raf adalah surah yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad Saw melakukan hijrah ke Mekkah (al-Makiyyah).

Penamaan al-‘Araf pada surah ini diambil dari ayat 46 yang berarti tempat yang tinggi di surga. Surah ini terdiri dari 206 ayat dan keseluruhannya turun di Mekkah.

Kandungan surah ini merupakan perincian dari sekian banyak persoalan yang diuraikan oleh surah al-An’am, khususnya menyangkut kisah beberapa nabi.

Setelah memberikan pengantar pada awal surah M. Quraish Shihab kemudian mengelompokkan ayat-ayat dalam surah ke dalam kelompok kecil yang dikira mempunyai keterkaitan erat sehingga akan terlihat tema ayat dalam kelompok tersebut (Masduki, 2022: 23–24).

Penafsiran tentang anjing sebagai tamtsil dalam surah al-‘Araf dikelompokan M.

Quraish Shihab pada kelompok 17 yang terdiri dari ayat 172-186 karena dianggap memiliki keterkaitan yang erat. Setelah itu, M. Quraish Shihab membagi kelompok 17 menjadi beberapa kelompok ayat kecil berdasarkan tema ayat yang dimaksud. Adapun tema tentang anjing sebagai tamtsil dijelaskan pada kelompok ayat 176-177 (Shihab, 2002: Vol IV: 365-399).

Adapun metode yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab ini serupa dengan metode yang dilakukan Sayyid Quthb dan Hamka dalam mengelompokan ayat pada karya tafsirnya masing-masing. Sayyid Quthb (1992: 56–60) dalam Tafsir fi Zhilalil al-Qur’an mengelompokan surah al-‘Araf ayat 175-177 dengan tema “potret orang yang meninggalkan ayat-ayat Allah demi memperturutkan hawa nafsu”. Sedangkan, Hamka

(7)

(1983: 162–166) dalam Tafsir al-Azhar mengelompokan surah al-‘Araf ayat 175-178 dengan tema “gelap sesudah terang”.

Pertama, Penafsiran M. Quraish Shihab terkait surah al-‘Araf ayat 176 sebagai berikut:

Ayat ini menguraikan bahwa “Allah SWT menyatakan bahwa dan sekiranya Kami menghendaki, pasti Kami menyucikan jiwanya dan meninggikan derajatnya dengannya, yakni melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu, tetapi dia mengekal, yakni cenderung menetap terus-menerus, di dunia menikmati gemerlapnya serta merasa bahagia dan tenang menghadapinya dan menurutkan dengan penuh antusias hawa nafsunya yang rendah, maka, perumpamaanya adalah seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Jika engkau mengahalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkanya, yakni tidak menghalaunya ia menjulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kepada mereka dan siapa pun kisah-kisah itu agar mereka berfikir sehingga tidak melakukan apa yang dilakukan oleh yang dikecam itu (Shihab, 2002: Vol IV: 375).

Dalam menafsirkan ayat di atas M. Quraish Shihab tidak menerangkan siapa yang di maksud sebagai orang yang hendak disucikan jiwanya dan ditinggikan derajatnya melalui pengamalannya terhadap ayat, akan tetapi mereka mengekal dan selalu cenderung kepada dunia serta menurutkan hawa nafsunya. Adapun orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut dijelaskan M. Qurash Shihab pada ayat sebelumnya yaitu dalam surah al-‘Araf ayat 175 sebagai berikut:

ِواَغْلا َنِم َناَكَف ُن ٰطْي َّشلا ُه َعَبْتَاَف اَهْنِم َخَل َسْناَف اَنِتٰيٰ ا ُهٰنْيَتٰ

ا ٗٓ ْي ِذَّ

لا َ اَبَن ْم ِهْيَ

ل َع ُ لْتا َو ﴿ ﴾ َنْي

“Dan bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita orang yang telah Kami anugerahkan kepadanya ayat-ayat Kami kemudian dia menguliti diri darinya maka dia diikuti oleh setan sehingga jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat”(Shihab, 2010: 173).

Ayat ini berbicara tentang orang yang melepaskan diri dari ilmu pengetahuan akan keesaan Allah SWT yang telah ia miliki. Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan kepada kalangan musyrikin tentang kabar yang sangat berarti lagi benar. Kabar ini tentang orang yang sudah dianugerahkan kepadanya ayat-ayat Allah dengan mengilhamkan serta mempermudah baginya mencapai pengetahuan tentang keesaan Allah serta tuntutan-tuntutan agama, tetapi dia mengulitinya dengan meninggalkan diri dari pesan ayat-ayat itu serta tidak mengamalkannya hingga dia tercantum ke dalam kelompok orang- orang yang disesatkan setan (Shihab, 2002: Vol IV: 372-373).

Ayat ini berkaitan dengan peristiwa seorang yang hendak dijadikan pelajaran bagi manusia, ia telah dianugerahkan pengetahuan tetapi ia mengabaikannya dan ia akan terjerumus ke dalam kesesatan. komentar ini dikuatkan dengan adanya bentuk tunggal pada kata ( ْي ِذَّ

لا) yang diterjemahkan sebagai “orang yang” bukan “orang-orang yang”.

(8)

Namun, para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang di maksud (Shihab, 2002:

Vol IV: 373).

Senada dengan itu Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil-Qur’an (1992: Vol VI: 58) mengemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut merupakan seseorang pria dari Bani Israel yang bernama Ba’lam bin Ba’ura. Riwayat lain berkata kalau orang itu merupakan seseorang pria dari Palestina yang diktator. Riwayat lain berkata kalau ia merupakan orang Arab yang bernama Umayyah bin Shalt. Adapula yang berkata kalau ia merupakan orang yang hidup sezaman dengan masa diutusnya Rasulullah yang bernama Abu Amir al-Fasik.

Kesimpangsiuran tentang siapa yang dimaksud dalam ayat tersebut M. Quraish Shihab (2002: Vol IV: 374) berpendapat kalau ayat ini merupakan perumpamaan untuk setiap orang yang sudah mengenali kebenaran namun setelah itu menolaknya.

Setelah mengetahui maksud dari orang yang melepaskan diri dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan cenderung kepada dunia serta menurutkan hawa nafsunya pada surah al-‘Araf ayat 175. M. Quraish Shihab tidak mengulang pembahasan tersebut pada ayat 176 dan lebih menfokuskan pada anjing sebagai perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT.

Dalam menafsirkan ayat al-‘Araf 176 M. Quraish Shihab tidak terlihat menjelaskan makna kata ( ِلَثَمَك ٗهُلَثَمَف ) atau konsep amtsal, oleh karena itu peneliti mengemukakan konsep amtsal di dalam surah lain yang M. Quraish Shihab tafsirkan, yaitu surah al- Baqarah ayat 17.

ْم ُهَ

كَرَت َو ْم ِه ِر ْوُنِب ُ هللها َب َهَذ ٗهَ

ل ْو َح ا َم ْت َءۤا َضَ ا ٗٓاَّمَ

لف َۚ ا ًراَن َدَ َ

ق ْوَت ْسا ى ِذَّ

لا ِلَثَمَك ْمُهُلَثَم ﴿ ل ٍت ٰمَّ ُ

ل ُظ ْيِف ا

﴾ َ ن ْو ُر ِصْبُي

“Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api. Setelah (api itu) menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. (Shihab, 2010: 4)

Dalam menafsirkan ayat ini M. Quraish Shihab mengemukakan konsep dari kata (لثم), matsal sering kali diartikan sebagai “peribahasa” meski sepenuhnya makna ini benar karena biasanya singkat dan populer, namun matsal di dalam al-Qur’an tidak selalu demikian, bahkan ia terkadang panjang sehingga tidak lagi sekedar

“mempersamakan” satu hal dengan hal lain tetapi mempersamakannya dengan beberapa hal yang berkaitan. Seperti halnya dalam tamstil ayat al-Baqarah di atas bukan hanya sekedar mempersamakan orang munafik dengan orang yang menyalakan api, tetapi sampai apinya menyala, terus menggambarkan apa yang terjadi ketika menyala bahkan setelah itu. Demikian juga dengan amtsal-amtsal pada ayat lain. Dari sini terlihat bahwa amtsal bukan sekedar persamaan, ia adalah perumpamaan yang aneh dalam arti menakjubkan atau mengherankan. Amtsal di dalam al-Quran dengan tujuan untuk memperjelas sesuatu yang abstrak dengan menampilkan gabungan sekian banyak hal

(9)

kongkret lagi dapat dijangkau oleh panca indra. Dan amtsal memerlukan perenungan yang mendalam untuk memahaminya dengan baik. (Shihab, 2002: Vol I: 137)

Dalam surah al-‘Araf ayat 176-177 jika ditinjau dari segi amtsalnya maka ayat ini termasuk ke dalam amtsal musharrahah karena secara jelas menggunakan lafadz tasybih yaitu ُ

لَث َم dan ِلَثَمَك. Adapun unsur-unsur tasybih dalam amtsal ayat ini adalah sebagai

berikut.

a. Musyabbah (yang diserupakan) yaitu orang yang cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya.

b. Musyabbah bih (asal penyerupaan), yaitu anjing yang senantiasa menjulurkan lidahnya.

c. Wajhu asy-Syabah (segi persamaan), yaitu orang-orang yang cenderung pada dunia dan menurutkan hawa nafsunya sama dengan anjing yang menjulurkan lidahnya ketika dihalau ataupun tidak.

d. Adat at-tasybih (kata yang digunakan untuk menyerupakan), yaitu kata matsala dan kamstsala yang menunjukkan kepada makna penyerupaan.

Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat al-‘Araf 176 M. Quraish Shihab tidak terlihat menjelaskan arti kata (بلكلا)al-Kalb akan tetapi peneliti mengemukakan pendapat M.

Quraish Shihab dalam buku dan surah lain yang beliau ungkapkan, yaitu sebagai berikut:

Menurut M. Quraish Shihab ( 2021: 291) arti kata dari al-Kalb ialah binatang anjing, anjing adalah binatang menyusui yang berkaki empat dan berbulu. Anjing juga termasuk salah satu binatang yang bisa dilatih dan dididik dengan baik oleh tuannya.

Di dalam al-Qur’an disebutkan kata anjing lain dengan beberapa derivasi kata yaitu kalbuhum dan mukallibin. Kata kalbuhum terdapat di dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 18 dan 22, anjing di dalam ayat ini diceritakan dalam kisah Ashabul kahfi sebagai anjing yang setia menjaga tuannya (Shihab, 2002: Vol VIII: 260). Sedangkan kata mukallibin terdapat dalam surah al-Maidah ayat 4, menurut M. Quraish Shihab (2002: Vol III: 31) kata mukallibin ialah anjing yang telah mendapatkan pelatihan dan pengajaran, bisa berarti juga bahwa semua binatang pemburu yang telah mendapatkan pelatihan dan pengajaran. Anjing yang dapat dilatih sebagai binatang pemburu adalah anjing yang sudah benar-benar diajar dan dilatih. Pengajaran binatang untuk dijadikan pemburu itu seharusnya melalui pelatihan yang benar dan dilakukan oleh para ahli yang memiliki pengalaman pada bidang tersebut. Sehingga ketika anjing diperintahkan dan dilarang dia akan patuh sehingga ketika berburu binatang buruan, dia tidak akan memakan hasil buruannya dan dia akan kembali kepada tuannya untuk membawa hasil buruaanya ketika dipanggil.

Dalam surah al-‘Araf ayat 176 ini M. Quraish Shihab tidak menguraikan kata anjing tetapi lebih menfokuskan kepada inti dari perumpamaan dalam ayat ini. Hal ini ia lakukan dengan menjelaskan arti kata (ثهلي) yalhats sebagai berikut:

(10)

Kata (ثهلي) yalhats di ambil dari kata (ثهل) lahatsa, yaitu terengah-engah karena sulit bernafas seperti baru berlari cepat. Penggalan ayat ini mengutarakan suatu fenomena, yaitu bahwa anjing selalu menjulurkan lidah saat dihalau maupun dibiarkan.

Ini disebabkan anjing tidak memiliki kelenjar keringat yang cukup, yang berguna untuk mengatur suhu badannya. Karena itulah, untuk mengatur suhu badannya, anjing selalu menjulurkan lidah. Sebab dengan cara membuka mulut serta menjulurkan lidah, anjing bisa bernafas lebih banyak dari biasanya (Shihab, 2002: Vol IV: 375).

Dalam menafsirkan kata yalhats di atas M. Quraish Shihab terlebih dahulu menguraikan apa yang menyebabkan anjing selalu menjulurkan lidahnya. Kata yalhats ditafsirkan M. Quraish Shihab tampa memandang sebelah mata, merendahkan anjing disebabkan kenajisan yang dimilikinya, padahal anjing juga merupakan mahluk Allah SWT yang perlu dihargai keberlangsungan hidupnya. Dengan menelaah apa yang menyebabkan anjing menjulurkan lidah maka akan terlihat persamaan kondisi diantara keduanya. Senada dengan itu al-Maraghi menafsirkan kata yalhats dengan terengah- engah sambil menjulurkan lidah. Untuk selain anjing, hal itu bisa terjadi karena sangat letih dan lesu, atau karena haus, sedangkan untuk anjing sama saja, letih atau tidak, haus atau tidak, ia tetap menjulurkan lidahnya (al-Maraghi, 1993: 197).

M. Quraish Shihab mengatakan anjing yang tidak mempunyai kelenjar keringat yang lumayan cukup guna mengendalikan temperatur badannya menjadi pemicu anjing senantiasa menjulurkan lidahnya. Hal ini menjadi lebih tegas dengan melihat pendapat DR. Magdy Shehab (2011: 73) yang berasal dari Cairo Mesir dalam kitabnya yang berjudul “Al I’jaz Al Ilmi fi al-Qur’an wa al Sunnah” yang diterjemahkan ke dalam buku bahasa Indonesia dengan judul “Ensiklopedia Kemukjizatan al-Qur’an dan Sunah”

oleh Naylal Moona.

DR. Magdy Shehab (2011: 80–83) menjelaskan penyebab anjing selalu menjulurkan lidah di dalam bukunya pada bagian rahasia dibalik juluran lidah sebagai berikut:

1. Anjing tidak memiliki kelejar keringat kecuali di bagian telapak kaki, kelenjar keringat itu disebut sebagai kelenjar merokrin yang terdapat pada bantalan kaki anjing. Ketika anjing merasa panas, ia akan melepaskan keringatnya melalui kelenjar merokrin tersebut. Hal ini, yang menyebabkan keringat anjing tidak dapat keluar dengan baik untuk mengatur suhu tubuhnya.

2. Sebagian besar tubuh anjing ditutupi oleh bulu-bulu yang lebat. Hal ini, menyebabkan naiknya suhu tubuh anjing, terutama dibagian kelenjar keringat yang berfungsi mengatur suhu tubuh mahluk hidup pada umumnya.

3. Menjulurkan lidah bertujuan agar kadar oksigen dalam udara yang masuk meningkat sekaligus terjadi penguapan kadar air pada saluran pernapasan yang dilalui udara tersebut. Proses tersebut menyebabkan terjadinya pendinginan dan penurunan suhu panas tubuh. Selain menjulurkan lidah, hal lain yang membantu menurunkan suhu tubuh anjing adalah dengan melakukan jilatan-jilatan pada anggota tubuh dan membasahinya dengan air liur hingga merata.

4. Ketika anjing mulai menjulurkan lidahnya maka jumlah tarikan napasnya mengalami peningkatan sekitar 30-40 tarikan per menit, bahkan tidak jarang hingga

(11)

mencapai sepuluh kali lipat menjadi 300-400 tarikan per menit. Ketika anjing merasa haus, suhu panas tubuhnya meningkat. Ia akan mulai menjulurkan lidahnya dengan frekuensi yang cepat untuk kemudian kembali bernafas sebagai mana biasa.

Hal tersebut terus dilakukannya hingga suhu panas tubuhnya menurun.

5. Juluran lidah yang dilakukan anjing hanya memengaruhi saluran pernafasannya bagian atas saja. Hal tersebut, tidak sampai membuat gelembung paru-paru (emphysema) mengembang atau yang biasa disebut (full alveolar inflation) yakni suatu proses pertukaran udara antara oksigen dengan paru-paru. Hal tersebut tidak terjadi pada anjing dikarenakan udara yang masuk merupakan hasil dari proses penjuluran lidah yang tidak sampai ke bagian diagframa.

6. Diantara ketetapan seputar struktur tubuh anjing adalah ketika ia menjulurkan lidahnya hanya menggunakan sedikit pergerakan otot. Otot merupakan salah satu bagian tubuh anjing yang paling banyak mengalami perkembangan (yang paling jelas adalah otot lidahnya). Ketika anjing menggerakan otot lidahnya, maka meningkat pula panas suhu tubuhnya. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan saluran pernapasan anjing sebagai saluran pernafasan yang paling elastis, yang akan berkembang manakala anjing melakukan tarikan nafas. Ototnya akan kembali seperti semula manakala ia menghembuskan napasnya yakni menjulurkan lidahnya.

7. Jika anjing tidak memiliki saluran pernapasan yang elastis, menjulurkan lidah akan menghasilkan suhu tubuh yang lebih panas dibandingkan penguapan air yang terjadi di saluran pernapasan ketika udara dari masuk, saat anjing menghirup udara.

Hal tersebut dikarenakan kemampuan menggerakan otot saluran pernapasan pada hewan mamalia pemakan daging (carnivora) selain anjing, dibutuhkan energi besar.

Panas yang dihasilkannya pun cukup besar.

8. Anjing biasanya menjulurkan lidahnya ketika suhu panas tubuhnya meningkat disebabkan meningkatnya suhu panas lingkungan tempat ia hidup, bisa disebabkan rasa haus, atau keduanya. Selain itu, anjing menjulurkan lidahnya dapat disebakan stres, kelelahan, sakit pada bagian otot, terkejut atau untuk mengekspresikan perasaanya. Kesemuanya ini, tidak akan dimengerti kecuali dengan mempelajari Ilmu Binatang (Zoologi), sebuah disiplin ilmu yang baru diketahui pada akhir abad ke-20.

Dari penjelasan DR. Magdy di atas semakin menjelaskan apa yang menyebabkan anjing selalu menjulurkan lidahnya seperti halnya yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah ketika menjelaskan kata yalhats.

Selanjutnya, setelah M. Quraish Shihab menguraikan makna kata yalhats, M.

Quraish Shihab menyimpulkan maksud dari surah al-‘Araf ayat 176 sebagai berikut:

“Ayat ini memberikan perumpamaan tentang siapapun yang sedemikian dalam pengetahuanya sampai-sampai pengetahuan itu menempel pada dirinya, semacam melekatnya kulit pada daging. Tetapi, dia menguliti dirinya sendiri, dengan membebaskan tuntutan pengetahuannya. Dia diibaratkan seekor anjing yang terengah- engah sembari menjulurkan lidahnya. Umumnya terengah- engah diakibatkan sebab lelah ataupun kehausan memerlukan air, namun anjing menjulurkan lidahnya tidak cuma kala dia lelah ataupun kehausan, namun selama hidupnya dia senantiasa demikian, sama dengan seorang yang sudah memeroleh pengetahuan namun dia terjerumus buat menjajaki hawa nafsunya. Sepatutnya pengetahuan tersebut

(12)

membentengi dirinya dari perbuatan kurang baik, namun nyatanya baik dia perlu ataupun tidak, baik dia sudah mempunyai hiasan duniawi ataupun belum, dia selalu mengejar serta berupaya memperoleh serta menaikkan hiasan duniawi itu sebab yang demikian, sudah jadi watak bawaanya sama semacam anjing tersebut. Sangat kurang baik kondisi siapapun yang demikian” (Shihab, 2002: Vol IV: 376).

Dalam menafsirkan perumpamaan ayat ini terlihat bahwa M. Quraish Shihab menggambarkan persamaan diantara anjing dengan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT. Persamaan yang M. Quraish Shihab maksudkan bukan dikarenakan kehinaan dan kerendahan anjing karena kenajisan air liur yang dimilikinya. Akan tetapi, karena kesamaan kondisi yang dimiliki anjing dengan kondisi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT. Persamaan ini meninggalkan penjelasan bukti ilmiah yang tidak diketahui manusia kecuali pada masa belakangan ini, tepatnya pada abad ke-20 (Magdy, 2011: 73).

Berbeda halnya dengan kebanyakan mufasir dalam menafsirkan ayat ini, kebanyakan diatara mereka menafsirkan perumpamaan ini dengan menhinakan dan merendahkan anjing karena anjing adalah binatang kotor yang memiliki najis di dalam air liurnya. Seperti halnya yang ditafsirkan Ibnu Qayyim, Sayyid Quthb, buya hamka dan beberapa mufasir lain.

Menurut Ibnu Qayyim (2000: 343), Allah SWT membandingkan orang yang menjajaki hawa nafsunya sama semacam anjing, ialah fauna yang sangat hina serta rendah, yang ambisinya tidak lebih dari mementingkan urusan perut, sangat lahap serta rakus. Diantara foto kerakusannya, ia tidak sempat berjalan kecuali merunduk ke tanah sembari mengendus-endus, ia merupakan hewan yang sangat suka dengan hal-hal yang kotor serta busuk, beberapa hal yang semacam ini ia lebih suka daripada daging yang fresh.

Menurut Sayyid Quthb (1992: 57), ayat ini adalah perumpamaan mereka dalam ayat al-Qur’an yang merupakan petunjuk untuk memicu keimanan terkait dengan fitrah dan keberadaan mereka serta segala sesuatu yang ada diantara mereka yaitu alam semesta. Ketika mereka berpaling dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut maka muncul dalam diri mereka kedengkian, maka turunlah derajat mereka dari manusia menempati posisi binatang. Posisi mereka seperti anjing yang senantiasa berguling-guling di tanah.

Padahal, iman bagi mereka ibarat sayap yang dapat mengantarkan menuju illiyin (tingkatan tertinggi). Berdasarkan fitrahnya, mereka yang awal merupakan dalam wujud yang seindah- indahnya. Hendak namun, mereka jatuh serta derajat mereka turun tempat yang terendah.

Menurut Buya Hamka (1983: 164), ayat ini adalah perumpamaan orang yang menyilih baju dan menukarnya dengan kufur. Laksana seekor anjing yang selalu kehausan dan menjulurkan lidahnya karena ketamakannya. Walaupun sudah dihalau ataupun tidak ia akan menjulurkan lidahnya karena masih haus dan karena masih belum kenyang. Cobalah pelajari dengan seksama kenapa anjing selalu menjulurkan lidah?

Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Terlebih ketika cuaca panas menyengat ia akan terus menjulurkan lidahnya karena hawa nafsunya belum terpenuhi.

(13)

Analisis peneliti terkait penafsiran M. Quraish Shihab pada surah al-‘Araf ayat 176 dalam tafsir al-Mishbah sebagai berikut.

M. Quraish Shihab memakai metode tafsir tahlili dengan sangat baik, hal ini terlihat ketika M. Quraish Shihab menjelaskan makna kata dalam ayat tersebut. Selanjutnya dalam menafsirkan surah al-‘Araf ayat 176 ini, M. Quraish Shihab menggunakan corak tafsir ‘Ilmi dan corak adabi Ijtimai. Corak ‘Ilmi untuk mengetahui makna kata yalhats dengan mengkaitkannya kepada ilmu zoologi (sains binatang), sedangkan corak adabi Ijtimai dalam menjelaskan persamaan diantara keduanya hal itu dilakukan M. Quraish Shihab untuk mengajarkan betapa buruknya perumpamaan tersebut kepada pembaca dan M. Quraish Shihab cenderung menggunakan akal dalam menafsirkan persamaan dari perumpamaan tersebut.

Redaksi anjing sebagai tamtsil pada surah al-‘Araf ayat 176 ini tergolong ke dalam amtsal musharrahah karena ayat ini secara jelas mengungkapkan kata amtsal atau lafaz yang menunjukkan tasybih. Adapun adat at-tasybih yang digunakan pada ayat ini adalah ِلَثَمَك ٗهُلَثَمَف, dan ُ

لَث َم.

Kondisi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT setelah ia mendapatkan pengetahuan akan kebenaran dan kekuasaan Allah SWT, ia akan tetap cenderung kepada dunia dan terjerumus mengikuti hawa nafsunya karena perbuatannya telah menjadi sifat bawaanya sama seperti kondisi yang dimiliki anjing. Persamaan kondisi diantara keduanya peneliti simpulkan sebagai berikut:

1. Anjing akan senatiasa menjulurkan lidahnya dan orang yang mendustakan ayat- ayat Allah SWT, akan tetap cenderung kepada dunia dan terjerumus mengikuti hawa nafsunya.

2. Anjing menjulurkan lidahnya karena hanya memiliki kelenjar keringat yang tidak cukup untuk mengatur suhu tubuhnya. Sedangkan orang yang mendustakan ayat- ayat Allah SWT, walaupun telah memeroleh pengetahuan ia akan tetap terjerumus untuk mengikuti hawa nafsunya karena keimanan yang dimilikinya hanya sedikit.

3. Anjing akan menjulurkan lidah ketika merasa panas, haus, stres atau ketika ia merasa kaget, walaupun ia diberi minum atau tidak, dihalau atau membiarkannya ia akan tetap menjulurkan lidahnya. Sedangkan orang yang telah memeroleh pengetahuan akan kebenaran dan kekuasaan Allah SWT, pengetahuan yang ia peroleh itu seharusnya membentengi dirinya dari perbuatan buruk. Akan tetapi, walaupun ia diberi pengetahuan, nasehat, peringatan ataupun tidak, baik ketika ia sudah memiliki hiasan duniawi maupun belum, ia akan terus-menerus mengejar dan berusaha mendapatkan dan menambah hiasan duniawi. Dan ketika ia diberi cobaan berupa kesedihan, kesulitan, stres dan lain-lain, ia akan melampiaskannya kepada hal duniawi dan menurutkan hawa nafsunya.

Peneliti meyakini maksud dari M. Quraish Shihab akan buruknya perumpamaan ini bukanlah karena anjing adalah binatang yang hina ataupun rendah karena fisik, prilaku ataupun air liurnya yang najis. Anjing adalah mahluk yang perlu dihargai keberlangsungan hidupnya karena anjing juga merupakan ciptaan Allah SWT, tidak

(14)

hanya kepada anjing tetapi juga kepada binatang lainnya karena itu merupakan akhlak manusia kepada binatang yang perlu dijaga.

Akan tetapi, maksud dipilihnya anjing dalam ayat ini berfokus pada kondisi anjing yang senantiasa menjulurkan lidahnya tidak akan pernah berubah karena Allah SWT sendirilah yang menjadikan anjing memiliki kondisi seperti itu. Sedangkan manusia yang diciptakan oleh Allah SWT dengan sebaik-baik bentuk sebagai Khalifah dimuka bumi ini. Manusia dibekali akal untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dibekali hati untuk mendorongnya kejalan kebaikan menjauh dari jalan keburukan seharusnya menjadikan dirinya memiliki derajat yang tinggi dibandingkan mahluk lainnya. Namun, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT setelah diberi pengetahuan tetapi mereka tetap cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya, diberi peringatan atau tidak, sudah memiliki dunia maupun belum ia akan tetap cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya karena hal tersebut sudah menjadi watak kebiasaan mereka seperti halnya dengan anjing yang menjulurkan lidahnya.

Kedua, Penafsiran M. Quraish Shihab terkait surah al-‘Araf ayat 177 sebagai berikut:

Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami karena mereka mengabaikan tuntunan pengetahuaanya bahkan berbuat zalim dan terhadap diri mereka sendirilah bukan terhadap orang lain mereka terus-menerus berbuat zalim (Shihab, 2002: Vol IV: 375).

Adakah yang lebih buruk dari seorang yang menguliti dirinya sendiri, menelanjanginya dengan menanggalkan pakaian indah, serta melepaskan sesuatu yang dapat meninggikan derajatnya? Adakah yang lebih buruk dari siapa yang menempelkan dirinya ke bumi padahal dia dapat mengangkasa? Adakah orang yang lebih menganiaya dirinya lebih dari ini? Tidak ada! (Shihab, 2002: Vol IV: 376).

Dalam menafsirkan ayat ini terlihat M. Quraish Shihab menjelaskan dan menegaskan makna yang terkandung pada ayat sebelumnya yaitu surah al-‘Araf ayat 176 tentang anjing sebagai perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, dengan menggunakan kalimat tanya retoris atau disebut juga kalimat istifham bi makna tahqir dalam bahasa arab. Kalimat retoris adalah kalimat pertanyaan yang tidak memerlukan repon berupa jawaban tetapi respon berupa sikap orang yang ditanyai. Kalimat retoris digunakan bukan dimaksudkan untuk bertanya, melainkan untuk menegaskan, untuk menyindir atau membuat orang lain berfikir (Sumarsono, 2012: 11). sedangkan kalimat istifham bi makna tahqir adalah salah satu kajian dari gaya bahasa Arab yang mengungkapkan kalimat tanya dengan tujuan untuk menghinakan (Hifni, 2007: 439).

Sayyid Quthb dalam kitabnya menafsirkan dengan kalimat serupa dan menambahkan dengan kalimat “Apakah ini hanya sekedar informasi untuk dibaca saja?

Ataukah, ini sebagai perumpamaan untuk menggambarkan relita yang sering terjadi?

Ataukah, ini hanya sekedar kisah terdahulu semata?” (Quthb, 1992: 58).

(15)

Analisis peneliti terkait penafsiran M. Quraish Shihab pada surah al-‘Araf ayat 177 dalam tafsir al-Mishbah sebagai berikut.

M. Quraish Shihab memakai metode tafsir tahlili dengan sangat baik, hal ini terlihat ketika M. Quraish Shihab menjelaskan makna kata dalam ayat tersebut. Selanjutnya dalam menafsirkan surah al-‘Araf ayat 177 ini, terlihat M. Quraish Shihab menggunakan corak tafsir Lughawi dengan menggunakan kalimat istifham bi makna tahqir atau kalimat retoris dalam menjelaskan makna ayat ini. Sehingga ketika membaca tafsir ini, membuat kita berfikir dan menyadari bahwa Allah SWT, benar-benar sangat menegaskan betapa buruk dan hinanya perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah di dalam surah al-’Araf ayat 176. Dan penggunaan kalimat ini akan membuat orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, orang yang selalu condong kepada dunia serta selalu menurutkan hawa nafsu akan merasa tersinggung ketika membaca dan mendengarnya.

Hikmah di balik Anjing sebagai Tamtsil al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah Dari beberapa uraian pada pembahasan sebelumnya tentang anjing sebagai tamtsil al-Qur’an dalam tafsir al-Mishbah, maka peneliti menarik beberapa hikmah yang diungkapkan di dalam al-Qur’an sebagai berikut.

Pertama, Pentingnya Ilmu dan Iman

Ilmu serta Iman ialah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam Agama Islam. Dengan adanya iman, mendorong manusia supaya berbuat baik agar memperoleh ridho dari Allah SWT. serta mengarahkan kepada manusia agar memiliki yang namanya komitmen ataupun istiqomah dalam melaksanakan kebaikan. Sebaliknya ilmu merupakan fasilitas yang hendak menolong manusia untuk menemukan kebenaran al-Qur’an serta kebenaran Allah SWT sehingga ilmu tersebut bisa mendorong manusia berbuat baik. hubungan antara Iman dan Ilmu bila diiringi dengan pengamalannya, maka siapapun, apapun dan dimanapun orang berprilaku, mereka tidak akan melaksanakan penyimpangan dalam mempraktekan keintelektualannya.

Orang-orang yang berilmu, ilmunya hendak membawakan mereka ke jalur iman, seluruhnya hendak ditingkatkan derajatnya disisi Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam al-Qur’an surah al-Mujadalah ayat 11:

َو َْۚمُ كَ

ل ُ ه

للها ِح َسفَي ا ْو ُح َسْ ْ فاَ

ف ِسِل ٰج َمْ

لا ىِف ا ْو ُح َّسَفَت ْمُكَ ل َ

ل ْي ِق اَذِا اْٗٓوُنَمٰا َنْي ِذَّ

لا اَهُّيَ آٰي ﴿ َذ ِا

ا ْو ُز ُشْ نا َ

ل ْي ِق ا

َم ْعَت اَمِب ُ ه

للها َو ٍْۗت ٰج َرَد َمْل ِعْ لا اوُت ْوُ

ا َنْي ِذَّ

لا َو ْْۙمُ

كْن ِم ا ْوُن َمٰ ا َنْي ِذَّ

لا ُ ه للها ِعَ

ف ْرَي ا ْو ُز ُشْ ناَ ٌرْيِبَخ َنْوُل ف

١١

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (Shihab, 2010: 543).

Ayat ini menerangkan tentang perintah untuk memberi kelapangan dalam seluruh hal kepada orang lain. Ayat ini pula tidak menyebut secara tegas bahwa Allah SWT, hendak meninggikan derajat orang yang berilmu. Akan tetapi, menegaskan bahwa

(16)

mereka akan mempunyai derajat yang lebih tinggi dari sekedar beriman, tidak disebutkan kata meninggikan itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimiliki itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari aspek di luar ilmu itu (Shihab, 2002: 79).

Yang dimaksud dengan ٍْۗت ٰج َرَد َمْل ِعْ لا اوُت ْوُ

ا َنْي ِذَّ

لا َو yang diberi pengetahuan ialah mereka yang beriman serta menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kalangan orang beriman menjadi dua, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, yang kedua beriman, beramal saleh dan mempunyai pengetahuan.

Derajat kedua kelompok ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga karena pengamalan serta pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan ataupun tulisan ataupun keteladanan. Ilmu yang diartikan oleh ayat di atas bukan cuma ilmu agama, namun ilmu apapun yang berguna. Serta dalam pemikiran al-Qur’an ilmu tidak cuma ilmu agama, namun juga yang membuktikan bahwa ilmu itu haruslah menciptakan rasa takut dan kagum pada Allah SWT, yang pada gilirannya mendorong orang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya dan memakainya buat kepentingan mahkluk (Shihab, 2002: 80).

Iman yang tidak didasarkan kepada ilmu yaitu iman yang sangat lemah dan ilmu yang tidak bisa membuka hati untuk bertambahnya iman, maka ilmu itu sangat berbahaya bagi dirinya sendiri atau untuk orang lain. Bisa jadi orang yang sedemikian dalam pengetahuaanya sampai-sampai pengetahuan itu melekat pada dirinya, seperti melekatnya kulit pada daging. Namun, ia menguliti dirinya sendiri, dengan melepaskan tuntutan pengetahuannya. Sehingga ia diibaratkan seekor anjing yang terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya. Biasanya yang terengah-engah adalah orang yang letih atau kehausan membutuhkan air, tetapi anjing menjulurkan lidahnya tidak hanya ketika ia letih atau kehausan, tetapi sepanjang hidupnya ia selalu demikian, sama dengan seseorang yang memeroleh pengetahuan tetapi terjerumus mengikuti hawa nafsunya (Shihab, 2002: 376).

Sebagai umat muslim, kita seharusnya mendasari hati kita beserta kehidupan kita dengan iman dan ilmu, sehingga kita tidak terbawa oleh pengaruh negatif dan berada pada jalan yang lurus. Manusia yang mempunyai ilmu pastinya mengetahui kepada siapa dia harus beriman dan iman tersebut digunakan untuk direalisasikannya di kehidupan sebagai bentuk dari ibadah kepada Allah SWT. sedangkan ilmu yang menghasilkan keimanan akan mewujudkan sikap tawadhu kepada Allah SWT. Ilmu yang benar adalah ilmu yang menghayati iman dan iman yang berhaklah yang meluaskan ilmu, dengan demikian keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan atau dihilangkan.

Kedua, Bahaya menurutkan hawa nafsu

Kebiasaan seekor anjing yang selalu terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya dijadikan Allah SWT sebagai perumpamaan seseorang yang memeroleh pengetahuan tetapi terjerumus mengikuti hawa nafsunya (Shihab, 2002: 376). Orang yang mengikuti hawa nafsu tidak akan mementingkan agamanya dan tidak mendahulukan ridha Allah dan Rasul-Nya. Dia akan selalu menjadikan hawa nafsu menjadi tolok ukurnya.

Hawa nafsu asalnya merupakan kecintaan jiwa serta kebenciannya. Tetapi yang tercela ialah yang senantiasa menurutkan hawa nafsu. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Qasas ayat 50.

(17)

ۤا َو ْهَ ا َ

ن ْو ُعِبتَي اَمَّنَّ َ ا ْمَ

ل ْعاف َكَ َ

ل ا ْو ُبْي ِجَت ْسَي ْمَّل ْنِاَف ﴿ ن ِاْۗ َِّ ه

للها َن ِ م ى ًدُه ِرْيَغِب ُهىٰوَه َعَبَّتا ِنَِّمِ ُّ

ل َضَ

ا ْن َم َو ْْۗمُهَء

ࣖ َنْي ِمِل هظلا َم ْوقَ ْ

لا ى ِد ْهَي اَ ل َ ه

للها ٥٠

“Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”(Shihab, 2010: 391).

Allah SWT juga berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 77.

اَ ل ِبٰ

ت ِكْ لا َ

ل ْهَ آٰي ْ

لق ﴿ُ ا ْوُّ

ل َضَ ا َو ُ

لْبَ ق ْن ِم ا ْوُّ

ل َض ْدَ

ق ٍم ْوق َءۤا َو ْهَ َ

ا اٗٓ ْو ُعِبتَت اَّ َ ل َو ِ قَحْ

لا َرْيَ غ ْمُ

كِنْي ِد ْيِف ا ْوُ ل ْغَت

ࣖ ِلْيِب َّسلا ِءۤا َو َس ْنَع اْوُّل َضَّو اًرْيِثَ ك ٧٧

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahlulkitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam (urusan) agamamu tanpa hak. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kaum yang benar-benar tersesat sebelum kamu dan telah menyesatkan banyak (manusia) serta mereka sendiri pun tersesat dari jalan yang lurus”(Shihab, 2010: 121).

Umar bin Khathab RA mengatakan: Hindarkanlah jiwa dari nafsu, karena nafsu akan membawanya kepada kejahatan. Sungguh, kebenaran terasa berat tetapi membawa kepada keselamatan dan kebatilan terasa ringan tetapi membawa kepada kesengsaraan. Meninggalkan dosa lebih baik daripada bertaubat. Banyak memandang dosa lebih baik daripada bertaubat. Banyak memandang bisa membangkitkan nafsu dan nafsu sesaat dapat menimbulkan penyesalan berkepanjangan.

Mengendalikan hawa nafsu, apalagi mengalahkannya bukan pekerjaan ringan dan sederhana, sebab yang menjadi musuh adalah diri kita sendiri. Maka untuk meraih keselamatan, orang yang mengikuti hawa nafsu harus menerapi dirinya dengan rasa takut kepada Allah SWT sehingga akan menghentikannya dari mengikuti hawa nafsunya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Allah SWT dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sungguh surgalah tempat tinggal mereka kelak. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surah an-Naziat ayat 40-41.

ْۙى ٰو َهْ

لا ِنَع َسْفَّنلا ى َهَنَو ٖه ب َر َماَق َم َفا َخ ْن َم ا َّمِ َ ا َو ﴿ ٤٠

Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,”

ْۗى ٰوْ أ َمْ

لا َي ِه َةَّنَجْ لا َّ

نِاَ ف ﴿ ٤١

“sesungguhnya surgalah tempat tinggal(-nya)”(Shihab, 2010: 584).

Pengendalian hawa nafsu tidak berarti menahan hawa nafsu dari keinginan kesenangan duniawi dan sepenuhnya hanya memikirkan akhirat, tetapi membimbingnya melalui pedoman iman dan takwa. Jika nafsu ini sedang diperalat setan agar keluar dari pedoman tersebut, hendaknya kita mampu memeranginya. Itulah makna jihadun-nafsi yang dianggap lebih besar dari pada perang fisik. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Qasas ayat 77.

(18)

ِم َكَبْي ِصَن َسْنَت اَلَو َة َر ِخٰاْلا َراَّدلا ُ هللها َكىٰتٰ

ا ٗٓاَم ْي ِف ِغَتْبا َو ﴿ اَ

ل َو َك ْيَ ل ِا ُ ه

للها َن َس ْحَ ا ٗٓاَمَ

ك ْن ِس ْحَ

ا َو ا َيْن ُّدلا َن

َنْي ِد ِسف ُمْ ْ لا ُّب ِح ُ

ي اَ ل َ ه

للها َّ

ن ِاْۗ ِض ْرَ اْ

لا ىِف َدا َسَفْلا ِغْبَت ٧٧

Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”(Shihab, 2010: 394).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa mengendalikan hawa nafsu bukanlah berfokus hidup mencari pahala untuk akhirat sehingga melupakan dunia. Akan tetapi, memanfaatkan berbagai aspek dunia sebagai ladang untuk mencari pahala sebanyak- banyaknya. Dari uraian di atas peneliti simpulkan bahwa hikmah dijadikannya anjing sebagai tamtsil di dalam al-Qur’an adalah untuk mengajarkan kepada kita pentingnya ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan keimanan yang kuat karena dengan itu kita bisa memilih jalan kebenaran dan tidak menurutkan hawa nafsu yang akan membawa kita kepada kedzaliman.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasaan penelitian yang peneliti paparkan pada bab-bab sebelumnya maka peneliti menyimpulkan bahwa metode yang digunakan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat amtsal tentang anjing menggunakan metode tahlili, dalam menafsirkan ayat amtsal tentang anjing M. Qurash Shihab menggunakan corak tafsir ‘Ilmi dalam menafsirkan kata yalhats dengan mengkaitkannya dalam ilmu zoologi dan menggabungkannya dengan konsep corak adabi ijtimai dalam menjelaskan kesamaan antara perumpamaan anjing dengan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT, sedangkan redaksi anjing sebagai tamtsil tergolong ke dalam amtsal musharrahah karena ayat ini secara jelas mengungkapkan kata amtsal atau lafaz yang menunjukkan tasybih. Adapun adat at-tasybih yang digunakan pada ayat ini adalah ِلَثَمَك ٗهُلَثَمَف, dan ُ

لَث َم. Selanjutnya kesimpulan terkait ayat amtsal tentang anjing

sebagai berikut:

Pertama, M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah, menafsirkan maksud buruknya perumpamaan tersebut bukan untuk merendahkan apalagi menghinakan anjing. akan tetapi, alasan dipilihnya anjing dalam perumpamaan tersebut karena anjing memiliki kondisi tubuh yang mengharuskannya selalu menjulurkan lidahnya karena itu menjadi fitrah kebiasaan anjing yang tidak bisa dirubah karena Allah SWT sendirilah yang menciptakan anjing memiliki keadaan seperti itu. sedangkan manusia dibekali akal dan hati seharusnya menjadikan dirinya memiliki derajat yang tinggi dibandingkan mahluk lainnya. Namun, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT setelah diberi pengetahuan tetapi mereka tetap cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya, diberi peringatan atau tidak, sudah memiliki dunia maupun belum ia akan tetap cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya karena hal tersebut sudah

(19)

menjadi watak kebiasaan mereka seperti halnya dengan anjing yang menjulurkan lidahnya.

Kedua, Hikmah dijadikannya anjing sebagai tamtsil di dalam al-Qur’an adalah untuk mengajarkan akan pentingnya ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan keimanan yang kuat karena dengan itu kita bisa memilih jalan kebenaran dan tidak menurutkan hawa nafsu yang akan membawa kita kepada kedzaliman.

REFERENSI

Al-Fayad, M. J. (1993). al-Amtsal fi al-Qur’an al-Karim. Firginia: al-Ma’had al-lami li al-Fikr al-Islami.

Al-Maraghi. (1993). Tafsir al-Maraghi. Semarang: PT Karya Toha Putra.

Eriyanto. (2011). Analisis Isi. Jakarta: Kencana.

Hamka. (1983). Tafsir al-Azhar. Jakarta: PT Pustaka Panjimas.

Hifni. (2007). Kaidah Tata Bahasa Arab. Jakarta: Darul Ulum Press.

Magdy, S. (2011). Ensiklopedi Kemukjizatan al-Qur’an dan Sunnah (Jilid 4). Jakarta:

Naylal Moona.

Mahmud. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Manna’ al-Qattan. (2019). Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Darus Sunnah Press.

Masduki, M. (2022). Tafsir Al-Mishbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal al- Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nazir, M. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Qayyim, I. (2000). Tafsir ayat-ayat pilihan. Jakarta: Darul Falah.

Quthb, S. (1992). Fi Zhilalil-Qur’an. Beirut: Darusy-Syuruq.

Shihab, M. Q. (1994). Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2010). Al-Qur’an dan Maknanya. Tanggerang: Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2021). Dia Dimana-Mana: “Tangan” Tuhan Dibalik Setiap Fenomena (baru). Tanggerang Selatan: Lentera Hati.

Suprayogo, I. (2001). Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

11. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an.. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an. Quraish Shihab, Tafsir