TUGAS MATA KULIAH RESPIROLOGI 2
ATELEKTASIS
Oleh:
Kelompok 24 A Kelas C PSKED 2021
Penulis:
Intan Syarifatin Mumtazah 215070107111068 Davina Saskiah Tiara 215070107111069 Sarah Ann Boswell 215070107111071
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2024
Latar Belakang
Normalnya, pernapasan yang efektif dimulai sejak hidung menghirup udara sampai udara masuk ke saluran pernapasan yaitu bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Kemudian udara yang masuk di alveoli tersebut akan masuk ke dalam pembuluh darah dan kandungan oksigen dari udara dialirkan ke seluruh tubuh. Namun, pada atelektasis hal tersebut tidak berjalan seperti normalnya. Pada atelektasis, alveolus justru tidak terisi udara. Akibatnya, tidak terjadi pertukaran antara oksigen dan karbon dioksida. Penderita penyakit paru yang mengalami atelektasis pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak saat itu jumlah kasus menunjukkan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Pada dasarnya, atelektasis bukanlah suatu penyakit, melainkan gambaran radiologi yang disebabkan adanya suatu penyakit (Peroni &
Boner, 2000).
Atelektasis merupakan suatu kondisi yang menyebabkan salah satu atau lebih bagian dari paru-paru mengalami kolaps atau tidak terisi udara sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan sempurna. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme seperti peningkatan tekanan permukaan di dalam alveolus, kompresi parenkim paru akibat peningkatan dinding intratoraks maupun ekstra toraks paru, maupun obstruksi jalan nafas yang menyebabkan berkurangnya pertukaran udara di alveolus (Novialdiet al., 2015).
Atelektasis dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin maupun ras, namun dapat diatasi dengan mengurangi faktor risiko yang ada. Atelektasis sering terjadi setelah tindakan operasi, terutama pada pasien yang menjalani operasi dada atau perut. Hal tersebut dapat disebabkan posisi tidur yang tidak alami atau penggunaan ventilasi mekanis. Selain itu, kondisi seperti infeksi paru-paru, trauma dada, atau tumor juga dapat menyebabkan atelektasis.
Atelektasis yang berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan hipoksia dan penurunan tekanan darah yang drastis. Apabila bagian paru-paru yang mengalami kerusakan tidak segera diatasi, maka penderita bisa mengalami syok. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengobati atelektasis dengan cepat untuk mencegah komplikasi serius seperti pneumonia atau penurunan fungsi paru-paru jangka panjang (Grottet al., 2019).
Definisi Kasus
Istilah atelektasis berasal dari bahasa yunani, yaitu atelezyang berarti tidak lengkap danektasiz yang berarti ekspansi atau pengembangan, sehingga atelektasis berarti ekspansi atau
pengembangan paru yang tidak lengkap atau tidak sempurna. Atelektasis atau disebut juga dengan kolaps paru merupakan keadaan berkurangnya sebagian atau seluruh volume udara di paru atau lobus paru sehingga paru akan mengempis dan tidak mengandung udara. Berdasarkan mekanisme terjadinya, atelektasis terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
a) Atelektasis Obstruktif
Atelektasis obstruktif atau resorptif merupakan jenis atelektasis yang terjadi ketika aliran udara ke paru terhenti akibat adanya obstruksi atau sumbatan saluran napas.
Sumbatan saluran napas (utamanya bronkus) menyebabkan udara tidak dapat mencapai saluran udara yang lebih distal sehingga menyebabkan kolaps alveoli dan volume paru-paru berkurang, akibatnya mediastinum akan bergeser ke arah paru-paru yang terkena atelektasis. Atelektasis obstruktif dapat disebabkan oleh berbagai proses patologis, seperti tumor intrabronkial, sumbatan mukosa (misalnya pada kasus asma bronkial), dan benda asing di saluran napas (Grott et al., 2019)
b) Atelektasis Non obstruktif i) Atelektasis Kompresif
Atelektasis kompresif terjadi akibat peningkatan tekanan paru-paru yang menyebabkan kolapsnya alveoli. Peningkatan tekanan alveoli terjadi akibat menurunnya gradien tekanan transmural (selisih tekanan intrapleural dan tekanan alveolar) yang terjadi akibat peningkatan akumulasi cairan, massa, atau udara di dalam kavum pleura secara signifikan. Hal ini menyebabkan paru-paru terkompresi sehingga volume paru-paru menurun (Grott et al., 2019).
ii) Atelektasis Adesif
Atelektasis adhesif disebabkan oleh defisiensi atau disfungsi surfaktan. Surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan alveolar, oleh karena itu, setiap perubahan pada produksi dan fungsi surfaktan sering kali bermanifestasi sebagai peningkatan tegangan permukaan alveoli yang menyebabkan ketidakstabilan dan kolaps. Pada chest x-ray, atelektasis adesif akan memberikan gambaran diffuse bilateral patchy atelectasis (Grott et al., 2019).
iii) Atelektasis Sikatrik
Atelektasis sikatrik terjadi ketika terdapat fibrosis atau jaringan parut pada jaringan paru baik secara fokal maupun general sehingga ekspansi atau pengembangan
paru tidak dapat terjadi secara sempurna. Atelektasis sikatrik biasanya memiliki underlying etiologi seperti tuberkulosis, sarkoidosis, pneumonia nekrotikans, dan penyakit destruktif paru kronis lainnya (Grott et al., 2019). Atelektasis sikatrik merupakan jenis atelektasis irreversible sehingga kerja paru tidak bisa kembali normal apabila sudah terdapat jaringan parut pada paru-paru.
Epidemiologi
Atelektasis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Selain itu, tidak ada peningkatan insiden atelektasis pada pasien PPOK, asma, atau usia tua. Sekitar 90% kasus atelektasis kebanyakan dialami oleh pasien yang menjalani anestesi umum. Studi menunjukkan bahwa anestesi menyebabkan atelektasis pada kedua paru-paru dalam waktu lima menit setelah induksi anestesi. Atelektasis lebih sering terjadi setelah operasi jantung dengan bypass kardio-paru daripada operasi lain, seperti torakotomi. Namun, pasien yang menjalani prosedur perut atau toraks lebih rentan terhadap atelektasis. Pasien obesitas dan/atau hamil lebih mungkin mengalami atelektasis akibat perpindahan diafragma ke arah kepala (Grott., et al. 2023).
Patofisiologi
Atelektasis merupakan kondisi di mana salah satu atau lebih bagian dari paru-paru mengalami kolaps atau penurunan volume udara karena adanya pengurangan atau berhentinya ventilasi normal ke area tersebut. Patofisiologi atelektasis dibagi berdasarkan mekanisme penyebabnya sebagai berikut
1) Atelektasis obstruktif (resorptif) merupakan atelektasis yang disebabkan karena penyumbatan jalan nafas. Obstruksi tersebut dapat disebabkan karena adanya benda asing atau akumulasi mukus di saluran pernafasan sehingga menyebabkan terhambatnya udara masuk ke alveolus. Kemudian, udara yang tersisa di dalam alveolus bagian distal diabsorbsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah. Hal tersebut menyebabkan penurunan tekanan udara dalam alveoli yang pada nantinya akan terjadi kolaps alveoli dan segmen paru yang terkena (Starket al., 2020).
2) Atelektasis non obstruktif
a) Atelektasis kompresif terjadi ketika lesi yang menempati ruang di dada seperti efusi pleura atau adanya massa padat yang dapat memberikan tekanan eksternal
dan menekan paru-paru sehingga menyebabkan volume paru-paru berkurang dan ekspansi paru menurun yang pada akhirnya terjadi kolaps alveoli. Kondisi ini juga sering terjadi pada kasus pneumotoraks dan hemotoraks.
b) Atelektasis adhesif merupakan konsekuensi dari ketidakstabilan alveolus yang disebabkan oleh defisiensi atau disfungsi surfaktan. Pada paru-paru normal, surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan dan menurunkan kecenderungan alveoli untuk kolaps. Atelektasis adhesif merupakan masalah utama pada sindrom distres pernapasan pada bayi prematur, sindrom gangguan pernapasan akut pada orang dewasa, pneumonitis radiasi akut, dan lain sebagainya.
c) Atelektasis kontraksi terjadi akibat terbentuknya jaringan parut atau fibrosis pada parenkim paru sehingga menghambat ekspansi paru secara sempurna dan menyebabkan kolaps paru (Stark et al., 2020). Atelektasis tipe ini merupakan atelektasis yang ireversibel sehingga kerja paru tidak bisa kembali normal.
Atelektasis kontraksi ini paling sering terjadi pada pasien tuberkulosis, pneumonia, bronkiektasis.
Penegakan Diagnosis
Atelektasis dapat asimtomatik dan ditemukan tanpa sengaja melalui radiologi. Namun, pada beberapa pasien dapat ditemukan gejala sesak atau batuk berdahak. Pada anamnesis, perlu digali faktor risiko yang dimiliki oleh pasien, seperti adanya penyakit paru, riwayat anestesi umum dalam waktu dekat, maupun riwayat pembedahan toraks dan abdomen. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan takipnea, takikardi, maupun sianosis. Pada inspeksi, dapat ditemukan kurangnya ekspansi atau pengembangan dinding dada saat inspirasi pada sisi paru yang terkena atelektasis. Auskultasi paru dapat menunjukkan suara napas yang menurun atau menghilang dan crackles pada area yang terkena. Sedangkan pada pemeriksaan perkusi dapat ditemukandullness pada area yang terkena atelektasis. Apabila ditemukan kondisi yang mengarah ke atelektasis, maka wajib dilakukan pemeriksaan radiologi untuk menegakkan diagnosis dan menentukan letak, luas, dan distribusi atelektasis (Peroni et al., 2000).
Pemeriksaan Radiologi 1) Chest X-Ray
Pada rontgen dada, atelektasis dapat menunjukkan gambaran pergeseran
fisura interlobar, kekeruhan paru (opacification), dan/atau pergeseran trakea ke arah sisi yang terkena (Grott et al., 2019).
Kolaps paru total akibat atelektasis obstruktif, trakea bergeser ke arah paru yang kolaps
Kolaps paru total akibat atelektasis kompresif (efusi pleura), trakea bergeser ke arah paru yang normal
2) Chest CT
Pada chest CT, atelektasis menunjukkan gambaran densitas paru-paru yang padat dan hilangnya volume pada area paru yang terkena (Grott et al., 2019).
Gambaran Chest CT denganvolume loss pada lobus inferior paru kiridan terdapatjaringan parut.
3) Fiberoptic Bronchoscopy
Bronkoskopi fiberoptik dapat bersifat diagnostik dan terapeutik. Sebagai modalitas diagnostik, bronkoskopi fiberoptik dapat menunjukkan penyebab penyumbatan yang berkontribusi terhadap atelektasis (misalnya tumor, akumulasi mukus, atau benda asing) (Grott et al., 2019).
Tatalaksana Farmakoterapi dan Non Farmakoterapi A. Farmakologi
1. Agen Mukolitik
Pada orang sehat, mukus memiliki kekentalan dan elastisitas yang rendah serta mudah dibersihkan, tetapi pada penyakit paru-paru tertentu, mukus memiliki kekentalan dan elastisitas yang lebih tinggi serta tidak mudah dibersihkan. Agen mukolitik merupakan obat yang berfungsi untuk memecah mukus. Tujuan pemberian agen mukolitik pada pasien atelektasis adalah untuk menghilangkan sumbatan jalan napas.
Contoh agen mukolitik adalah aline isotonik, saline hipertonik, dornase alpha, dan asetilsistein (juga dikenal sebagai N-asetilsistein [NAC]) (Banerjee and McCormack, 2019).
Dornase alpha merupakan recombinant human deoxyribonuclease I (rhDNase), suatu enzim yang secara selektif membelah DNA sehingga mengurangi kekentalan lendir.
Dosis rhDNase bervariasi antara 0,2 mg/hari-2,5 mg/3jam. Pemberiannya melalui nebulisasi atau tetesan endotrakeal, dan durasi pengobatan berkisar dari dosis tunggal hingga sembilan hari (Assallum, H., et al. 2019). NAC bekerja dengan menghidrolisis ikatan disulfida protein mukus untuk menurunkan viskositas mukus, sehingga memfasilitasi pembersihannya. Hati-hati pemberian obat ini bisa menyebabkan bronkospasme (Hoeven, S., et al. 2015).
2. Nebulized bronchodilator
Bronkodilator nebulisasi secara tradisional direkomendasikan untuk pengelolaan atelektasis. Di dalam pasien dengan bronkokonstriksi akut, bronkodilator dapat meningkatkan diameter saluran napas dan meningkatkan secretion clearance(Schindler, M. 2005). Obat ini berfungsi untuk melebarkan bronkus dan mendorong pengeluaran lendir yang terjebak di saluran pernapasan. Bronkodilator yang sering digunakan adalah golongan selektif β2 receptor agonist, berupa salbutamol. Dosis nebulizer salbutamol adalah 2,5mg (1,25 ml)–5 mg (2,5 ml) sebanyak 4 kali sehari atau setiap 20–30 menit.
Penggunaannya harus berhati-hati karena dapat menyebabkan takikardi, tremor, dan hipokalemia (Hoeven, S., et al. 2015).
B. Non-Farmakologi 1. Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada adalah terapi lini pertama tradisional untuk atelektasis. Tujuan rehabilitasi paru pada pasien atelektasis adalah untuk menguatkan otot pernapasan dan mengeluarkan sputum lebih mudah. Fisioterapi dada meliputi breathing exercise, postural drainage, dan chest percussion. Breathing exercise, dimana pasien diminta untuk inspirasi melalui hidung dan ekspirasi melalui mulut, teknik ini bertujuan untuk mencapai fungsi normal paru.Postural drainagemerupakan posisi yang dapat membantu untuk mengeluarkan mukus, dimana pasien diposisikan dengan dimiringkan sehingga kepalanya lebih rendah dari dada. Chest percussion dengan cara melibatkan hentakan lembut pada dada dan punggung yang bertujuan untuk melepaskan mukus (Eldridge, L.
2023). Jika gejala tidak membaik dalam waktu 24 jam setelah memulai fisioterapi dada, patut dicurigai atelektasis obstruktif akibat obstruksi dan bronkoskopi fiberoptik direkomendasikan untuklavagesetelah obstruksi dipastikan (Um, B., et al. 2018).
2. Bronkoskopi
Bronkoskopi kaku pada kasus atelektasis dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Bronkoskopi dengan tujuan terapeutik seperti ekstraksi benda asing, pengambilan plak mukus bronkus dan bronkoskopi lavage yang dilakukan bila didapatkan atelektasis dengan banyak sekret mukopurulen (mengaspirasi sekret) (Atag, E., et al.2020).
3. PEEP (positive end-expiratory pressure)
PEEP (positive end-expiratory pressure) adalah intervensi yang digunakan untuk menjaga alveolus tetap terbuka ketika terdapat kondisi medis yang membuat alveolus kolaps. Tekanan akhir ekspirasi positif mempertahankan tekanan jalan napas di atas atmosfer pada akhir ekspirasi. PEEP digunakan untuk pasien yang menggunakan ventilasi mekanis (pernapasan dengan bantuan mesin). Penerapan PEEP pada 5-6 cm H2O selama inisiasi anestesi sebelum intubasi orotrakeal, menghambat atelektasis intraoperative dengan memulihkan oksigenasi, meningkatkan cadangan oksigen, dan memulihkan volume paru-paru di ruang mati. Tekanan H2O sekitar 10 cm dibutuhkan oleh pasien obesitas (Kerna, N., et al. 2021).
4. CPAP (continuous positive airway pressure)
CPAP atau continuous positive airway pressure adalah terapi pemberian aliran udara bertekanan positif ke saluran pernapasan, untuk menjaga patensi jalan napas pada pasien yang masih bisa bernafas secara spontan. Penerapan CPAP pada 5-6 cm H2O selama inisiasi anestesi sebelum intubasi orotrakeal, menghambat atelektasis intraoperative dengan memulihkan oksigenasi, meningkatkan cadangan oksigen, dan memulihkan volume paru-paru di ruang mati. Tekanan H2O sekitar 10 cm dibutuhkan oleh pasien obesitas (Kerna, N., et al. 2021).
5. Recruitment maneuver
Recruitment maneuver adalah strategi yang digunakan dalam pengelolaan ventilasi mekanis pada pasien dengan gangguan pernapasan. Tujuan dari recruitment maneuver adalah untuk mengembangkan dan memperluas bagian paru-paru yang tidak aktif atau terkompresi, sehingga meningkatkan ventilasi dan pertukaran O2-CO2. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tekanan positif di dalam saluran pernapasan untuk membuka dan menjaga area paru yang telah kolaps atau mengalami atelektasis. dilakukan secara manual dengan resusitasi (ambu bag) yang mempunyai batasan tekanan (40 cm H2O) selama 3 menit dan diberikan untuk menjaga SpO2 di atas 90. Recruitment maneuver diterapkan selama 3 menit setiap 2 jam selama satu hari (Purtuloglu, T., et al.
2013).
6. Operasi
Operasi dilakukan bergantung pada underlying disease pasien. Jika atelektasis disebabkan karena tumor maka dapat dilakukan pengambilan dengan prosedur operasi.
Pada atelektasis kronis, pembedahan dapat dilakukan berupa reseksi segmental atau lobektomi (Madappa, T. 2018).
Daftar Pustaka
Assallum, H. et al. 2019. Bronchoscopic installation of DNase to manage refractory lobar atelectasis in a lung cancer patient.ATM. 7(15).
Atag, E., et al. 2020. Etiology, Diagnosis, and Treatment in Childhood Atelectasis.
HAYDARPAŞA NUMUNE MEDICAL JOURNAL. 61(2), pp. 139–144.
Banerjee, S., and McCormack, S. 2019. Acetylcysteine for Patients Requiring Mucous Secretion Clearance: A Review of Clinical Effectiveness and Safety.CADTH.
Grott K, Chauhan S, dan Dunlap JD. Atelectasis. [Updated 2023 Jun 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545316/
Hoeven, S., et al. 2015. Preventive nebulization of mucolytic agents and bronchodilating drugs in invasively ventilated intensive care unit patients (NEBULAE): study protocol for a randomized controlled trial. Biomed Central. 16, pp. 389.
Kerna, N., et al. 2021. Atelectasis: Causes, Consequences,Comorbidities, Pathophysiology, Prevention, and Treatment. EC Pulmonology and Respiratory Medicine. 10(3), pp.
92-104.
Madappa T, Atelectasis. Medscape. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/296468-overview#a5.
Novialdi, N., Fitri, F. and Subroto, H., 2015. Aspirasi benda asing paku dengan komplikasi atelektasis paru dan aspirasi benda asing jarum pentul tanpa komplikasi. Jurnal Kesehatan Andalas,4(2).
Peroni, D.G. and Boner, A.L., 2000. Atelectasis: mechanisms, diagnosis and management.
Paediatric respiratory reviews,1(3), pp.274-278.
Purtuloglu, T., et al. A new treatment modality for unilateral athel ectasis: Recruitment maneuver with endobronchial blocker.Indian Journal of Critical Care Medicine.17(4).
Ray, K., Bodenham, A. and Paramasivam, E., 2014. Pulmonary atelectasis in anaesthesia and critical care. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 14(5), pp.236-245.
Scarlata, S., Rossi Bartoli, I., Pedone, C. and Antonelli Incalzi, R., 2016. Obstructive atelectasis of the lung.Postgraduate Medical Journal,92(1088), pp.365-365.
Schindler, M. 2005. Treatment of atelectasis: where is the evidence?. Critical Care.
Stark, P., Muller, N.L. and Finlay, G., 2020. Atelectasis: Types and pathogenesis in adults. U:
UpToDate, Muller NL ed. UpToDate [Internet]. Waltham, MA: UpToDate.
Summers, C., et al. 2022. Acute Respiratory Failure. Perioperative Medicine.
Um, B., et al. 2018. Diagnosis and treatment of obstructive atelectasis after general anesthesia in a patient with abscess in the maxillofacial area: A case report. Journal of Dental Anesthesia and Pain Medicine. 18(4), pp. 271-275.