• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Moraina Rizkiyani

Academic year: 2024

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA "

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Landasan teori dalam suatu penelitian merujuk pada kerangka konseptual yang digunakan untuk menjelaskan dan menyusun pemahaman tentang fenomena yang diteliti. Landasan teori memberikan dasar pengetahuan yang telah ada dari penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik yang sedang diteliti. Hal ini melibatkan tinjauan literatur yang cermat dan analisis terhadap teori-teori yang relevan serta konsep-konsep yang terkait.

Landasan teori membantu peneliti dalam memahami fenomena yang sedang diteliti, mengidentifikasi hubungan antara variabel-variabel yang terlibat, serta merumuskan hipotesis atau pertanyaan penelitian yang lebih terarah. Selain itu, landasan teori juga dapat digunakan untuk memilih metode penelitian yang sesuai, merancang instrumen pengumpulan data, dan menganalisis hasil penelitian. Dengan membangun landasan teori yang kuat, peneliti dapat memperkuat keabsahan penelitian dan memberikan kontribusi yang berarti terhadap pemahaman ilmiah di bidang yang bersangkutan.

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Kemanan Maritim

Keamanan maritim, sebagai konsep yang kompleks, erat terkait dengan berbagai dimensi tantangan dan masalah global. Salah satu dimensi tersebut adalah hubungan antara keamanan maritim, karbon biru, dan perubahan iklim.

Kerangka yang diusulkan oleh Christian Bueger dalam maritime security konsep, dengan interaksi antara keamanan maritim, karbon biru, dan perubahan iklim, dapat memahami lebih baik kompleksitas dan implikasi potensial bagi kebijakan dan tindakan.

Konektivitas antara teori keamanan maritim oleh Christian Bueger dan strategi blue carbon Indonesia menuju net zero terletak pada kesadaran bahwa

(2)

ekosistem perairan yang sehat dan berkelanjutan memiliki implikasi yang signifikan terhadap stabilitas keamanan maritim.

Hubungan antara keamanan maritim, karbon biru, dan perubahan iklim adalah aspek penting dalam mengelola tantangan global. Keamanan maritim dapat berkontribusi pada keberlanjutan ekosistem karbon biru dengan melawan kegiatan ilegal seperti penangkapan ikan ilegal, polusi, dan ekstraksi sumber daya tanpa izin. Langkah-langkah ini membantu menjaga stok karbon biru dan mengurangi dampak perubahan iklim. Selain itu, melindungi habitat pesisir, termasuk ekosistem karbon biru, melalui keamanan maritim, dapat memperkuat ketahanan komunitas pesisir dan ekosistem terhadap perubahan iklim. Habitat-habitat ini berfungsi sebagai penghalang alami terhadap erosi pesisir, gelombang pasang, dan kenaikan permukaan laut. Dengan mempertahankan kapasitasnya, upaya keamanan maritim membantu mengurangi kerentanan komunitas dan ekosistem terhadap dampak negatif perubahan iklim.

Integrasi pertimbangan karbon biru ke dalam ekonomi biru juga penting dalam hubungan ini. Ekonomi biru yang berkelanjutan memanfaatkan sumber daya laut dengan menjaga konservasi lingkungan. Ekosistem karbon biru menyediakan layanan ekosistem, termasuk penyerapan karbon, yang mendukung pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan. Melalui kerangka keamanan maritim, pertimbangan karbon biru dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan dan praktik ekonomi biru, menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Keamanan maritim, sebagai aspek penting dalam tata kelola global, meliputi berbagai isu terkait keamanan dan keselamatan ruang maritim. Dalam konteks ini, ekosistem karbon biru, termasuk hutan bakau, rumput laut, dan rawa asin, memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dengan menyerap dan menyimpan jumlah karbon dioksida yang signifikan. Memahami hubungan antara keamanan maritim, karbon biru, dan perubahan iklim sangat penting

(3)

untuk mengembangkan kebijakan dan strategi yang efektif dalam mengatasi tantangan yang saling terkait ini.

Salah satu aspek penting dari hubungan ini terletak pada konservasi dan perlindungan ekosistem karbon biru. Inisiatif keamanan maritim dapat berkontribusi pada pelestarian habitat-habitat ini dengan mengatasi kegiatan ilegal seperti ekstraksi sumber daya tanpa izin, polusi, dan penangkapan ikan ilegal. Dengan melawan ancaman-ancaman ini, langkah-langkah keamanan maritim secara tidak langsung melindungi stok karbon biru, memastikan kapasitasnya untuk menyimpan karbon dan dengan demikian membantu dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Secara keseluruhan, hubungan antara keamanan maritim, karbon biru, dan perubahan iklim saling terkait dan saling mempengaruhi. Melalui upaya keamanan maritim, perlindungan ekosistem karbon biru dapat ditingkatkan, ketahanan komunitas pesisir dan ekosistem terhadap perubahan iklim dapat diperkuat, dan pertimbangan karbon biru dapat diintegrasikan ke dalam ekonomi biru yang berkelanjutan.

Memahami dan memanfaatkan hubungan ini penting untuk menjaga keamanan dan keberlanjutan lingkungan maritim dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan menjaga dan mengembangkan ekosistem blue carbon, Indonesia dapat merespons ancaman perubahan iklim yang dapat mempengaruhi stabilitas lingkungan maritim dan ekonomi berbasis laut.

Dengan mempromosikan keberlanjutan ekonomi berbasis laut dan melestarikan sumber daya laut, negara dapat membangun ketahanan dalam menghadapi tantangan keamanan yang terkait dengan perubahan iklim dan degradasi ekosistem laut.

2.1.2 Teori Strategi

Teori strategi (Lykke, 1989) adalah teori yang mengemukakan bahwa strategi terdiri dari tiga unsur yaitu means, ways, dan ends. Means adalah sumber daya atau alat yang digunakan untuk mencapai tujuan. Ways adalah

(4)

cara atau metode yang dipilih untuk mencapai tujuan. Ends adalah tujuan atau hasil yang diinginkan dari strategi. Teori ini dapat diterapkan pada berbagai bidang, termasuk pengelolaan blue carbon.

Blue carbon adalah karbon yang disimpan, diserap, atau dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Pengelolaan blue carbon adalah upaya untuk melindungi, melestarikan, dan memulihkan ekosistem blue carbon agar dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim adalah tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca atau meningkatkan penyerapan karbon di atmosfer. Upaya pemerintah menuju net zero adalah upaya untuk mencapai keseimbangan antara emisi dan penyerapan karbon di atmosfer, sehingga tidak ada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030 dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional.

Untuk membangun strategi blue carbon di Indonesia menuju net zero, yaitu kondisi di mana emisi GRK yang dihasilkan sama dengan emisi GRK yang diserap atau dikurangi, maka perlu diterapkan teori strategi means way ends dengan cara sebagai berikut:

 Ends: Menetapkan tujuan kebijakan Blue carbonyang sesuai dengan komitmen nasional dan internasional Indonesia dalam menangani perubahan iklim, seperti target penurunan emisi GRK sebesar 29%

pada tahun 2030 dan 41% pada tahun 2045, serta target restorasi lahan gambut sebesar 2 juta hektar pada tahun 2020.

 Ways: Merumuskan cara atau metode untuk mencapai tujuan kebijakan dan strategi blue carbon, seperti mengembangkan instrumen hukum dan regulasi, meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, memperkuat kapasitas dan partisipasi

(5)

masyarakat lokal, mengintegrasikan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan sumber daya alam, serta memanfaatkan mekanisme pasar karbon dan pendanaan lingkungan.

 Means: Mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan cara atau metode kebijakan blue carbon, seperti sumber daya manusia, finansial, teknologi, informasi, dan data. Sumber daya ini dapat berasal dari pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, masyarakat sipil, akademisi, donor internasional, maupun masyarakat lokal.

Dengan menggunakan teori strategi means way ends, diharapkan strategi pengelolaan blue carbon di Indonesia dapat dirancang dan dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta memberikan dampak positif bagi mitigasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

2.1.3 Teori Blue Carbon

Gambar 2.1 Sumber blue carbon

Sumber: Deani et all 2022

(6)

Perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini merupakan salah satu tantangan terbesar bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Salah satu penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), di atmosfer akibat aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon oleh berbagai ekosistem.

Salah satu ekosistem yang memiliki peran penting dalam siklus karbon adalah ekosistem pesisir dan laut. Ekosistem ini disebut sebagai Blue carbonatau karbon biru, yaitu karbon yang ditangkap dan disimpan di samudra dan ekosistem pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan di lahan basah pasang surut, seperti hutan yang dipengaruhi pasang surut, bakau, rawa pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup dan sumber karbon biomassa yang tidak hidup.

Konsep Blue carbonmenekankan pentingnya ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali iklim. Ekosistem pantai mangrove, coastal atau karang dalam konsep Blue carbonmemiliki manfaat untuk menyerap emisi gas karbon di atmosfer. Ekosistem Blue carbonyang terdapat di daerah pesisir sangatlah penting, karena dalam jangka panjang penyerapan dan penyimpanan karbon yang baik dan terjaga akan membantu dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Ekosistem Blue carbonmencakup beberapa wilayah seperti hutan mangrove, padang lamun, estuaria/rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang. Ekosistem-ekosistem ini memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dengan kapasitas penyimpanan mencapai lebih dari 50%

total penyimpanan karbon di dalam sedimen laut dan juga memiliki produksi primer bersih (net primary production/ NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem lainnya. Selain itu, ekosistem Blue carbonjuga memberikan manfaat lain bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,

(7)

seperti menyediakan habitat, makanan, bahan baku, perlindungan pantai, penjaga kualitas air, dan jasa-jasa ekologis lainnya.

Selama dua abad terakhir, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dalam atmosfer telah meningkat dengan tajam. Pemanasan yang diproyeksikan sebesar 2-5 °C menjelang tahun 2100 diharapkan akan disebabkan oleh terus meningkatnya konsentrasi GRK yang menyebabkan frekuensi dan intensitas peristiwa ekstrem meningkat (kekeringan, banjir, gelombang panas, atau badai), hilangnya lapisan es di Arktik, kenaikan permukaan air laut, dan kerusakan serta erosi yang semakin parah di daerah pesisir. Selain itu, peningkatan asam laut bersamaan dengan kerentanan ekosistem yang dalam tekanan akan diperburuk (Gattuso dkk., 2015; Hoegh-Guldberg dkk., 2014), dan hal ini dapat membawa dampak yang tidak dapat diubah pada ekosistem laut penting (seperti terumbu karang) beserta layanan-layanan yang terkait.

Meskipun perubahan iklim bersifat global, dampaknya pada masyarakat akan bergantung pada tingkat pembangunan, kerentanan terhadap perubahan ikli m, dan opsi yang tersedia bagi berbagai masyarakat, dengan efeknya lebih berat pada mereka yang sudah rentan (negara-negara miskin, negara kepulauan, masyarakat adat, dan komunitas yang bergantung pada ekosistem yang sehat).

Potensi Blue carbon di Indonesia sangatlah besar yakni mencapai 3.4 Giga Ton (GT) atau sekitar 17% dari Blue carbondunia. Namun, sayangnya ekosistem Blue carbondi Indonesia mengalami ancaman akibat perubahan penggunaan lahan, pencemaran, perusakan, eksploitasi berlebihan, dan dampak perubahan iklim itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk melestarikan dan mengembangkan ekosistem Blue carbondi Indonesia sebagai salah satu solusi alami untuk mitigasi perubahan iklim. Upaya mengurangi emisi menuju netralitas karbon guna menghindari kenaikan suhu sebesar 1,5-2°C di atas tingkat pra-industri (COP 21) adalah perhatian utama untuk mengurangi risiko dan biaya kerusakan serta adaptasi terhadap

(8)

perubahan iklim, yang meningkat tajam seiring dengan kenaikan suhu global (IPCC, 2018). Pengurangan emisi bisa dicapai dengan mengurangi langsung emisi gas rumah kaca serta strategi mitigasi (Peters dkk., 2013). Pengurangan emisi GRK dapat dicapai melalui peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan atau dengan meningkatkan efisiensi energi. Strategi mitigasi dapat mencakup penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di mana CO2 dihasilkan, serta perlindungan dan peningkatan penyerapan karbon alami (Griscom dkk., 2017; Rockström dkk., 2017), yang terakhir didefinisikan sebagai setiap proses, aktivitas, atau mekanisme yang menghapus CO2 dari atmosfer (UNFCCC, 1992).

a. Mangrove

Menurut Bintal (2017) ekosistem mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap sekitar 8 ton CO2e (ekivalen karbon dioksida) per hektar per tahun.

Jumlah ini sekitar 2 hingga 4 kali lebih tinggi daripada nilai yang diamati secara global untuk hutan tropis yang lebat, yaitu sekitar 1.8 hingga 2.7 ton CO2e per hektar per tahun. Penyerapan karbon yang tinggi ini memiliki manfaat signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Mangrove adalah hutan tropis yang tumbuh di daerah pesisir yang terkena pasang surut air laut. Mangrove memiliki adaptasi khusus untuk bertahan hidup di lingkungan yang berubah-ubah, seperti akar nafas, daun tahan garam, dan bakteri simbiosis. Mangrove juga memiliki peran ekologis dan ekonomis yang penting, seperti menyediakan habitat, makanan, bahan baku, perlindungan pantai, penjaga kualitas air, dan jasa-jasa ekosistem lainnya. Salah satu peran mangrove yang sangat penting dalam konteks perubahan iklim adalah sebagai sumber potensi Blue carbonatau karbon biru.

Blue carbonadalah karbon yang ditangkap dan disimpan di samudra dan ekosistem pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan di lahan basah pasang surut, seperti hutan yang dipengaruhi pasang surut, bakau, rawa

(9)

pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup dan sumber karbon biomassa yang tidak hidup.

Mangrove dapat menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar dari atmosfer dan laut. Hal ini dikarenakan mangrove memiliki produktivitas primer yang tinggi, yaitu kemampuan untuk mengubah energi matahari menjadi biomassa melalui fotosintesis. Selain itu, mangrove juga memiliki cadangan karbon yang tinggi di dalam tanahnya, baik di lapisan permukaan maupun di lapisan dalam. Karbon yang tersimpan di dalam tanah mangrove dapat bertahan selama ribuan tahun karena kondisi anaerobik (tanpa oksigen) yang menghambat dekomposisi.

Berdasarkan data-data statistik dan ilmiah yang tersedia, mangrove merupakan salah satu ekosistem blue carbon dengan potensi penyimpanan karbon tertinggi di dunia. Menurut sebuah studi global yang dilakukan oleh Murdiyarso et al. (2023) rata-rata stok karbon total (biomassa dan tanah) oleh ekosistem mangrove adalah 1061 Mg C ha-1 (megagram karbon per hektar), lebih tinggi daripada hutan tropis (250 Mg C ha-1). Stok karbon tanah mangrove mencapai 916 Mg C ha-1 pada kedalaman 300 cm, lebih tinggi daripada padang lamun (253 Mg C ha-1) dan rawa pasang surut (173 Mg C ha-1).

Potensi blue carbon mangrove di Indonesia juga sangat besar mengingat Indonesia memiliki luas mangrove terbesar di dunia, yaitu sekitar 3 juta hektar atau 23% dari total luas mangrove dunia4. Menurut sebuah studi nasional yang dilakukan oleh Sasmito et al. (2020), rata-rata stok karbon total oleh ekosistem mangrove di Indonesia adalah 1020 Mg C ha-1, sedangkan stok karbon tanahnya mencapai 831 Mg C ha-1 pada kedalaman 300 cm. Dengan demikian, diperkirakan bahwa mangrove Indonesia menyimpan sekitar 3,14 Gt C (gigaton karbon) atau sekitar 11% dari total Blue carbondunia.

Namun, sayangnya ekosistem mangrove di Indonesia mengalami ancaman akibat perubahan penggunaan lahan, pencemaran, perusakan,

(10)

eksploitasi berlebihan, dan dampak perubahan iklim itu sendiri. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas mangrove Indonesia mengalami penurunan sebesar 40% dari tahun 1982 hingga 20134.

Hal ini berdampak pada pelepasan emisi karbon dari ekosistem mangrove yang diperkirakan mencapai 0,07-0,21 Gt CO2 e (gigaton karbon dioksida setara) per tahun.

b. Decarbonisasi

Gambar 2.2 Gambar 2.2. Siklus karbon Sumber: Mcandie, et all (2020)

Dekarbonisasi adalah proses menghilangkan atau mengurangi semua emisi karbon buatan manusia, dengan tujuan untuk menghilangkannya dan mencapai nol emisi. Menurut kamus Oxford “dekarbonisasi adalah proses penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah bagi lingkungan”. Dekarbonisasi adalah faktor kunci dalam mengurangi perubahan

(11)

iklim. Tujuannya sederhana, yaitu membatasi emisi karbon dioksida sesegera mungkin. Konsep dekarbonisasi telah ada sejak Perjanjian Paris tahun 2015.

Terdapat kesepakatan oleh puluhan negara untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celcius, atau hingga batas maksimum 1,5 derajat Celcius. Semua ini harus terjadi dengan cepat, yaitu untuk mencapai netralitas CO2 (2030) dan total emisi bersih (2050). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan strategi transisi energi, yaitu perubahan struktural yang menghilangkan karbon dari produksi energi. Transisi energi melibatkan penggantian bahan bakar fosil dengan energi baru terbarukan (EBT), seperti energi matahari, angin, air, biomassa, dan lain-lain.

- Penyerapan karbon

Karbondioksida (CO2) dari atmosfer diambil oleh pohon dan tumbuhan selama proses fotosintesis. Sebagian dari CO2 ini kemudian dilepaskan kembali ke atmosfer melalui respirasi tanaman dan tanah. Daun mati, ranting, kulit kayu, dan akar yang mengandung karbon terkubur di sedimen, yang sering tergenang oleh air laut. Proses pembusukan dan dekomposisi bahan tumbuhan melambat karena ketersediaan oksigen yang sangat rendah di dalam sedimen. Karbon yang terkubur dalam bahan tumbuhan dapat tetap tersimpan (tersekuestrasi) di dalam sedimen selama beberapa dekade hingga abad, menyebabkan penghilangan karbon dioksida yang signifikan dari atmosfer, dengan demikian mengurangi dampak perubahan iklim.

- Pelepasan karbon

Gangguan yang mengungkapkan karbon yang terkubur ke atmosfer, seperti penggalian, penyedotan, siklon, tsunami, dan lain sebagainya, menyebabkan pelepasan karbon yang tersimpan kembali ke atmosfer dengan cepat dalam bentuk karbon dioksida dan metana (CH4).

(12)

Gambar 2.3 Siklus karbon dalam mangrove Sumber:

Konektivitas antara teori karbonisasi dengan strategi pengelolaan blue carbon Indonesia menuju net zero adalah teori karbonisasi dapat memberikan dasar ilmiah untuk memahami proses penyerapan dan penyimpanan karbon oleh ekosistem Blue carbon di Indonesia. Dengan mengetahui mekanisme kimia dan fisika yang terlibat dalam karbonisasi zat organik, dapat ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dan efektivitas Blue carbonsebagai mitigasi perubahan iklim. Teori karbonisasi dapat memberikan metode untuk mengukur dan mengestimasi potensi Blue carbondi Indonesia. Dengan menggunakan teknik analisis seperti pirolisis atau destilasi destruktif, dapat ditentukan jumlah cadangan karbon, laju penyerapan karbon, dan nilai ekonomi Blue carbonyang ada di ekosistem pesisir Indonesia. Hal ini dapat membantu dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan Blue carbonyang sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

(13)

Teori karbonisasi dapat memberikan inspirasi untuk mengembangkan teknologi pelestarian dan restorasi ekosistem Blue carbondi Indonesia.

Dengan menggunakan prinsip-prinsip karbonisasi, dapat diciptakan inovasi- inovasi yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas Blue carbon di Indonesia. Misalnya, dengan menggunakan bahan-bahan organik yang dapat dikarbonisasi sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan kesuburan tanah di daerah pesisir; atau dengan menggunakan biomassa kulit durian sebagai bahan bakar alternatif yang dapat menghasilkan arang dengan nilai kalor tinggi. Dekarbonisasi adalah konsep yang penting dan mendesak untuk dilakukan dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Dekarbonisasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai warga dunia. Dekarbonisasi juga bukan hanya beban, tetapi juga peluang untuk menciptakan ekonomi hijau dan berkelanjutan, yang lebih sehat, adil, dan sejahtera.

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Sub-bab ini berisi beberapa kajian yang terkait dan telah dilaksanakan sebelumnya. Dari kajian-kajian tersebut akan membantu proses penulisan dan analisis dalam penelitian ini. Selain itu, dari kajian-kajian sebelumnya tersebut akan diperoleh perbandingan untuk menilai kebaruan (novelty) penelitian ini.

Untuk mempermudah pemahaman, penulis akan menyajikannya dalam sebuah tabel perbandingan. Peneliti menemukan 10 publikasi ilmiah yang memiliki kesesuaian topik dengan penelitian ini. Berikut akan di uraikan 10 penelitian yang relevan:

2.2.1 Diah Apriani Atika Sari (2021)

Blue carbon in national policy to reduce greenhouse gas emissions

Penulis artikel tersebut adalah Diah Apriani Atika Sari, Okid Parama Astirin, Anti Mayastuti, dan Anugrah Adiastuti. Tujuan penelitian tersebut

(14)

adalah untuk mengetahui sejauh mana karbon biru telah dimasukkan dalam kebijakan pemerintah Indonesia, khususnya dalam dokumen inventarisasi GRK (Gas Rumah Kaca) dan dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia, terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi GRK. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Bahan literatur yang digunakan meliputi konvensi atau perjanjian internasional terkait dan literatur berupa buku, jurnal, serta bahan pendukung lainnya seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain yang memberikan petunjuk tentang bahan-bahan yang digunakan sebagai data sebelumnya.

Hasil utama dan temuan penelitian tersebut adalah bahwa ekosistem karbon biru, yang meliputi mangrove, padang lamun, dan ekosistem pesisir lainnya, memiliki potensi sekuensing karbon yang sangat besar jika dibandingkan dengan hutan tropis, tetapi sayangnya, potensi karbon biru belum dimanfaatkan secara maksimal dalam kebijakan nasional terkait pengurangan emisi GRK. Kebijakan-kebijakan yang ada belum diimplementasikan secara optimal dan sebagian di antaranya tumpang tindih.

Kesimpulan dan implikasi penelitian tersebut adalah bahwa potensi karbon biru setelah perhitungan yang tepat perlu dimasukkan dalam dokumen inventarisasi GRK nasional dan dokumen NDC berikutnya untuk mencapai target optimis pengurangan emisi GRK nasional. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memasukkan karbon biru sebagai dasar perhitungan sekuensing karbon dalam dokumen RAN GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) dan NDC saat ini.

(15)

2.2.2 Nathalie Hilmi (2021)

The Role of Blue Carbon in Climate Change Mitigation and carbon Stock Conservation

Penulis artikel tersebut adalah Nathalie Hilmi, Ralph Chami, Michael D.

Sutherland, Jason M. Hall-Spencer, Lara Lebleu, Maria Belen Benitez dan Lisa A. Levin. Mereka berasal dari berbagai lembaga penelitian dan akademik di Monaco, Amerika Serikat, Trinidad dan Tobago, Inggris, Jepang dan Skotlandia. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk membahas peran karbon biru dalam mitigasi perubahan iklim dan konservasi stok karbon. Karbon biru adalah karbon yang disimpan dan disekuestrasi oleh ekosistem laut alami.

Artikel ini memperluas pembahasan laporan IPCC tentang sumber dan sumur karbon biru di ekosistem pesisir, laut terbuka dan laut dalam, serta menyoroti manfaat dan tantangan dalam mengukur, menilai, mengelola dan mengatur karbon biru.

Metode penelitian yang digunakan adalah tinjauan literatur yang komprehensif dan kritis tentang topik karbon biru dari berbagai perspektif ekologis dan ekonomis. Artikel ini menggunakan desain kualitatif untuk menyajikan informasi terkini dan relevan tentang karbon biru dari berbagai sumber primer dan sekunder. Sampel artikel yang ditinjau mencakup publikasi ilmiah, laporan teknis, dokumen kebijakan dan media masa. Instrumen yang digunakan adalah kriteria seleksi yang ketat untuk memastikan kualitas dan validitas artikel yang ditinjau. Prosedur yang digunakan adalah analisis isi tematik untuk mengidentifikasi tema-tema utama dan subtema dalam literatur karbon biru. Analisis data yang digunakan adalah sintesis naratif untuk mengintegrasikan temuan dari berbagai sumber dan menyajikannya dalam bentuk ringkasan yang koheren dan logis.

Hasil utama dan temuan penelitian tersebut adalah karbon biru memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim dengan menyimpan karbon dalam biomassa dan sedimen laut, serta mengurangi emisi

(16)

karbon dari degradasi atau kerusakan ekosistem laut. Karbon biru juga memberikan manfaat lain selain iklim, seperti perlindungan badai, peningkatan kualitas air, keanekaragaman hayati dan perikanan, serta kesejahteraan sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Karbon biru menghadapi tantangan dalam hal pengukuran, penilaian, pengelolaan dan pengaturan karbon di ekosistem pesisir, laut terbuka dan laut dalam. Beberapa tantangan ini meliputi variabilitas dampak ekosistem, ketidakpastian aliran dan lintasan karbon, metode valuasi dan strategi tata kelola. Karbon biru membutuhkan tindakan kebijakan untuk mengembangkan pasar modal alam, serta koordinasi global.

Upaya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan tantangan ini dapat membantu menjaga dan memanfaatkan potensi sistem laut alami untuk menyimpan karbon dan membantu melawan perubahan iklim. Kesimpulan dan implikasi penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Karbon biru adalah konsep penting yang harus dimasukkan ke dalam strategi mitigasi dan konservasi stok karbon di tingkat lokal, nasional dan global. Karbon biru memerlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekologis dan ekonomis dari penyimpanan karbon di laut, serta mempertimbangkan manfaat bersama dan biaya sosial dari tindakan mitigasi. Karbon biru memerlukan kerjasama lintas sektoral antara pemerintah, masyarakat lokal, sektor swasta, lembaga penelitian dan organisasi internasional untuk meningkatkan kesadaran, kapasitas, pembiayaan dan tata kelola karbon biru. Karbon biru memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengurangi ketidakpastian ilmiah tentang sumber dan sumur karbon biru, serta untuk mengembangkan metode dan alat yang inovatif untuk mengukur, menilai, mengelola dan mengatur karbon biru.

2.2.3 Peter I. Macreadie (2019)

The future of blue carbon science

Penulis artikel ini adalah Peter I. Macreadie dan beberapa peneliti lain yang terlibat dalam bidang ilmu Karbon Biru (Blue carbon). Tujuan penelitian

(17)

ini adalah untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan sepuluh pertanyaan penting dalam ilmu Karbon Biru yang berkaitan dengan peran ekosistem pesisir bervegetasi dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dan analisis kualitatif. Peneliti mengundang 50 ilmuwan dari penulis senior dan terkemuka 50 makalah yang paling banyak dikutip tentang ilmu Karbon Biru untuk berkontribusi dengan pertanyaan mereka. Kemudian, peneliti mengelompokkan pertanyaan- pertanyaan tersebut ke dalam sepuluh tema yang menjadi dasar untuk merumuskan pertanyaan penelitian.

Hasil utama dan temuan penelitian ini adalah sepuluh pertanyaan penelitian yang mencakup berbagai aspek ilmu karbon biru, seperti dampak perubahan iklim, gangguan, sumber dan nasib karbon organik, luas dan distribusi ekosistem, siklus karbon anorganik dan organik, fluktuasi gas rumah kaca, ketidakpastian dalam valuasi, dan tindakan manajemen yang efektif.

Kesimpulan dan implikasi penelitian ini adalah bahwa ilmu Karbon Biru masih memiliki banyak tantangan dan kesenjangan pengetahuan yang perlu ditangani untuk memperkuat kerangka ilmiahnya dan memberikan informasi yang relevan untuk kebijakan dan manajemen. Peneliti menyarankan agar ada program penelitian komprehensif yang dapat mengintegrasikan temuan baru dengan kritik, dan menetapkan agenda penelitian yang jelas untuk kemajuan di masa depan.

2.2.4 Wawan Pembengo (2021)

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Blue Carbon Sebagai Aksi Mitigasi Iklim Guna Membangun Ketahanan Blue Economy Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Blue carbonSebagai Aksi Mitigasi Iklim Guna Membangun Ketahanan Blue Economy Di Masyarakat Pesisir Peneliti yang melakukan penelitian ini adalah Wawan Pembengo, Sutrisno Hadi Purnomo, dan Suyono Dude dari Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia. Mereka berafiliasi dengan Jurnal Sibermas (Sinergi Pemberdayaan

(18)

Masyarakat) yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Gorontalo.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengimplementasikan program Blue carbondan Blue Economy sebagai aksi mitigasi iklim guna membangun ketahanan ekonomi masyarakat pesisir di desa Panca Karsa 2, Taluditi, Pohuwato, Gorontalo. Program Blue carbonmeliputi restorasi dan pelestarian ekosistem mangrove dan lamun, sedangkan program Blue Economy meliputi teknik hidroponik dari sampah plastik dan teknik vertikultur.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan partisipatif. Peneliti melakukan survei awal, pelatihan dan pembinaan, serta analisis kelayakan ekonomi program. Penelitian ini dilakukan dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Universitas Negeri Gorontalo yang melibatkan 29 mahasiswa dari berbagai program studi dan 3 dosen pembimbing lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program Blue Economy dapat meningkatkan ketahanan ekonomi. Selain itu, program Blue carbondapat mengukur potensi dan kontribusi masyarakat dalam upaya mitigasi iklim melalui aksi-aksi lokal yang spesifik. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa penerapan program Blue carbondan Blue Economy dapat terintegrasi dengan kegiatan pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan masyarakat di tingkat lokal dengan memperhatikan faktor risiko iklim dan dampak perubahan iklim yang mungkin terjadi. Program ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan pangan masyarakat pesisir serta membantu dalam hal mitigasi iklim.

2.2.5 Mark Chatting (2022)

Future Mangrove Carbon Storage under Climate Change and Deforestation

Hasil artikel ini menemukan bahwa emisi dari deforestasi mangrove akan lebih rendah daripada kenaikan stok karbon mangrove akibat perubahan iklim, jika asumsi deforestasi mangrove tetap konstan dari tahun 2012 hingga

(19)

2095. Artikel ini menyarankan bahwa konservasi dan restorasi mangrove dapat memberikan manfaat karbon bagi negara-negara yang memiliki stok karbon mangrove tinggi dan berisiko kehilangan stok karbon akibat perubahan iklim.

Relevansinya dengan penelitain “strategi pengelolaan blue carbon di Indonesia untuk memitigasi climate change” adalah dapat memberikan informasi tentang proyeksi stok dan laju sekestrasi karbon mangrove Indonesia di masa depan, yang dapat menjadi dasar untuk merumuskan kebijakan Blue carbonIndonesia yang efektif dan berkelanjutan. Sedangkan perbedaanya bersifat global dan komprehensif serta menggunakan metode kuantitatif.

2.2.6 Dorothée Herr, Moritz von Unger, Dan Laffoley, dan Alexis McGivern. (2016)

Pathways for implementation of blue carbon initiatives

Artikel yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang implementasi inisiatif blue carbon. Penulis artikel ini adalah Dorothée Herr, Moritz von Unger, Dan Laffoley, dan Alexis McGivern. Mereka adalah para ahli yang terkait dengan Program Global Marine and Polar IUCN, Silverstrum Climate Associates LLC, dan World Commission of Protected Areas IUCN. Metode penelitian ini memanfaatkan hasil dari National Blue Carbon Policy Assessments (NBCPAs) yang dilakukan di lima negara sebagai bagian dari UNEP/GEF Blue Forests Project. Informasi dari studi kasus di Ekuador, Indonesia, Madagaskar, Mozambik, dan Uni Emirat Arab juga digunakan dalam artikel ini.

Hasil penelitian dari artikel ini menyampaikan bahwa kegiatan blue carbon pesisir sedang diimplementasikan oleh berbagai negara dengan pendekatan yang berbeda-beda. Regulasi yang ada, termasuk perlindungan pesisir, masih merupakan alat yang sangat berguna untuk melindungi dan melestarikan hutan bakau, padang lamun, dan rawa air laut, serta menjaga nilai dan peran karbonnya. Namun, pendekatan ini masih menghadapi

(20)

masalah "tradisional" seperti kurangnya penegakan hukum, kendala manusia dan keuangan, serta mandat pemerintah yang tidak jelas atau menyesatkan.

Artikel ini juga mencatat bahwa pendekatan proyek karbon berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi pemangku kepentingan melalui program insentif langsung atau tidak langsung telah mencapai kesuksesan.

Pendekatan manajemen zona pesisir yang komprehensif juga menunjukkan potensi yang sangat baik, tetapi keberhasilannya secara keseluruhan, terutama dalam hal mitigasi karbon, masih perlu dilaporkan. Artikel ini juga menyebutkan bahwa Perjanjian Paris telah memperkenalkan alat-alat baru yang dapat digunakan untuk mendorong upaya adaptasi dan mitigasi pesisir yang lebih baik. Namun, rincian implementasi dari alat-alat ini masih dalam tahap negosiasi dan dampaknya baru dapat diharapkan dalam beberapa tahun mendatang.

Persamaan dengan penelitian "Strategi Pengelolaan Blue Carbon Indonesia Menuju Net Zero" adalah keduanya berkaitan dengan isu yang sama, yaitu implementasi inisiatif blue carbon. Penelitian "Strategi Pengelolaan Blue Carbon Indonesia Menuju Net Zero" kemungkinan memiliki fokus yang lebih khusus pada strategi pengelolaan blue carbon di Indonesia dan upaya mencapai net zero emisi.

2.2.7 Kasta Rosyada (2021)

Potensi Blue carbon dalam Penanganan Perubahan Iklim Guna Menunjang Keamanan Maritim Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi blue carbon sebagai upaya mitigasi dan adaptasi pada sektor kelautan dapat menjadi kontribusi utama bagi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim. Indonesia memiliki potensi karbon biru yang penting bagi dunia, namun hal tersebut belum didukung oleh penelitian dan pengembangan serta kesediaan data lebih lanjut terhadap potensi Blue carbon. Relevansinya dengan topic peneliti adalah dapat memberikan gambaran tentang potensi dan tantangan Blue carbon di

(21)

Indonesia serta memberikan rekomendasi untuk meningkatkan koordinasi antar kementerian dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan berkelanjutan ekosistem pesisir dan laut.

2.2.8 Micheli Duarte de Paula Costa dan Peter I. Macreadie (2022) The Evolution of Blue carbonScience

Penelitian ini bertujuan untuk mengulas perkembangan ilmu Blue carbondari masa lalu hingga masa kini, serta menyoroti tantangan dan peluang yang ada untuk masa depan. Penelitian ini mengidentifikasi empat fase utama dalam evolusi ilmu Blue carbon, yaitu:

- Fase 1: Pengenalan konsep Blue carbon (1980-2009). Pada fase ini, ilmuwan mulai menyadari bahwa ekosistem pesisir, seperti mangrove, lamun, dan rawa payau, memiliki peran penting dalam siklus karbon global dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa studi awal menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dapat menyerap dan menyimpan karbon dengan laju yang tinggi dan jangka waktu yang lama.

- Fase 2: Pengembangan metodologi Blue carbon (2010-2014). Pada fase ini, ilmuwan mulai mengembangkan metodologi untuk mengukur dan mengestimasi potensi Blue carbondi berbagai lokasi dan skala.

Beberapa metode yang dikembangkan antara lain: inventarisasi dan pemetaan ekosistem pesisir, analisis stok karbon di tanah dan biomassa, perhitungan emisi gas rumah kaca dari degradasi ekosistem pesisir, serta pengembangan skenario dan model proyeksi Blue carbon.

- Fase 3: Implementasi kebijakan Blue carbon (2015-2019). Pada fase ini, ilmuwan mulai menerapkan hasil penelitian Blue carbonuntuk mendukung pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan terkait dengan pelestarian dan restorasi ekosistem pesisir. Beberapa kebijakan yang diimplementasikan antara lain: integrasi Blue carbondalam kontribusi nasional yang ditentukan sendiri (NDC) dalam kerangka Paris Agreement, pengembangan mekanisme pasar karbon untuk Blue

(22)

carbon, seperti voluntary carbon market (VCM), REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), dan NAMA (Nationally Appropriate Mitigation Actions), serta pembentukan jaringan kerjasama regional dan global untuk Blue carbon.

- Fase 4: Inovasi teknologi Blue carbon (2020-sekarang). Pada fase ini, ilmuwan mulai mengembangkan inovasi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan Blue carbon.

Beberapa inovasi teknologi yang dikembangkan antara lain:

penggunaan sensor jarak jauh dan drone untuk pemantauan ekosistem pesisir, penggunaan biochar sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan kesuburan tanah di daerah pesisir, penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan toleransi stres pada tanaman pesisir, serta penggunaan aplikasi digital untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Blue carbon.

Penelitian ini relevan dengan penelitian “membangun kebijakan Blue carbonIndonesia menuju net zero” karena dapat memberikan gambaran umum tentang perkembangan ilmu Blue carbondi dunia, serta tantangan dan peluang yang ada untuk masa depan. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti untuk mengetahui konsep, metodologi, kebijakan, dan teknologi terkait dengan Blue carbon, serta untuk mengadaptasi dan mengaplikasikannya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia. Penelitian ini juga dapat menjadi inspirasi bagi peneliti untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan potensi dan fungsi Blue carbondi Indonesia sebagai mitigasi perubahan iklim.

(23)

2.2.9 Suhaib A. Bandh, Fayaz A. Malla, Irteza Qayoom, Haika Mohi-Ud- Din, Aqsa Khursheed Butt, Aashia Altaf, Shahid A. Wani, Richard Betts, Thanh Hai Truong, Nguyen Dang Khoa Pham, Dao Nam Cao, Shams Forruque Ahmed, Elena Cristina Rada, Ho Chi Minh, (2023) Importance of Blue carbonin Mitigating Climate Change and Plastic/Microplastic Pollution and Promoting Circular Economy.

Artikel ilmiah yang ditulis oleh beberapa penulis dari berbagai negara dan lembaga. Artikel ini dipublikasikan pada tahun 2023. Artikel ini memberi kan gambaran tentang habitat Blue carbon, peran ekosistem Blue carbondalam mitigasi polusi plastik/mikroplastik, serta pemanfaatan sumber daya Blue carbonuntuk produksi bahan bakar bio. Artikel ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh habitat Blue carbon, dan mengusulkan solusi berbasis alam untuk melindungi dan meningkatkan kemampuan laut untuk menyimpan karbon dan melawan perubahan iklim. Spatiotemporal distribution of blue carbon ecosystems: Bagian ini menjelaskan sebaran ruang dan waktu dari ekosistem karbon biru seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa asin di berbagai wilayah dunia. Bagian ini juga mengungkapkan tingkat kerusakan dan ancaman yang dihadapi oleh ekosistem karbon biru akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia. Blue carbonpolicy and management: Bagian ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan untuk melindungi dan mengembalikan ekosistem karbon biru serta memaksimalkan manfaatnya bagi lingkungan dan masyarakat. Bagian ini juga menekankan pentingnya kerjasama lintas sektor dan negara dalam pengelolaan karbon biru.

Penelitian ini relevan dengan penelitian “strategi pengelolaan blue carbon Indonesia Menuju Net zero” karena keduanya membahas tentang potensi dan tantangan blue carbon sebagai solusi untuk mencapai target net zero. Net zero adalah kondisi di mana emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer seimbang dengan jumlah yang diserap oleh sumur karbon. Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara tidak bersyarat

(24)

sebesar 29% dan secara bersyarat (dengan dukungan internasional) sebesar 41% dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030.

Indonesia juga memiliki visi jangka panjang untuk mencapai pembangunan rendah karbon dan tahan iklim pada tahun 2050.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia membutuhkan kebijakan yang mendukung konservasi dan restorasi ekosistem Blue carbon, yang merupakan sumur karbon alami yang penting. Kebijakan ini harus mempertimbangkan aspek ekologis, ekonomis, sosial, dan budaya dari masyarakat pesisir dan laut yang bergantung pada ekosistem Blue carbon. Kebijakan ini juga harus berkoordinasi dengan kebijakan lain yang berkaitan dengan pengelolaan sampah plastik/mikroplastik, pengembangan ekonomi sirkular, dan pemanfaatan energi terbarukan.

2.2.10 Ines Ayostina, Lucentezza Napitupulu, Barakalla Robyn, dan Cynthia Maharani (2022)

Network Analysis of Blue Carbon Governance Process in Indonesia Artikel ini membahas tentang proses pengelolaan blue carbon di Indonesia dengan menggunakan metode analisis jaringan sosial (social network analysis). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi hambatan dalam proses pengelolaan blue carbon dan pengembangan kebijakan serta menjelaskan pentingnya jaringan dalam proses pengelolaan blue carbon. Metode penelitian yang digunakan adalah kombinasi antara analisis jaringan sosial secara kuantitatif dan wawancara semi-terstruktur dengan perwakilan dari berbagai organisasi terkait. Melalui kuesioner dan wawancara, data diperoleh untuk menganalisis pola pertukaran informasi dan interaksi antar aktor dalam jaringan pengelolaan blue carbon.

Hasil penelitian menunjukkan beberapa temuan penting. Pertama, aktor yang bertanggung jawab atas pemenuhan komitmen iklim, yang merupakan tujuan umum jaringan, tidak menjadi aktor pusat dalam jaringan. Kedua, aktor dengan tingkat sentralitas tertinggi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah

(25)

dari aktor lainnya. Ketiga, secara keseluruhan, jaringan memiliki hubungan yang berkualitas rendah. Ketiga faktor ini menghambat kemampuan penyedia pengetahuan untuk berpengaruh dalam pengembangan kebijakan.

Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian "Strategi Pengelolaan Blue Carbon Indonesia Menuju Net Zero" dalam konteks pengelolaan blue carbon di Indonesia. Keduanya menyoroti pentingnya pengelolaan ekosistem blue carbon dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Selain itu, keduanya juga menekankan pentingnya menghubungkan pengetahuan ilmiah dengan kebijakan dan mengatasi hambatan sosial dalam proses pengambilan keputusan.

2.2.11 Phebe I. Rowland, Valerie Hagger, Catherine E. Lovelock (2022) Opportunities for Blue carbon restoration projects in degraded agricultural land of the coastal zone in Queensland, Australia Artikel ini membahas lahan basah pesisir adalah sumber dan penampung penting dari karbon biru, yang merupakan karbon yang disimpan di ekosistem laut dan pesisir. Proyek restorasi karbon biru dapat membantu mengurangi perubahan iklim, melestarikan keanekaragaman hayati, meningkatkan kualitas air, dan mendukung mata pencaharian. Lahan pertanian yang terdegradasi di pesisir Queensland telah kehilangan vegetasi lahan basah asli dan karbon tanahnya akibat penebangan lahan, drainase, dan pertanian intensif. Lahan-lahan ini mewakili peluang bagi proyek restorasi karbon biru yang dapat mengembalikan fungsi lahan basah dan menghasilkan sumber pendapatan baru bagi pemilik lahan.

Studi ini menyoroti kelayakan dan tantangan dalam melaksanakan proyek restorasi karbon biru di lahan pertanian terdegradasi, seperti masalah kepemilikan lahan, konflik penggunaan lahan, insentif ekonomi, penerimaan sosial, dan risiko ekologis. Memberikan wawasan berharga tentang potensi pengembalian lahan basah pesisir dari lahan pertanian yang terdegradasi untuk meningkatkan penyimpanan karbon biru dan menyediakan layanan

(26)

ekosistem lainnya. Karbon biru adalah karbon yang disimpan di ekosistem laut dan pesisir seperti hutan bakau, rumput laut, dan rawa garam, yang dapat membantu mengurangi perubahan iklim, melestarikan keanekaragaman hayati, meningkatkan kualitas air, dan mendukung mata pencaharian.

(27)

2.2.12 Chongming Zhong, Tangcheng Li, Ran Bi, Edmond Sanganyado, Jiahong Huang, Shuangcheng Jiang, Zezhi Zhang, dan Hong Du (2023) A systematic overview, trends and global perspectives on Blue carbon: A bibliometric study (2003–2021)

Hasil dari penelitain ini adalah mangrove, lamun, dan rawa garam adalah ekosistem karbon biru utama (BCE) yang paling banyak diteliti, dan penyerapan karbon mangrove adalah area penelitian sentral yang paling populer. Fitoplankton dan mikroalga memiliki peran penting dalam siklus karbon laut dan pemanfaatan bioenergi, sedangkan mekanisme transportasi karbon lamun dan makroalga kurang diteliti. Membahas tentang potensi dan tantangan karbon biru sebagai solusi berbasis alam untuk mitigasi perubahan iklim.Memberikan gambaran umum tentang perkembangan dan tren penelitian karbon biru di dunia, lebih fokus pada aspek ilmiah dan teknis dari karbon biru.

(28)

No. Nama, Tahun, Judul Konsep, Teori, dan

Metodologi Hasil Penelitian Perbedaan Relevansi

1. Calvyn F.A Sondak, 2015, Estimasi Potensi Penyerapan Karbon Biru oleh Hutan Mangrove Sulawesi Utara

Konsep: Blue carbon Metodologi: Kualitatif

Hasil artikel ini menemukan bahwa Hutan mangrove di Sulawesi Utara berpotensi menyerap 1,169,141 ton Ceq dan 4,290,747 ton CO2eq

Fokus pada estimasi potensi penyerapan karbon biru oleh hutan mangrove di Sulawesi Utara

Membahas tentang peran ekosistem mangrove sebagai penyimpan karbon biru yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca.

2. Mark Chatting, 2022, Future Mangrove Carbon Storage Under Climate Change and Deforestation

Konsep: Blue carbon Metodelogi: Kuantitatif

Hasil artikel ini menemukan bahwa emisi dari deforestasi mangrove akan lebih rendah daripada kenaikan stok karbon mangrove akibat perubahan iklim, jika asumsi deforestasi mangrove tetap konstan dari tahun 2012 hingga 2095. Artikel ini menyarankan bahwa konservasi dan restorasi mangrove dapat memberikan manfaat karbon bagi negara-negara yang memiliki stok karbon mangrove tinggi dan berisiko kehilangan stok karbon akibat perubahan iklim.

Bersifat global dan komprehensif serta menggunakan metode kunatitaif

Memberikan informasi tentang proyeksi stok dan laju sekestrasi karbon mangrove Indonesia di masa depan, yang dapat menjadi dasar untuk merumuskan kebijakan Blue carbonIndonesia yang efektif dan berkelanjutan.

3. Nathalie Hilmi, 2021, The Role of Blue carbonin Climate

Konsep: Blue carbon Metodologi: Kualitatif

Hasil artikel ini menemukan bahwa ekosistem karbon biru memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dan

Mencakup berbagai jenis ekosistem karbon biru di zona pesisir, laut

Memberikan wawasan bagi pembuat kebijakan, peneliti, praktisi, dan

(29)

Change Mitigation and Carbon Stock Conservation

konservasi stok karbon, tetapi masih Hasil artikel ini menemukan bahwa menghadapi berbagai kendala seperti variabilitas dampak ekosistem, ketidakpastian aliran dan lintasan karbon, metode penilaian, dan strategi tata kelola, menekankan bahwa pelestarian, perlindungan, dan restorasi ekosistem karbon biru harus menjadi bagian integral dari rencana mitigasi dan konservasi stok karbon.

terbuka, dan laut dalam, juga lebih mendalam dalam membahas aspek ekologis dan ekonomis dari karbon biru

masyarakat tentang pentingnya karbon biru sebagai solusi alami

untuk mitigasi

perubahan iklim, kerangka konseptual dan analitis yang luas tentang karbon biru di tingkat global.

Menginspirasi upaya-

upaya untuk

meningkatkan

kerjasama, koordinasi, dan partisipasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan karbon biru.

4. Linwood Pendleton, 2012, Estimating Global ‘‘Blue carbon’’

Emissions from

Konsep: Blue carbon Teori: Biogeokimia Metodologi: Kuantitaif

Hasil artikel ini menemukan bahwa konversi dan degradasi ekosistem pesisir bervegetasi setiap tahun dapat melepaskan antara 0,15 hingga 1,02 Pg (miliar ton) CO2 ke atmosfer, dengan perkiraan tengah sebesar 0,45 Pg

Menggunakan data spasial dan statistik nasional untuk mengestimasi stok dan laju perubahan Blue

Memberikan gambaran lebih detail dan kontekstual tentang

Blue carbondi

Indonesia, serta

(30)

Conversion and Degradation of Vegetated Coastal Ecosystems

CO2. Emisi ini setara dengan 3-19% dari emisi global akibat deforestasi, dan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar US$ 6-42 miliar per tahun. Artikel ini juga menunjukkan bahwa emisi Blue carbonbelum dimasukkan dalam akuntansi atau protokol pasar karbon, padahal memiliki potensi besar untuk mitigasi perubahan iklim.

carbon, serta menganalisis faktor- faktor penyebab konversi dan degradasi ekosistem pesisir bervegetasi.

memberikan masukan

bagi pengambil

keputusan untuk memanfaatkan Blue carbonsebagai salah satu instrumen mitigasi perubahan iklim

5. Kasta Rosyada, 2021,

Potensi Blue

carbondalam Penanganan

Perubahan Iklim Guna Menunjang Keamanan Maritim Indonesia

Konsep:

Blue carbon

Climate Change Teori: Keamanan Maritim Metodologi: Deskriptif Kualitatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi Blue carbonsebagai upaya mitigasi dan adaptasi pada sektor kelautan dapat menjadi kontribusi utama bagi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.

Indonesia memiliki potensi karbon biru yang penting bagi dunia, namun hal tersebut belum didukung oleh penelitian dan pengembangan serta kesediaan data lebih lanjut terhadap potensi Blue carbon.

Lebih berfokus pada aspek keamanan maritim dan dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan pesisir.

Memberikan gambaran tentang potensi dan tantangan Blue carbondi Indonesia serta memberikan

rekomendasi untuk meningkatkan

koordinasi antar kementerian dan pemangku kepentingan

lainnya dalam

pengelolaan

berkelanjutan ekosistem pesisir dan laut.

(31)

6. Micheli Duarte de Paula Costa dan Peter I.

Macreadie, 2022, The Evolution of Blue carbonScience

Konsep: Blue carbon Metodologi: Kuantitatif

Hasil penelitain menunjukan ledakan sitasi menunjukkan bahwa topik panas pada tahun 1990-an adalah terkait dengan fluks dan dinamika karbon secara keseluruhan, dengan transisi ke peran vegetasi pesisir untuk mitigasi perubahan iklim sejak tahun 2009. Istilah “Blue carbon” menjadi topik panas pada tahun 2017, dengan ledakan sitasi terkuat antara tahun 2017 dan 2020.

menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai penyimpan Blue carbonterbesar di dunia, tetapi belum memasukkan

ekosistem Blue carbondalam strategi mitigasi atau adaptasi perubahan iklimnya.

Artikel ini berfokus pada aspek ilmiah dan bibliometrik dari Blue carbon.

7. Chongming Zhong, Tangcheng Li, Ran Bi, Edmond Sanganyado, Jiahong Huang, Shuangcheng Jiang, Zezhi Zhang, dan Hong Du, 2023, A systematic overview, trends and global perspectives on Blue carbon: A bibliometric study (2003–2021)

Konsep: Blue carbon Metodologi: Kuantitaif

Mangrove, lamun, dan rawa garam adalah ekosistem karbon biru utama (BCEs) yang paling banyak diteliti, dan penyerapan karbon mangrove adalah area penelitian sentral yang paling populer. Fitoplankton dan mikroalga memiliki peran penting dalam siklus karbon laut dan pemanfaatan bioenergi, sedangkan mekanisme transportasi karbon lamun dan makroalga kurang diteliti.

Membahas tentang potensi dan tantangan karbon biru sebagai solusi berbasis alam untuk mitigasi perubahan iklim.

Memberikan gambaran

umum tentang

perkembangan dan tren penelitian karbon biru di dunia, lebih fokus pada aspek ilmiah dan teknis dari karbon biru.

(32)

8. Suhaib A. Bandh, Fayaz A. Malla, Irteza Qayoom, Haika Mohi-

Ud-Din, Aqsa

Khursheed Butt, Aashia Altaf, Shahid A. Wani, Richard Betts, Thanh Hai Truong, Nguyen Dang Khoa Pham, Dao Nam Cao, Shams Forruque Ahmed, Elena Cristina Rada, Korea Institute of Fusion Energy, Ho Chi

Minh, 2023,

Importance of Blue carbonin Mitigating Climate Change and Plastic/Microplastic Pollution and Promoting Circular Economy.

Konsep: Blue carbon Metodologi: Kualitatif

Spatiotemporal distribution of Blue carbonecosystems: Bagian ini menjelaskan sebaran ruang dan waktu dari ekosistem karbon biru seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa asin di berbagai wilayah dunia. Bagian ini juga mengungkapkan tingkat kerusakan dan ancaman yang dihadapi oleh ekosistem karbon biru akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia. Blue carbonpolicy and management: Bagian ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan untuk melindungi dan mengembalikan ekosistem karbon biru serta memaksimalkan manfaatnya bagi lingkungan dan masyarakat. Bagian ini juga menekankan pentingnya kerjasama lintas sektor dan negara dalam pengelolaan karbon biru.

Membahas tentang potensi dan tantangan karbon biru dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target net zero.

Membahas tentang isu pencemaran plastik mikroplastik dan ekonomi sirkular.

(33)

9. Diah Apriani Atika Sari 2021

Blue carbonin National Policy to Reduce Greenhouse Gas Emissions

Penulis artikel tersebut adalah Diah Apriani Atika Sari, Okid Parama Astirin, Anti Mayastuti, dan Anugrah Adiastuti.

Mereka berafiliasi dengan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sebelas Maret (untuk penulis pertama, ketiga, dan keempat)

dan Lembaga

Penelitian dan

Konsep: Blue carbon bahwa ekosistem karbon biru, yang meliputi mangrove, padang lamun, dan ekosistem pesisir lainnya, memiliki potensi sekuensing karbon yang sangat besar jika dibandingkan dengan hutan tropis, tetapi sayangnya, potensi karbon biru belum dimanfaatkan secara maksimal dalam kebijakan nasional terkait pengurangan emisi GRK. Kebijakan-

kebijakan yang ada belum

diimplementasikan secara optimal dan sebagian di antaranya tumpang tindih.

Kesimpulan dan implikasi penelitian tersebut adalah bahwa potensi karbon biru setelah perhitungan yang tepat perlu dimasukkan dalam dokumen inventarisasi GRK nasional dan dokumen NDC berikutnya untuk mencapai target optimis pengurangan emisi GRK nasional. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memasukkan karbon biru sebagai dasar perhitungan sekuensing karbon dalam dokumen RAN GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) dan NDC saat ini.

Kebijakan Blue carbon Menyarankan bahwa Indoneisa memerlukan kebijakan mengenai Blue carbon.

Gambar

Gambar 2.1 Sumber blue carbon
Gambar 2.2 Gambar 2.2. Siklus karbon  Sumber: Mcandie, et all (2020)
Gambar 2.3 Siklus karbon dalam mangrove  Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Alasan utama yang mendasari potensi agroforestri dalam mengurangi emisi karbon yaitu banyaknya lahan di daerah tropis yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan

Banyak yang menganggap bahwa sumber dari sedimen di pantai adalah hasil erosi tebing (cliff) pantai, namun pada kenyataannya erosi pada tebing pantai tidak berkontribusi besar

Dengan demikian, mengukur jumlah karbon yang tersimpan di dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya gas CO2 di atmosfer

Tujuan penyusunan Rencana Aksi, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim ini adalah sebagai rencana aksi untuk menurunkan emisi karbon (gas rumah kaca) dan adaptasi perubahan iklim di

Dan memberikan pengakuan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan pada tingkat yang berkelanjutan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu : sistem destruktive sampling merupakan metode pengukuran

Estimasi Biomassa dan Kandungan Karbon Spesies Mangrove Seluas Hutan Mangrove Gili Sulat Kemudian, temuan kandungan karbon pada penelitian ini juga lebih besar dibandinkan potensi