• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 KEMANUSIAAN UNIVERSAL

N/A
N/A
Wulandari. p

Academic year: 2023

Membagikan "Bab 3 KEMANUSIAAN UNIVERSAL"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

( KEMANUSIAAN UNIVERSAL )

Pendahuluan

Dalam kesadaran kemanusiaan secara universal, Indonesia hanyalah sebagian kecil di muka bumi, tetapi tetap merupakan bagian penting dari planet ini. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang menjadi lokasi strategis persilangan antar benua dan antar samudera. Dengan daya tarik berupa kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia menjadi titik temu yang membawa proses penyerbukan silang-budaya dari pelbagai arus peradaban dunia.

Indonesia sejak lama dipengaruhi dan memngaruhi realitas global, dan oleh karena itu, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kemanusiaan universal. Komitmen perjuangan ini secara ideal bersifat universal namun pelaksanaannyasecara historis-sosiologis bersifat partikular.

Dengan demikian ,komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity) yang adil dan beradab itu mengandung implikasi ganda. Disatu sisi seperti diungkapkan oleh Soekarno ,

“Kebangsaan yang kita anjurkan bukanlah kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme”

melainkan kebangsaan yang menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa” (internasionalisme). Disisi lain nilai-nilai kemanusiaan universal itu hanyalah bermakna sejauh bisa dikebumikan dalam konteks sosio-historis partikularitas bangsa-bangsa yang heterogen. Dengan demikian, bab ini akan menguraikan konstektualisasi sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dalam politik kebangsaan Indonesia.

Perspektif Historis

Wilayah Nusantara yang berada di sekitar garis khatulistiwa, sejak zaman es telah menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan manusia purba dan menjadi jalur persinggahan terpenting dalam arus migrasi homosapiens, sebelum menyebr ke tempat lain di muka bumi. Itu sebabnya Indonesia dinyatakan sebagai cikal-bakal peradaban di muka bumi.

Indonesia pun memiliki tiga dari empat gunung berapi di dunia yang letusannya dinilai paling dahsyat dan paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Gunung berapi itu adalah Gunung Toba (Sumsel), Gunung Tambora (Sumbawa), dan Gunung Krakatau (Selat Sunda). Letusan dari ketiga gunung tersebut memiliki dampak yang sangat besar, bahkan ketika Gunung Tambora meletus pada 1815, sekitar 100.000 manusia punah, karena dampak letusan mengakibatkan kelaparan dan rusaknya persawahan. Kemudian Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang menamai negerinya dengan sebutan “Tanah Air” karena segala jurusan di Nusantara ini terpotong oleh jalan-jalan air. Berkenaan dengan hal itu, posisi strategis Indonesia ini menjadi faktor yang menarik kedatangan pelbagai arus peradaban dunia.

Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi

Sebagai titik singgung dalam persilangan perdagangan dan budaya antarbangsa, Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Pada saat

(2)

itu lautan di Nusantara menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan komunikasi sosial antarpulau dan kemudian antarbenua.

Sebelum masehi, nenek moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu bersistem cadik, telah menyeberangi 70 kilometer laut lepas untuk mencapai Australia. Para penjelajah Nusantara ini berperan penting sebagai katalis perniagaan antara Romawi, India, dan Timur Jauh- khususnya dalam perniagaan rempah-rempah. Dalam penjelajahan Samudera Hindia ini, para pelaut Nusantara bukan hanya singgah di Afrika, tetapi juga meninggalkan banyak jejak kebudayaan di benua tersebut:

memperkenalkan jenis tanaman baru, musik, seni yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam budaya Afrika sekarang.

Berdasarkan histori tentang para pelopor kelautan Nusantara ini, Mohammad Hatta pun memiliki catatan tersendiri :

Hubungan lalu lintas selama berabad-abad telah mengangkat tiga suku bangsa yang mempimpi : Melayu,Jawa dan Bugis sampai menjadi bangsa-bangsa yang sangat istimewa. Mereka masing- masing secara khusus mengembangkan salah satu kecendrungan besar dari sifat manusia : orang melayu adalah pedagang yang giat dan pemukim-pemukim yang tangguh,orang Bugis mewakili kepahlawanan, orang Jawa labih dari bangsa lain dalam menciptakan pertanian.

Monumen kejayaan bahari Nusantara hadir dalam dua imperium besar sepanjang abad 7 hingga 15, yakni Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Sriwijaya wilayah kekuasaannya meliputi Jawa, Sumatera dan hampir seluruh semenanjung Malaka dan Kerajaan Majapahit yang melanjutkan kejayaan kejayaan Nusantara sebagai kekuatan bahari dengan memanfaatkan jejak yang diwariskan oleh Sriwijaya.

Sebagai pemula dalam penjelajahan samudera, dan sebagai kekuatan maritim yang jaya pada saat kontak-kontak antarbenua berbasis laut, dapat dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dari “globalisasi purba”

Arus Balik: Globalisasi di Nusantara

Arus-arus peradaban nyatanya tidaklah bergerak satu arah. Perjumpaan antar peradaban membawa proses saling belajar. Teknologi pelayaran Nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh komunitas-komunitas peradaban lain. Sebaliknya, para penjelajah Nusantara mengambil dan mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan dari peradaban lain.

Melalui proses persilangan budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama ke Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China, dan Eropa. Internalisasi nilai ini baru berjalan simultan dengan arus masuk armada-armada perdagangan lintas-benua, yang tertarik datang karena letaknya sebagai titik persilangan, serta kekayaan alamnya.

Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kaltim dan Tarumanegara di Jawa. Pengaruh Islamisasi pun mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13 dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera Pasai di sekitar Aceh. Pengaruh China mulai dirasakan sejak abad ke-14 pada zaman Dinasti Ming di China. Pengaruh pemberatan mulai dirasakan pada abad ke- 16 dimana negara-negara kolonial mulai berdatangan seperti Portugis, kemudian disusul dengan Belanda dan Inggris.

(3)

Memasuki paruh kedua abad ke-19, pergulatan pengaruh peradaban global di Nusantara mengalami proses intensifikasi, kecuali pengaruh arus indianisasi secara umum mengalami pemudaran. Intensifikasi ini didorong oleh luberan konflik sosial dan ideologi pada tingkat global . Meskipun menimbulkan ketegangan antar dan intraperadaban, intensifikasi penetrasi global ini juga membawa efek peniruan bagi masyarakat Nusantara yang menimbulkan perubahan mentalitas dan harapan kemajuan.

Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan

Di Barat (Eropa dan Amerika Utara), proyek kolonialisme yang bersahutan dengan revolusi industri membawa perubahan besar dalam dunia kerja dan kehidupan yang membawa konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsa-bangsa di kawasan ini. Yang ditimbulkan bukan hanya konflik antar bangsa dalam memperebutkan tanah jajahan, , sumber daya, dan pasar internasional, melainkan juga konflik antar kelas secara internal di bangsa masing-masing.

Inilah masa ketika pelbagai paham ideologi mulai dirumuskan sebagai ikhtiar emansipasi. Di satu sisi ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan memimpikan restorasi tatanan dunia lama.

Di sisi lain, ada arus visi ke depan dengan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dan relevan dengan tantangan industrial.

Dampak perkembangan sains dan teknologi bagi masyarakat bukan hanya membuat

“perorganisasian secara terencana” merupakan suatu keharusan, tetapi juga menuntut penggantian kelas penguasa tradisional,yang bersifat aristokatis dan berwawasan pedesaan, oleh elit baru yang mewakili kekuatan ekonomi dan intelektual baru.

Negara dan masyarakat Belanda tidak kedap terhadap pengaruh pemikiran dan pergerakan di Eropa, yang pada waktunya juga berimbas ke negeri jajahan. Dikejutkan oleh gelombang gerakan liberal dan revolusi demokratik di Eropa sekitar 1840-an, sayap Liberal di negeri Belanda yang di pimpin oleh Rudolf Thorbecke dengan cepat merespon momentun politik itu dengan melakukan haluan perubahan haluan Undang-Undang Dasar dari konservatisme ke liberalisme. Dengan perubahan haluan politik ini sayap liberal mampu mengintervensi persoalan-persoalan di negeri jajahan melalui parlemen. Didukung oleh kekuatan borjuasi liberal yang sadar politik, kaum liberal pada awalnya berambisi memegang kekuasaan di Negeri Belanda, kemudian memiliki akses dan kontrol atas keuntungan-keuntungan kolonial. Dengan kredo kaum Liberal tentang “kebebasan menanam, “kebebasan mempekerjakan buruh”, dan “kepemilikan pribadi” mereka mendesak pemerintah untuk melindungi modal usaha milik swasta untuk mendapatkan tanah, buruh dan kesempatan-kesempatan untuk menjalankan usaha dan perkebunan baru.

Era kolonialisme tidak berlangsung lama, menjelang akhir abad ke-19, kejadian-kejadian sosio-ekonomi dan politik, baik di negeri Belanda maupun Hindia-Belanda, membawa kredo liberalisme menjadi seruan yang usang.

(4)

Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan

Pusat-pusat Islam di pelbagai belahan bumi bereaksi dalam rangka menghadirkan respons tandingan atas hegemoni Barat di Dunia Muslim. Penetrasi Barat pada mulanya direspons melalui mekanisme defensif yang menolak secara apriori Barat seraya berseru supaya umat Islam kembali ke ortodoksi Islam yang dikenal sebagai gerakan “reformisme Islam”. Paham reformasi ini menyerukan pemurnian terhadap keyakinan dan praktik Islam sesuai dengan Qur’an, hadits, dan fiqih yang dikombinasikan dengan asketisisme Sufi. Dalam hal ini, para pembaru mengidealkan nabi Muhammad sebagai teladan yang sempurna. Karena itu, mereka berusaha menghapuskan pemujaan terhadap wali serta kultus dan upacara keagamaan yang dianggap bid’ah, membuang semua kepercayaan atas takhayul dan sihir, serta menentang para penguasa di negeri-negeri Muslim untuk bekerjasama dengan kaum Kolonial.

Pada paruh kedua abad ke-19, muncullah gerakan “modernisme Islam” yang mencoba memadukan unsur-unsur positif dari dunia Barat dan dunia Islam. Gerakan inteektual baru itu terinspirasi oleh ajaran dari seorang pemikir Islam bernama Jamal al-Din al-Afghani. Sejak saat itu, gerakan Pan-Islam menjadi sebuah perwujudan dari apa yang dulu diimpikan al-Afghani sebagai solidaritas Islam. Di mata al-Afghani, Pan-Islam dan Nasionalisme bisa saling melengkapi aspek- aspek “pembebasan”-nya. Yang menjadi desain besar dari politik Pan-Islam dalam jangka panjang adalah pendirian sebuah blok Muslim internasional yang merupakan konfederasi semi-otonom dari negara-negara Muslim.

Sejak peralihan abaad 19/20, para ulama Nsantara yang terpengaruh oleh gerakan reformisme-modernisme Islam di Timur Tengah mulai melakukan usaha-usaha modernisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional. Usaha modernisasi dikembangkan dengan mengadopsi kurikullum, metode pembelajaran, dan teknologi pendidikan modern model Barat yang dikombinasikan dengan isi dan semangat pengajaran Islam.

Dari trayek ini, muncullah “ulama-intelek” yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan pula rumah-rumah penerbitan, institusi-institusi sosiall, dan organisasi-organisasi keagamaan baru melalui proses apropriaso terhadap model Barat. Beberapa contohnya adalah pembentukan Sarekat Dagang Islamiah (2908) dalam bidang sosial ekonomi, Al Moenir (1911) dalam penerbitan, Muhammadiyah (1912)-dan kemudian Nahdlatul Ulama (1926)-dibidang sosial budaya serta Sarekat Islam (1912) di bidang sosial0politik. Kehadiran institusi-institusi tersebut berperan penting dalam meluaskan gerakan kemajuan dan ruang publik modern di luar orbit priyayi dan sel-sel inti pembaratan.

Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan

Pada abad ke-19 arus imigran keturunan China (Tionghoa) di Nusantara mengalami peningkatan. Mereka datang untuk dipekerjakan. Meskipun kaum minoritas, Tionghoa memainkan peran penting, khususnya dalam perekonomian. Berkat kecakapannya dalam perdagangan, pemerintah kolonial memanfaatkannya sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri. Kemudian logika kapitalisme Tionghoa mendorong dan menggerakkan mereka menuju media massa yang berorientasi kemajuan. Mereka mulai mendirikan pers mereka sendiri, pers itu tidak sekedar merespon kepentingan-kepentingan komersial saja tapi juga melayani aspirasi-aspirasi kemajuan. Tionghoa juga mencontoh klub-klub sosial dan sistem pendidikan bergaya Eropa yang membuat mereka selangkah lebih maju. Diceritakan pula bahwa Tionghoa semakin termotivasi setelah Dr. Sun Yat Sen memenangkan revolusi pada 1911, Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka.

(5)

Sumber dari inspirasi kebangkitan itu pada kenyataannya bukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemajuan, namu juga dari Timur. Demikianlah kemajuan keturunan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di Asia seperti Jepang, memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan kemajuan dan kebangkitan di Tanah Air.

Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia

Pada dekade kedua di abad ke-20 muncul gerakan-gerakan sosial inteligensia yang mempresentasikan keragaman peradaban, arkeologi pengetahuan, dan intensitas kesadaran politik, terutama reaksi terhadap politik segregasi sosial yang dikembangkan oleh kolonial. Struktur peluang politik pada dekade ini mencerminkan karakter khas kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg yang tergolong kaum Ethici atau kaum yang memiliki kepedulian besar terhadap kemajuan dan pergerakan di tanah jajahan. Dalam tahun-tahun kepemimpinan Idenburg, kelompok Kristen mendapatkan banyak bantuan. Kristen mengembangkan aktivitasnya dalam ranah yang luas, seperti pendidikan, kemajuan kultural, dan kesejahteraan ekonomi di negeri jajahan, yang membantu menempa usaha-usaha penyebaran agama Kristen. Usaha Kristenisasi ini berbenturan dengan intensifikasi Islamisasi. Gerakan revivalisme Islam kini menjelma menjadi gelombang pasang yang menggerakkan turbin kebangkitan Islam. Pada dekade ini, organisasi-organisasi keislaman seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam mulai mengembangkan sayapnya melampaui batas-batas kedaerahan. Selain aktivitas Kristen dan Islam, intensitas sentimen-sentimen keagamaan di ruang publik Hindia menjadi memanas oleh adanya kegiatan dakwah dari ordo-ordo spiritual dan sekte- sekte agama yang baru seperti Perhimpunan Teosofi, Freemason, dan Ahmadiyah. Perhimpunan keagamaan baru seperti ini secara aktif merekrut para anggotanya.

Faktor lain yang menyebabkan makin memanasnya ruang publik adalah meningkatnya kepercayaan diri orang-orang Tionghoa. Meningkatnya ekspektasi sosial dari kalangan ini didorong oleh menguatnya daya tawar ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang bertaut dengan kebangkitan nasional yang terjadi di Tiongkok.

Yang paling penting dari dekade ini yaitu keterlibatan langsung organisasi-organisasi politik Belanda dalam urusan-urusan politik di Hindia. Benih-benih Marxisme dan komunisme revolusioner mulai secara sistematis disemaikan di bumi Hindia. Pada dekade pertama yaitu serikat buruh pegawai pemerintah yang dipimpin secara eksklusif oleh orang-orang Eropa, sementara pada dekade kedua beberapa propaganda Marxisme dan Komunisme, terutama mantan aktivis dari Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP) dan Partai Demokrat Belanda (SDP).

Di bawah bayang-bayang kesadaran sosial dan kepentingan yang saling bersaing, beragam gerakan sosial tumbuh dengan beraneka ragam ideologis. Kesadaran kemajuan dan pembebasan kaum terjajah muncul menghalau perbedaan identitas kolektif. Situasi ini mendorong kebangkitan proto- nasionalisme berbasis kesamaan identitas etnis, agama, dan kelas. Dalam persaingan antar ideologi di Tanah Air, segmen komunitas Islam mempertautkan diri dengan Pan-Islamisme, segmen komunitas komunis mempertautkan diri dengan Komunis Internasional, segmen komunitas Tionghoa mempertautkan diri dengan paham kosmopolitanisme Tiongkok Klasik, dan segmen komunitas Kristen mempertautkan diri dengan Kristendom dalam rangka Netherland Raya. Tetapi semuanya disatukan oleh komitmen pada pembebasan kemanusiaan, untuk menghadirkan keadilan dan keadaban bagi kaum terjajah.

Proses negosiasi dan persilangan budaya antarperadaban itu mengarah pada penguatan komitmen bersama pada kebebasan ketika dihadapkan pada situasi kesengsaraan ekonomi dan penindasan politik yang semakin mencengkeram.

(6)

Situasi seperti ini lah yang memunculkan semangat emansipasi yang digali dari pelbagai unsur peradaban dan pengalaman. Beberapa diantaranya adalah semangat emansipasi yang digali dari inspirasi keagamaan, etika, dan ilmu pengetahuan, ideologi, dan dari pengalaman penderitaan itu sendiri. Semangat emansipasi ini mendorong gerakan anti koloialisme yang mengarah padausaga penciptaan “komunitas politik impian bersama”.

Pada saat itu SI dengan kecenderungannya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dinilai tidak sesuai dengan kehidupan mereka. Dengan menolak ideologi Islam, komunisme, dan nasionalisme kesukuan (etno-nasionalisme) sebagai basis bagi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia, PI (Perhimpunan Indonesia) yang salah satu tokohnya adalah Mohammad Hatta, mengajukan konsepsi ideologi dengan berusaha mencari sintetis antarperadaban. Menurut konsepsi tersebut, tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip: yaitu persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian (selfhelp). Pergerakan rakyat Indonesia memiliki tiga sifat; Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis. Maka dipelajari lah bahwa ketiga sifat tersebut dapat saling berhubungan dan bekerja sama antar kaum.

Dengan kesadaran akan pertautan rasa kemanusiaan antarbangsa, menjadi jelaslah bahwa sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia ini adalah nasionalisme yang luas, yang berdimensi internasionalisme. Menurut Soekarno, yang dimaksud internasionalisme ini yaitu nasionalisme yang luas, bukan nasionalisme yang ditimbulkan dari kesombongan bangsa, bukanlah chauvinism, dan bukanlah nasionalisme seperti bangsa Barat. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang yang didalam kelembagaan memberi tempat cinta pada bangsa-bangsa yang lain.

Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi

Sejak hari pertama persidangan (29 mei), Muhammad Yamin telah menyebutkan soal tujuan kemerdekaan dengan salah satu dasarnya ialah ”kemanusiaan” (Internasionalisme).

Dia juga membayangkan “Indonesia menjadi anggota yang berkedaulatan dalam permusyawaratan bangsa-bangsa Asia Timur Raya dan dalam Persaudaraan bangsa-bangsa sedunia”.

Pada gilirannya, prinsip kemanusiaan (Internasionalisme) sebagai salah satu dasar Negara Indonesia merdeka memperoleh formulasinya yang lebih jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila, pada siding BPUPKI, 1 Juni 1945.

Dalam rancangan pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan, peletakan prinsip internasionalisme (perikemanusiaan) sebagai dasar Negara itu sama seperti dalam pidato Soekarno, yakni sebagai prinsip (sila) kedua dari Pancasila. Selanjutnya, kata “kemanusiaan” diberi kualifikasi dengan kata sifat “adil” dan “beradab”, sehingga rumusan selengkapnya menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan kesadaran eratnya hubungan antar nasionalisme dan internasionalisme, orientasi kemanusiaan yang adil dan beradab itu bersifat ganda: “keluar” (ikut memperjuangkan kedamaian dan keadilan dunia) dan “ ke dalam” (memuliakan hak hak asasi manusia, sebagai individu maupn kelompok).

Pada pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan ini terkandung di semua alinea, terutama di alinea pertama dan keempat. Alinea pertama menegaskan, komitmen bangsa Indoenesia pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak merdeka bagi seala bangsa dan (implisit) warganya tanpa kecuali. Alinea kedua menekankan perjuangan nasionalis meraih kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri (self-determination) serta idealisasi kemanusiaan di alam kemerdekaan. Alinea ketiga mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya dalam berkat penciptaan Tuhan, yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas, dan dengan itu, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Alinea keempat mengandung dua hal penting. Pertama,

(7)

membawa isu-isu kemanusaan kepada tujuan Negara dalam kerangka pemenuhan kebahagiaan dan hak kolektif maupun (implisit) perseorangan, dalam kehidupan nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu-isu kemanusiaan pada dasar Negara, khususnya dasar kedua, yaitu “kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Dalam pembukaan ini tampak jelas bahwa para pendiri bangsa mempunya argumen yang kuat, bukan hanya untuk berdirinya suatu bangsa, melainkan juga hidup dan “beroprasi”-nya sebuah organisme bernama Negara. Argumen pertama menegaskan bahwa kolonialisme merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan bahwa manusia adalah fana dihadapan Tuhan yang mutlak.

Argumen kedua adalah argument self-determination (from alien domination). Argumen ini menjadi fondasi dari perlindungan hak dasar, yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia (HAM).

Hak dasar/asasi manusia (HAM) termuat dalam satu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama antara pasal 27-34, pasal pasal mengenai hak warga Negara terkandung dalam pasal 27 , 30, 31. Adapun pasal pasal mengenai hak hak asasi yang bersifat universal terkandung pada pasal 28 dan 29. Hak hak asasi ini juga adakalanya tidak dikemukakan dengan cara tersurat, melainkan dengan cara tersirat, seperti pasal 33 dan 34, adanya pasal pasal itu sudah meliputi apa yang kemudia sering disebut tiga generasi hak asasi manusia, yaitu:

1. Generasi pertama: Hak sipil dan Hak politik

Generasi petama hak asasi manusia ini amat terkait dengan hak sipil, yang berhubungan langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan menjadi salah satu pilar hukum internasional.

Hak ini menyangkut hak hidup, hak kebebasan beragama dan/atau berkepercayaan, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya, hak mengemukakan pendapat dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan bersama. Hak ini terkandung pada pasal 27 (pasal 1), 28 dan 29.

2. Generasi kedua: Hak demokratis

Generasi kedua hak asasi manusia terkait dengan proses sebuah Negara membuahkan kebijakan dan kondisi yang memungkinkan suatu kehidupan semakin manusiawi. Termasuk dalam hak ini adalah hak atas layanan kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas jaminan sosial. Generasi kedua ini sesungguhnya terinterigasi dengan hak sipil dan hak politik, hak ini terkandung dalam pasal 27 (pasal 2), 31 dan 34.

3. Generasi ketiga: hak ekonomi-sosial-kultural-kolektif

Generasi ketiga ini adalah bagian dari pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik sekarang maupun yang akan datang, baik di satu komunitas maupun antar komunitas. Ada satu pemahaman bahwa keidupan di pengaruhi oleh dimensi masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Generasi ketiga hak ini adalah, termasuk, hak atas perlindungan lingkungan, hak penentuan nasib sendiri, dan sebgainya dalam UUD 1945, hak ini terkandung dalam pasal 30, 32, 33 (3) dan 34.

Dengan kembalinya Indonesia ke bentuk Negara kesatuan, pasca “Mosi Integral Natsir” pada 1950, membawa perubahan dalam kebatinan dan keseimbangan kekuasaan. Peniadaan “hak bertukar agama atau keyakinan” dalam UUDS 1950 mencerminkan residu aspirasi kelompok islam yang menemukan kembali peluang untuk menyatakan keberatannya atas pengakuan hak ini yang dianggapnya bertentangan dengan hukum Islam. Komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada sidang Konstituante.

(8)

Beberapa berharap agar kemajuan pengakuan konstitusional atas HAM seperti terkandung dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 dapat diteruskan. Oe Tjoe Tat (Baperki) menyatakan agar UUD baru lebih progresif dari UUDS 1950, Mang Reng Say (Partai Katolik) juga mengucapkan hal senada dengan mengingatkan bahwa untuk menghasilkan konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan bangsa, Konstituante harus terbuka terhadap dunia luar. Dia juga menekankan pentingnya jaminan pada hak minoritas dan perorangan sebagai bagian inti demokrasi yang menentang absolutisme.

Pada 9 September 1958, Konstituante mengadakan pemungutan suara mengenai judul untuk bagian mengenai HAM. Mayoritas suara (352 dari 443 anggota yang hadir) memilih judul “HAM dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara”. Hal ini mengindikasikan kesadaran Indonesia untuk memuliakan hak-hak individu (sebagai warga Negara dan manusia) dengan tetap menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.

Pada 9 Desember 1958, Panitia Persiapan Konstitusi berhasil melengkapi rancangan pasal pasal UUD mengenai HAM. Panitia Persiapan Konstitusi telah berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Tiga belas hak dan kewajiban lainnya masih terdapat perbedaan karena Koalisi Pancasila dan Islam di dalam panitia tersebut masih mempertahankan pasal-pasal konstitusional versi masing masing. Tetapi dengan UUD 1945 pun tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Bukan karena telah mengandung tiga generasi HAM, tetapi tersedianya rujukan sumber hukum tidak tertulis.

Dengan rekam jejak perjalanan bangsa ini, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yan adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan local, memiliki komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan serta pada pemuliaan hak hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.

Perspektif Teoritis-Komparatif

Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab itu menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Dukungan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kali muncul dari dunia Arab. Dukungan Palestina bahkan telah dimulai sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni segera setelah Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, mengucapkan janji historisnya pda 7 September 1944 yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Setelah diproklamasikan , Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indoesia pada 23 Maret 1946, disusul oleh negara-negara Liga Arab (Irak, Libanon, Arab Saudi, Syria, Yaman, Yordania dan juga Mesir) dengan mengeluarkan resolusi pada 18 November 1946 yang mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Seiring dengan itu, sejak kabinet Sjahrir I (14 November 1945-12 Maret 1946) , mulai dirintis usaha membuka perwakilan Indonesia di luar negeri. Mula-mula dibuka di Singapura, kemudian di New Delhi, Karachi, Rangoon, Canberra, Bangkok, Kairo, Baghdad, London, Kabul, New York, yang mencerminkan dukungan atau setidaknya hospitalis mereka atas kemerdekaan Indonesia. Dukungan Internasional atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer Belanda I (21 Juli 1947-5 Agustus 1947). Dengan agresi itu, pengakuan de facto atas Indonesia justru berdatangan mengalir dari negara-negara sahabat seperti Afghanistan, Birma, Arab Saudi, Yaman, dan Rusia.

(9)

Dunia Internasional menolak aksi Belanda ini. India dan Australia pada 30 Juli 1947, langsung membawa masalah Indonesia ke dalam sidang Dewan Keamanan di Lake Succes, Amerika Serikat.

Baik Indonesia dan Belanda tidak boleh hadir secara resmi di sidang tersebut. Walau berbagai pihak telah berubaya untuk menyelesaikan persengketaan Indonesia-Belanda, van Kleffens tetap menganggap bahhwa Dewan Keamanan tidak berhak mencampuri pertikaian Indonesia-Belanda.

Agaknya dia alpa bahwa keadaan telah berubah. Di satu pihak, Belanda mengakui Indonesia secara de facto melalui Perjanjian Linggarjati. India, sebagai negara yang mengajukan tuntutan mengenai pembahasan masalan Indonesia, diundang secara resmi dalam sidang itu. Baik India maupun Australia secara bersama menganggap bahwa agresi militer Belanda dapat menganggu perdamaian dan keamanan Internasional.

Rancangan resolusi Australia mendapat bahasan cukup luas dikalangan peserta sidang.

Berkaitan dengan hal itu, Rusia melalui Andrei A.Gromyko, menyatakan bahwa penghentian tembak- menembak saja belum cukup. Kedua pihak harus menarik pasukannya ke batas garis demarkasi yang telah disepakati sebelumnya yang disebut “Garis van Mook”. Usulan Amerika Serikat melalui wakilnya di PBB, Herschel V.Johnson, mengenai jasa-jasa baik (good offices) pemerintahnya dalam menyelesaikan pertikaian yang sedang terjadi, agaknya lebih dapat diterima, kendati rancangan resolusi Australia-lah yang merupakan dasar keputusan resolusi Dewan Keamanan 1Agustus 1947.

Bunyi resolusi itu meminta keduan belah pihak untuk: (1) menghentikan dengan segera permusuhan yang terjadi. (2) menyelesaikan persengketaan mereka melalui pendekatan arbitrase atau usaha-usaha perdamaian lainnya dan Dewan Keamanan tetap dilaporkan mengenai kemajuan pekerjaan tersebut (Yearbooj of The United Nations 1947-1948).

Setelah tercapainya kesepakatan mengenai resolusi Dewan Keamanan, perhatian sidang lalu terfokus pada dua hal: (1) kehadian Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan, (2) badan arbitrase yang akan dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata diantara kedua belah pihak.

Australia dan Uni Soviet menganggap perlu untuk mengundang Indibesia dalam sidang Dewan Keamanan. Disamping itu, pernyataan pihak Indonesianpada 12 Ahustus 1947 bahwa mereka akan memenuhi segala kewajiban-walaupun belum menjadi anggota PBB-telah memenuhi persyaratan bagi kehadirannya dalam sidang tersebut. Baik Faris el-Khouri, maupun waki-wakil dari Amerika Serikat, Uni Soviet India, Polandia, China, Australia, dan Kolumbia dengan sepenuhnya dapat menyetujui kehadiran Indonesia secara resmi dalam Sidang Dewan Keamanan tetapi Belgia, Prancis, dan Inggis menolaknya. Ini berarti untuk pertama kalinya Indonesua diterima resmi dalam Sidang Dewan Keamanan pada 12 Agustus 1947 di Lake Success.

Ketua delegasi Indonesia , Sutan Sjahrir, tampil ke depan podium guna menjelaskan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Dalam pidatonya, Sjahrir menguraikan jauh ke belakang.

Selama abad 14-15, Kerajaan Majapahit telah mampu memperluas ruang lingkup wilayah Indonesia, bukan saja mencakup kepulauan Nusantara melainka juga telah menjangkau ke arah Pulau Madagaskar (Afrika Timur). Disamping itu, peragangan dengan China dan benua Eropa-terutama Belanda-berkembang dengan pesatnya. Hubungan dagang dengan Belanda telah dilakukan semenjak abad 15 melalui perusahaan besar yang dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oost Indische Compaigne). Petani Indonesia sebagai mitra perdagangan Belanda senantiasa mendapat tekanan. Hal ini mencapai puncaknya pada abad ke-18 ketika Kerajaaan Belanda mengambil alih peranan VOC yang kemudian dibubarkan. Jangkauan Belanda pun meluas, dan hingga mencakup seluruh wilayah Indonesia.

(10)

Ketika datang serbuan bala tentara Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Belanda lari ketakutan. Ini berbeda dengan Indonesia yang tetap bertahan, Akan tetapi, ketika Jepang dikalahkan sekutu, Belanda secara bersembunyi datang ke Indonesia dibelakang pasukan Inggris. Disini terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dengan Belanda. Rakyat Indonesia menganggap daerah bekas jajahan Belanda ini milik mereka sebenarnya.. Maka, diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada abad 17 Agustus 1945. Bila Indonesia ini memang milik Belanda, tutur Sjahrir, seharusnya mereka mempertahankannya dari serangan siapa pun yang hendak mengambil alih kepulauan ini.

Tetapi itu mereka tidak pernah mereka lakukan.

Pada 23 Agustus 1947, Dewan Keamanan lebih menyetujui rancangan resolusi Herschel V.Johnson (Amerika Serikat)-sebagaimana halnya keinginan van kleffes dalam membentuk Komite Jasa-Jasa. Langenhove mengajukan sebuah rancangan resolusi yang meminta pendapat Pengadilan Tinggi Internasional tentang Dewan Keamanan dalam menyelesaikan persengketaan Indonesia- Belanda. Mengingat Dewan Keamanan baru mengetahui wewenang Dewan Keamanan dalam menyelesaikan sengketa semacam itu. Saat dilakukan pemungutan suara, Sumitro berusaha menghitung satu per satu suara yang menolak rancangan resolusi Belgia-Belanda tersebut. Dan hanya empat negara yang tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu Belgia, Perancis, Inggris, Belanda. Faris el-Khouri langsung melanjutkan sidang pada hari itu, sebab Dewan Keamanan dengan demikian dinyatakan berhak membahas dan mengambil keputusan terhadap Indonesia-Belanda. Polandia masih sempat menggolkan sebuah resolusi lagi yang isinya mengingatkan agar pihak Indonesia dan Belanda benar-benar menaati resolusi 1 Agustus 1947, mengenai perintah gencatan senjata dan penciptaan perdamaian.

Pada 19 Desember 1948, sekali lagi Belanda melancarkan agresi militer II. Agresi ini menimbulkan kecaman dunia internasuinal, seperti Amerika Serikat, atas Belanda, sebaliknya semakun memperkuat dukungan internasional atas kedaulatan Indonesia. Perlawanan gigih tentara Indonesia melalui perang gerily juga membuat Belanda tidak memiliki pilihan lain kecuali kembali ke meja perundingan. Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.

Hasilnya, pada 30 Desember 1949, belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Dekolonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin

Dalam latar internasional, kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia itu bertaut dengan gelombang dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika pasca perang Dunia II. Hasrat untuk menentukan nasib sendiri dan terbebas dari berbagai bentuk penindasan yang berasosiasi dengan kemenangan negara-negara demokrasi Barat yang telah mapan dalam Pd II, tampaknya menjadi salah satu alasan pokok mengapa banyak negara pasca kolonial berpaling kepada sistem pemerintahan demokratis.

Gelombang demokratisasi ini berdampingan dengan peningkatan kesadaran akan hak-hak asasi manusia (HAM) pasca PD II, dimulai dengan kemunculan Piagam PBB sejak 26 Juni 1945 dan menemukan momentumnya setelah Universal of Human Rights (UHDR) pada 10 Desember 1948.

Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal berisi pokok-pokok pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM). Gelombang dekolonisasi, demokratisasi, dan perhatian internasional pada HAM ini menemukan sandungannya ketika dunia segera memasuki suasana Perang Dingin. Setelah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) bersekutu dan berhasil menghancurkan Jerman Nazi, kedua belah pihak berselisih paham dalam usaha membangun kembali dunia, khususnya Eropa, pasca perang. Sejak awal aliansi antara Uni Soviet , negara komunis pertama didunia, di satu

(11)

sisi, dngan AS, negara kapitalis terkaya di dunia, dan Britania Raya, kerajaan terbesar di dunia di sisi yang lain, memang telah diwarnai oleh saling ketidakpercayaan dan perbedaan ideologis.

Setelah musuh bersama bisa diatasi, segera terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara AS dan sekutunya (disebut blok Barat) dan US beserta sekutunya (disebut blok Timur), yang terjadi 1947-1991. Periode ini dikenal sebagai Perang Dingin. Konflik antara kedua blok ini lantas menyebar ke seluruh dunia ketika AS membentuk sejumlah aliansi dengan berbagai negara, terutama dengan negara di Eropa Barat, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Meskipun kedua negara adikuasa itu tidak pernah bertempur secara langsung, konflik diantara keduanya secara langsung atau pun tidak langsung telah menyebabkan berbagai perang atau ketegangan, baik dalam hubungan antarbangsa maupun didalam bangsa-bangsa.

Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin.

Memasuki suasana Perang Dingin, Indonesia berusaha konsisten dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam pergaulan antarbangsa. Prinsip yang menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan warganya, serta prinsip yang menekankan ko-eksistensi damai yang secara aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Pilihan Indonesia atas politik luar negeri bebas aktif itu menempatkannya dalam perpaduan antara perspektif teori “idealisme politik” (political idealism) dan “realisme politik” (political realism) dlam hubungan internasional. Sebagai bangsa yang telah lama mengalami penjajahan serta menghadapi ancaman baru dari poros-poros permusuhan internasional, Indonesia pun tidaklah naif dalam menyadari realistas-realistas hubungan internasional, yang jauh dari kerangka idealitas.

Penggunaan politik luar negeri mencerminkan ciri-ciri khas dari kehidupan politik didalam negeri serta perkembangan dalam reaalitas internasional. Realitas Internasional juga memengaruhi kontekstualisasi ide-ide demokrasi dan hak-hak asasi manusia di negeri ini. Sebagai tempat persilangan arus-arus internasional, Indonesia ikut hanyut dalam gelombang dekolonisasi yang bertaut dengan gelombang kedua demokratisasi di muka bumi, dengan memroklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia yang bercorak demokratis.

Sebagaimana negara-negara yang baru merdeka lainnya, ketika dekolonisasi berakhir, Indonesia memerlukan waktu untuk mengembangkan kuktur politik demokratis. Setelah sekian lama berada dibawah dominasi asing (alien) yang tidak dijalankan dengan prinsip akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat koloni, Indonesia mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemerintahan yang memadai dan responsif.

Ketegangan dalam kehidupan nasional yang bertaut dengan ketegangan internasional lantas di proyeksikan dalam sikap internasionalisme Indonesia. Memandang kemerdekaan Malaysia sebagai antek neo-kolonialisme, Presiden Soekarno lantas melancarkan Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewann Keamanan PBB, Presiden Soekarno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB pada 20 Januari 1965, dan sebagai alternatifnya membentuk poros kekuatan baru dalam kerangka Conference of New Emerging Forces (Conefo).

Sebagai tandingan olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of Emerging Forces) yang diselenggarakan di Jakarta pada 10-20 November 1963. Kembalinya Indonesia ke PBB baru terjadi setelah Presiden Soeharto mengambil alih tongkat kepimpinan nasional. Pada 19 September 1966, Indonesia mengajukan permohonan kembali sebagai anggota yang diterima oleh Majelis Umum PBB sejak 28 September 1966.

Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme.

(12)

Kesulitan dan masalah yang melanda Indonesia itu mereflesikan kecenderungan umum negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami hambatan yang serius untuk melaksanakan HAM dan demokrasi dalam suasana dunia yang diwarnai oleh bentrokan Timur-Barat serta kesenjangan Utara- Selatan. Ada dua narasi besar, universalisme dan partikularisme, yang karena perbedaan fundamental dalam konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman atas (1) karakter HAM (apakah internasional atau murni domestik), (2) pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat, (3) penetuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan penegakannya. Semua titik divergensi itu, dengan potensinya untuk disimpangkan, dalam pekembangan selanjutnya memunculkan rasa tidak percaya dan ekspresi permusuhan.

Secara umum dapat dinyatakan, kaum universalisme menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang. HAM berasal dari “konsep hukum alam yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak ilmiah tertentu untuk hidup, bebas dan punya kepemilikan. Pada sisi lain, kaum partikularis (kultural relativis) memersepsi bahwa norma-norma HAM tidak muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman masyarakat tertentu. Karena setiap masyarakat memiliki kondisi sejarahnya tersendiri, hanya aspek-aspek HAM tertentu yang dapat diterapkan pada masyarakat tertentu dan akan berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lain.

Dalam perspektif kaum partikularis, doktrin liberal HAM tidak berbicara mengenai pandangan dunia manusia. Fondasi ontologis budaya dan masyarakat mereka, dan ketertarikan individu dengan individu lain dan masyarakat, dalam beberapa hal berbeda secara signifikan. Sebagai negara baru, negara-negara Dunia Ketiga lebih memerhatikan kedaulatan nasionalnya serta tantangan dalam negeri dibandingkan dengan agenda internasional.

Titik divergensi ketiga berkenaan dengan isu status komparatif hak individu dan hak kolektif, karena kaum universalis (Barat) lebih menekankan pada hak individu sedang kaum partikularis (negara Dunia Ketiga) lebih menekankan pada hak kolektif. Untuk mendapatkan HAM tidak memerlukan apa pun kecuali dilahirkan sebagai manusia. Sejumlah pendukungnya menegaskan bahwa “ide tentang hak mutlak (inalienable rights) kerap ditegaskan oleh para penyair, filsuf, dan politisi sejak jaman dahulu. Pada sisi lain, kaum partikularis mengajukan konsepsi antitesis. Mereka menyatakan bahwa “manusia tidak merumuskan diri mereka dalam posisi sebagai individu otonom, namun mereka lebih mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang memiliki status turunan” (ascribe status) sebagai anggota kelompok yang lebih besar atau komunitas seperti keluarga, suku, kelas, bangsa, atau kelompok lain.

Titik-titik divergensi di atas kemudian memunculkan perbedaan persepsi dalam waktu dan tahapan impelementasi dan penegakan HAM dan pematuhannya. Pada satu sisi, menurut kaum universalis, implementasi HAM harus komprehensif dan menyatu. Dalam putaran terakhir kontroversi, divergensi seperti itu mentransformasikan dirinya sendiri ke dalam medan pertempuran.

Masing-masing pihak menunjukan saling tidak percaya dan curiga bahwa lawannya mengeksploitasi perbedaan guna melegitimasi kepentingannya sendiri. Kaum universalis (Barat) menuduh pemerintah negara Dunia Ketiga mengekploitasi argumen partikularis untuk membenarkan “kuatnya” negara sehingga melahirkaan kebijakan represif dan menerapkan tujuan-tujuan nasional demi kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, kaum partikularis (pemerintah-pemerintah negara Dunia Ketiga) mengklaim bahwa alasan universalis digunakan pemerintah-pemerintah barat sebagai senjata politik guna menekan daya kompetitif ekonomi dalam pembangunan ekonomi. Mereka juga menuduh pemerintah negsra-negara Barat tidak konsisten dan menggunakan standar ganda dalam menerapkan prinsip-

(13)

prinsip Ham yang universal. Lebih jauh lagi, kaum partikularis (Dunia Ketiga) juga sering menunjukan pembusukan masyarakat Barat dalam bentuk peningkatan kejahatan, meningkatnya ketimpangan ekonomi, kemerosotan moral, keterasingan dari proses politik, dan substansi-substansi lain yang berbahaya.

Akan tetapi, munculnya revolusi teknologi komunikasi, yang menimbulkan globalisasi kehidupan ekonomi, politik, dan kehidupan sosial kontemporer mengakibatkan interpenetrasi pengalaman budaya dan kecenderungan, yang disebut Vattimo sebagai “hibridisasi” antartradisi.

Dengan cepat, HAM berubah menjadi “bahasa ibu” masyarakat global dan membentukbbagian dari jaringan perspektif luas yang dibagi dan dipertukarkan antara Utara dan Selatan, pusat dan pinggiran, dalam banyak bentuk, kreatif dan kadang-kadang dalam cara yang bermuatan konflik.

Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi

Globalisasi modern dan posmodern menemukan pijakan nya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan – penemuan teknologi mutakhir, terutama di bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa “distansiasi ruang–waktu” (time-space distanciation) sekaligus “pemadatan ruang-waktu” (time-space compression) yang merobohkan batas – batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Dengan fenomena ini, globalisasi merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.

Pada ranah negara-bangsa (nation-state), di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan – tantangan global. Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan desentralisasi dan otonomisasi.

Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide – ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang – peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Di sisi lain, dengan posisi awal dan konsekuensi nya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak “yang menang”

(winners) dan “yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007:3).

Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Globalisasi memang meningkatkan kesadaran akan HAM di Dunia Ketiga, namun sekaligus juga memasok hambatan baru yang membuat idealisasi HAM itu sulit diimplementasikan dalam praksis pembangunan. Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang fondasi dasar pada sistem HAM yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Badan HAM PBB telah mencermati dampak negatif dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas HAM, secara khusus pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak satu pun dari studi ini yang menolak penting nya kerjasama dan perdagangan global, tetapi studi ini lebih mengarahkan perhatian pada ancaman terhadap kemanusiaan dan HAM yang ditimbulkan oleh globalisasi pasar yang berbasis ideologi neo-liberalisme.

(14)

Tantangan – tantangan globalisasi pasca-Perang Dingin memerlukan komitmen dan visi internasionalisme baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Dihadapkan pada tantangan globalisasi modern, reformasi terhadap PBB mutlak dilakukan untuk membuatnya lebih efektif, representatif, dan bertanggung jawab dalam memenuhi tantangan global yang semakin kompleks.

Reformasi ini harus mempertimbangkan terjadinya pergeseran dalam kekuatan ekonomi dan keseimbangan kekuasaan (power politics) di tingkat global. Reformasi juga harus mempertimbangkan munculnya pelbagai tekanan global atas kapastitas manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Munculnya organisasi – organisasi supranasional dan perusahaan – perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa.

Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional. Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa.

Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila

Prinsip kedua dari Pancasila mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dari anasir – anasir internasional yang merendahkan martabat kemanusiaan. Maka, tidak heran kalau spirit humanitarianisme dan egalitarianisme yang tumbuh dalam alam pikir yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan derajat atau superioritas suatu bangsa di atas bangsa lain. Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Indonesia dibangun atas kesadaran internasionalisme. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan egalitarianisme.

Nasionalisme Indonesia, dengan demikian, memperjuangkan kesamaan kemanusiaan.

Sebagai falsafah negara yang menjiwai Konstitusi kita, Pancasila merupakan testamen historis yang membela prinsip kesamaan. Dengan prinsip kesamaan kemanusiaan yang adil dan beradab, komitmen kemanusiaan dan ikatan persaudaraan bangsa Indonesia menembus batasan – batasan lokal, nasional, atau regional, menjangkau persaudaraan antarmanusia dan antarbangsa secara global. Visi kemanusiaan yang adil dan beradab bisa menjadi panduan (guiding principles) bagi proses pengadaban (civilizing process), yang meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam pergaulan antarbangsa.

Sila kedua menunjuk kepada nilai – nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak – hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab tidak lain adalah kelanjutan dengan disertai perbuatan dalam praktik hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab itu menuntut pemerintah dan penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita – cita moral rakyat yang luhur.

Kesimpulan

Sila perikemanusiaan yang adil dan beradab, apabila digali, merupakan visi bangsa Indonesia yang mengandung begitu banyak nilai manusiawi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan globalisasi. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Persoalan HAM menjadi tantangan yang serius dalam membuktikan komitmen

(15)

kemanusiaan bangsa Indonesia. Di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupan nya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh global bisa bersifat positif maupun negatif. Positif, sejauh yang diserap adalah unsur – unsur positif-konstruktif yang menguatkan cita – cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Negatif, sejauh yang diserap adalah unsur – unsur negatif-destruktif yang menimbulkan ketergantungan (neokolonialisme), permusuhan dan ketidakadilan.

Referensi

Dokumen terkait

Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;.. Organisasi

Untuk membangun masyarakat global yang berkelanjutan, seluruh negara di dunia harus memperbarui komitmen mereka kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, memenuhi kewajiban mereka

mengetahui sejarah bangsa Indonesia, proses perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, supaya semua jurusan memiliki pengetahuan yang

Pengertian Kearifan Lokal dan Relevansinya dalam Modernisasi dalam Ayatrohaedi Penyunting (1986) Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) Jakarta: Dunia Pustaka

untuk memiliki kemampuan sebagai warga global. Wawasan yang diberikan.. kepada mahasiswa adalah berupa pemahaman kondisi dunia yang mengglobal. Pendidikan

berkontribusi, dan berinovasi dalam menerapkan ilmu pengetahuan pada kehidupan bermasyarakat serta memiliki wawasan global dalam perannya sebagai warga dunia; dan. 7)

bangsa mandiri dan memiliki karakteristik tersendiri menjadi lebur dengan bangsa lain yang juga hilang identitasnya. Akibatnya tumbuh dan muncul budaya dunia/global. Identitas

Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno–Hatta memiliki makna bahwa bangsa Indonesia telah menyatakan kepada dunia luar maupun kepada bangsa Indonesia sendiri