• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Strok menjadi perhatian utama dalam kesehatan masyarakat secara global.

Strok merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan. PTM telah membunuh 41 juta orang setiap tahun atau setara dengan 70% kematian secara global (Sultradewi Kesuma, Krismashogi Dharmawan dan Fatmawati, 2019).

Strok sebesar 10% dari seluruh kematian di dunia merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung koroner (13%) dan kanker (12%) di negara-negara maju. Prevalensi strok bervariasi di berbagai belahan dunia.

Prevalensi strok di Amerika Serikat adalah sekitar 7 juta (3,0%), sedangkan di Cina prevalensi strok berkisar antara 1,8% (pedesaan) dan 9,4% (perkotaan), di seluruh dunia, Cina merupakan negara dengan tingkat kematian cukup tinggi akibat strok (19,9% dari seluruh kematian di Cina), bersama dengan Afrika dan Amerika Utara. Insiden strok di seluruh dunia sebesar 15 juta orang setiap tahunnya, sepertiganya meninggal dan sepertiganya mengalami kecacatan permanen. Sekitar 795.000 pasien strok baru atau berulang terjadi setiap tahunnya.

Sekitar 610.000 adalah serangan pertama dan 185.000 adalah serangan berulang.

Angka kematian akibat strok ini mencapai 1 per 18 kematian di Amerika Serikat (Roger V, Go A, Lloyd-Jones D, et, al, 2011). Kurun waktu 5 tahun, lebih dari setengah pasien strok berusia > 45 tahun akan meninggal (Mutiarasari, 2019).

Pada negara-negara ASEAN penyakit strok pula adalah persoalan kesehatan utama yang mengakibatkan kematian. Dari data South East Asian Medical Information Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian strok terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand, dari semua penderita strok di Indonesia, strok iskemik adalah jenis yang paling banyak diderita yaitu sebanyak 52,9%, diikuti secara berurutan oleh perdarahan intraserebral, emboli serta

(2)

perdarahan subaraknoid dengan angka kejadian masing-masingnya sebanyak 38,5%, 7,2%, dan 1,4% (Basjiruddin dan Darwin, 2008).

Secara nasional, prevalensi strok di Indonesia tahun 2018 berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk usia ≥15 tahun sebesar 10,9%, atau diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan di Yogyakarta (14,6%) merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi strok di Indonesia. Sementara itu, Papua dan Maluku Utara memiliki prevalensi strok terendah dibandingkan provinsi lainnya, yaitu 4,1% dan 4,6%. Sedangkan provinsi Sumatera Utara (9,3%) menempati urutan ke dua puluh dua untuk penderita strok di Indonesia (Riskesdas, 2018). Hasil survey awal yang saya lakukan di Rumah Sakit Haji Medan dijumpai data pada rekam medis mulai 1 januari - 31 desember tahun 2020 terjadi 79 kasus penderita strok. Alasan peneliti memilih rumah sakit haji karena sampel yang di inginkan sudah terpenuhi.

Strok iskemik merupakan penyakit dengan berbagai faktor risiko, diantaranya adalah faktor yang dapat diubah, seperti merokok, hipertensi, kolestrol LDL, trigliserida dan diabetes melitus tipe 2 sedangkan faktor resiko yang tidak dapat diubah adalah usia, jenis kelamin dan riwayat strok dalam keluarga (Khairatunnisa, 2017).

Mengingat angka kejadian strok yang terus meningkat di seluruh negara di dunia terkhusus di Indonesia, perlu dilakukan pencegahan dengan mengatur faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit strok yang salah satunya adalah diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 adalah faktor risiko terjadinya strok yang relatif sering, diketahui 30% pasien strok iskemik akut menderita diabetes melitus tipe 2 sebelumnya. Risiko strok iskemik pada penderita diabetes adalah dua hingga enam kali dibandingkan dengan pasien non diabetes (Totting, Pinzon dan Widiasmoko, 2018).

Organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya ada 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun 2019 atau setara dengan angka prevalensi sebanyak 9,3% dari total

(3)

penduduk di usia yang sama berdasarkan jenis kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes pada tahun 2019 yaitu 9% pada perempuan serta 9,65% pada pria. Prevalensi diabetes diperkirakan meningkat seiring penambahan usia penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada usia 65-79 tahun. angka dipredikasi terus meningkat hingga mencapai 578 juta pada tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045 (Kementrian kesehatan republik indonesia, 2020).

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilaksanakan pada tahun 2018 melakukan pengumpulan data penderita diabetes melitus tipe 2 pada penduduk berumur ≥ 15 tahun. Kriteria diabetes melitus tipe 2 di Risksesdas 2018 mengacu pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) yang mengadopsi kriteria American Diabetes Association (ADA). Menurut kirteria tersebut, diabetes melitus tipe 2 ditegakkan bila kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, atau glukosa darah 2 jam pasca pembebanan ≥ 200 mgl/dl, atau glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl menggunakan gejala sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dan dalam jumlah banyak, serta berat badan turun. Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus tipe 2 di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada usia > 45 tahun sebesar 3,9 %.

Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada penduduk > 45 tahun berdasarkan hasil riskesdes 2013 sebesar 3,3 % tetapi prevalensi diabetes melitus tipe 2 berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5% di tahun 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes (Kementrian kesehatan republik indonesia, 2020).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Ramadhany, AF dkk tentang hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian strok iskemik didapati nilai Odds Ratio (OR) yaitu 3,8 dan didapatkan interval kepercayaan 95% yang menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian strok non hemoragik. Hasil OR yang menunjukan lebih dari 1 berarti diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor risiko strok non hemoragik dan orang yang terdiagnosis diabetes melitus tipe 2 memiliki peluang sebesar 3,8 kali

(4)

lebih berisiko terkena strok non hemoragik dari pada orang tanpa diabetes melitus tipe 2 (Ramadany, Pujarini dan Candrasari, 2013). Hal ini didukung oleh penelitian latelay dkk pada tahun 2016 mengenai hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian strok yang dianalisis menggunakan uji Chi-Square diperoleh nilai P = 0.002. Dengan demikian, secara statistik ada hubungan yang signifikan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian strok di Poliklinik Saraf Rsud Dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2016 (Letelay, Huwae dan Kailola, 2019).

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan angka kejadian strok iskemik di Rumah Sakit Haji Medan pada Tahun 2020.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut apakah ada hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan angka kejadian strok iskemik di Rumah Sakit Haji Medan pada Tahun 2020.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan angka kejadian strok iskemik di Rumah Sakit Haji Medan pada Tahun 2020.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi antara diabetes melitus tipe 2 dengan strok iskemik berdasarkan :

a. Usia

b. Jenis Kelamin

2. Untuk mengetahui hubungan diabetes melitus tipe 2 pada pasien strok iskemik.

3. Untuk mengetahui rasio prevalensi antara diabetes melitus tipe 2 dengan strok iskemik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

(5)

1. Bagi Peneliti, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk menambah wawasan dan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama masa perkuliahan, khususnya metodologi penelitian.

2. Bagi Rumah Sakit Haji Medan, diharapkankan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pelayanan kesehatan Rumah Sakit Haji Medan mengenai hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan angka kejadian strok iskemik sehingga dapat meningkatkan pelayanan serta upaya promotif dan preventif bagi penderita diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Haji Medan.

3. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan angka kejadian di Rumah Sakit Haji Medan dan turut serta dalam pencegahan terjadinya strok iskemik.

(6)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Strok

2.1.1 Definisi

Strok adalah penyakit serebrovaskular yang terjadi akibat terganggunya alirandarah ke otak secara tiba-tiba sehingga menyebabkan kerusakan neurologi.

Strok terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam sel-sel otak secara mendadak (WHO, 2016).

2.1.2 Epidemiologi

Data dari American Heart Association (2015), strok penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dengan pravalensi 55-75% yang mengalami penurunan pada kemampuan motorik dan 1-19 orang meninggal (American Heart Association, 2015). Data Riskesdas pada tahun 2018 menyatakan bahwa prevalensi strok (permil) berdasarkan diagnosis dokter provinsi dengan penderita strok tertinggi ada pada Provinsi Kalimantan Timur (14,7 %) dan terendah pada Provinsi Papua (4,1 %). Pada tahun 2018 sendiri Sumatera Utara (9,3 %) menempati urutan ke dua puluh dua untuk penderita strok di Indonesia. Pravalensi strok berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk usia ≥ 15 tahun menurut karakteristik diperoleh data berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal, berdasarkan usia diperoleh data tertinggi pada usia 75 tahun ke atas (50,2%) dan terendah pada usia 15-24 tahun (0,6%). Sedangkan, berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada pasien laki-laki (11,0%) lebih tinggi bersiko terkena strok dibandingkan perempuan (10,9%), berdasarkan karakteristik tempat tinggal data tertinggi diperoleh pada perkotaan (12,6%) dan terendah perdesaan (8,8%) (Riskesdas, 2018).

2.1.3 Klasifikasi

Strok dapat dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu strok hemoragik dan strok iskemik. Strok hemoragik terjadi akibat perdarahan atau rusaknya pembuluh

(7)

7

darah otak. Sedangkan Strok iskemik terjadi akibat suplai darah ke otak terhambat atau terhenti. Strok iskemik adalah tipe yang paling sering ditemukan, 85% dari seluruh kasus strok. Sedangkan strok hemoragik mencakup 15% dari seluruh kasus strok (Humam dan Lisiswanti, 2015).

Strok iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak. Strok iskemik disebabkan oleh trombus yang menyebabkan oklusi menetap. Kejadian strok iskemik berjumlah 70-80% dari total kejadian strok. Strok iskemik berdasarkan perjalanan klinisnya dapat dikelompokan menjadi Transient Ischemic Attack (TIA), Reversible Ischemic Neurogical Deficits (RIND), strok progresif, dan strok komplit. Transient Ischemic Attack atau serangan strok sementara, merupakan gejala defisit neurologis yang hanya berlangsung kurang dari 24 jam. RIND, merupakan kelainan atau gejala neurologis yang menghilang kurang lebih 24 jam sampai 3 minggu. Strok progresif yaitu strok yang gejala klinisnya secara bertahap berkembang dari yang ringan sampai semakin berat. Strok komplit merupakan strok dengan defisit neurologis yang menetap dan sudah tidak berkembang lagi (Humam dan Lisiswanti, 2015).

The National Institute of Neurological Disorders Stroke Part III trial (NINDS III) membagi strok iskemik berdasarkan penyebabnya dalam empat golongan yaitu aterotrombotik, kardioemboli, lakuner, dan penyebab lain.

Aterotrombotik merupakan penyumbatan pembuluh darah oleh plak di dinding arteri. Kardioemboli merupakan sumbatan arteri oleh pecahan plak (emboli) dari jantung. Lakuner merupakan sumbatan plak pada pembuluh darah yang berbentuk lubang. Penyebab lain yaitu semua hal yang mengakibatkan tekanan darah turun atau hipotensi (Humam dan Lisiswanti, 2015).

Strok hemoragik merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut baik fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak yang disebabkan oleh perdarahan pada arteri serebralis. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam jaringan otak, sehingga terjadi hematom. WHO membagi strok hemoragik berdasar penyebabnya menjadi perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan suatu

(8)

8

aneurisma yang pecah ataupun karena suatu penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh. Perdarahan subarakhnoid diakibatkan masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain berupa perdarahan subarakhnoid sekunder atau sumber perdarahan berasal dari rongga subarakhnoid itu sendiri seperti perdarahan subarakhnoid primer (Humam dan Lisiswanti, 2015).

2.1.4 Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat diubah antara lain usia, jenis kelamin dan riwayat dalam keluarga :

1. Usia

Insiden strok meningkat seiring bertambahnya usia dan meningkat dua kali lipat setiap 10 tahun setelah usia 55 tahun. Hal ini berkaitan erat dengan proses penuaan yang mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi pembuluh darah seperti diameter lumen, ketebalan dinding, kekuatan dinding dan fungsi endotel yang mendasari aterosklerosis (Sultradewi Kesuma, Krismashogi Dharmawan dan Fatmawati, 2019).

2. Jenis kelamin

Pria lebih berisiko terkena strok dari pada wanita. Hal ini mungkin terkait bahwa laki-laki cenderung lebih banyak perokok. Sedangkan merokok, dapat merusak lapisan dari pembuluh darah bahwa orang-orang yang merokok memiliki kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi dibanding orang yang tidak merokok.

Peningkatan kadar fibrinogen ini dapat mempermudah terjadinya penebalan pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi sempit dan kaku. Dengan demikian, dapat menyebabkan gangguan aliran darah ke otak sehingga terjadi strok (Tamam, 2020).

3. Riwayat strok dalam keluarga

Riwayat strok dalam keluarga diduga berhubungan kuat dengan faktor- faktor risiko strok seperti hipertensi, diabetes, dan dislipidemia yang berada di bawah pengaruh genetic (Sultradewi Kesuma, Krismashogi Dharmawan dan Fatmawati, 2019). Selain faktor genetik, riwayat penyakit keluarga juga dapat dihubungkan dengan pola kebiasaan keluarga seperti pola makan (makanan tinggi

(9)

9

kalori, lemak dan garam) dimana biasanya pola makan yang tidak sehat yang dilakukan orang tua akan diikuti oleh anak-anak hingga mereka beranjak dewasa karena orang tua merupakan panutan anak-anaknya, dan karena ada pola kebiasaan buruk yang sama sehingga tidak menutup kemungkinan akan menderita permasalahan kesehatan yang sama pula (Tamam, 2020).

Faktor risiko yang dapat diubah antara lain merokok, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dyslipidemia dan trigliserida.

1. Perokok

Perokok dengan detak jantung yang lebih cepat memiliki risiko tinggi strok iskemik, dimana karbon monoksida dan nikotin yang masuk ke dalam aliran darah dapat mengurangi jumlah oksigen dalam darah dan membuat jantung berdetak lebih cepat sehingga juga dapat meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah tinggi atau hipertensi berkontribusi terhadap kerusakan pada arteri, mempermudah arteri untuk menyempit, dan secara signifikan meningkatkan risiko strok (Sultradewi Kesuma, Krismashogi Dharmawan dan Fatmawati, 2019).

Orang-orang yang merokok memiliki kadar fibrinogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok yang akhirnya mengakibatkan kepadatan darah berkurang. Selain merusak endotel pembuluh darah arteri, merokok juga dapat meningkatkan risiko penggumpalan darah dan penyempitan arteri (Sultradewi Kesuma, Krismashogi Dharmawan dan Fatmawati, 2019).

2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan pembuluh darah dan penyempitan tersebut kemudian akan mengganggu kelancaran aliran darah ke otak, yang pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak (Letelay, Huwae dan Kailola, 2019).

3. Hipertensi

Hipertensi diartikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang melebihi batas tekanan darah normal. Hipertensi merupakan faktor risiko yang potensial pada kejadian strok karena hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya

(10)

10

pembuluh darah otak atau menyebabkan penyempitan pembuluh darah otak.

Pecahnya pembuluh darah otak akan mengakibatkan perdarahan otak, sedangkan jika terjadi penyempitan pembuluh darah otak akan mengganggu aliran darah ke otak yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel-sel otak (Dinata, Safrita dan Sastri, 2013).

4. Kolesterol low-density lipoprotein (LDL)

Kolestrol LDL berfungsi membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jika kadar kolesterol ini tinggi dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan kolesterol di dalam sel yang dapat memicu terjadinya pengerasan dinding pembuluh darah arteri yang disebut sebagai proses atherosklerosis. Sedangkan kolesteol High- Density Lipoprotein (HDL) memiliki kerja yang berlawanan dengan kolesterol LDL, yaitu membawa kolesterol dari sel ke hati. Kadar HDL yang rendah justru memiliki efek buruk, memicu timbulnya pembentukan plak di dinding pembuluh darah arteri (Dinata, Safrita dan Sastri, 2013).

5. Trigliserida

Trigliserida merupakan lemak utama dalam makanan. Setelah sampai di usus, trigliserida akan dikemas dalam bentuk kilomikron dan Very Low Density Lipoprotein (VLDL), kemudian diangkut lewat darah. Saat trigliserida dicerna oleh lipoprotein lipase, kilomikron diubah menjadi sisa kilomikron sedangkan VLDL diubah menjadi bentuk Intermediate-Density Lipoprotein (IDL). IDL selanjutnya diurai menjadi bentuk LDL (Dinata, Safrita dan Sastri, 2013).

2.1.5 Tanda dan Gejala

Gejala umum yang terjadi pada strok yaitu wajah, tangan atau kaki yang tiba-tiba kaku atau mati rasa dan lemah, biasanya terjadi pada satu sisi tubuh.

Gejala lainnya yaitu pusing, kesulitan untuk berbicara atau mengerti perkataan, kesulitan untuk melihat baik dengan satu mata maupun kedua mata, kesulitan jalan, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, pingsan atau kehilangan kesadaran, dan sakit kepala yang berat dengan penyebab yang tidak diketahui (Widyaswara Suwaryo, Widodo dan Setianingsih, 2019).

(11)

11

2.2 Diabetes melitus tipe 2 2.2.1. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Perkeni, 2021).

2.2.2.Klasifikasi

Diabetes melitus tipe 2 digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu : 1. Diabetes melitus tipe 2 tipe 1

Diabetes melitus tipe 2 tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama insulin dependent diabetes melitus tipe 2, terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun). Sel beta pankreas merupakan satu satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh (Marzel, 2020).

2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Fatimah, 2016).

3. Diabetes melitus tipe 2 pada kehamilan

Diabetes tipe ini ditandai dengan kenaikan gula darah pada selama masa kehamilan. Gangguan ini biasanya terjadi pada minggu ke-24 kehamilan dan kadar gula darah akan kembali normal setelah persalinan (Kementrian kesehatan republik indonesia, 2020).

4. Diabetes tipe lain

Diabetes melitus tipe 2 tipe lainnya disebabkan oleh berbagai macam penyebab lainnya seperti defek genetik fungsi sel beta, defek genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 2 (Kurniawaty, 2015).

(12)

12

2.2.3. Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat diubah. Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat diubah dalam diabetes melitus tipe 2, antara lain :

1. Obesitas

Obesitas ialah penumpukan lemak dalam tubuh yang sangat tinggi. Kalori yang masuk ke tubuh lebih tinggi dibandingkan aktivitas fisik yang dilakukan untuk membakarnya sehingga lemak menumpuk dan meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2. Kriteria obesitas yakni IMT ≥25 kg/m2 atau ukuran lingkar perut ≥ 80 cm bagi wanita serta ≥ 90 cm bagi pria (Utomo et al., 2018).

2. Kurangnya aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas dapat memicu timbulnya obesitas pada seseorang dan kurang sensitifnya insulin dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan penyakit diabetes melitus tipe 2. Mekanisme aktivitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembangan diabetes melitus tipe 2 yaitu penurunan resistensi insulin, peningkatan toleransi glukosa, penurunan lemak adipose, pengurangan lemak sentral, perubahan jaringan otot (Rahmasari dan Wahyuni, 2019).

3. Kebiasaan merokok

Merokok adalah faktor risiko yang paling sering ditemui dalam berbagai penyakit termasuk diabetes melitus tipe 2, sensitivitas insulin dapat turun oleh nikotin dan bahan kimia berbahaya lain di dalam rokok. Nikotin dapat meningkatkan kadar hormon katekolamin dalam tubuh, antara lain adrenalin dan noradrenalin. Naiknya tekanan darah, denyut jantung, glukosa darah, dan pernapasan merupakan efek yang ditimbulkan dari pelepasan adrenalin tersebut (Utomo et al., 2018).

4. Dislipidemia

Dislipidemia ialah keadaan kadar lemak darah meningkat. Hal ini dapat berisiko menyebabkan diabetes melitus tipe 2. Dislipidemia sering mengiringi diabetes melitus tipe 2, baik dislipidemia primer (akibat kelainan genetik) maupun dislipidemia sekunder (akibat Diabetes melitus tipe 2, karena resistensi maupun defisiensi insulin). Toksisitas lipid memicu proses aterogenesis menjadi lebih progresif. Lipoprotein akan mengalami pergantian akibat perubahan metabolik

(13)

13

pada diabetes melitus tipe 2 seperti proses glikasi beserta oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan risiko resistensi insulin semakin tinggi sehingga menjadi diabetes melitus tipe 2 (Utomo et al., 2018).

Faktor risiko yang tidak dapat diubah. Adapun beberapa faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak dapat diubah diantaranya yaitu :

1. Usia

Semakin meningkat usia seseorang maka semakin besar kejadian diabetes melitus tipe 2 khususnya pada usia > 45 tahun karena pada usia tersebut berada difase awal terjadinya peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan tersebut menyebabkan kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin menurun (Listiani, Muthoharoh dan Prafitri, 2021).

2. Jenis kelamin

Perempuan lebih beresiko untuk terjadi diabetes melitus tipe 2 dibandingkan laki-laki karena terjadinya penurunan hormon estrogen terutama pada masa manepouse. Hormon estrogen dan progesteron memiliki kemampuan untuk meningkatkan respon insulin didalam darah, sebagai akibatnya pada masa manepouse terjadi, maka respon insulin menjadi menurun (Girsang, 2019).

3. Riwayat Diabetes melitus tipe 2 dalam keluarga

Peran genetik riwayat keluarga dapat meningkatkan risiko kejadian diabetes melitus tipe 2. Apabila keluarga ada yang menderita diabetes melitus tipe 2 maka akan lebih beresiko mengalami diabetes melitus tipe 2 (Utomo et al., 2018)

2.2.4. Manifestasi Klinik

Penurunan berat badan dapat menjadi gambaran awal pada pasien diabetes melitus tipe 2 khususnya diabetes melitus tipe 2, namun penurunan berat badan tersebut tidak signifikan dan tidak terlalu diperhatikan. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 yang baru terdiagnosis memiliki berat badan yang berlebih, gejala lain yang biasa muncul pada pasien diabetes melitus tipe 2, yaitu (Rahmasari dan Wahyuni, 2019).

(14)

14

1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)

Terjadi apabila peningkatan glukosa melebihi nilai ambang ginjal untuk reabsorpsi glukosa, maka akan terjadi glukosuria. Hal ini menyebabkan diuresis osmotic yang secara klinis bermanifestasi sebagai polyuria.

2. Polidipsia (peningkatan rasa haus)

Terjadi karena tingginya kadar glukosa darah yang menyebabkan dehidrasi berat pada sel di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melewati pori-pori membran sel. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan.

3. Polipaghia (peningkatan rasa lapar)

Terjadi karena penurunan aktivitas kenyang di hipotalamus. Glukosa sebagai hasil metabolisme karbohidrat tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan terjadinya kelaparan sel.

2.2.5. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 adalah untuk mencegah komplikasi dan menormalkan aktivitas insulin di dalam tubuh.

penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 terdiri dari empat pilar yaitu edukasi, diet, latihan jasmani dan pengobatan secara farmakologi (Rahmasari dan Wahyuni, 2019).

1. Edukasi

Tujuan dari edukasi adalah mendukung usaha pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya, mengetahui cara pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, disertai perubahan perilaku kesehatan yang diperlukan.

(15)

15

2. Diet

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Sesuai dengan kecukupan gizi baik, yaitu karbohidrat : 45-65 % total asupan energi, protein : 10-20 % total asupan energi, lemak : 20-25% kebutuhan kalori. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, usia, stres akut, kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.

3. Latihan Jasmani

Dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga dapat diperbaiki dengan berolah raga. Penderita diabetes melitus tipe 2 harus diajarkan untuk selalu melakukan latihan pada saat yang sama dan intensitas yang sama setiap harinya.

4. Farmakologi

Pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,dan adanya ketonuria insulin dapat segera diberikan.

2.2.6. Pencegahan

1. Pencegahan Premordial

Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya dengan multimitra.

Pencegahan premodial pada penyakit diabetes melitus tipe 2 misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.

(16)

16

2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita diabetes melitus tipe 2, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes melitus tipe 2 diantaranya(Fatimah, 2016).:

- Kelompok usia tua - Kegemukan

- Tekanan darah tinggi

- Riwayat keluarga Diabetes melitus tipe 2 - Dislipidemia

Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya diabetes melitus tipe 2 dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan (Fatimah, 2016).

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien diabetes melitus tipe 2, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan diabetes melitus tipe 2 meliputi (Fatimah, 2016):

- Penyuluhan

- Perencanaan makanan - Latihan jasmani 4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap (Fatimah, 2016).

(17)

17

2.3 Kerangka Teori

Stroke

Faktor Resiko

Tidak dapat diubah : - Usia

- Jenis kelamin - Riwayat stroke

dalam keluarga

Dapat diubah : - Merokok - Diabetes

melitus tipe 2 - Hipertensi - Kolestrol LDL - Trigliserida

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(18)

18

2.4 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang kebenaranya dibuktikan dalam penelitian setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis dapat benar atau juga salah, dapat diterima atau ditolak (Notoadmojo, 2010). Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapatnya hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan angka kejadian strok iskemik di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2020.

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependent

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Diabetes melitus tipe 2 Kejadian stroke

iskemik

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang: Faktor risiko usia, hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterol dan kebiasaan merokok diduga dapat berpengaruh terhadap kejadian presbikusis.. Belum terdapat

Sebelumnya izinkan saya untuk menjelaskan kepada Bapak/Ibu mengenai Indeks Massa Tubuh, aliran darah otak, stroke iskemik, hipertensi, diabetes melitus tipe 2 dan Transcranial

Tidak ada hubungan antara diabetes melitus dan kebiasaan merokok dengan derajat keparahan klinis stroke iskemik trombotik dari hasil uji analisis

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai perbandingan Stroke Non Hemoragik dengan faktor resiko Hipertensi, Diabetes Melitus, Hipertensi & Diabetes Melitus,

Selain itu, didapatkan nilai odds ratio (OR) sebesar 4,59. Kesimpulan: Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya strok iskemik. Penderita hipertensi mempunyai resiko

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari hasil analisis dengan Uji T menunjukkan bahwa nilai rerata CIMT sisi lesi penderita strok iskemik disertai diabetes melitus

Usia, hipertensi, obesitas, kadar kolesterol LDL dan merokok merupakan faktor risiko kardiovaskular yang dapat ditemukan pada pasien diabetes.. Ankle Brachial Index

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas dan seberapa besar faktor risiko Hipertensi sebagai faktor risiko timbulnya stroke iskemik di Rumah Sakit Pusat