BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dunia membutuhkan manusia lain untuk memperoleh keseimbangan demi berlangsungnya hidup sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Bukan hanya manusia saja yang hidupnya saling membutuhkan negara pun dalam menjalankan pemerintahannya membutuhkan negara-negara lain untuk membangun kerjasama baik bilateral, regional, maupun multilateral.
Hubungan kerjasama ini pun tidak serta merta berjalan mulus atau baik-baik saja, namun seringkali juga terjadi kesalahpahaman yang berujung pada genjatan senjata bahkan pernyataan perang. Banyak jenis senjata yang digunakan dalam perang bahkan pesawat-pesawat tempur yang dikerahkan untuk menyerang lewat udara.
Seiring perkembangannya pesawat tempur yang digunakan cukup banyak. Dewasa ini ada salah satu jenis pesawat yang seringkali digunakan dalam perang yaitu Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Pesawat Tanpa Awak (PTA) yang lebih dikenal dengan istilah Drone.
Menurut MSN Encarta, Pesawat tanpa awak adalah : An Unmanned Aerial, or Air Vehicle (UAV) is an uncrewed reconnaissance vehicle : an uncrewed aerial vehicle that can fly over combat zones and staging areas, droppingsupplies to troops, releasing bombs, carrying out reconnaissance on enemy forces.1 Terjemahan : (Pesawat Tanpa Awak (UAV) : kendaraan tanpa awak yang dapat terbang diatas zona pertempuran dan area pementasan, dapat menjatuhkan pasokan ke pasukan, melepaskan bom, melakukan pengintaian terhadap pasukan musuh.)
1 MSN Encarta ,Definition of Unmanned Aerial Vehicles, https://www.Drones.org/index.
php?page=what_is.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa UAV merupakan pesawat tanpa awak yang dikendalikan menggunakan sistem kendali dari jarak jauh untuk mencapai lokasi yang ditargetkan, membantu membawa pasokan bagi tentara, hingga melepaskan tembakan seperti bom. Defenisi ini secara tidak langsung mengartiakan UAV sebagai alat yang hanya digunakan dalam operasi militer.
Demikian halnya dalam kegiatan penerbangan, UAV bukan hanya sebagai alat pengitai namun sebagai salah satu keamanan dan keselamatan penerbangan yang sangat diperlukan guna mencapai keadaan penerbangan yang di inginkan, yakni sampai ke tempat tujuan dengan tiada kurang suatu apapun.2
Perang dunia pertama, sejak itulah penggunaan Drone sudah lama diterapkan.
Austria diketahui sebagai salah satu Negara yang pertama kali menggunakan Drone pada penyerangan 22 Agustus di Italia yang diciptakan oleh seorang insinyur Israel yang tinggal di Amerika bernama Abraham Karem. Balon udara merupakan bentuk pertama Drone yang digunakan dengan kelengkapan didalamnya terdapat bahan peledak. Menjelang berakhirnya perang dunia pertama Drone sebagai pesawat tanpa awak untuk pertama kalinya dirancang. Hewitt-Sperry Automatic Airplane dengan
2 Irma Halimah Hanafi, Analisis Kasus Penembakan Pesawat Udara Ukraina oleh Militer Iran Volume 1 Nomor 2, Oktober 2021: h. 91– 08 E-ISSN: 2775 –6149
kontrol menggunakan gyroscope saat itu menjadi pesawat dengan model pertama yang sukses dirancang dan diterbangkan ke angkasa.3
Menurut Fortune pada tahun 1995 pesawat drone canggih telah dikenal dalam dunia kemiliteran. Pesawat General Atomics M-Q-1 Predator mulai menjalani debutnya, hingga kini digunakan dan ditugaskan untuk melakukan kegiatan pemantauan maupun mata-mata. Drone yang dapat dikendalikan melalui perangkat smartphone merupakan drone yang diperkenalkan oleh Parrot pada tahun 2010 dengan nama AR Drone 4
Ada beberapa jenis drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) yang sering digunakan sebagai alat bantu pasukan militer dalam konflik bersenjata atau perang.
Pertama, Non Combat Drone adalah drone yang ditugaskan untuk tidak menjatuhkan bom, dan tidak diperbolehkan membawa senjata. Drone ini dapat diserang dengan sasaran militer yang sah, apabila drone sedang berperang dan merupakan bagian dari peralatan militer. Fungsi Non Combat Drone yaitu melakukan pemantauan, pengintaian dan pengumpulan data. Drone harus patuh pada aturan hukum negara dalam situasi perang dimana dia melakukan pengintaian. Negara yang dilalui drone mempunyai hak untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan dengan cara yaitu negara yang mengirim drone melakukan komunikasi dengan negara yang dilalui.
Dalam situasi damai bisa dilakukan dan dalam situasi perang itu merupakan resiko.
Kedua, Combat Drone adalah pesawat tanpa awak yang berbentuk menyerupai
3 Dikutip dalam artikel okezon.com oleh Moch Prima Fauzi, Jurnalis. Sejarah Drone dari Dulu hingga Kini, Senin 10 April 2017 11:49 WIB.
4 Ibid.
pesawat tempur, dimana langsung dianggap sasaran milter yang sah dan dapat menyerang musuh tanpa kehadiran musuh karena fungsi Combat Drone yaitu melakukan kerusakan pada militer musuh dengan cara serangan. Dalam penggunaan drone Prinsip Pembedaan, Proposional dan Pembatasan dalam Hukum Humaniter Internasional harus sesuai dan dijalankan.5
Drone dapat digolongkan dalam tiga cara sebagai senjata, yaitu : memberikan bantuan udara bagi pasukan yang berada di darat, bertujuan mencari aktivitas yang mencurigakan dengan cara berpatroli, melakukan targeted killing terhadap para target militer yang dicurigai (suspected militans).6 Sebagai salah satu alat bantu militer dalam perang, penggunaan drone pun tidak sedikit yang menyalahgunakannya hingga melangkahi aturan dan hukum kebiasaan dalam konflik bersenjata.
Drone merupakan sebuah alat yang dapat digunakan dalam perang maupun konflik bersenjata, yang dikontrol melalui remote-controlled weapon system dan dikendalikan oleh manusia. Tanggung jawab atas akibat dari penggunaan yang ditimbulkan dari drone tersebut tentu terdapat pada para komando, karena penggunaan dari alat tersebut telah melaui skema perencanaan, perintah dan penyerangan dari komando. Dalam beberapa alasan tertentu serangan drone dapat dikatakan mungkin memenuhi syarat bagi tindakan suatu pencegahan dalam
5 Jurnal Rina Rusman “Drone Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional” pada 12 April 2016. (Legal Adviser ICRC, Jakarta).
6 Jurnal Maman Abdullah dan Adwani “Tanggung Jawab Komando Atas Penyalahgunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Jenis Drone Dalam Hukum Humaniter Internasional” (Vol. III 2 Mei 2019, hal. 224-235.
serangan. Pertama dalam drone dapat dilihat berupa video yang tersedia memberikan pandangan langsung terhadap musuh atau target sehingga tidak adanya keberadaan warga sipil di sekitar target dalam detik terakhir atau beberapa menit dapat dipantau.7 Kedua, tampaknya lokasi keberadaan target serangan drone dapat diketahui menggunakan alat pelacak yang kemungkinan terpasang pada orang yang ditargetkan atau bahkan terpasang pada pesawat, peralatan, maupun barang bawaan. Ketiga, yang bertugas memonitor target didekatnya dalam beberapa kasus-kasus tertentu merupakan tugas dari pasukan militer. Keempat, selain rudal Hellfire dari jenis thermobaric, diyakini rudal yang ditembakkan dari drone sebagian besar memiliki ledakan dalam radius lebih kecil yang mungkin dipakai oleh sebuah jet tempur dari amunisi konvensional lainnya.8 Kemungkinan dari faktor-faktor diatas tidak dapat mengurangi resiko korban sipil, tetapi dapat meminimalkan tindakan pasti yang mungkin menewaskan warga sipil dengan tidak sengaja.9
Hukum Humaniter Internasional (HHI), telah mengatur mengenai hal tentang tata cara berperang yang telah diatur dan dirangkum sedemikian mungkin yang terdapat dalam beberapa konvensi internasional. Tujuannya yaitu untuk meminimalkan berkembangnya konflik berperang yang menyebabkan resiko korban, dampak, hingga kerugian yang dialami oleh negara akibat perang. Hukum Humaniter internasional selain itu juga dapat melindungi penduduk sipil ataupun
7 Seorang mantan pejabat kontraterorisme GedungPutih yang tidak disebutkan namanya dilaporkan menegaskan bahwa '"ada begitu banyakdrone" di udara di atas Pakistan "masalah perintahdan-kontrol” Lihat J. Meyer.
8 http://www.defenseindustrydaily.com/US-Hellfire-Missile-Orders-FY-2011-2014-07019
9 Stuart Casey-Maslen, Op.Cit.hal. 9.
kombatan dari beberapa penderitaan yang tidak perlu (unnecessarysuffering), memberikan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat fundamental bagi para tawanan perang, dan mencegah terjadinya perang secara kejam tanpa memperdulikan batasan.10
Hukum Humaniter Internasional (HHI) secara spesifik belum terdapat regulasi yang mengatur tentang penggunaan UAV. Apa yang hingga saat ini menjadi justifikasi oleh pihak-pihak yang tidak setuju atau berbeda pendapat akan penggunaan UAV merupakan bagian yang diaplikasikan kepada UAV bukan UAV itu sendiri. Studi Hukum Humaniter Internasional, menjelaskan bahwa yang seharusnya dilindungi dan dihargai oleh semua pihak terkhusus untuk pihak-pihak yang sedang berperang yaitu perlindungan akan nyawa manusia. Dari hal ini dapat kita lihat dan mengajarkan bahwa lebih mulia menyandra daripada melukai dan melukai lebih baik daripada membunuh.11
Berangkat dari anggapan tersebut, maka keberadaan UAV akan menjadi ancaman terhadap prinsip ini. Penggunaan UAV yang memiliki efektifitas yang sangat tinggi dapat menjadi alat pembunuh yang amat efisien dalam dunia berperang, mengingat akan kegunaan UAV sebagai pelacak yang telah dilengkapi dengan bermacam model senjata. Unmanned Aerial Vehicle (UAV) merupakan suatu teknologi yang jauh dari kata sempurna, namun seiring berkembangnya zaman,
10 Arlina Permanasariet. dkk., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC,Jakarta,1999,hal.11- 12.
11 Ciptahadi Nugraha, Ririn Tri Nurhayati, MA, dikutip dalam Jurnal “Penggunaan Unmaned Aerial Vehicle (UAV) dalam Pandangan Hukum Humaniter Internasional” Jakarta, 2021.
diyakini perkembangan UAV akan menjadi lebih canggih, semakin efektif dan efisien. 12
Banyak kontroversi yang ditimbulkan akibat penggunaan teknologi UAV yang belum lengkap dan sempurna ini menjadikan beberapa hal yang harus di pertimbangkan dalam menentukan instrument perang yang benar-benar layak digunakan dalam penggunan UAV.13
Terdapat pro dan juga kontra dalam dunia militer tentang penggunaan drone yaitu : Pro, menyelamatkan nyawa dimana keuntungan dari drone yang paling jelas adalah mengurangi menempatkan personel militer dalam bahaya atau dalam pertempuran. Ini karena banyak drone yangh tidak berawak dan karenanya tidak ada kehidupan manusia dalam bahaya. Kontra ialah, kemampuan terbatas yang dimiliki drone. Misalnya, warga sipil tidak dapat melakukan komunikasi untuk intelijen yang lebih rinci. Drone dalam menangkap personel militer yang menyerah ia tidak dapat melakukannya, perangkat keras yang ditinggalkan, atau pengkalan militer. 14
Aturan dalam Hukum Internasional, khususnya di bidang Hukum Humaniter Internasional mengenai ketentuan dalam keadaan konflik juga berperang kerapkali tidak ditaati oleh sejumlah negara, yang mempunyai potensi akan mengancam banyak nyawa dimana pihak yang semestinya dilindungi sesuai dengan Hukum Internasional di wilayah tempat terjadinya konflik.
12 Ibid.
13 Ibid.
14 Ihsanush Shabri, Penjelasan Lengkap Manfaat Drone Untuk Pertahanan dan Militer, diposting dalam artkel online, 19 Juni 2020.
Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I tahun 1977 : Dalam penelitian pengembangan dan akuisisi,atau adopsi senjata baru, cara atau metode berperang, pihak perjanjian tinggi berkewajiban untuk menentukan apakah pekerjaannya akan, dalam beberapa atau semua keadaan, dilarang oleh protokol ini atau oleh setiap aturan hukum internasional lainnya yang berlaku untuk pihak peserta agung.15
Hukum Kebiasan Internasional di bidang Hukum Humaniter Internasional, termasuk dalam rancangan RAW (Rule of Air Warfare) Den Haag 1922-1923 yang dirumuskan oleh Komite Ahli Hukum. Seperti halnya, demikian pula dengan drone tidak boleh dijatuhkan ke pemukiman yang banyak penduduknya seperti pada aturan terhadap pesawat udara militer (Konvensi Den Haag IV) RAW dimana penggunaan peralatan tanpa kabel atau senjata telah diatur termasuk juga pesawat.16
RAW hingga kini belum dijadikan sebuah konvensi. Namun dapat digunakan untuk membatasi penggunaan drone. Aturan-aturan yang dimiliki telah digunakan oleh negara-negara dalam pelaksanaan perang, jika dilihat maka hukum kebiasaan internasional sudah mengikat hal tersebut. Berkaitan dengan prinsip pembedaan Pertempuran dari udara yang sesuai terhadap drone.17
Walaupun demikian, regulasi mengenai penggunaan drone belum ada, tetapi bentuk tanggung jawab atas segala kerusakan yang di akibatkan atas penggunaan drone harus dibebankan. Karena Kebiasaan Hukum Internasional masih ada keberadaanya walupun secara tidak tertulis, namun harus tetap dihargai dan dijalankan. Dalam ilmu
15 Terjemahan bebas pasal 36 Protokol Tambahan I 1977.
16 Loc.cit.
17 Loc.cit.
hukum sendiri kita pun dapat mengenal istilah analogi hukum dimana dapat melakukan perbandingan antara satu dengan kasus-kasus lainnya yang mempunyai tujuan inti permasalahan yang sama sehingga dapat mengambil kesimpulan dan penyelesaiannya.
Terdapat beberapa konflik yang menggunakan senjata drone diantaranya Penggunaan drone oleh Amerika Serikat terjadi peningkatan sejak insiden Sembilan September di Pakistan. Pada tahun 2007 meningkat 4 serangan yang terjadi, hingga tahun 2010 terjadi peningkatan 122 serangan oleh Amerika Serikat.18
Penyerangan dari Amerika Serikat di Pakistan pada tahun 2004. Serangan Pesawat Tanpa Awak (PTA) milik pasukan Amerika serikat telah menewaskan ratuan korban sipil, serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Pakistan sampai dengan Januari 2021 telah terjadi sebanyak 350 serangan, dengan perkiraan korban jiwa mencapai 3,299 orang. Data ini merupakan temuan dalam investigasi yang dilakukan New America Foundation.19
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”
18 Heather Hurlburt, “Battlefield Earth”, Democracy, No.31, Winter 2014, hal. 58.
19 The Year of the Drone: An Analysis of U.S. Drone Strikes in Pakistan, 2004–2012". New America Foundation.http://counterterroris m.newamerica.net/drones, diakses pada 10 Juni 2015.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Pengaturan tentang Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dalam Konflik Bersenjata ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional?
2. Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban pihak yang menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami Pengaturan tentang Unmanned Aerial Vehiclel (UAV) dalam Konflik Bersenjata ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional
2. Untuk mengetahui dan memahami Bentuk pertanggungjawaban pihak yang menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional
3. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Studi Ilmu Hukum jenjang pendidikan Strata-1 (S1) di Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pengaturan tentang Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dalam Konflik Bersenjata ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pihak yang menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional.
3. Sebagai sumbangsih pikir bagi para praktisi hukum, dan bermanfaat bagi semua pihak dan masyarakat, pemerintah, dan penulis serta pengembangan hukum internasional kedepan.
E. Kerangka Konseptual
1. Konsep Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional (atau yang biasa ditulis dengan istilah hukum humaniter), dewasa ini lebih dikenal serta dipelajari dan merupakan salah satu cabang (branch) dari hukum internasional (international law), atau lebih tepatnya Hukum Humaniter merupakan salah satu bagian dari Hukum Internasional. Sehingga, karakteristik Hukum Humaniter tidak jauh berbeda atau hampir sama dengan hukum internasional. Seperti yang berhubungan dengan sumber-sumber hukum yang mengacu dan termuat pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (the Statuta of International Court of Justice/ICJ), yaitu meliputi:
Perjanjian Internasional (treaty), Hukum Kebiasaan Internasional (customary international law), Prinsip-Prinsip Umum Hukum (general principlesof law), Yurisprudensi (judicial decisions) dan Doktrin (doctrine)
atau pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicistsi).20
Istilah Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law atau IHL) dalam berbagai dokumen dan literatur sering dipakai bergantian dengan istilah Hukum Humaniter (humanitarian law) juga Hukum Humaniter Internasional yang tetap berlaku pada waktu konflik bersenjata (IHL applicable in armed conflit). Istilah terakhir yang sering digunakan dalam Protokol Tambahan I 1997 atas konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban sengketa bersenjata internasional, dan merupakan istilah yang paling lengkap 21
Hukum perang terbagi menjadi 2 bagian menurut Mochtar Kusumaatmadja yaitu sebagai berikut :
1. Jus ad Bellum ialah hukum yang mengatur tentang perang dan dalam hal bagaimana negara dapat dikatakan benar pada saat penggunaan kekerasan bersenjata.
2. Jus in Bello ialah hukum yang mengatur tentang perang, dan terbagi menjadi dua yaitu :
a. Hukum tentang bagaimana dilakukannya suatu perang (the conduct of war). Pada umumnya bagian ini umumnya disebut The Hague Laws.
b. Hukum yang mengatur tentang perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban dalam perang. Ini biasanya disebut The Geneva Laws.22
Hukum Humaniter Internasional, merupakan salah satu bagian dari Hukum Internasional, dimana dapat digunakan oleh setiap negara sebagai salah satu alat dan cara termasuk negara damai atau negara netral, untuk turut serta dapat
20 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hal. 169.
21 Ambarwati, dkk., Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakrta, 2017, hal. 28.
22 Haryomataram, Hukum Humaniter, CV Radjawali, Jakarta, 1994, hal 2-3.
mengurangi rasa penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara.
Hukum Humaniter Internasional dilandasi beberapa prinsip utama yaitu prinsip kemanusiaan (humanity), kepentingan militer (military necessity), prinsip proporsional/keseimbangan (proportionality), serta prinsip pembedaan (distinction).23 Hukum Humaniter Internasional sebagai suatu instrument yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional mengenai kebijakan serta pedoman teknis untuk menangani isu internasional yang berkaitan dengan kerugian hingga korban perang. Dengan memberikan makanan dan membagikan obat-obatan tidak hanya cukup untuk mengurangi penderitaan yang dirasakan para korban perang, tetapi perlu disertai adanya usaha untuk meningkatkan cara berperang oleh pihak yang melakukan operasi tempur agar dapat dilakukan dalam batas-batas perikemanusiaan. Hukum Humaniter Internasional memuat tentang aturan perlindungan korban dalam konflik serta tentang pembatasan alat dan tata cara berperang, dengan demikian hal tersebut dapat berjalan dengan baik apabila pihak-pihak terkait menghormati, menjalankan serta mempraktikan Hukum Humaniter Internasional. 24
2. Konsep Pertanggung Jawaban Negara
23 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-5, 2014. hal. 363.
24 Haryomataram op.cit. hal. 27.
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang mengandung arti keadaan yang diwajibkan untuk menanggung segala sesuatunya (jika terdapat sesuatu hal, dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).
Konsep yang berkaitan dengan konsep kewajiban hukum menurut Hans Kelsen adalah sebuah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban) hukum.
Bahwa seseorang secara mata hukum bertanggungjawab atas setiap perbuatan tertentu yang diperbuatnya serta mendapat suatu sanksi akibat perbuatannya yang bertentangan.
Biasanya, bila sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggungjawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.25
Berdasarkan perintah Hukum Internasional, tanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh negara kepada negara lain .26
Dalam Hukum Internasional, suatu tanggung jawab internasional (international responsibility) atau yang biasa disebut dengan istilah tanggung jawab negara (state responsibility) adalah suatu prinsip yang mengatur tentang adanya pertanggungjawaban yang timbul oleh suatu negara kepada negara yang lain akibat perbuatan kesalahan atau kelalaian dari negara tersebut sehingga menimbulkan akibat terhadap negara atau orang lain. Suatu kelalaian atau
25 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Terjemah, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008, hal. 136.
26 Rebecca M.M. Wallace, International Law, Fourth Edition, Sweet and Maxwell, London, 2002, hal. 175.
kesalahan yang dilakukan negara tersebut pada dasarnya dapat menimbulkan dampak yang apabila akibatnya tersebut dirasakan oleh negara lain maka akan timbul suatu pertanggungjawaban yang dalam hukum internasional dinamakan dengan prinsip international responsibility.27
Hukum tentang tanggung jawab negara terkait dengan suatu jurisdiksi negara adalah hukum yang memuat tentang pengaruh atau kekuasaan negara untuk dapat melakukan suatu tindakan, sedangkan hukum yang mengatur tentang kewajiban negara merupakan hukum tentang tanggung jawab negara yang timbul bilamana negara tersebut telah melakukan atau tidaknya suatu tindakan.28
Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara yang memiliki tanggung jawab internasional yaitu apabila negara tersebut telah mencapai suatu unsur- unsur pertanggungjawaban negara.
Menurut Shaw, sesuatu yang menyatakan karakteristik penting dari munculnya suatu tanggung jawab negara dipengaruhi oleh beberapa faktor diataranya yaitu :
1. Adanya hal mengenai kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.
2. Adanya hal mengenai perbuatan atau kesalahan yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara.
3. Adanya hal mengenai kerusakan atau kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindakan serta yang melanggar hukum atau kelalaian.29
27 http://repository.unpas.ac.id/27471/4/G.%20BAB%20II.pdf.
28 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional : Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Pertama, 1991, hal. 203.
29 Ibid, hal. 542.
Berdasarkan beberapa faktor diatas, maka bilamana suatu negara mengerjakan tindakan baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun suatu badan atau perorangan yang dalam sebuah negara telah melanggar hak-hak negara lain dalam hukum internasional, maka prinsip pertanggungjawaban internasional dapat dikenakan kepada negara pelaku tersebut.
3. Konsep Kedaulatan Suatu Negara
Kedaulatan berasal dari bahasa Inggris, yaitu “sovereignty”, dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah “souverainete”, dan dalam bahasa Itali disebut dengan ”sovranus”, serta dari bahasa Latin berasal dari kata ”superanus”, yang memilki arti yang tertinggi atau teratas (supreme). Kedaulatan (sovereignty) dapat juga digunakan sebagai sinonim untuk istilah kemerdekaan (independent).
Kedaulatan juga merupakan kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum suatu negara serta konsep kedaulatan sehingga kekuasaan pemerintahan yang tertinggi dalam suatu negara yang ditujukan untuk kepentingan bersama warga negaranya.30
Pengertian kedaulatan memilki dua arti yaitu negatif juga positif.
Kedaulatan dalam arti negatif memilki arti yaitu negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang memiliki status yang lebih tinggi atau kekuasaan apapun dan dari manapun tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Kedaulatan dalam arti positif merupakan kedaulatan yang
30 Iman Santoso M, Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara dalam Sudut Pandang Keimigrasian, Binamulia Hukum, Volume 7, Nomor 1, 2018.
memberikan titulernya kepada suatu negara pemimpin yang tertinggi atas negaranya, dan halini dinamakan dengan wewenang penuh dari suatu negara.31
Kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki oleh suatu negara karena negara berdaulat atau sovereign. Suatu negara mempunyai kekuasaan atas suatu wilayah atau teritorial dan hak-hak yang kemudian timbul dari penggunaan kekuasaan teritorial merupakan prinsip kedaulatan. Larangan untuk melakukan campur tangan terhadap keberadaan negara lain merupakan prinsip kedaulatan negara yang ditegaskan. Suatu negara dikatakan berdaulat tersebut jika negara tersebut mempunyai kekuasaan tertinggi, walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batasan. Berarti bahwa dalam kekuasaan terbatas pada batas wilayah suatu negara yang mempunyai kekuasaan itu dan kekuasaan akan berakhir apabila kekuasaan suatu negara lain dimulai itu merupakan ruang keberlakuan kekuasaan tertinggi yang dibatasi oleh batas wilayah tersebut. 32
Kedaulatan negara (state sovereignty) dan kesederajatan (equality) antar negara dalam hukum internasional merupakan suatu konsep yang diakui dan yang menjadi dasar bekerjanya sistem hukum internasional. Dasar pesona dan atribut yang melekat pada negara merdeka sebagai subjek hukum internasional merupakan kedaulatan dan kesederajatan negara. Berdasarkan konsep dari hukum internasional tersebut, kedaulatan dibagi dalam tiga aspek yaitu sebagai berikut:
31 Ibid.
32Nike K Rumokoy, Kedaulatan dan Kekuasaan dalam UUD 1945 dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Unsrat, Volume 23, Nomor 9, 2017.
1. Aspek ekstern kedaulatan merupakan hak bagi setiap negara untuk dapat menentukan secara bebas hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok- kelompok lain tanpa tekanan atau pengawasan dari negara lain.
2. Aspek intern kedaulatan merupakan hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk dapat menentukan bentuk lembaga, serta cara kerja lembaga, dan hak untuk membuat undang-undang, serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
3. Aspek teritorial kedaulatan merupakan kekuasaan penuh dan eksklusif serta dimiliki oleh suatu negara atas individu-individu serta benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.33
F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan maka tipe penelitian ini bersifat penelitian hukum Yuridis Normatif, atau suatu penelitian hukum doctrinal yaitu suatu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder yaitu tentang kaidah-kaidah, norma-norma, dan asas hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
2. Pendekatan Masalah
33 Sigit Riyanto, Kedaulatan Negara dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer, Yustisia, Edisi 84, 2012.
Terkait dengan penelitian hukum normatif , tipe penelitian ini bersifat penelitian hukum Yuridis Normatif. Dalam penulisan hukum terdapat macam-macam pendekatan menurut Peter Mahmud Marzuki, yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah :
a. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) b. Pendekatan Kasus (case approach)
c. Pendekatan Historis (historical approach)
d. Pendekatan Perbandingan (comparative approach) e. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) 34
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan di atas adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach).
3. Bahan Hukum
Untuk melaksanakan penelitian ini, maka penulis menggunakan data sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Meliputi bahan hukum utama berupa ketentuan-ketentuan hukum internasional, konvensi-konvensi, piagam, undang-undang, doktrin dan pendapat dari para pakar hukum.
b. Bahan Hukum Sekunder
34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum : Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 93.
Meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer untuk studi kepustakaan seperti buku teks, artikel, dan jurnal yang berasal dari penelitian di bidang hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Diperoleh dari internet, media berita, kamus, dan faktor-faktor hukum yang terjadi dalam praktek.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini ditempuh dengan melakukan studi kepustakaan (library research) yaitu menganalisis bahan- bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian.
5. Analisa Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik analisis data kualitatif, dalam pendekatan kualitatif setelah bahan- bahan hukum di susun secara sistematis kemudian dianalisis dan selanjutnya dapat ditarik kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari :
1. Bab I pendahuluan terdiri atas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
2. Bab II terdiri atas pembahasan permasalahan pertama 3. Bab III terdiri atas pembahasan permasalahan kedua
4. Bab IV Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.