• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia diberkahi dengan luasnya hutan tropis yang di dalamnya ditinggali berbagai keanekaragaman hayati sebagai kekayaan alam Indonesia. Zerner (dalam Keraf, 2010:13) menjelaskan bahwa secara tidak langsung, puluhan juta masyarakat Indonesia bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mengumpulkan hasil hutan dan suplai air bersih (Keraf, 2010). Begitu pula dengan masyarakat di Baturraden, Kabupaten Banyumas. Masyarakat di lereng Gunung Slamet Banyumas seringkali bermasalah dengan suplai air yang keruh, kekhawatiran bencana tanah longsor dan banjir akibat deforestasi hutan lindung terbuka dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Kawasan Baturraden yang berdampak pada pencemaran aliran sungai. Proyek ini di jalankan oleh PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) dan STEAG GmbH (German) dengan pembagian nilai saham sebanyak 75% untuk STEAG GmbH dan sisanya 25% untuk PT. SAE (Richter, 2017).

Polemik pembangunan PLTP ini juga di warnai akrobatik hukum. Menurut Dosen Hukum Lingkungan di Universitas Jenderal Soedirman yaitu Abdul Aziz Nasihuddin, ada akrobatik hukum yang dijalankan demi melegalkan aktivitas pembangunan PLTP ini (Muzaki, 2017). Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi menjelaskan, PLTP digolongkan sebagai aktivitas pertambangan, sedangkan menurut pada Pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun

(2)

1999 tentang Kehutanan, “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” Dalam pasal ini terbuka maksudnya pola penambangan di atas permukaan tanah. Selanjutnya, keluar UU baru yaitu UU Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi yang kemudian menjadi dasar PT. SAE menggarap proyek pembangunan PLTP sekaligus mengubah status proyek yang awalnya sebagai Pertambangan menjadi Pemanfaatan Tidak Langsung atau aktivitas Jasa Lingkungan seperti yang tertera dalam UU terbaru yaitu Pasal 24 (2) UU No. 21 tahun 2014 Tentang Panas Bumi, yang kemudian berdasarkan hal itu PT. SAE dapat mengantongi Izin Usaha Pertambangan IUP yang kemudian di sesuaikan menjadi Izin Panas Bumi (IPB) berdasar Keputusan Menteri ESDM Nomor 4577 K/30/MEM/2015 (Richter, 2017).

Alhasil, aktivitas proyek pembangunan PLTP tersebut tetap berjalan hingga saat ini. Pemerintah dengan segala keputusannya tetap bersikukuh untuk melegalkan proyek eksploitasi kekayaan alam berupa energi panas bumi yang dilakukan dengan tidak memenuhi syarat sebagai aktivitas yang mampu menjamin keamanan masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet Kabupaten Banyumas. Proyek ini berada di kawasan terbuka hutan lindung yang fungsinya menurut UU No. 41 tahun 1999 yaitu untuk mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah .

Menurut Permenhut Republik Indonesia Nomor 30 tentang deforestasi dan degradasi hutan, deforestasi merupakan perubahan permanen area hutan menjadi tidak berhutan. Di Indonesia sendiri, tingkat laju kerusakan hutan dan degradasi hutan rata-rata sekitar 2,5 juta hektar sampai pada tahun 2010 (MacLean and Black,

(3)

2006). Hal ini menunjukkan bahwa laju deforestasi di Indonesia hampir 2,5 kali lipat lebih tinggi dari laju deforestasi yang mencapai 0,9 juta hektar per tahun, meskipun kemudian lajunya relatif menurun. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh pembukaan lahan perkebunan maupun aktivitas ilegal seperti pencurian kayu alam dari hutan. Selain itu, kerusakan hutan juga melingkupi kebakaran hutan yang hampir terjadi setiap tahun baik disengaja maupun tidak (Keraf, 2010). Apabila hal tersebut semakin berlanjut dikhawatirkan akan mengancam keamanan masyarakat di sekitarnya.

Wacana tentang isu keamanan manusia merupakan isu dalam studi hubungan internasional di era kontemporer. Pada awalnya banyak yang beranggapan bahwa ketika perang dingin berakhir, situasi dunia akan menjadi lebih aman, damai dan kondusif, tetapi isu keamanan justru bergeser dari tradisional ke non-tradisional antara lain isu lingkungan, ekonomi, perdagangan, ketahanan pangan dan kesehatan (Goldstein and Pevehouse, 2005). Keamanan tidak lagi berkutat pada lingkup negara saja, tetapi juga terkait dengan keamanan manusia atau Human Security (Carlsnaes, Thomas and Beth, 2002). Human security dijamin oleh Negara, Organisasi Negara atau Non-Negara, Perusahaan Multinasional, LSM bahkan Individu. Akan tetapi interaksi dan kerjasama tidak selalu bernilai positif bagi semua, diantara interaksi antar aktor inilah ancaman-ancaman keamanan manusia muncul (Alkire, 2003).

Konsep Human Security bukan berarti berkaitan langsung dengan suasana konflik, gencatan senjata ataupun ancaman dalam aktivitas militer lain. Human Security sama seiring dengan banyak aspek kehidupan masyarakat serta memiliki

(4)

makna yang sangat penting (Tadjbaksh and Chenoy, 2008). United Nation Development Programme (UNDP) mengkategorikan Human Security menjadi 7 bagian; Security of Economic, Food, Health, Environmental, Personal, Community dan Political Security yang seluruhnya menjamin adanya perlindungan terhadap aspek penting dalam kehidupan manusia yang bersifat universal atau tidak terbatas pada batas, atau wilayah suatu negara saja (UNDP, no date). Booth (dalam Tadjbaksh dan Chenoy, 2008:90) mengatakan bahwa perlindungan dan jaminan terhadap keamanan manusia harus di jamin oleh semua aktor dari mulai negara, governmental atau non-governmental organizations, perusahaan multinasional, individu bahkan seluruh umat manusia (Tadjbaksh and Chenoy, 2008). Beberapa diantaranya adalah keamanan dalam aspek ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, dalam aspek pangan seperti kelaparan, dalam aspek kesehatan seperti perlindungan dari penyakit, akses kesehatan sampai dalam keamanan lingkungan seperti, perlindungan dari bencana, akses air bersih, perlindungan dari polusi air dan udara, deforestasi dan sebagainya (Tadjbaksh and Chenoy, 2008).

Berdasarkan uraian diatas dan sederet polemik pembangunan PLTP penulis beranggapan bahwa penelitian ini menarik untuk dikembangkan karena isu tentang Human Security di Indonesia pada khususnya di bidang lingkungan masih kerap tidak menjadi perhatian khusus.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rangkaian penjelasan yang tertuang dalam latar belakang penelitian di atas, penulis menetapkan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, sebagai berikut; “Mengapa aktivitas deforestasi hutan lindung dalam pembangunan PLTP Baturraden mengancam Human Security masyarakat di sekitarnya?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasar rumusan masalah, penelitian ini memiliki tujuan yang dimaksudkan memuat tujuan umum dan khusus sebagai berikut;

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui isu deforestasi hutan lindung dalam proyek pembangunan PLTP Baturraden di kawasan lereng Gunung Slamet dan kaitannya dengan ancaman terhadap human security masyarakat di sekitarnya secara detail serta mendalami hubungan negara dan swasta dalam praktiknya terhadap prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui perkembangan Proyek pembangunan PLTP Baturraden dan ancamannya terhadap human security menggunakan pendekatan konsep human security.

(6)

b. Untuk megetahui hubungan antar aktor yang terlibat dalam kasus ini menggunakan analisis pendekatan Teori Kritis (Critical Theory).

c. Untuk mengetahui hubungan antara Critical theory dan Konsep Human security dalam menjelaskan masalah dalam aktivitas deforestasi.

d. Untuk mengetahui seberapa besar hubungan negara dan perusahaan dalam mempraktikan prinsip-prinsip SDGs.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, penulis merumuskan manfaat penelitian yang dibagi menjadi dua, yaitu;

1.4.1 Manfaat Akademis

Sebagai sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan terkhusus ilmu hubungan internasional terhadap wacana tentang ancaman terhadap human security dengan menampilkan keterlibatan negara dan perusahaan multinasional sebagai aktor dalam hubungan internasional di era kontemporer.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai referensi pihak yang terkait dan terlibat dalam isu deforestasi di kawasan lereng Gunung Slamet sebagai salah satu upaya penyelesaian isu tersebut.

1.5 Kerangka Teori

(7)

Permasalahan dalam pembangunan PLTP Baturraden telah diteliti sebelumnya dalam beberapa penelitian akademis yang penulis tarik sebagai acuan pemilihan state of the art yang akan dibahas dalam penelitian ini. Literature review yang penulis tarik yaitu;

Pertama, penelitian (Qorizki dan Permadi, 2019) dengan judul “Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Lingkungan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Hutan Lindung Gunung Slamet, Jawa Tengah.” Penelitian ini menjelaskan tentang persepsi masyarakat atas dampak lingkungan yang bersumber dari pembangunan PLTP Baturraden pada aspek sosial, aspek ekonomi, serta aspek lingkungan. Dari penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat berbagai persepsi yang muncul akibat dampak yang terjadi. Masyarakat terbagi menjadi setuju dengan Pembangunan PLTP dan tidak setuju, berdasarkan masyarakat terdampak langsung dan tidak terdampak langsung (Qorizki and Permadi, 2019).

Kedua, penelitian (Latifah, 2019) dengan judul “Dampak Pembangunan PLTP Baturraden dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan.” Penelitian ini menjelaskan tentang dampak yang terjadi akibat pengelolaan sumber energi terbarukan yang tidak tepat dengan standar yang sudah di tentukan. Standar yang dimaksud antara lain syarat KLH, pembangunan berkelanjutan memenuhi;

depletion of natural resources dan Useable resource and replaceable resourc meningkat dalam setiap kegiatan. Selain KLH, dalam penelitian ini juga disebutkan prinsip-prinsip dalam Deklarasi RIO bahwa setiap negara memiliki hak daulat memanfaatkan sumberdaya alam mereka sendiri (Latifah, 2019).

(8)

Ketiga, penelitian Zufar dan Azami (2021) dengan judul “Is Geothermal Power Plant (PLTP) on Mount Slamet Necessary?.” Penelitian ini menjelaskan tentang hasil identifikasi tentang kekurangan dalam pemenuhan prosedur, mulai dari tahap perencanaan hingga tahap implementasi. Pada tahap perencanaan dijelaskan tentang akrobatik hukum yang semata-mata dilakukan untuk melegalkan aktivitas ekplorasi PLTP di Baturraden. Hal ini kemudian yang menjadi awal munculnya persoalan yang dampak terhadap masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet secara signifikan. Dimana ketika tahap implementasi, terjadi pencemaran air sungai yang disebabkan oleh guguran material pembukaan lahan, turunnya satwa hutan yang masuk ke desa-desa yang merusak lahan pertanian warga, sehingga mengganggu dan mengakibatkan kerugian material masyarakat sekitar (Zufar and Azami, 2021).

Keempat, penelitian Awaludin (2018) yang berjudul, ”The Moral Panic Crime in the Geothermal Exploration Project in Banyumas.” Penelitian ini menjelaskan bahwa eksplorasi panas bumi yang dilakukan dalam proyek pembangunan PLTP Baturraden menimbulkan kepanikan moral dan kecemasan akibat tercemarnya aliran sungai akibat proses eksplorasi. Hal ini dianggap sebagai sinyal atas praktik kejahatan lingkungan yang terjadi kawasan hutan lindung di lereng Gunung Slamet. Kepanikan moral tersebut kemudian memicu reaksi sosial menuntut ditegakkannya penegahakan hukum yang sesuai terhadap perilaku kejahatan lingkungan terhadap kawasan hutan lindung di Lereng Gunung Slamet yang mengancam keamanan masyarakat di sekitar (Awaludin, 2018).

(9)

Kelima, penelitian (Ramadhan dkk, 2021) yang berjudul “Analisis Dampak Sosial Ekonomi Budaya Kegiatan Eksplorasi Panas bumi di WKP Baturraden (Studi Kasus di Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas).” Penelitian ini menjelaskan tentang klasifikasi dampak akibat aktivitas eksplorasi panas bumi pada hutan lindung di lereng Gunung Slamet. Penelitian ini membagi tingkat urgensi dampak menjadi cukup penting dan sangat penting.

Dimana poin tingkat sangat penting merupakan dampak yang dirasakan masyarakat di Desa Karang Tengah yaitu adanya penurunan kenyamanan masyarakat dan persepsi masyarakat yang berubah. Yang dimaksud Persepsi dalam penelitian tersebut yaitu perubahan pandangan masyarakat terhadap proyek pembangunan PLTP Baturraden, yang pada awalnya netral, berubah ketika terjadi pencemaran air di beberapa sungai dan beberapa persoalan akibat aktivitas eksplorasi, masyarakat terbagi menjadi 37% yang masih optimis adanya PLTP Baturraden akan mengangkat ekonomi masyarakat dengan terciptanya lapangan kerja baru dan 63%

masyarakat yang skeptis dengan PLTP Baturraden yang menganggap kehadirannya hanya akan menimbulkan rasa tidak aman akan adanya bencana susulan, dan juga rasa tidak percaya dengan penyerapan tenaga kerja terhadap masyarakat sekitar (Ramadhan, Muslihudin and Effendi, 2021).

Berdasarkan pada permasalahan yang diangkat dan penjelasan literature review yang penulis tarik, penelitian ini hadir menggunakan pendekatan Critical Theory (Teori Kritis). Pendekatan ini muncul sebagai alternatif baru dalam memandang keamanan selain paradigma klasik seperti Realisme dan Liberalisme, yang menggambarkan adanya pergeseran paradigma utama (MacLean and Black,

(10)

2006). Selama abad ke-20, sejalan dengan hadirnya perspektif baru yang relevan untuk menjelaskan isu, studi hubungan internasional dapat dikatakan berkembang secara progresif. Dimana berbagai paradigma baru, teori dan konsep yang muncul merupakan upaya konstruksi studi hubungan internasional dalam membahas politik luar negeri era kontemporer, persoalan hukum dan organisasi internasional, studi kawasan, kajian strategis, pembangunan dan komunikasi internasional, studi perdamaian dan upaya penyelesaian konflik (Tizley, 2016). Berkenaan dengan itu, salah satu pendekatan yang muncul adalah Critical Theory. Teori Kritis erat kaitannya dengan Ekonomi Politik dari Marxis, dengan tokohnya Robert Cox dan Andrew Linklater. Critical Theory (Frankfurt School) adalah gerakan filosofis- sosiologis yang berfokus pada kritik terhadap modernitas dan masyarakat kapitalis, definisi emansipasi sosial, serta deteksi patologi sosial dalam masyarakat (Corradetti, no date). Critical theory secara umum menolak tiga dasar positivisme, berupa; Kondisi realita eksternal yang objektif, perbedaan signifikan antara subyek dan obyek, ilmu sosial adalah ilmu bebas nilai dan kondisi masyarakat di era konvensional merupakan konstruksi atas waktu dan tempat dimana sistem internasional adalah contoh konstruksi khusus yang bersumber dari negara-negara kuat, dan menimbulkan keuntungan tidak bersifat absolut melainkan relatif. Critical theory berpendapat bahwa analisis bebas nilai dalam ilmu sosial adalah tidak mungkin. Salah satu pelopor teori kritis, Robert W. Cox menegaskan bahwa "teori selalu untuk seseorang dan untuk beberapa tujuan". Pengetahuan yang muncul merupakan royeksi kepentingan pengamatnya, karena dihasilkan dari perspektif

(11)

sosial dari analis, termasuk semua pendekatan dalam hubungan internasional.

Theory is always for someone and some purposes” (Cox, 1991).

Berbicara mengenai gangguan terhadap keamanan, wacana hubungan internasional kontemporer tidak bisa lepas dari keamanan pada lingkup individu manusia atau human security. Dalam memandang human security, critical theory hadir untuk mempertanyakan negara dan pandangannya terhadap aspek keamanan di tengah tren globalisasi. Critical theory hadir untuk mendorong pemahaman terhadap konsep keamanan manusia menjadi berkembang, menantang isu “high politics” dengan mengangkat isu “low politics”. Isu low politics mencakup isu yang berkembang di era pasca perang dingin seperti kemiskinan, kelangkaan, kelaparan, lingkungan, air dan pembangunan berkelanjutan. Human Security dapat dianggap sebagai jawaban atas perdebatan antara dua atau lebih paradigma yang berlawanan, yang satu sama lain memperjuangkan hati dan jiwa pembuatan kebijakan di tataran global (Fakiolas, 2011). Dari berbagai isu low politics tersebut penelitian ini akan membahas tentang kemunculan rasa tidak aman dan kekhawatiran sebagai akibat dari proses atas rancangan pembangunan berkelanjutan, isu lingkungan dan kesehatan sebagai isu dari percepatan pembangunan. Topik lingkungan semakin sering muncul pada agenda internasional sejak pertengahan 1970-an (Tizley, 2016).

Semakin meningkatnya jumlah penduduk di berbagai negara dan paling tidak di negara Barat, percaya bahwa aktivitas ekonomi dan sosial manusia berjalan dengan cara yang mengancam lingkungan (McDonald, 2003).

(12)

Pada era pembangunan dewasa ini, SDGs (Sustainable Development Goals) merupakan acuan bagi negara dan kerjasama antar aktornya. Diawali dengan berakhirnya MDGs (The Millenium Development Goals) pada tahun 2015 dan pertemuan berikutnya pada 25-27 September tahun 2015 di New York, dihadiri oleh perwakilan 193 negara, dokumen SDGs disahkan. Sebanyak 193 negara dibawah PBB, mengadopsi sebuah dokumen yang berjudul ”Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development.” Dokumen tersebut memuat 17 goals yang berisi berbagai capaian MDGs pada periode sebelumnya dengan tujuan kelanggengan capaian-capaian tersebut. Sebagai negara bagian dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), dengan segala persoalan yang tengah dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan, Indonesia ikut berkomitmen menyukseskan persoalan dan isu-isu dalam dokumen SDGs. Bagi Indonesia, persoalan kemiskinan merupakan masalah serius yang tidak mudah diselesaikan, meskipun berdasarkan angka statistik, kecuali pada tahun 2006 Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan setiap tahunnya. Selain permasalahan kemiskinan, SDGs juga memuat isu-isu kontemporer yang selaras dengan perkembangan ilmu hubungan internasional. Isu-isu tersebut antara lain adalah kemiskinan, kelaparan, isu lingkungan dan respon terhadap perubahan iklim (Climate Change).

1.5.1 Deforestasi

Deforestasi adalah alih fungsi hutan dengan menebang tutupan vegetasi alami yang sebagian besar berupa hutan untuk diambil kayunya dan atau mengubah peruntukkan lahan hutan menjadi kawasan non-hutan seperti lahan pertanian, peternakan, pengembangan industri, dan

(13)

pemukiman (Kooten dan Bulte, 2000). Hutan merupakan bagian yang menutupi 31% dari luas daratan bumi yang membantu manusia bertahan hidup dan berkembang dengan memurnikan air dan udara serta ladang pekerjaan bagi sekitar 13,2 juta orang di seluruh dunia. Hutan juga berperan penting dalam perubahan iklim, dikarenakan hutan menyerap karbondioksida yang harus bebas pada atmosfer serta berkontribusi terhadap perubahan berkelanjutan pola dalam iklim.

Seiring dengan manfaatnya, hutan juga merupakan sektor potensial sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia melalui aktivitas deforestasi (WWF Indonesia, no date). Di hutan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, 17% dari hutan telah hilang, karena perubahan fungsi hutan untuk lahan peternakan. Sementara deforestasi tampaknya menurun di beberapa negara, tren justru tetap stabil bahkan naik di Brasil dan Indonesia dan ancaman serius terhadap hutan-hutan paling bernilai di dunia tetap ada.

1.5.2 Human Security

Gagasan human security merupakan hasil dari upaya memunculkan alternatif baru selain realisme dalam studi keamanan (Tadjbaksh and Chenoy, 2008) dimana konsep ini diusulkan dan dipopulerkan pada era 90- an, ketika para optimisme tetap berpendirian bahwa dalam the new world order, pembagian dan persebaran perdamaian dapat dimungkinkan dengan mendefinisikan keamanan sebagai peningkatan kondisi “bebas dari kekurangan” pula “bebas dari rasa takut” (MacLean and Black, 2006).

(14)

Meskipun human security pada awalnya sering dipahami sebagai alternatif, sebenarnya human security muncul pertama kali sebagai kebijakan yang diilhami dari Human Development Reports UNDP 1994 yang dapat diterima sebagai tonggak dasar studi Human Security. Menurut UNDP Report 1994 tersebut, human security dapat diartikan, yang utama yaitu keselamatan dari ancaman kronis penyakit, tindakan represi dan kelaparan, juga merupakan perlindungan dari segala bentuk gangguan mendadak dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam rumah, lingkup pekerjaan ataupun lingkup masyarakat. Artinya, human security berfokus pada kebutuhan inti (Newman, 2010). Dengan demikian, human security berkaitan dengan kapasitas mengidentifikasi ancaman untuk menghindari kemungkinan ataupun mengurangi dampak ketika ancaman terjadi (Tadjbaksh and Chenoy, 2008).

Hal ini yang menjadi berbeda dengan pengkategorian dalam human security realisme klasik yang mengatakan bahwa masalah keamanan merupakan masalah high politics di lingkup negara yang justru dipahami sebaliknya yaitu sebagai permasalahan low politics, ini berarti bahwa masalah utama human security adalah threats non-militer, seperti masalah lingkungan, epidemi penyakit, atau kemiskinan (Inglehart and Norris, 2012). Dalam menantang ortodoksi neo-realisme, human security berargumen bahwa bagi sebagian besar orang, definisi ancaman adalah tentang dampak yang muncul dari konflik internal, penyakit, kelaparan, pencemaran lingkungan atau kejahatan jalanan. Sedangkan bagi sebagian

(15)

lain menurut critical theory definisinya merujuk pada ancaman yang muncul dari negara mereka sendiri, bukan dari musuh eksternal. Dengan demikian, human security berusaha untuk menantang sikap institusi yang memiliki privilege yang disebut "high politics" atas isu penyakit, kelaparan, illiteracy dan keterbelakangan (Newman, 2010). Human security selanjutnya menitikkan perkembangannya pada referensi baru bahwa keamanan tidak dapat dijamin sepenuhnya pada jenis keamanan bagi orang- orang dan dari penolakannya terhadap konsep seperti national interest dan national security sehingga human security menegaskan bahwa individu harus menjadi objek rujukan utama keamanan yang berarti memprioritaskan keamanan orang daripada negara (Peterson, 2013).

Singkatnya, human security mengelaborasikan 'kebebasan dari keinginan' dan 'kebebasan dari ketakutan' (Buzan, 1991) dan untuk melakukan ini, human security menawarkan dua strategi yaitu

‘perlindungan’ dan ‘pemberdayaan’. Perlindungan, melindungi individu dari bahaya. Dibutuhkan upaya bersama untuk mengembangkan norma, proses, dan lembaga yang secara sistematis mengatasi rasa tidak aman.

Selanjutnya pemberdayaan memungkinkan orang untuk mengembangkan potensi mereka dan menjadi peserta penuh dalam pengambilan keputusan.

Perlindungan dan pemberdayaan saling memperkuat, dan keduanya dibutuhkan dalam sebagian besar situasi. Di era globalisasi kontemporer, rekonstruksi atau reorientasi masyarakat sipil dalam kebutuhan kekuatan dominan mendapat perhatian khusus. Secara paralel Robert Cox

(16)

berpendapat bahwa, "hegemoni bersandar pada masyarakat sipil global".

Beberapa contoh dan praktik human security dapat dievaluasi sebagai bagian dari proyek hegemonik yang mencoba menggambarkan dirinya sendiri demi kepentingan masyarakat sipil dan kebaikan bersama (Cox, 1991). Dengan kata lain, ini dapat menjadi pengungkit untuk pembangunan 'Kerajaan Masyarakat Sipil' oleh aktor individu (Tizley, 2016). Dengan memfokuskan pada kebutuhan dasar rakyat, Human Security dapat dilabeli sebagai kebijakan menuju tirani bio-politik (Papavac, 2005; Duffield dan Waddell dalam Peterson, 2009:9) dengan menggunakan retorika altruistik yang ditemukan dalam wacana keamanan manusia untuk menutupi atau melegitimasi kegiatan intervensionis, neo-kolonial, dan neo-imperialis (Peterson, 2013).

1.5.3 Keadilan Lingkungan

Keadilan lingkungan didefinisikan sebagai prinsip yang menyatakan bahwa individu dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan setara atas peraturan terkait, baik kesehatan masyarakat maupun kesehatan lingkungan. Keadilan lingkungan kemudian mendefinisikan kembali apa arti enviromentalism yang pada dasarnya mengatakan bahwa “the environment is everything” sebagai tempat dimana manusia tinggal, bekerja, bermain, yang membuat manusia tidak dapat terpisah dari lingkungan fisik alam, dengan terus memastikan keadilan yang terintegrasi dengan seluruh aktivitas manusia di dalamnya (Bullard, 1990).

(17)

Keadilan lingkungan berkontribusi untuk memerangi adanya diskriminasi hukum, menghilangkan kemiskinan dan mengurangi ketidaksetaraan. UNDP’s new Strategic Plan (2014-2017) menyatakan akan membantu negara-negara berkembang dengan reformasi kerangka hukum dan peraturan sehingga masyarakat miskin, kelompok masyarakat adat dan masyarakat lokal dapat mengakses secara aman sumber daya alam (termasuk tanah, air dan hutan), dan hasil yang diperoleh dari pemanfaatan keanekaragaman hayati dan ekosistem dibagi secara adil dan merata, konsisten dengan instrumen internasional dan perundang-undangan nasional. Atas dasar ini, UNDP mengambil pendekatan holistik yang sejalan dengan prioritas nasional, untuk mengintegrasikan pengelolaan lahan, air dan hutan yang berkelanjutan, konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, ke dalam kebijakan pembangunan dan pengambilan keputusan yang utama.

Dari kerangka teori di atas, penulis akan membuat bagan untuk mempermudah alur pikir penulis dalam menjawab rumusan masalah. Bagan tersebut tertuang dalam Bagan 1.1

(18)

1.1 Bagan Alur Berpikir

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini, akan digunakan beberapa definisi konseptual yang relevan, yaitu Kerjasama internasional, Deforestasi, Human Security, dan Keadilan Lingkungan.

1.6.1.1 Good Governance

Dalam pembangunan, yang dimaksud dengan Good Governance menurut World Bank Report 1992 yang berjudul “Governance and

Keadilan Lingkungan Human Security Critical Theory

Theory is always for someone and some purposes

Deforestasi Berfokus pada ekonomi

(-) Sistem

Internasional (-)

Keuntungan relatif

(19)

Development” yaitu sistem tata kelola dimana kekuasaan digunakan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya ekonomi dan sosial suatu negara dalam proses pembangunan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi praktik korupsi, mempertimbangkan pendapat minoritas, mendengar suara rakyat tertindas dalam proses pengambilan keputusan serta merespon secara aktif kebutuhan masyarakat, sekarang dan yang akan datang.

1.6.1.2 Deforestasi

Deforestasi adalah kegiatan mengubah pola dan fungsi hutan dengan melakukan penebangan terhadap vegetasi menjadi kawasan non-hutan dengan memanfaatkan hasil hutan dan mengubah kawasan tersebut menjadi area perkebunan, peternakan, pengembangan industri atau pemukiman.

1.6.1.3 Human Security

Human security merupakan perasaan bebas dari ketakutan, kekhawatiran diri individu serta kebebasan menginginkan sesuatu dan perlindungan atas hak inti dalam praktik kehidupan manusia sehari-hari.

1.6.1.4 Keadilan Lingkungan

Keadilan lingkungan merupakan hak masyarakat untuk memperoleh perlindungan setara dari aturan hukum yang menyangkut kesehatan maupun kesehatan lingkungan yang menjadi tempat dimana masyarakat tinggal dan melangsungkan hidup.

(20)

1.6.2 Operasionalisasi Konsep

Untuk mempermudah pengoperasian definisi konseptual, penelitian ini menggunkan beberapa operasionalisasi konsep yaitu Kerjasama internasional, Deforestasi, Human Security, dan Keadilan Lingkungan.

1.6.2.1 Good Governance

Good Governance yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interkasi yang terjalin antara negara, aktor swasta dan masyarakat madani.

Wujud kerjasama tersebut yaitu Pemerintah Indonesia, PT. SAE dan STEAG GmbH, dan Masyarakat dalam pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan lereng Gunung Slamet.

1.6.2.2 Deforestasi

Penelitian ini berfokus pada aktivitas deforestasi yang mengubah kawasan hutan lindung menjadi kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) oleh Pemerintah Indonesia, PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) dan PT. STEAG GmbH. Dimana area ini akan dijadikan sebagai area pertambangan dan pemanfaatan sumber daya alam berupa panas bumi menjadi listrik.

1.6.2.3 Human Security

Human security yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ancaman yang muncul dari aktivitas deforestasi dalam proyek pembangunan PLTP terhadap Health Security dan Environmental Security.

(21)

a. Health Security mencakup ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh tercemarnya air bersih sebagai kebutuhan dasar manusia oleh lumpur yang mengalir melewati aliran sungai dan area persawahan warga.

b. Environmental Security mencakup ancaman lingkungan sekitar yang muncul sebagai dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas deforestasi yang dapat menimbulkan penipisan sumberdaya alam, ancaman bencana banjir dan tanah longsor serta memicu gempa akibat aktivitas pengeboran di lereng gunung.

1.6.2.4 Keadilan Lingkungan

Keadilan lingkungan yang dimaksud adalah perlindungan setara atas hak kesehatan masyarakat dan lingkungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2014 yang menjadi legalisasi proyek pembangunan PLTP, sehingga mengurangi hak lingkungan dan kesehatan masyarakat di area kawasan proyek. Selain itu, UU Nomor 21 Tahun 2014 berbenturan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang melarang adanya aktivitas penambangan di kawasan hutan lindung.

1.6.3 Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif-eksplanatif. Penelitian ini berusaha untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terhadap alasan terjadinya suatu fenomena dalam

(22)

penelitian ini, melalui jawaban atas pertanyaan “mengapa (why).” Argumentasi didasarkan pada kerangka teori yang relevan untuk menjelaskan fenomena dalam penelitian ini. Untuk memperkuat argumentasi, data-data yang relevan akan di paparkan dalam penelitian ini.

1.6.4 Jangkauan Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini berfokus pada hubungan kerjasama antara negara dengan swasta yang tidak menguntungkan semua pihak, karena dampak dari kerjasama tersebut berakibat pada rusaknya lingkungan dan munculnya ancaman terhadap human security. Aktor negara yang terlibat dalam fenomena penelitian ini ialah Pemerintah Indonesia, sementara aktor swasta yang terlibat ialah PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) dan PT. STEAG GmbH, dan aktor yang di rugikan dalam fenomena penelitian ini ialah masyarakat di sekitar area proyek pembangunan PLTP. Permasalaha ini masih berlangsung hingga saat ini, oleh karena itu jangkauan temporal penelitian ini ialah dimulai tahun 2017 hingga saat ini.

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kepustakaan dan wawancara. Kepustakaan dilakukan guna memperoleh data yang bersumber dari berbagai jurnal, buku, situs lembaga, situs surat kabar, dokumen instansi, laporan resmi, dan penelitian-penelitian sebelumnya. Setelah mendapat dasar-dasar data, peneliti hendak melakukan wawancara langsung maupun melalui dengan pihak ahli yang memiliki pengetahuan serta terlibat langsung denga

(23)

pemasalahan pada penelitian. Untuk responden wawancara, peneliti akan melakukan wawancara dengan masyarakat sekitar kawasan proyek, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

1.6.6 Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data pada penelitian ini menggunakan metode process- tracing dengan tidak hanya menganalisa hubungan sebab dan akibat, tetapi menyajikan penjelasan alasan fenomena terjadi Penelitian ini akan membahas bagaimana ancaman human security dapat muncul dari sebuah fenomena kerjasama antara Pemerintah dan Privat.

1.7 Argumen Penelitian

Berdasarkan uraian tentang permasalahan dan kerangka berpikir secara teoritis yang diangkat dalam tulisan ini, penulis berargumen bahwa ancaman terhadap human security dalam fenomena hubungan internasional dapat muncul sebagai akibat timpangnya hubungan antara aktor negara, aktor swasta dengan masyarakat madani dalam good governance serta ketidaksesuaian perilaku mereka terhadap target dan tujuan SDGs. Ambisi negara yang wujudkan dengan menjalin hubungan secara eksklusif dengan swasta tanpa mementingkan aktor masyarakat, menimbulkan banyak persoalan seperti isu kerusakan lingkungan, terganggunya keamanan masyarakat dan munculnya kekhawatiran masyarakat, sebagai isu kontemporer dalam pembangunan berkelanjutan, yang diwujudkan dengan munculnya upaya penolakan terhadap produk dari hubungan yang tidak sesuai dengan good governance ini.

(24)

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan terbagi menjadi empat bab. Bab 1 merupakan bagian pendahuluan sebagai desain riset penelitian ini. Bab 1 meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, Argumen Penelitian serta Sistematika Penelitian.

Bab 2 berisi deskripsi yang menggambarkan permasalahan yang muncul dalam proyek pembangunan PLTP Baturraden di kawasan lereng Gunung Slamet, Banyumas dan dampaknya terhadap gangguan keamanan manusia (human security) masyarakat sekitar, selama pembangunan proyekdan aktivitas eksplorasi berlangsung. Gangguan keamanan yang akan dibahas antara lain terhadap health security dan environmental security baik yang sudah terjadi ataupun ancaman yang bersifat potensial, serta seberapa penting dampak tersebut terhadap masyarakat.

Bab 3 berisi paparan temuan penelitian, sebagai jawaban dari Rumusan Masalah. Temuan tersebut disertai dengan data-data relevan sebagai bukti yang digunakan untuk memperkuat analisis. Dalam bab ini juga akan menjelaskan hubungan antara pemerintah, privat, dan masyarakat yang tidak seimbang.

Menjelaskan kerjasama yang dijalin antara Pemerintah Indonesia dengan PT. SAE dan PT. STEAG GmbH cenderung tidak melibatkan peran masyarakat dan dampaknya terhadap ancaman human security.

Bab 4 adalah bagian penutup, yang berisi kesimpulan serta saran-saran penelitian lebih lanjut.

Referensi

Dokumen terkait

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh penyuluhan kesehatan gigi dan mulut

1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi tujuan masalah dalam penelitian ini adalah: 1 Untuk mengetahui