• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONTEKS KONSEPTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KONTEKS KONSEPTUAL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KONTEKS KONSEPTUAL

2.1 Kajian Terdahulu

Kajian terdahulu merupakan tinjauan terdahulu mengenai objek dan materi yang telah diteliti. Kajian terdahulu berfungsi sebagai acuan peneliti dalam melakukan penelitian. Hal ini berguna untuk memahami penelitian sebelumnya, serta peneliti ingin memahami sudut pandang para peneliti terdahulu dalam mengkaji objek penelitian. Hal ini sangat berguna dalam membantu membantu peneliti menyusun skripsi yang berjudul “ Ngabungbang Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Di Hulu Citarum “.

Penelitian mengenai kearifan lokal di berbagai Universitas telah banyak dilakukan meski dengan berbagai subjek dan objek penelitian yang berbeda–beda.

Pada setiap penelitian keaslian sangat dibutuhkan, oleh karena itu perlu adanya perbandingan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang saat ini dilakukan dan dapat menjadi sumber referensi penunjang untuk menyusun penelitian. Peneliti mengangkat beberapa penelitian terdahulu yang sejenis untuk menunjang penelitian yang di lakukan, adapun beberapa penelitian terdahulu mengenai kearifan lokal tersusun dalam sebuah tabel kajian terdahulu yang tersaji pada halaman selanjutnya.

Dibawah ini merupakan kajian terdahulu peneliti :

Budaya Someah Pada Masyarakat Kampung Adat Cirendeu. Pebia Nurul Ulfah Universitas Bsi Bandung, 2018

(2)

Jadi hasil dari penelitian ini Budaya someah merupakan salah satu upaya masyarakat kampung adat yang bertujuan untuk menjaga dan melestarikan identitas asli orang Sunda yang sudah diwariskan. Selain itu budaya someah juga sebagai bentuk cara untuk memperkuat tal persaudaraan antara kelompok adat dan muslim yang betujuan untuk saling hidup berdampingan dengan damai, aman, dan sejahtera. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan studi fenomenologi.

Rebo Wekasan Di Kampung Pulo Kabupaten Garut, Studi Fenomenologi Makna Ritual Rebo Wekasan Sebagai Bentuk Tolak Bala Bagi Masyarakat Di Kampung Pulo Kabupaten Garut. Yusup Muharam Universitas Bsi Bandung, 2017

Rebo Wekasan adalah sebuah ritual yang memaknai sebagai suatu bentuk permohonan kepada Allah SWT agar dihindarkan dari segala musibah, setiap ritual pasti memiliki makna dan arti tersendiri, adapun ciri khas ritual yang ada di Kampung Pulo ialah Rebo Wekasan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi. Data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi di lapangan. Hasil dari penelitian ini adalah makna dari Rebo Wekasan yang ada di Kampung Pulo dilakukan setahun sekali setiap hari rabu terakhir pada bulan safar menurut kalender islam dan masyarakat Kampung Pulo sudah tahu kapan waktunya dan dilaksanakannya di masjid Kampung Pulo.

Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan Hidup , Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus. Jurnal Hendro

(3)

10

Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati Universitas Negeri Semarang, 2012

Kawasan Muria di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus memiliki beberapa kearifan lokal dalam menjaga lingkungan hidup, yaitu melalui pola pendekatan religius yang mereka anut, meliputi tradisi sedekah bumi dan kupatan.

Adapula yang memanfaatkan hasil hutan, kepercayaan terhadap pohon pakis.

Penelitian ini mengguanakan metode kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data dikumpulkan melalui penelian lapangan dan analisis data serta penyusunan laporan. Hasil dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus memiliki peran penting untuk melakukan tindakan pencegahan kerusakan lingkungan hidup di Kawasan Muria. Kearifan lokal masyarakat Desa Colo mengenai flora di Kawasan Muria dapat dilihat dari kepercayaan terhadap Pakis Haji, Pohon Mranti, Pring Towo, dan Parijoto yang memiliki khasiat mujarab.

Kearifan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala. Ariyanto, Imran Rachman & Bau Toknok Universitas Tadulako Palu, 2014

Masyarakat Desa Rano merupakan masyarakat Etnik To’Balaesan. Etnik ini mendiami tanjung manimbaya yang terletak di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala. Adapun nama Etnik To’Balaesan berasal dari kata ‘To’ artinya orang dan ‘Balaesan’ yakni nama yang menurut cerita merupakan nama dari Etnik To’Balaesan. Dalam perkembangan masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan lokal yang berwujud

(4)

pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktifis pengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif.

Hasil dari penelitian ini yaitu masyarakat Desa Rano dengan kearifan lokalnya secara kuat memegang teguh tradisi, yang di peroleh dari nenek moyang, ini terlihat dalam proses pemilihan lahan, pembukaan lahan, dan proses perladangan.

Masyarakat Desa Rano dalam melakukan penebangan pohon dengan kearifan lokal, yang dituangkan dalam lembaga Adat Topomaradia, harus sesuai ketentuan adat, agar tidak diberi sanski adat.

Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy.

Raden Cecep, dkk, Universitas Indonesia, 2011.

Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang khas sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan. Pada masyarakat Baduy yang hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat adat- istiadatnya dengan penuh kearifan. Peneliitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara. Hasil dari penelitian ini, perladangan merupakan aktivitas bercocok tanam atau pertanian bersifat tradisional. Tradisi perladangan pada masyarakat baduy secara tradisional masih tetap berlangsung hingga sekarang.

Ladang oleh masyarakat baduy disebut huma. Ada lima macam huma di masyarakat suku baduy yaitu, huma serang, huma puun, huma tangtu, huma tuladan dan huma panamping.

(5)

12

Ngabungbang Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Di Hulu Citarum. Depi Gunaepi Universitas BSI Bandung, 2019.

Di Jawa Barat khususnya di tatar Sunda setiap tanggal 14 Mulud ada yang di sebuah tradisi ritual yaitu Ngabungbang. Ngabungbang yaitu sebuah acara yang di dalamnya di isi dengan serangkaian kegiatan adat budaya dan keagamaan, acara ini mengandung bernuansa magis dan sangat kental kesan spiritualnya. Metode yang digunakan menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna dan manfaat pada Tradisi Ngabungbang, serta untuk mengetahui bagaimana pengalaman individu.

(6)

Tabel II. 1 Daftar Kajian Terdahulu Sumber Peneliti

Peneliti Pebia Nurul Ulfah Yusup Muharam Hendro Ari Wibowo, Wasino, Dewi Lisnoor Setyowati

Aryanto,Imran Rachman, Bau Toknok

Raden Cecep, Isman Pratama, Jajang Gunawijaya

Depi Gunaepi

Judul Budaya Someah Pada Masyarakat Kampung Adat Cirendeu.

Rebo Wekasan Di Kampung Pulo Kabupaten Garut.

Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan Hidup.

Kearifan Masyarakat Lokal Dalam

Pengelolaan Hutan Di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala.

Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy.

Ngabungbang Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Di Hulu Citarum

Institusi/Tahun Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas BSI Bandung 2018

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas BSI Bandung 2019

Prodi Pendidikan IPS Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang 2012

Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako Palu 2014

Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 2011

Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas BSI Bandung 2019

Metode Metode Kualitatif Dengan Pendekatan Fenomenologi

Metode Kualitatif Dengan Pendekatan Fenomenologi

Metode Kualitatif Dengan Pendekatan Studi Kasus

Metode Kualitatif Dengan Pendekatan Deskriptif

Metode Kualitatif Dengan Pendekatan Deskriptif

Metode Kualitatif Pendekatan Fenomenologi Hasil Budaya someah

merupakan salah satu upaya masyarakat

kampung adat yang

Makna dari Rebo Wekasan yang ada di Kampung Pulo dilakukan setahun sekali setiap hari

Masyarakat Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus memiliki peran penting untuk melakukan

Masyarakat Desa Rano dengan kearifan lokalnya secara kuat memegang teguh tradisi, yang di peroleh

Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang khas sebagai strategi adaptasi terhadap

Di Jawa Barat khususnya di tatar Sunda setiap tanggal 14 Mulud ada yang di sebuah tradisi ritual

(7)

14

bertujuan untuk menjaga dan melestarikan identitas asli orang Sunda yang sudah diwariskan. Selain itu budaya someah juga sebagai bentuk cara untuk

memperkuat tal persaudaraan antara kelompok adat dan muslim yang betujuan untuk saling hidup berdampingan dengan damai, aman, dan sejahtera.

rabu terakhir pada bulan safar menurut kalender islam dan masyarakat

Kampung Pulo sudah tahu kapan waktunya dan dilaksanakannya di masjid Kampung Pulo.

tindakan pencegahan kerusakan lingkungan hidup di Kawasan Muria. Kearifan lokal masyarakat Desa Colo mengenai flora di Kawasan Muria dapat dilihat dari

kepercayaan terhadap Pakis Haji, Pohon Mranti, Pring Towo, dan Parijoto yang memiliki khasiat mujarab.

dari nenek moyang, ini terlihat dalam proses pemilihan lahan, pembukaan lahan, dan proses perladangan.

Masyarakat Desa Rano dalam melakukan

penebangan pohon dengan kearifan lokal, yang dituangkan dalam lembaga Adat Topomaradia, harus sesuai ketentuan adat, agar tidak diberi sanski adat.

lingkungan. Pada masyarakat Baduy yang hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat adat- istiadatnya dengan penuh kearifan. Hasil dari penelitian ini, perladangan

merupakan aktivitas bercocok tanam atau pertanian bersifat tradisional. Tradisi perladangan pada masyarakat baduy secara tradisional masih tetap

berlangsung hingga sekarang. Ladang oleh masyarakat baduy disebut huma. Ada lima macam huma di masyarakat suku baduy yaitu, huma serang, huma puun, huma tangtu, huma tuladan dan huma panamping.

yaitu Ngabungbang.

Ngabungbang yaitu sebuah acara yang di dalamnya di isi dengan serangkaian kegiatan adat budaya dan keagamaan, acara ini mengandung bernuansa magis dan sangat kental kesan spiritualnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mecari makna dalam tradisi

Ngabungbang serta manfaat dan

pengalaman individu yang sudah

melaksanakan tradisi ini.

(8)

Persamaan Penelitian Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Penelitan Kualitatif dengan studi

Fenomenologi.Sama- sama mengangkat pengalaman individu mengenai makna tradisinya.

Penelitian Kualitatif dan samabertujuan untuk menjaga kearifan lokal yang ada.

Penelitian Kualitatif.

Mengangkat tradisi turun temurun dari nenek moyangnya.

Penelitian Kualitatif, dengan mengangkat kearifan lokal.

Penelitiannya menggunakan wawancara dan observasi.

Membahas kearifan lokal atau tradisi/adat istiadat dengan menggunakan metode Kualitatif

Perbedaan Pembahasan mengenai Brand personality.

Tidak membahas masalah pengalaman idndividu.

Menggunakan Studi Kasus. Penelitian lebih kepada tindakan pencegahan kerusakan lingkungan hidup.

Menggunakan analisis data deskriptif.

Menggunakan anlisis deskriptif

penelitiannya lebih kepada kelestarian lingkungan dan bencana alam.

Mecari makna dan pengalaman individu yang sudah pernah melaksanakan tradisi Ngabungbang.

(9)

16 2.2 Kajian Literatur

2.2.1 Komunikasi Antarpribadi

A. Penegertian Komunikasi Antarpribadi

Dalam penelitian ini peneliti meneliti tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kertasari di hulu citarum. Dalam melakukan tradisi ini perlu adanya menjalin komunikasi yang baik antara individu dengan individu lainnya, agar dapat secara langsung komunikator mengetahui respon yang didapatkan dari komunikan. Komunikasi antarpribadi ini terjadi antara individu yang melakukan tradisi ngabungbang agar mereka saling mengerti dan memahami pesan secara langsung yang dipaparkan oleh komunikator.

Komunikasi Antarpribadi yaitu komunikasi yang efektif dalam kehidupan manusia, komunikasi ini berlangsung dua arah. Komunikasi ini merupakan komunikasi yang paling efektif untuk merubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Komunikator akan secara langsung mengetahui respon komunikan terhadap pesan yang disampaikan saat itu juga. Komunikator dapat mengetahui dengan pasti pesan-pesan yang disampaikannya itu diterima atau tidak diterima, berdampak negative atau positif. Komunikasi antarpribadi adalah pesan yang disampaikan dan diterima antar dua individu atau lebih. Deddy Mulyana (2005) mengatakan : “komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara individu dengan individu secara tatap muka, yang setiap individunya dapat menangkap reaksi dari individu lain secara langsung, baik verbal ataupun nonverbal.” Joseph A. Devito mendefinisikan komunikasi antarpribadi sebagai “sebuah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara satu kelompok kecil orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik”. Wiryanto mengemukakan

(10)

bahwa “ Pendekatan hubungan dalam menganalisis proses komunikasi antarpribadi mengasumsikan, bahwa hubungan antarpribadi dapat membentuk struktur social yang diciptakan melallui proses sibernetika (umpan balik) yang dihasilkan melalui penengasan diri dalam berhubungan dengan ornag lain. Bentuk hubungannya secara ilmiah berlangsung secara terus menerus. Undividu berpartisipasi aktif dalam komunikasi. Mereka berimprovisasi makna, memberdayakan dan memaksakan satu sama lain”. Seperti halnya dalam penelitian ini tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kertasari di hulu citarum.

B. Tujuan Komunikasi Antarpribadi

Sugiyo menjelaskan enam tujuan dari komunikasi antarpribadi, yaitu : 1. Menemukan diri sendiri

2. Menemukan dunia luar

3. Membentuk dan menjaga hubungan dengan orang lain 4. Merubah sikap dan tingkah laku

5. Untuk mencari kesenangan 6. Untuk membantu berkomunikasi

Berdasarkan tujuan komunikasi antarpribadi diatas, penulis mendapatkan kesimpulannya bahwa komunikasi antarpribadi merupakan hal yang sangat penting untuk mengubah perilaku dan menjalin hubungan yang baik dengan individu lain dan mendapatkan kesenangan melalui komunikasi bersama individu lain.

(11)

18

C. Proses Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan secara langsung antara dua orang atau lebih dengan memberikan efek dan adanya feedback (umpan balik). Terdapat lima proses-proses komunikasi antarpribadi, yaitu:

1. Adanya pesan, baik verbal ataupun nonverbal. Bentuk pesannya berupa :

a. Informatif : Berupa keterangan dan komunikan membuat persepsi sendiri

b. Persuasif : Mengajak untuk memberikan pengertian, kesadaran sehingga terjadi perubahan pada pendapat atau sikap

c. Kohesif : ancaman sanksi, berbentuk perintah

2. Adanya orang-orang atau sekelompok kecil. Yang dimaksud disini apabila seseorang berkomunikasi, paling sedikit dua orang individu, bisa juga melibatkan sekelompok kecil individu.

3. Penerimaan pesan (komunikan), pesan pesan yang dikirimkan oleh seseorang harus dapat diterima atau dipahami orang lain.

4. Efek, suatu komunikasi tentu menimbulkan efek. Komunikan bisa terpengaruh oleh komunikator.

5. Umpan balik (feedback), umpan balik artinya pesan yang dikirimkan kembali oleh si komunikan, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Feedback bisa berupa verbal ataupun nonverbal. (Gea, 2016)

(12)

2.2.2 Kearifan Lokal

Dalam penelitian ini masyarakat kertasari merupakan bagian dari kearifan lokal dalam melakukan tradisi ngabungbang, dimana tradisi ini dilestarikan oleh para leluhur yang ada di kertasari. Pengertian Kearifan Lokal secara filosofis, dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat pribumi yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi disekitar kehidupan mereka. Sedangkan bersifat pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk memecahkan masalah sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan sangat spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayan pada budaya lokal (local culture). Seperti yang dikemukakan oleh Bosch, yang terpenting ialah bagaimana mengembangkan kreativitas para pelaku budaya sendiri sehingga dapat menumbuhkan “kearifan lokal” ketika menghadapi terjangan pengaruh budaya asing. Menurut Rosidi Ajip dalam (Dasrun Hidayat, 2013)

Kearifan lokal merupakan bentuk warisan budaya Indonesia. Kearifan lokal terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhannya. Kearifan lokal juga tidak lepas dari berbagai permasalahan seperti bertambah jumlah penduduk, teknologi modern, dan budaya luar. (Ariyanto et al., 2014)

Dilihat dari kamus Inggris Indonesia, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). “Local” yang berartikan “setempat” dan

Wisdom” yang berarti “kebijaksanaan. Dengan kata lain local wisdom dapat

(13)

20

dipahami sebagai gagasan, nilai, dan pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh dengan kearifan bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. (Zannah, 2014)

Maka penelitian ini sangat berkaitan dengan kearifan lokal karena warga masyarakat sekitar hulu citarum di era modern ini masih mempercayai dan menjaga nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur nya. Kearifan lokal ini tumbuh dan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat sekitar, walaupun ada juga yang tidak memelihara kearifan lokal ini. Maka dari itu penelitian ini sekaligus mengingatkan kita untuk menjaga kearifan lokal yang ada di daerah kita sendiri.

2.2.3 Tradisi Ngabungbang

Pada penelitian ini, peneliti memaparkan tentang tradisi ngabungbang dikarenakan dalam penelitian ini membahas tentang tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kertasari di hulu citarum.

Ngabungbang dalam bahasa Sunda berasal dari kata Bungbang yang artinya

indit” (pergi) yang ditambahi dengan kata “Nga” yang menunjukan kata kerja.

Makna dari Ngabungbang adalah berkelana ke suatu tempat. Ada sebagian ahli sastra Sunda mengatakan bahwa kata Ngabungbang bukan kata pecahan, melainkan suatu suku kata yang artinya; “nyaring sapepeuting di luareun wawangunan, biasana ditempat-tempat anu dianggap aya karamatan dina malem tanggal 14 mulud”. (Sondarika, 2014)

Tradisi Ngabungbang dapat kita temukan salah satunya di Mata Air Hulu citarum atau tepatnya di Situ Cisanti yang lokasinya berada di dalam wilayah administratif Desa Taruma Jaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung, selain

(14)

tradisi Ngabungbang di Hulu Citarum itu juga memiliki cerita rakyat yang melegenda bagi warga masyarakat disekitaran daerah itu, tentang adanya "

penunggu " di Situ Cisanti. Inti dari adanya cerita rakyat tersebut bahwa kita harus menerapkan etika lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip - prinsipnya.

Cerita rakyat Situ Cisanti dan Gunung Wayang ini muncul karena kepentingan penduduk setempat yang menginginkan kawasan ini menjadi kawasan alamiah dan tidak terjadi kerusakan yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia.

Kegiatan masyarakat di Mata Air Pangsiraman yang paling dekat dengan Situ diantaranya yaitu Wudhu diri ( mandi membersihkan diri dari kotoran dan dosa ), Tawasulan yaitu memohon keinginan kepada tuhan dan mendoakan orang - orang yang dianggap baik yang pernah bersemedi/menimba ilmu dikawasan sekitar Situ Cisanti yang dilakukan di dalam mushola. Pada setiap tanggal 14 Mulud dilakukan kegiatan " Ngabungbang " dan " Ngumbah Pusaka " dan " Nadran " ( menabur bunga ke situ atau mata air yang merupakan bentuk penghormatan kepada alam.

Prosesi yang dilakukan di Cikahuripan Mastaka Hulu Citarum ( air kehidupan Hulu Citarum ). Pangsiraman selalu dilakukan penziarah yang datang dari berbagai tempat untuk melakukan ibadah, ada juga petuah yang berlaku di Situ Cisanti seperti " Tong ngomong sompral " ( jangan berkata sombong ), mencegah agar kita tidak berkata sombong dan tidak menyepelekan atau tidak menganggap kepercayaan leluhur disitu, tujuannya agar kita selamat dan tetap dalam perlindungan Allah SWT, " tong make naon wae anu bakal ngotoran cai " ( jangan menggunakan benda benda yang mencemari air), tujuannya agar kita tetap menjaga sumber daya itu, " Tong Nuar Tangkal “ ( Jangan Menebang Pohon ), agar kita mensyukuri apa yang sudah diberikan oleh tuhan YME dan tidak merusak apa yang

(15)

22

seharusnnya kita jaga, dan yang terakhur " Tong Make Syal Warna Bereum " ( Jangan Menggunakan Baju Warna Merah ), itu adalah mitologi yang di percaya di sekitar daerah tersebut, dan kita harus menghargainya. Namun di Mata air Situ Cisanti ini tidak dapat semua orang sembarangan masuk dan hanya bisa melihat dari luar ( Mata Air, Mushola dan Makam Petilasan Bupati Bandung abad ke 17 dikelilingi pagar ). Situ Cisanti rupanya bukan sekadar danau yang menjadi KM 0 Sungai Citarum. Mata air dan situs sejarah Dipati Ukur membuatnya kian menarik.

( Diana & Gurniawan, 2015)

Dipati Ukur merupakan tokoh sejarah bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Pada saat itu ia menjabat sebagai bupati wedana di Priangan, Sultan Agung memberikan tugas kepada Dipati Ukur dan Bahureksa tujuannya untuk mengusir Belanda di Batavia. Terjadi kesalahan komunikasi antara bahureksa dan Dipati Ukur, Dipati Ukur harus menanggu akibatnnya, dan Bahureksa menganggap Dipati Ukur telah melalaikan tugas. Sejak saat itu Dipati Ukur harus berpindah tempat untuk menghindari serangan tentara mataram. Daerah yang telah di tempati Dipati Ukur, dibangun petilasan yang saat ini ada di Desa Taruma Jaya Kecamatan Kertasari, tepatnya di Situ Cisanti. (Lasmiyati, 2016)

Salah satu kearifan lokal dalam masyarakat sekitar Hulu Citarum ini adalah adanya persepsi tentang kawasan-kawasan suci, dalam masyarakat sekitar wilayah Hulu Citarum ini terdapat berbagai perangkat kepercayaan tradisional atau biasa disebut " Kuncen " guna untuk menjaga dan memeliharara kearifan lokal disini. Air merupakan salah satu unsur penting dalam Tradisi Ngabungbang. Pada tanggal 14 Mulud Kuncen dan warga masyarakat sekitar ataupun jika ada wisatawan

(16)

diperbolehkan untuk mengikuti tradisi Ngabungbang ini di Mata Air Hulu Citarum.

Air sungai atau mata air dalam fungsinya sebagai tirta, dalam prosesi upacara dipakai untuk mandi atau pun wudhu dan bisa juga diminum, maka dari itu air sungai atau mata air harus tetap bersih dan tidak tercemar. Karena fungsinya tersebut masyarakat selalu berusaha untuk menjaga agar kondisi atau kualitas air tetap terjaga. Jadi secara sadar atau pun tidak mereka telah melakukan penjagaan dan konservasi terhadap lingkungan mata air dan ini peran Kearifan Lokal Tradisi Ngabungbang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. (Diana dan Gurniawan, 2015)

Peneliti memilih tradisi ngabungbang ini guna untuk mengingatkan kita kepada warisan budaya atau kearifan lokal yang ada di wiliyah kita untuk terus menjaga dan melestarikan tradisi ini. Tradisi ngabungbang ini cukup penting untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada di hulu citarum. Tradisi ini juga mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas apa yang yang telah diberikan Tuhan YME, dan dapat menjaga serta melestarikannya.

2.2.4 Pelestarian Budaya

Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, dan kesenian, yang dijadikan pedoman untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Subtansi kebudayaan ialah ide-ide dan gagasan manusia yang timbul pada masyarakat subtansi kebudayaan itu sendiri, berisi nilai- nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos. Menurut Yusuf, Mundzirin, dkk, 2010, dalam Hidayah 2018

Menurut Ranjabar 2006 dalam Hidayah, 2018 pelestarian merupakan

(17)

24

kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya suatu yang tetap dan abadi, yang bersisfat dinamis, luwes, dan selektif. Mengenai pelestarian budaya lokal, pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai- nilai seni budaya, nilai tradisional dengan cara mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan situasi dan kondisi yang selalu berubah-ubah dan berkembang. Tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah untuk melakukan revitalisasi budaya. Prof. A.Chaedar Alwasilah mengatakan ada tiga langkah mengenai revitalisasi budaya, yaitu :

1. Pemahaman untuk menimbulkan kesadaran 2. Perencanaan secara kolektif

3. Pembangkitan kreatifitas kebudayaan

Pelestarian adalah sebuah upaya yang mendasar, yang disebut juga faktor- faktor yang mendukung baik itu dari dalam maupun dari luar dari hal yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian mengenal strategi ataupun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya masing- masing.

Menurut (Aufar, 2012) dalam Hidayah : 2018, mengatakan bentuk-bentuk dalam pelestarian budaya terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Culture experience merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan.

2. Culture knowledge merupakan pelestarian budaya dengan cara membuat

(18)

pusat informasi kebudayaan. Tujutannya untuk mempermudah seseorang bagaimana mencari tahu tentang kebudayaan. (Hidayah, 2018)

Seperti yang dilakukan masyarakat sekitar kertasari untuk merawat melestarikan serta memelihara suatu kebiasaan di daerahnya agar tidak terlupakan dan ditinggalkan, sehingga generasi penerus tetap dapat mengetahui kebudayaan yang ada di Situ Cisanti ini melalui kegiatan tradisi Ngabungbang, oleh karena itu peneliti menambahkan informasi terkait tradisi Ngabungbang sebagai bentuk kearifan lokal di Hulu Citarum.

2.2.5 Ritual

Dalam penelitian ini tradisi ngabungbang sangat berkaitan erat dengan ritual, ada tata cara yang dilakukan dalam tradisi ngabungbang atau upacara dalam melakukan tradisi ngabungbang. Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan yang keramat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara. Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan media atau benda- benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu, dan memakai pakian tertentu. Seperti halnya dalam penelitian ini tradisi ngabungbang sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Kertasarie di Hulu Citarum.

Ritual atau ritus tujuannya untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatau pekerjaan. Seperti upacara menolak balak dan upacara karena perubahan dalam kehidupan manusia, seperti kelahiran, pernikahan , dan kematian.

(19)

26

Victor Turner adalah salah satu tokoh antropologi yang membahas tentang ritual.

Penelitiannya tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika Tengah.

Menurut turner ritual-ritual yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritual itu mendorong orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritual itu juga memberikan motivasi dan nilai- nilai pada tingkat yang terdalam. Penelitiannya itu dapat menggolongkan ritual kedalam dua bagian, yaitu :

1. Ritual Krisis Hidup.

Ritual Krisis Hidup yaitu ritual-ritual yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami manusia. Krisis yang dialaminya karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritual ini seperti kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritual ini tidak hanya berpusat kepada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial diantara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan dan kontrol sosial.

2. Ritual Gangguan

Ritual gangguan ini, masayarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh orang yang mati. Roh leluhur yang menggangu orang sehingga bernasib sial. (Ghozali, 2014)

Seperti halnya penelitian ini tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Kertasari di hulu citarum, sangat berhubungan dengan ritual yang merupakan serangkaian perbuatan keramat yang dilakukan oleh umat beragama dengan menggunakan alat-alat tertentu, tempat, dan cara-cara tertentu.

(20)

2.2.6 Folklor

Dalam penelitian ini, tradisi ngabungbang juga bisa termasuk dalam bagian folklor. Dimana tradisi ini juga dilakukan di wilayah Jawa Barat lainnya, seperti di Kota Banjar, Bogor, dan wilayah lain di Jawa Barat. Tradisi ngabungbang ini juga diwariskan secara turun temurun melalui lisan dan isyarat.

Folklor adalah kumpulan budaya ekspresif yang dimiliki oleh seklompok orang tertentu. Folklor mencakup tradisi yang sama dengan budaya, subkultur atau kelompok tersebut. Folklor termasuk tradisi lisan seperti dongeng, ungkapan dan lelucon. Folklor juga mencakup transmisi artefak dari satu wilayah ke wilayah lain atau dari satu generasi ke generasi lain.

Folklor berasal dari dua kata yaitu, “Folk” dan “Lore”, Folk sama artinya dengan kolektif (collectivity) dan lore artinya tradisi. Folklor adalah kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun melalui isyarat ataupun lisan. Definisi folklor secara kesleuruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secatra turu-temurun, diantara kolektif yang seperti apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun isyarat.

Adapun lima ciri-ciri folklor, yaitu :

1. Penyebaran secara lisan, pada masa sekarang terjadi dengan bantuan mesin cetak, elektronik, bersifat tradisional, menyebar dalam bentuk relatif tetap dan hadir dengan varian yang baru bahkan berbeda yang bersifat anonim yang memiliki pola atau bentuk tertentu dan memanfaatkan bentuk bahasa yang klise, dan mempunyai fungsi sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, yang bersifat pralogis dan kolektif.

(21)

28

2. Menampung kreasi-kreasi masyarakat, baik primitif maupun modern dengan menggunakan bunyi, gerak, dan kepercayaan yang bersifat takhayul.

Contohnya seperti puisi-puisi atau prosa-prosa yang diturunkan langsung, dan diajarkan dari mulut ke mulut.

3. Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui oleh orang lain.

4. Kolektif, folklor sudah menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.

5. Bersifat Pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.

Dan ada juga empat jenis folklor, yaitu :

1. Folklor Verbal, yaitu folklor yang diucapkan dengan lisan, kata-kata, baik tertulis, dan bisa juga dinyanyikan, disuarakan dalam bentuk ujaran tradisional yang menunjukan pola berulang.

2. Material Folklor, yaitu teknlogi budaya rakyat. Contohnya desain rumah, lumbung, rumah adat, dan rumah lainnya, bisa juga seperti mainan, kostum, alat musik jika dipelajari dalam sumber tradisonal.

3. Custom Folklore, yaitu yang berartikan folklor dalam aksi atau tindakan.

Contohnya bersalaman, jari tengah keatas, jempol keatas.

4. Childlore, yaitu cerita rakyat atau budaya rakyat anak-anak dan remaja.

Contohnya seperti permainan yang dimainkan di taman bermain sekolah. Kegiatan yang dipelajari oleh anak-anak dan diteruskan oleh anak-anak lainnya. (Damar

(22)

Priyambodo, 2015) 2.3 Kajian Teoritis 2.3.1 Fenomenologi

Fenomenologi pada awalnya merupakan kajian filsafat dan sosiologi.

Penggagas utamanya, Edmund Husserl menginginkan fenomenologi dapat menciptakan ilmu yang bisa lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia, setelah ilmu pengetahuan mengalami krisis dan disfungsional. Fenomenologi berkembang sebagai metode riset yang diterapkan dalam ilmu social, termasuk ilmu komunikasi, sebagai salah satu penelitian kualitatif dalam pendekatan paradigm interpretif. Pada kehidupan kita sehari-hari tanpa sadar kita mempraktikan fenomenologi. Kita mengamati fenomena, membuka diri, membiarkan fenomena itu tampak pada kita, dan kita memahaminya. Seorang fenomenolog senang melihat gejala (fenomena).

Melihat gejala merupakan dasar dan syarat untuk semua aktivitas ilmiah. Itu bukan ilmu, melainkan cara pandang, metode pemikiran, a way of looking at things. Untuk dapat meyakinkan seseorang atas suatu fenomena, seorang fenomenolog akan mengajak orang tersebut untuk menyaksikan langsung fenomena yang sedang berlangsung ataupun dengan bahasanya.

J.H. Lambert pada tahun 1974 memperkenalkan istilah fenomenologi untuk menunjuk pada teori kebenaran. Lalu istilah fenomenologi ini diperluas pengertiannya. Sedangkan menurut Kockelmans fenomenologi digunakan dalam filsafat pada tahun 1765, yang kadang dapat ditemukan dalam karya-karya Immanuel Kant, kemudian didefinisikan secara baik dan dikonstruksikan sebagai maknas secara teknis oleh Hegel. Menurut Hegel, fenomeologi berkaitan dengan pengetahuan yang muncul dalam kesadaran, sains yang mendeskripsikan apa yang

(23)

30

dipahami seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya. Edmund Husserl orang yang pertama kali mencetuskan fenomenologi sebagai kajian filsafat. Oleh karena itu Huserl sering dipandang sebagai Bapak Fenomenologi. Pada tahun 1950-an filsafat sangat populer. Tujuan filsafat adalah memberi landaasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom. Pada awal berkembangnya fenomenologi, fenomenologi merupakan seperangkat pendekatan dalam studi filosofis dan sosiologis, serta studi tentang seni.

Fenomenologi berasal dari Bahasa Yunani, “phainomenom” yang berarti

“gejala” atau menampakan diri, sehingga terlihat nyata bagi si pengamat. Metode fenomenologi yang dirintis Edmund Huserl bersemboyan “Zuruck zu den sachen selbst” (kembali kepada hal-hal itu sendiri). Fenomenologi juga yang berarti ilmu (logos), mengenai sesuatu yang tampak (phenomenom). Fenomenologi merupakan pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menerpa kesadaran manusia. Fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang berasaladari kesadaran diri kita atau cara memahami suatu peristiwa secara sadar.

(Hasbiansyah, 2005)

Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami secara sadar, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai dan diterima secara estetis. Fenomenologi mencari pemahaman dari bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting, dalam kerangka intersubjektif. Intersubjektif karena pemahaman kita mengenai bagaimana dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya, dan aktivitas yang biasa kita

(24)

lakukan, namun harus tetap ada peran orang lain di dalamnya. Kuswarno, 2009 dalam (Tri Suci Ramadhani, 2017)

Dalam penjelasan diatas penelitian ini menggunakan teori fenomenologi, agar mempermudah penelitian mempelajari bagaimana fenomena berlangsung dan dialami secara sadar dan bagaimana tradisi itu dipahami, serta mencari tahu nilai yang ada dalm tradisi ngabungbang dan apakah diterima tradisi ngabungbang di masyarakat hulu citarum.

2.3.2 Interaksi Simbolik

Dalam studi Ilmu Komunikasi Teori Interaksi Simbolik masih merupakan teori pendatang baru, yaitu pada awal abad ke-19 yang lalu. Menurut perspektif interaksional, Interaksi Simbolik merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, teori ini bersifat “humanis”. Perspektif ini sangat mengunggulkan nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini beranggapan setiap individu dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakat, dan menghasilkan makna yang disepakati secara kolektif. Salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik adalah bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, dan inti dari pandangan ini adalah individu. Beberapa ahli mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu objek bisa secara langsung di telaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu lain. Sepeti halnya dalam penelitian ini tradisi Ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Kertasari di hulu citarum

(25)

32

Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes, mengatakan Interaksi Simbolik intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama orang lain menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasala dari pikiran manusia (mind) mengenai diri (self), dan berhubungan di tengah interaksi sosial, serta tujuannya untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (society) dimana individu tersebut menetap.

Definisi singkat dari tiga ide dasar interaksi simbolik, yaitu :

1. Pikiran (mind) adalah kemampuan untuk menggunakan symbol yang memiliki makna sosial yang sama, setiap individunya harus mengembangkann pikiran mereka dengan berinteraksi Bersama individu lain.

2. Diri (self) adalah kemampuan merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain.

3. Masyarakat (society) adalah hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh setiap individu di tengah masyarakat, dan terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, dan pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakat.

Teori interaksi simbolik tidak lepas dari peran pemikiran George Harbert Mead, Mead dilahirkan di Hadley, Massachussets bagian dari Negara Amerika Serikat. Karya George Harbert Mead yang paling terkenal adalah “ Mind, Self and

(26)

Society”. Dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.

George Harbert Mead memiliki tiga tema konsep pemikiran yang mendasari interaksi simbolik, yaitu :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.

2. Pentingnya konsep mengenai diri.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Maksud dari tema pertama yaitu, teori interaksi simbolik tidak dapat dilepaskan dari proses komunikasi, karena pada awalnya makna itu tidak ada artinya, dan dikonstruksi secara interpretative oleh seserang dengan cara interaksi, untuk menciptakan makna yang disepakati secara bersama. Tema kedua yaitu, menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi social dengan orang lainnya. Dan pada tema terakhir, mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, pada akhirnya tiap individulah yang menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatan. Fokusnya untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses social. (Siregar, 2011)

2.4 Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini , peneliti akan memfokuskan kajiannya kepada Ngabungbang sebagai bentuk Kearifan Lokal di Hulu Citarum. Pada penelitian ini , peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam penelitian ini peneliti akan meneliti tentang makna dari tradisi Ngabungbang. Sesuai dengan salah satu prinsip dalam penelitian kualitatif yaitu mensyaratkan keterlibatan langsung dengan

(27)

34

dengan masyarakat pengguna atau sumber informasi. Selain itu karena penggunaan angka-angka untuk mengukur fenomena yang tunggal , statis , seragam dan dapat diramalkan seperti fenomena alam , sedangkan prilaku manusia justru tidak pasti.

Studi yang digunakan peneliti adalah studi Fenomenologi. Studi Fenomenologi berhubungan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubjektif. Fenomenologi bertujuan untuk menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna serta dapat mengkonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu Dalam dunia kehidupan sosial.

Berdasarkan hal diatas , maka aspek-aspek konstruksi makna yang ingin dibangun dalam penelitian ini adalah Ngabungbang sebagai Kearifan Lokal di Hulu Citarum.

Untuk lebih memahami uraian diatas, berikut adalah kerangka penelitiannya :

(28)

2.4 Kerangka Pemikiran

Sumber Peneliti

Bagan II. 1 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat dijelaskan proses awal peneliti berawal dari tradisi ngabungang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kertasari di hulu citarum, melihat fenomena yang terjadi peneliti menggunakan paradigma konstruktivis dan studi pendekatan fenomenologi yang menghasilkan tiga pertanyaan penelitian, apa makna dari tradisi ngabungbang, bagaimana

TRADISI NGABUNGBANG

KONSTRUKTIVIS FENOMENENOLOGI

Apa Makna Dari Tradisi Ngabungbang ?

Bagaimana Pengalaman Masyarakat Hulu Citarum Terhadap Tradisi Ngabungbang ?

Bagaimana Dukungan Komunikasi Masyarakat hulu Citarum Terhadap

Tradisi Ngabungbang ?

Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Hulu Citarum

(29)

36

pengalaman masyarakat hulu citarum terhadap tradisi ngabungbang, dan bagaimana dukungn komunikasi masyarakat hulu citarum terhadap tradisi ngabungbang.

Ketiga pertanyaan tersebut akan memberikan penjabaran tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kertasari di hulu citarum.

Pertanyaan yang telah digali melalui wawancara mendalam, diolah menjadi data yang runtut dan sistematis yang nantinya akan dijelaskan dalam Bab IV.

Peneliti menggunakan teori fenomenologi. Teori tersebut diambil karena relevan dengan penelitian dan dapat menunjang dalam proses analisa hasil.

Referensi

Dokumen terkait

SARAN Setelah melakukan penelitian tentang efektivitas pembelajaran daring bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sumatera Utara ada saran yang