• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Tinjauan pustaka

N/A
N/A
Dirga Wahyudi

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II Tinjauan pustaka"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Skizofrenia 2.1.1.1 Pengertian

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Maramis, 2010).

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self insight) buruk (Hawari, 2009).

Gangguan Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan beperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2004).

2.1.1.2 Etiologi.

Menurut Maramis (2010), bahwa hingga sekarang belum mengetahui dasar sebab musabab skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat yang menjadikan manifestasi atau faktor pencetus seperti penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak menyebabkan skizofrenia walaupun pengaruhnya terhadap suatu penyakit skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.

(2)

2.1.1.3 Pembagian skizofrenia.

Menurut Hawari (2009) Skizofrenia dibagi menjadi beberapa jenis antara lain sebagai berikut :

1. Skizofrenia simpleks

2. Skizofrenia hibefrenik atau hebefrenia

3. Skizofrenia katatonik atau katatonia, antara lain stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik.

4. Skizofrenia paranoid 5. Episode skizofrenia akut 6. Skizofrenia residual 7. Skizofrenia skizo-afektif.

2.1.1.4 Gejala-gejala skizofrenia.

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif ( Maramis, 2005 & Sinaga,2007) yaitu : 1. Gejala Negatif

Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental atau proses perilaku (Behavior ).Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan orang disekitarnya.

1) Gangguan afek dan emosi

Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya

(3)

kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).

2) Alogia

Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007).

3) Avolisi

Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).

4) Anhedonia

Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007).

5) Gejala Psikomotor

Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan per gerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya

(4)

pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan and Sadock, 2010).

2. Gejala Positif

Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang tidak dapat dikontrol pasien. Gejala positif memiliki karakteristik adanya persepsi, pikiran, atau perilaku yang abnormal dan menonjol. Gejala positif dapat berupa delusi, halusinasi, disorganisasi bahasa, disorganisasi perilaku atau katatonik.

1) Delusi(Waham )

Merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu keyakinan yang salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang sering muncul pada pasien skizofrenia adalah waham kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham dosa dan sebagainya (Kaplan and Sadock, 2010). Delusi menyebabkan seseorang memiliki keyakinan akan sesuatu yang tidak biasa atau tidak mungkin.

2) Halusinasi

Halusinasi merupakan pengalaman persepsi yang tidak tepat terhadap realitas, misalnya mendengar suara-suara tanpa ada sumber suara. Halusinasi terjadi secara spontan dan menyebabkan penderitanya sulit untuk membedakan realitas (Halgin

& Whitbourne, 2009; Nolen-Hoeksama, 2014). Memdengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau malah mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling sering dialami penderita skizofrenia (Lumbantobing, 2007).

3) Disorganisasi Bahasa

(5)

Individu dengan skizofrenia yang memiliki gejala disorganisasi bahasa akan sulit untuk melakukan proses kognitif seperti mengambil keputusan dan menggunakan logika (Halgin & Whitbourne, 2009). Gejala disorganisasi bahasa juga menyebabkan penderitanya sulit untuk berinteraksi sosial karena sulit dalam menjaga alur percakapan, menggunakan bahasa yang tidak tepat, dan tidak teratur (Halgin & Whitbourne, 2009).

4) Disorganisasi perilaku

Gejala disorganisasi perilaku pada individu dengan skizofrenia dapat berupa gerakan-gerakan yang tidak bertujuan, gerakan berulang, gerakan kaku, atau ekspresi yang tidak tepat. Disorganisasi perilaku juga dapat berupa gangguan katatonik.

5) Gangguan katatonik dapat dikenali dari gerakan yang sangat kaku seperti melakukan postur tubuh tertentu dalam jangka waktu yang sangat lama dan menjadi tidak responsif terhadap rangsang lingkungan (Halgin & Whitbourne, 2009).

3. Gejala kognitif : yaitu permasalahan yang berhubungan dengan perhatian, tipe- tipe ingatan tertentu dan fungsi yang memungkinkan kita untuk merencanakan mengorganisasikan sesuatu.

2.1.1.5 Penetapan diagnosa

Kurt Schneider dalam Maramis (2008) menyusun 11 gejala ranking pertama dan berpendapat bahwa diagnosa skizofrenia sudah dapat dibuat bila terdapat satu gejala dari kelompok A dan satu gejala dari kelompok B, dengan syarat bahwa kesadaran pasien tidak menurun. Gejala-gejala ranking pertama menurut Schneider ialah :

1. Halusinasi pendengaran.

1) Pikirannya dapat didengar sendiri.

2) Suara-suara yang sedang bertengkar.

3) Suara-suara yang mengomentari perilaku pasien.

(6)

2. Gangguan batas ego.

1) Tubuh dan gerakan-gerakan pasien dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar.

2) Pikirannya diambil atau disedot keluar.

3) Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umum.

4) Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umum.

5) Perasaannya dibuat oleh orang lain.

6) Kemauan atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain.

7) Dorongan dikuasai oleh orang lain.

8) Persepsi yang dipengaruhi oleh waham.

2.1.1.6 Prognosa

Dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada harapan bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju kemunduran mental. Dan bila seorang skizofrenia kemudian menjadi sembuh maka diagnosanya harus diragukan.

Sekarang dengan pengobatan modern ternyata bahwa bila pasien itu datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari pasien akan sembuh sama sekali. Sepertiga lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun didapati cacat sedikit dan pasien masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya. Yang sisa, biasanya mempunyai prognosa jelek.

Pasien tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju ke kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa (Maramis, 2008).

(7)

Untuk menetapkan prognosa skizofrenia harus mempertimbangkan semua faktor di bawah ini :

1. Kepribadian prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia memang kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.

2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa lebih baik daripada bila penyakit mulai secara pelan-pelan.

3. Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering pasien dengan katatonia sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik.

Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari pasien ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan simplek prognosa sama jelek.

Jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental.

4. Umur. Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosanya.

5. Pengobatan. Makin lekas diberi pengobatan makin baik prognosanya.

6. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus seperti penyakit badaniah atau stres psikologik, maka prognosa lebih baik.

7. Faktor keturunan. Prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.

2.1.1.7 Penatalaksanaan.

Menurut Videbeck (2008), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :

1. Psikofarmaka

(8)

Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat.

2) Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil.

3) Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif maupun gejala negative skizofrenia.

4) Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif.

5) Tidak menyebabkan kantuk 6) Memperbaiki pola tidur

7) Tidak menyebabkan habituasi, adikasi dan dependensi.

8) Tidak menyebabkan lemas otot.

Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang termasuk generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine, dan aripiprazole.

2. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)

ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4- 5 joule/detik. (Maramis, 2008).

3. Psikoterapi

(9)

Suatu cara pengobatan terhadap emosional penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dalam hubungan profesional, dengan maksud menghilangkan atau menghambat gejala-gejala yang ditimbulkan penderita gangguan jiwa (Maramis, 2008). Terapi okupasi merupakan salah satu terapi psikoterapi yang dapat digunakan untuk menangani pasien dengan gangguan jiwa baik yang bersifat sementara atau menetap dengan menggunakan aktifitas terapeutik yang disesuaikan untuk membantu mempertahankan atau meningkatkan komponen kinerja okupasional (senso-motorik, persepsi, kognitif, sosial dan spiritual) dan area kinerja okupasional (aktifitas sehari-hari/Activity Dailly Living/ADL, produktifitas/Productivity dan pemanfaatan waktu luang /Leisure Activity) sehinngga pasien mampu meningkatkan kemandirian fungsional, meningkatkan derajat kesehatan dan partisipasi di masyarakat sesuai perannya (Buchain et al, 2008).

2.1.1.8 Penilaian gejala negatif skizofrenia

Instrumen penilaian gejala positif dan negatif pada pasien skizofrenia salah satunya adalah PANSS. Instrumen tersebut terdiri dari 30 butir gejala yang terdiri dari 7 butir gejala positif, 7 butir gejala negatif dan 14 butir gejala umum (Safitri, 2010). Instrumen gejala negative yaitu:

1. N 1. Afek Tumpul.

Berkurangnya respons emosional yang ditandai oleh berkurangnya ekspresi wajah, gelombang (modulation) perasaan dan gerak gerik komunikatif

Dasar penilaian : Observasi manifestasi fisik suasana dan respons emosional selama wawancara.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

(10)

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3) Ringan – Perubahan ekspresi wajah dan gerak gerik komunikatif tampak kaku, dipaksakan, dibuat-buat atau kurangnya gelombang.

4) Sedang – Berkurangnya corak ekspresi wajah dan sedikitnya gerak gerik ekspresif yang tampak dalam penampilan yang tumpul (dull).

5) Agak berat – Afek umumnya datar dengan hanya sekali-sekali tampak perubahan ekspresi wajah dan gerak-gerik komunikatif sedikit.

6) Berat – Pendataran dan defisiensi emosi yang mencolok yang tampak hampir sepanjang waktu. Kemungkinan terdapat pelepasan afek ekstrim yang tidak bergelombang seperti “excitement”, kemarahan atau tertawa yang tidak terkendali yang tidak serasi.

7) Sangat berat – Jelas tidak tampak perubahan ekspresi wajah dan adanya gerak gerik komunikatif. Pasien terus-menerus menampakkan ekspresi yang “tidak hidup” atau berwajah “kayu”.

2. N 2. Keruntuhan Emosional (emotional withdrawal).

Berkurangnya minat dan keterlibatan, serta curahan perasaan terhadap peristiwa kehidupan. Dasar penilaian : Laporan-laporan tentang fungsi dari perawat atau keluarga dan observasi perilaku interpersonal selama wawancara.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3) Biasanya kurang inisiatif dan sekali-sekali mungkin menunjukkan minat yang kurang terhadap peristiwa-peristiwa di sekitarnya.

(11)

4) Sedang – Pasien pada umumnya mengambil jarak secara emosional dengan lingkungan dan tantangannya, tetapi dengan dorongan masih dapat dilibatkan.

5) Agak berat – Pasien secara nyata memutuskan kontak emosional dari orang dan peristiwa-peristiwa dilingkungan, resisten terhadap semua usaha untuk melibatkannya. Pasien tampak mengambil jarak, patuh dan tanpa tujuan tetapi dapat dilibatkan dalam komunikasi, setidak-tidaknya secara singkat dan cenderung untuk kebutuhan pribadi, kadang-kadang dengan bantuan.

6) Berat – Berkurangnya minat dan keterlibatkan emosional yang mencolok yang mengakibatkan terbatasnya percakapan dengan orang lain dan sering mengabaikan perawatan diri, sehingga pasien memerlukan supervisi.

7) Sangat berat – Pasien hampir secara keseluruhan menarik diri tidak komunikatif dan mengabaikan kebutuhan pribadi sebagai akibat dari sangat berkurangnya minat dan keterlibatan emosional.

3. N 3. Kemiskinan Rapport.

Berkurangnya empati interpersonal, kurangnya keterbukaan dalam percakapan dan rasa keakraban, minat, atau keterlibatan dengan pewawancara. Ini ditandai oleh adanya jarak interpersonal dan berkurangnya komunikasi verbal dan nonverbal. Dasar penilaian : Perilaku interpersonal selama wawancara.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3) Ringan – percakapan ditandai oleh kekakuan, ketegangan, atau nada yang dibuat-buat, mungkin kurangnya kedalaman emosional atau kecenderungan untuk tetap pada taraf impersonal dan intelektual.

(12)

4) Sedang – Secara khas pasien tampak bersikap menjauhkan diri, serta mengambil jarak interpersonal yang cukup jelas. Pasien mungkin menjawab pertanyaan secara mekanis, bertingkah bosan atau menunjukkan tidak berminat.

5) Agak berat – Ketidak terlibatan nyata dan jelas menghambat produktifitas wawancara. Pasien mungkin cenderung untuk menghindari kontak mata atau tatap muka.

6) Berat – Pasien sangat tidak perduli disertai adanya jarak interpersonal yang mencolok. Jawaban-jawaban asal saja dan ada sedikit bukti keterlibatan nonverbal. Kontak mata dan tatap muka sering dihindari.

7) Sangat berat – Pasien secara total tidak terlibat dengan pewawancara. Pasien tampak sepenuhnya tidak perduli serta terus menerus menghindari interaksi verbal dan nonverbal selama wawancara.

4. N 4. Penarikan Diri Dari Hubungan Sosial Secara Pasif/ Apatis.

Berkurangnya minat dan inisiatif dalam interaksi social, yang disebabkan oleh pasivitas,apatis, anergi atau tidak ada dorongan kehendak. Hal ini mengarah pada berkurangnya keterlibatan interpersonal dan mengakibatkan aktivitas kehidupan sehari-hari. Dasar penilaian : Laporan perilaku sosial dari perawat atau keluarga.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3) Ringan : Sekali-sekali menunjukkan minat dalam aktivitas social, tetapi inisiatif sangat kurang. Biasanya keterlibatan dengan orang lain hanya bila

“didekati” oleh orng lain tsb.

(13)

4) Sedang – Secara pasif ikut dalam sebagian besar aktivitas social tetapi dengan cara “ogah-ogahan” (disinterested) atau secara mekanis cenderung untuk ada di baris belakang.

5) Agak berat – Secara pasif berpartisipasi dalam hanya sedikit aktivitas social dan menunjukkan jelas tidak ada minat atau inisiatif. Umumnya menyendiri.

6) Berat – Cenderung menjadi apatis dan terisolasi, sangat jarang berpartisipasi dalam aktivitas social dan sekali-sekali mengabaikan kebutuhan pribadi.

Kontak social yang spontan sangat sedikit.

7) Sangat berat – Sangat apatis, terisolasi secara social dan sangat mengabaikan perawatan diri.

5. N 5. Kesulitan Dalam Pemikiran Abstrak.

Hendaya dalam penggunaan cara berfikir abstrak atau simbolik yang dibuktikan kesulitan mengklarifikasikan, membentuk generalisasi dan berpikir secara konkrit atau egosentrik dalam memecahkan masalah.Dasar penilaian : Respons terhadap pertanyaan mengenai interpretasi persamaan dan peribahasa, dan penggunaan cara berpikir konkrit vs abstrak selama wawancara.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

3) Ringan – Cenderung menginterpretasikan secara harafiah atau semaunya sendiri tentang peribahasa yang lebih sulit dan mungkin mendapat kesulitan dengan konsep yang agak abstrak atau yang mirip.

(14)

4) Sedang – Sering menggunakan cara piker konkrit. Sulit mengartikan sebagian besar peribahasa dan beberapa pengelompokan . Cenderung dialihkan oleh aspek fungsional dan gambaran yang mencolok.

5) Agak berat – Berfikir terutama dengan cara konkrit, mempertlihatkan kesulitan dalam sebagian besar peribahasa dan banyak pengelompokan.

6) Berat – Tidak mampu mengartikan peribahasa atau ekspresi figuratif apa pun dan hanya dapat mengelompokkan persamaan yang sangat sederhana. Proses piker terpusat atau terpaku pada aspek fungsional, gambaran yang mencolok dan interpretasi idiosinkratik.

7) Sangat berat – Hanya dapat berpikir konkrit. Tidak ada pemahaman peribahasa, persamaan-persamaan atau kiasan-kiasan yang umum dan pengelompokan sederhana. Bahkan tanda-tanda yang mencolok dan fungsional pun tidak dapat dijadikan dasar untuk klarifikasi. Penilaian ini dapat diterapkan untuk mereka yang tidak dapat berinteraksi sedikitpun dengan pemeriksa, karena hendaya kognitif yang sangat mencolok.

6. N 6. Kurangnya Spontanitas dan Arus Percakapan.

Berkurangnya arus normal percakapan yang disertai dengan apatis, avolisi (tidak ada dorongan kehendak), defensive atau deficit kognitif. Ini dimanifestasikan oleh berkurangnya kelancaran dan produktivitas dalam proses interaksi verbal. Dasar penilaian : Proses kognitif verbal yang dapat diobservasi selama wawancara.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

(15)

3) Ringan – Menunjukkan sedikit inisiatif dalam percakapan. Jawaban pasien cenderung sengkat dan tanpa tambahan, membutuhkan pertanyaan langsung dan pengarahan dari pewawancara.

4) Sedang – Arus percakapan kurang bebas dan tidak lancar atau terhenti henti.

Pertanyaan terarah sering dibutuhkan untuk mendapatkan respons yang adekuat dan untuk melanjtkan percakapan.

5) Agak berat – Pasien menunjukkan berkurangnya spontanitas dan keterbukaan yang mencolok, menjawab pertanyaan pewawancara dengan hanya 1 atau 2 kalimat singkat.

6) Berat – Respons pasien hanya terbatas terutama pada beberapa kata atau kalimat pendek untuk menghindari atau mempersingkat komunikasi (misalnya

“ Saya tidak tahu “, “Saya sedang tidak bebas berbicara”). Akibatnya terdapat hendaya berat dalam percakapan, dan wawancara sangat tidak produktif.

7) Sangat berat – Kata-kata yang diucapkan sangat terbatas, paling banter sekali- sekali ada ungkapan sehingga percakapan mungkin terjadi.

7. N 7. Pemikiran Stereotipik.

Berkurangnya kelancaran, spontanitas dan fleksibilitas proses piker yang terbukti dari kekakuan, pengulangan atau isi piker yang miskin. Dasar penilaian : Proses kognitif verbal yang diobservasi selama wawancara.

1) Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.

2) Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan normal.

(16)

3) Ringan – Adanya kekakuan yang ditunjukkan dalam sikap atau keyakinan.

Pasien mungkin menolak untuk mempertimbangkan alternative atau sulit untuk mengalihkan satu id eke ide yang lain.

4) Sedang – Percakapan berkisar seputar tema yang itu-itu saja, yang berakibat kesulitan untuk mengalihkan ke topic baru.

5) Agak berat – Proses pikir kaku dan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga walaupun pewawancara berusaha, percakapan hanya terbatas pada 2 atau 3 topik yang mendominasi.

6) Berat – Pengulangan yang tidak terkendali tentang tuntunan-tuntunan, pernyataan-pertanyaan, ide-ide atau pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu percakapan.

7) Sangat berat – Proses pikir, perilaku dan percakapan didominasi oleh pengulangan yang terus menerus dari ide yang terpaku atau kalimat-kalimat pendek yang itu-itu saja sehingga komunikasi pasien menjadi sangat kaku, tidak serasi dan terbatas.

Penilaian pada PANSS adalah diberikan nilai 1 jika tidak terdapat gejala, 2 jika minimal, 3 jika ringan, 4 jika sedang, 5 jika agak berat, 6 jika berat, dan 7 jika sangat berat pada tiap butir gejala. Sehingga jika dijumlahkan, nilai tertinggi dari gejala negatif PANSS adalah 49 dan nilai terendah adalah 7. Semakin Semakin tinggi skor yang diperoleh maka gejala negatif semakin berat. Sedangkan semakin rendah skor yang diperoleh maka gejala negatif semakin ringan

2.1.2 Terapi Olahraga Jogging 2.1.2.1 Pengertian Olahraga Jogging

(17)

Terapi olahraga merupakan salah satu jenis dari terapi okupasi. Terapi okupasi merupakan salah satu bentuk psikoterapi suportif yang penting dilakukan untuk meningkatkan kesembuhan pasien (Buchain et al, 2008).

Olahraga mengandung arti akan adanya sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa mengolah yaitu mengolah raga atau mengolah jasmani. Dari sudut pandang fisiologi olahraga, olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya, sesuai dengan tujuannya melakukan olahraga ( Giriwijoyo, 2017).

Pembinaan faktor manusia melalui kegiatan olahraga jelas bertitik berat pada aspek jasmani, tetapi dampaknya terhadap dua aspek lain yaitu aspek rohani dan aspek sosial sangat signifikan. Olahraga yang dianjurkan untuk meningkatkan kesehatan adalah aktivitas gerak raga dengan intensitas yang setingkat di atas intensitas gerak raga yang biasa dilakukan untuk keperluan pelaksanaan tugas kehidupan sehari-hari (Giriwijoyo, 2017).

Olahraga jogging dengan olahraga lari merupakan kegiatan yang berbeda.

Menurut Jonathan Kuntaraf dalam Purwanto (2012) dikatakan bahwa sebenarnya keduanya berbeda, tegantung kepada kecepatan dalam berlari. Bila seorang lari lebih cepat dari 9 menit untuk jarak 1,6 km, maka disebut sebagai berlari, tetapi bila jarak tersebut ditempuh dalam waktu yang lebih lambat dari 9 menit, maka disebut joging. Menurut Soekarman dalam Purwanto (2012) bahwa jogging diartikan sebagai lari lambat dan kontinue.

Jogging merupakan salah satu bentuk olahraga yang dilakukan dengan cara berlari kecil, dengan kecepatan dibawah 11 km/jam yang bertujuan untuk

(18)

meningkatkan kebugaran(purwanto, 2012). Jogging termasuk dalam latihan aerobik dimana jogging dilakukan berdasarkan frekuensi, intensitas, waktu dan tipe yang sudah ditentukan(Sepnu, 2015). Bagi para pemula, jogging dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan yang dimiliki kemudian jika sudah terbiasa baru latihan ditingkatkan. Tidak perlu keahlian khusus agar dapat melakukan jogging. Semua orang dari segala usia dapat melakukan jogging.

Peningkatan aktifitas dengan jogging dengan baik sedini mungkin sejak remaja(Husdarta, 2012).

Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa joging adalah suatu bentuk latihan yang kecepatannya berbeda di antara jalan dan berlari, dengan kecepatan dibawah 11 km/jam, dengan menempuh jarak 1,6 km dalam waktu lebih dari 9 menit. Joging termasuk olahraga yang mempunyai nilai aerobik yang tinggi, sedikit dibawah berenang. Karena joging merupakan aktifitas aerobik, maka terutama bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan kebugaran dari jantung, paru-paru peredaran darah dan otot-otot dan sendi tungkai. Jonathan Kuntaraf dalam Purwanto (2012) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan aerobik, jogging memerlukan lebih sedikit waktu dibandingkan dengan berjalan. Ini adalah cara untuk mendapatkan kesegaran aerobik dan menurunkan lemak yang berlebihan.

2.1.2.2 Sifat Terapi Olahraga

Sifat atau ciri umum olahraga dengan tujuan terapi atau olahraga kesehatan adalah :

1. Massal : olahraga kesehatan harus mampu menampung sejumlah besar peserta bersama-sama

(19)

2. Mudah : gerakan mudah untuk diikuti peserta dalam jumlah banyak, yang dapat memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan gerak dasar, yaitu gerak yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan hidup sehari-hari

3. Murah : peralatan minim atau bahkan tanpa peralatan sama sekali

4. Meriah : mampu membangkitkan kegembiraan

5. Manfaat dan aman : manfaatnya jelas dapat dirasakan, aman untuk dilakukan oleh semua peserta dengan tingkat umur dan derajat sehat dinamis yang berbeda-beda

2.1.2.3 Syarat Terapi Olahraga

Syarat dari olahraga untuk kesehatan menuntut adanya ciri khusus yang bersifat teknis-fisiologis, yaitu :

1. Homogen dan submaksimal dalam

intensitas/beban olahraga, maknanya olahraga dilakukan dengan intensitas yang ± rata/homogen, tidak ada gerakan-gerakan dengan beban/intensitas maksimal, serta tidak ada pengerahan kemampuan maksimal.

2. Ada kesatuan takaran/dosis, dapat diatur

intensitas, kecepatan pengulangan/repetisi, maupun lama waktu/durasi pelaksanaannya

3. Ada batas minimal tertentu untuk

intensitas dan waktu pelaksanaan agar dapat menghasilkan manfaat, diselenggarakan 3-5x/minggu (minimal 2x/minggu). Selain itu, dapat

(20)

mencapai intensitas antara 60-80% Denyut Nadi Maksimal (DNM) sesuai umur. DNM sesuai umur = 220 dikurangi

Umur dalam tahun.

4. Bebas stress psikis : dilakukan dengan

santai tanpa beban emosional.

2.1.2.4 Sasaran Terapi Olahraga

Terapi olahraga dalam wujudnya sebagai olahraga kesehatan, memiliki tiga tahapan sasaran, yaitu :

1. Sasaran 1 (S1) – Sasaran Minimal

Pada sasaran pertama ini, tujuan utamanya adalah minimal memelihara kemampuan gerak yang masih ada, serta bila mungkin mengusahakan peningkatan luas pergerakan pada semua persendian untuk mewujudkan kelentukan/flexibility melalui pelatihan peregangan pelemasan selluas mungkin tanpa adanya sentakan.

2. Sasaran 2 (S2) – Sasaran ANTARA

Sasaran pada tahap ini adalah memelihara dan meningkatkan kemampuan otot untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan geraknya lebih lanjut.

Latihan dilakukan dengan cara dinamis dan statis. Pelatihan dengan cara dinamis adalah melakukan gerakan-gerakan yang cepat, berulang-ulang dan bersifat antagonistic disertai sentakan yang lebih meng”isi” gerakan itu (prinsip pliometrik). Latihan statis adalah melakukan kontraksi isometric, tetapi pernapasan harus tetap seperti biasa/tidak boleh mengejan. Karena itu, sebaiknya dilakukan sebagian demi sebagian, misalnya mula-mula kedua ekstremitas atas dan kemudian kedua ekstremitas bawah.

(21)

3. Sasaran 3 (S3) –Sasaran UTAMA

Sasaran utama olahraga kesehatan adalah memelihara kemampuan aerobic atau meningkatkan kapasitas aerobic untuk mencapai kategori minimal

“sedang”. Salah satu contoh olahraga yang memenuhi kriteria aerobic adalah olahraga jogging karena olahraga jogging terdiri dari kombinasi gerakan yang melibatkan sejumlah besar otot sehingga terjadi aktivitas pada otot-otot tersebut hingga 40%.

2.1.2.5 Tahapan Terapi Olahraga Jogging

Program latihan olahraga harus dimulai dengan latihan pendahuluan sebelum memasuki Latihan inti dan sebaiknya ditutup dengan Latihan penutup (Giriwijoyo, 2017).

1. Latihan Pendahuluan ( Pemanasan)

Manfaat latihan pendahuluan bersifat psikologis maupun fisiologis. Manfaat psikologis adalah peserta menjadi lebih tenang dan siap menghadapi aktivitas.

Sedangkan manfaat fisiologis adalah untuk memeriksa kondisi dan kesiapan umum seluruh komponen ergosistem.

a. Tahap pertama latihan pendahuluan ini adalah peregangan dan pelemasan tanpa sentakan/renggutan dengan melibatkan kapsula sendi dan seluruh jaringan ikat sekitar sendi, tendon, dan semua otot yang bekerja pada sendi itu.

Latihan ini bukan untuk pengaktivan otot, namun hanya keterlibatan pasief dengan tujuan pelemasan dan peregangan.

b. Tahap Kedua yaitu aktivasi otot yang akan dipergunakan dalam latihan inti.

Dapat dengan cara dinamis atau statis. Tujuannya untuk memeriksa kondisi dan kesiapan otot, bukan untuk meningkatkan kekuatan otot.

(22)

c. Tahap Ketiga yaitu latihan saraf (latihan koordinasi) dengan gerakan-gerakan yang mirip dengan latihan inti sehingga peserta mampu mengkoordinasikan gerakan yang akan dilakukan pada gerakan inti sekaligus meminimalisir terjadinya cedera.

d. Tahap Keempat (Fakultatif) dilakukan apabila suhu tubuh dirasa masih terlalu dingin terutama bila intensitas pemanasan tahap kedua tidak adekuat atau berada di daerah dingin. Tahap keempat dilakukan dengan pemanasan secara umum.

2. Latihan inti (Jogging)

Jogging merupakan salah satu olahraga dengan intensitas rendah. Latihan yang dilakukan dengan intensitas yang lebih rendah memiliki makna latihan yang dilakukan setingkat diatas dari intensitas aktivitas fisik sehari-hari. Latihan ini lebih efisien bagi pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan yang meliputi efisiensi waktu, biaya, dan efisiensi tenaga (Giriwijoyo, 2017).

Latihan inti (Jogging) dilakukan selama 30 menit, 2 kali seminggu selama 4 minggu. Jogging bermanfaat secara optimal apabila dilakukan 1 jam sampai 2,4 jam per minggu yang dibagi menjadi 2 sampai 3 kali per minggu. Hasil terbaik ditunjukkan oleh peserta yang melakukan jogging dengan kecepatan rendah (Schnohr, 2015).

Perubahan fisiologis yang ditimbulkan yaitu peningkatan kemampuan fungsional alat tubuh ( kemampuan gerak) yang mencakup persendian, otot-otot dan tendon, serta peningkatan kemampuan fungsional organ lain yaitu susunan saraf, darah, jantung, pembuluh darah, metabolisme. Perubahan dan peningkatan ini menyebabkan peningkatan kemampuan dan daya tahan tubuh, tidak mudah

(23)

lelah, peningkatan kecepatan pulih dari kelelahan, serta penurunan risiko terpajan penyakit.

Selain perubahan fungsional pada organ tubuh, peningkatan kemampuan fungsional juga membawa dampak yang sangat baik bagi aspek mental dan rohani seiring tumbuh dan meningkatnya rasa percaya diri. Pada aspek sosial, olahraga bersama-sama memungkinkan terjadinya hubungan sosial yang lebih baik bagi pesertanya. Orientasi diri yang lebih baik terhadap lingkungan sosial dapat membantu menciptakan stabilitas mental dan emosional yang lebih baik (Giriwijoyo, 2017).

3. Latihan Penutup ( Pendinginan )

Latihan penutup berbentuk sama dengan latihan pendahuluan tahap pertama yaitu berupa gerakan ringan menyerupai pelemasan dan peregangan. Manfaat latihan penutup adalah ringan membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena) sehingga membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot yang aktif bergerak pada latihan inti (Giriwijoyo, 2017).

2.1.3 Pengaruh Terapi Olahraga Jogging Terhadap Perubahan Gejala Negatif Pada Pasien Skizofrenia

Menurut Keliat (2010) Penanganan pasien skizofrenia dilakukan dengan kombinasi psikofarmakologi dan intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, terapi aktifitas kelompok dan terapi okupasi. Dengan memberikan aktivitas dapat mencegah pasien dari kesendirian dan isolasi diri yang dapat memunculkan gejala negatif.

(24)

Penelitian yang dilakukan oleh Myra, Wempy Thioritz, A. Jayalangkara Tanra (2015) yang meneliti pengaruh terapi olahraga jogging terhadap perbaikan gejala klinis pasien skizofrenia di Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan.

Penelitian dilakukan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan (bangsal perawatan) tahun 2015. Sampel penelitian diperoleh dengan consecutive sampling sejumlah 30 orang, yaitu 15 orang kelompok yang mendapat perlakuan dan 15 orang kelompok kontrol. Hasil uji Mann-Whitney Test didapatkan pada minggu ke-4 penurunan PANSS kelompok perlakuan lebih besar secara bermakna dibanding kelompok kontrol. Setelah minggu ke-8 penilaian skor PANSS terlihat menurun secara signifikan. Pada kelompok perlakuan total penurunan nilai PANSS adalah 8.00; sedangkan pada kelompok kontrol adalah 4.00. Ini berarti hipotesis penelitian diterima artinya ada pengaruh olahraga jogging sebagai tambahan terapi bagi pasien skizofrenia dan besarnya pengaruh tersebut bermakna pada kelompok perlakuan setelah melakukan olahraga jogging.

Penelitian yang dilakukan Dorde Curcic, Tamara Stojmenovic, Slavica Djukic-Dejanovic, Nenad Dikic, Milicavesic-Vukasinovic, Nenad Radivojevic, Marija Andjelkovic, Milica Borovcanin & Gorica Djokic (2017) yaitu “Positive Impact Of Prescribed Physical Activity On Symptoms Of Schizophrenia:

Randomized Clinical Trial”. Penelitian ini menguji kapasitas fungsional jantung dan paru-paru pada pasien skizofrenia dan mengevaluasi efek setelah diberikan terapi latihan fisik tertentu (diawali olahraga pemanasan 5 menit, lalu jalan cepat/jogging 30 menit sejauh 2-4 km, dan diakhiri dengan olahraga peregangan/pendinginan selama 10 menit) selama 12 minggu terhadap kapasitas aerobic dan gejala skizofrenia. Hasil penelitian didapatkan sebelum diberikan terapi latihan fisik, hasil VO2 max pasien skizofrenia secara signifikan lebih

(25)

12 minggu, didapatkan kenaikan VO2 max secara signifikan bahkan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, didapatkan bahwa latihan fisik brpengaruh secara signifikan terhadap penurunan skor PANSS. Persamaan penelitian adalah pada variabel bebas menggunakan latihan fisik yang sama yaitu olahraga jogging/jalan cepat. Persamaan lain adalah variabel terikat yang diteliti adalah gejala skizofrenia. Sedangkan perbedaan penelitian adalah latihan fisik yang dilakukan pada penelitian ini akan dilakukan sebanyak dua kali seminggu selama 6 minggu. Perbedaan lain adalah penelitian ini berfokus untuk meneliti gejala negatif sebagai variabel terikat.

2.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Nursalam, 2008).

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

34 Etiologi

Diatesis-Stres Model

Faktor Biologis Genetika Faktor Psikososial

SKIZOFRENIA

Faktor Predisposisi : Faktor psikologis Sosial budaya Faktor biologis Faktor Presipitasi:

Pasien Lingkungan Penatalaksanaan

Terapi Okupasi :

a. Latihan gerak badan.

b. Olahraga.

c. Permainan.

d. Menjahit.

e. Kerajinan tangan.

f. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi

g. Pekerjaan sehari-hari h. Pekerjaan pre-vokasional i. Seni

Perbaikan gejala negatif

Pasien mengalami gejala negatif dengan rentang skor 7 sampai 49, semakin rendah skor maka gejala

(26)

Keterangan

: variabel diteliti : variabel tidak diteliti

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual Penelitian Pengaruh Terapi Olahraga Jogging Terhadap Perbaikan Gejala Negatif pada Pasien Skizofrenia

Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali 2.3Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian.

(Nursalam,2013). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H0 : Tidak ada Pengaruh Terapi Olahraga Jogging terhadap Perbaikan Gejala Negatif Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Tahun 2020 Ha : Ada Pengaruh Terapi Olahraga Jogging terhadap Perbaikan Gejala Negatif Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Tahun 2020

Penatalaksanaan Terapi Okupasi :

a. Latihan gerak badan.

b. Olahraga.

c. Permainan.

d. Menjahit.

e. Kerajinan tangan.

f. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi

g. Pekerjaan sehari-hari h. Pekerjaan pre-vokasional i. Seni

j. Rekreasi

k. Diskusi dengan topik tertentu

Pasien mengalami gejala negatif dengan rentang skor 7 sampai 49, semakin rendah skor maka gejala negatif yang dialami semakin ringan

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat itu Haniffa melihat keterbatasan pada kerangka pelaporan sosial yang dilakukan oleh lembaga konvensional sehingga ia mengemukakan kerangka konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini yang diteliti adalah kebiasaan menggosok gigi dengan kejadian karies gigi pada anak pra

2.4 Kerangka Konseptual Keterangan : = Diteliti = Tidak Diteliti Pendapatan di daerah asal Remitan (Pengiriman Uang dari daerah tujuan) Keputusan Migrasi ke

Kerangka konseptual diatas menggambarkan pengaruh variabel independen pengendalian internal yang diukur dengan lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas

Kerangka Konseptual Variabel x Kepribadian tangguh Hardiness Variable y Kemampuan penyelesaian masalah Problem Solving Aspek – aspek dari kepribadian tangguh yang di

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL Keterangan : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Menstruasi Infeksi Pola Konsumsi Jajanan yang dikonsumsi  Tinggi lemak 

Keterangan: Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Faktor rumah tangga dan keluarga Asupan makanan inadekuat Paparan terhadap

2.6 Kerangka Konsep Keterangan : = Tidak diteliti = Diteliti Dilakukan pengujian pada larutan untuk melihat trayek pH yang dihasilkan dari ekstrak Diambil larutan dengan