3.1 Peta Zona Layak Wilayah Tambang
Penentuan zona/kawasan layak tambang merupakan suatu proses untuk menentukan daerah yang akan diusulkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai wilayah kegiatan usaha pertambangan. Sehingga inti dari aktivitas di dalam menentukan zona/kawasan yang layak tambang adalah menetukan kriteria yang menetapkan kawasan tambang yang kemudian melakukan penapisan yang ideal untuk mendapatkan daerah yang akan diusulkan.
3.1.1 Konsep Dasar Kawasan Pertambangan
Sumber daya mineral merupakan sumber daya tidak terbarukan yang terletak dan tersebar tidak merata di bawah permukaan bumi. Sebagai konsekuensi dari lokasi yang letaknya berada di bawah permukaan dan penyebarannya tidak merata, maka potensi sumberdaya mineral pada suatu daerah hanya dapat diidentifikasi setelah dilakukan serangkaian penyelidikan pada daerah tersebut. Atas dasar pertimbangan kualitas dan kuantitas serta daya dukung lingkungan, daerah sebaran sumber daya mineral dapat dibagi menjadi :
1. Zona pertambangan, yang terdiri dari zona layak tambang dan zona layak tambang bersyarat.
2. Daerah pencadangan potensi bahan galian tambang.
3. Daerah tidak layak tambang.
Dengan diidentifikasinya sebaran bahan galian dan ditetapkannya bahan galian unggulan berdasarkan neraca supply - demand dan analisis manfaat – biaya
yang lebih mendalam, maka sudah selayaknya lokasi dengan potensi ekonomi yang tinggi menjadi fokus pembangunan sektor pertambangan. Maka dari itu perlu diikuti dengan dimasukkan/ditetapkannya lokasi tersebut sebagai kawasan pertambangan di dalam RTRW daerah.
Kawasan pertambangan merupakan suatu kawasan yang terletak pada zona layak tambang yang di dalamnya terdapat sebaran bahan galian unggulan. Kawasan ini dipersiapkan secara terintegrasi untuk keperluan pemanfaatan bahan galian unggulan untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya mineral pada saat ini maupun saat yang akan datang. Kebijakan pemerintah diperlukan untuk mengelola kawasan pertambangan tersebut, sehingga kawasan tersebut siap untuk dikembangkan. Konsep kawasan pertambangan sendiri dicirikan oleh prinsip : 1. Penentuan kawasan pertambangan, disamping berdasarkan pertimbangan
geologi, juga berdasarkan pertimbangan optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam sebagai fungsi dari waktu melalui perhitungan analisis manfaat – biaya.
Sehingga pengusahaan sumber daya mineral di daerah tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan pengusahaan sumber daya alam yang lain.
2. Penetapan kawasan pertambangan berarti di daerah yang bersangkutan akan menetapkan sektor pertambangan sebagai prioritas dan sebagai pendorong pembangunan dan pengembangan sektor-sektor unggulan lainnya.
3. Kawasan pertambangan mempertimbangkan aspek sosial budaya setempat, ditujukan untuk mengoptimalkan nilai tambang dan manfaat bahan galian bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat.
4. Kawasan pertambangan memudahkan investor yang berminat mengembangkan usaha di bidang pertambangan dan usaha yang terkait di dalamnya.
Lokasi tambang secara umum sebaiknya memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Daerah imbuhan air tanah (catchmentarea).
2. Bangunan-bangunan penting contoh tiang transmisi tegangan tinggi, bendungan, dan jembatan.
3. Penambangan tidak dilakukan pada potensi longsoran dan erosi.
4. Daerah rawan gerakan tanah, jalur gempa kuat, bahaya letusan gunung api, banjir bandang dan sebagainya.
5. Daerah-daerah yang memiliki fungsi lindung.
3.1.2 Proses Penetapan Kawasan Pertambangan
Proses penetapan kawasan pertambangan terdiri dari beberapa metode yaitu sebagai berikut :
1. Penentuan zona layak – tidak layak tambang
Penentuan zona layak ataupun tidak layaknya tambang didasarkan pada potensi sumberdaya mineral yang sudah diidentifikasi berdasarkan penyelidikan yang telah dilakukan. Proses penetapan zona layak tambang dapat dilihat pada (Gambar 3.1).
POTENSI SUMBERDAYA MINERAL
Inventarisasi Potensi Sumberdaya Mineral
Potensi yang belum diketahui Potensi yang sudah
diketahui
Dilakukan Eksplorasi Overlaping dengan
Kawasan Lindung
Pada Kawasan Lindung Bukan Pada Kawasan
Lindung
ZONA LAYAK
TAMBANG ZONA TIDAK
LAYAK TAMBANG Sumber: Anonim, 2008.
Gambar 3.1
Metode Penentuan Zona Layak dan Tidak Layak Tambang
2. Penentuan kriteria penetapan kawasan pertambangan
Kriteria penetapan kawasan pertambangan didasarkan pada 2 aspek : a. Potensi bahan galian
Potensi suatu bahan galian akan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitasnya/
potensi yang baik adalah potensi yang telah dapat dipahami geometri, sebaran, dan kualitasnya yang mana dalam hal ini termasuk klasifikasi cadangan. Sementara potensi dengan tingkat keyakinan yang lebih rendah akan dimasukkan kedalan klasifikasi sumber daya.
b. Nilai tambah
Bahan galian memiliki karakteristik yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Bahan galian yang tidak atau sedikit memerlukan proses pengolahan dan langsung dimanfaatkan biasanya akan memiliki nilai tambah yang kurang optimal. Sementara untuk bahan galian yang memerlukan proses pengolahan, akan mengakibatkan nilai produk yang cukup signifikan.
Selain kedua aspek diatas, terdapat faktor-faktor yang dapat mendorong dan yang melemahkan penetapan daerah menjadi kawasan pertambangan : a. Faktor yang mendorong
Faktor yang mendorong untuk menjadikan penetapan kawasan pertambangan yaitu, sumber daya unggulan, sumber daya yang bersifat langka, pemasok untuk daerah lain.
b. Faktor yang melemahkan
Faktor yang melemahkan untuk penetapan kawasan pertambangan yaitu, penggunaan lahan lintas sektoral, potensi dampak lingkungan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
3.2 Penggolongan Sumber Daya Alam Mineral
Sumberdaya mineral adalah sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan-batuan yang ada di bumi. Ekstraksi adalah proses pemisahan mineral-mineral dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan. Adapun jenis dan manfaat sumber daya mineral bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara. (Noor,2006)
Menurut UU No 4 Tahun 2009, pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang:
1. Mineral logam meliputi: litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangan, platina, bismut, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, krom, erbium, ytterbium, disprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin;
2. Mineral bukan logam meliputi: intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen;
3. Batuan meliputi: pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatom, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan
4. Batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.
5. Mineral radioaktif meliputi: radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya.
3.3 Kewenangan Pengelolaan Pertambangan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tambang adalah pemerintah pusat. Hal tersebut disebakan oleh sistem pemerintahan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 bersifat sentralistik. Artinya segala macam urusan yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan penetepan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, maupun lainnya, pejabat yang berwenang memberikan izin adalah menteri, dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan dalam pemberian izin diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan pemerintah pusat, sesuai dengan kewenangannya.
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 2009, kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan umum antara lain, adalah :
1. Penetapan kebijakan nasional.
2. Pembuatan peraturan perundang-undangan.
3. Penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria.
4. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional.
5. Penetapan WP (Wilayah Pertambangan) yang dilakukan setalah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
6. Pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian, konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
7. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
8. Pemberian IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi.
9. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemrintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertmabangan yang baik.
10. Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi.
11. Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat.
12. Perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara.
13. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
14. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan.
15. Penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP (Wilayah Usaha Pertambangan) dan WPN (Wilayah Pecadangan Negara).
16. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional.
17. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang.
18. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingakt nasional.
19. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan.
20. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan pertambangan.
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 2009, kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan umum antara lain, adalah:
1. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah.
2. Pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian, konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.
3. Pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian, konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.
4. Pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian, konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkuangan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.
5. Penginventarisasikan, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya.
6. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada daerah wilayah provinsi.
7. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi.
8. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi.
9. Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
10. Pengkoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak diwilayah tambang sesuai dengan kewenangannya.
11. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
12. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
13. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; dan 14. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pngelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:
1. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah.
2. Pemberian IUP dan IPR (Izin Pertambangan Rakyat), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau laut sampai dengan 4 (empat) mil.
3. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4(empat)
mil.
4. Penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara.
5. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota.
6. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota.
7. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
8. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal.
9. Penyampaian informasi hasil investarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepala Menteri dan Gubernur.
10. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur.
11. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; dan 12. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
15. Walaupun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk pengelolaan usaha pertambangan umum,namun semua kebijakan yang berkaitan dengan pertambangan umum masih didominasi oleh pemerintah pusat. Seperti yang menandatangi kontrak karya pada wilayah kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah Bupati/Walikota dengan perusahaan pertambangan.
Tetapi segala hal yang berkaitan dengan substansi kontrak karya telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah kabupaten/kota tidak
dapat mengembangkan substansi kontrak karya sesuai dengan kebutuhan daerah.
3.4 Ruang dan Wilayah
Menurut UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut istilah geografis umum, yang dimaksud dengan ruang (space) adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Menurut geografis regional, ruang merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografis, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintah yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya. (Jayadinata, 1999)
Wilayah adalah ruang yang terdiri dari kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sistem wilayah merupakan struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008). Kemudian, suatu wilayah (region) dalam pengertian geografis merupakan kesatuan alam. Kesatuan alam yang serbasama atau homogen dan kesatuan manusia yaitu masyarakat dengan kebudayaannya yang serbasama serta mempunyai ciri yang khas. Oleh karena itu, wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah yang lain. Bagian dari wilayah yang digunakan untuk suatu fungsi tertentu disebut kawasan, misalnya: wilayah pedesaan mempunyai kawasan perkampungan, kawasan pertanian, kawasan kehutanan; wilayah perkotaan terdiri dari kawasan
tempat tinggal, kawasan perkantoran, kawasan industri, dan kawasan rekreasi.
(Jayadinata,1999)
3.5 Rencana Tata Ruang Wilayah
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menghasilkan rencana tata ruang.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Pemanfaatan ruang merupakan suatu upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman serta sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWKN) adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah Negara. (UU No.
26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008).
Tata ruang berarti pengaturan geografis selain dari pembuatan rencana, yang penting adalah pelaksanaan rencana tersebut oleh masyarakat. Menurut Tarigan (2005), perencanaan wilayah adalah penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan ruang wilayah tercakup dalam kegiatan perencanaan ruang, sedangkan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah (terutama aktivitas ekonomi) tercakup dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan ruang wilayah diatur oleh pemerintah untuk kepentingan bersama agar tercipta kesesuaian peruntukan ruang dengan tujuan penggunaannya.
Penggunaan lahan perlu diatur terutama dalam pegelolaan kawasan lindung yang menyangga kehidupan manusia, kemudian untuk melindungi masyarakat dari penggunaan lahan yang dapat menimbulkan bencana serta adanya kebutuhan terhadap keindahan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman pada pengaturan ruang wilayah
Menurut Jayadinata (1999), perencanaan wilayah meliputi: kota-kota besar dan pemusatan penduduk (aglomerasi) di perkotaan, wilayah pedesaan dalam suatu daerah, himpunan (konurbasi) kota, dan sebagainya. Perencanaan menurut wilayah yaitu terdapat perencanaan nasional, perencanaan regional, dan perencanaan lokal.
Perencanaan nasional untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Perencanaan regional untuk wilayah luas (misalnya perencanaan wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kotamadya). Perencanaan lokal untuk wilayah yang lebih kecil. Sedangkan perencanaan menurut waktu, terdapat perencanaan jangka panjang (25-30 tahun), perencanaan jangka menengah (misalnya Rencana Pembangunan Lima Tahun yang disesuaikan dengan pergantian pemerintah berkala dengan diadakannya pemilihan umum dan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat), dan perencanaan jangka pendek (satu atau beberapa tahun). Perencanaan penggunaan tanah di Indonesia ditangani oleh Direktorat Tata Guna Tanah, Badan Pertahanan Nasional (BPN) yang mempunyai cabang di daerah baik provinsi maupun di kabupaten dan kotamadya.
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada: (1) RTRWKN dan rencana tata ruang wilayah provinsi, (2) pedoman dan petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang, dan (3) rencana pembangunan jangka panjang daerah (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008).