BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. PENGARUH KOAGULAN LATEKS TERHADAP WAKTU KONTAK Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 4.1. menunjukkan bahwa lateks memiliki pH awal 7 dan mengalami penurunan pH lateks setelah diberi penambahan senyawa asam atau yang biasa disebut dengan koagulan lateks. Sucahyo (2010) menyatakan bahwa lateks kebun memiliki pH 7 sampai dengan pH 8, pada kondisi pH tersebut lateks bersifat stabil dan bermuatan negatif. Partikel karet didalam lateks dilapisi oleh protein dan lipid. Penambahan koagulan lateks menyebabkan pH lateks menurun dan berada pada titik isoelektrik, yaitu antara pH 4,7 sampai dengan pH 5,3. Pada pH tersebut protein yang melapisi partikel karet tidak akan stabil sehingga dalam rentang waktu tertentu lapisan tersebut akan rusak dan akan terjadi kontak antar partikel karet yang menyebabkan terjadinya penggumpalan lateks.
Tabel 4.1. pH lateks, pH koagulan lateks, pH koagulum
Koagulan lateks pH lateks pH koagulan lateks pH koagulum
Asam formiat 7 3 3
Asam sulfat 7 1 1
Ekstrak kulit nanas 7 4 4
Ekstrak umbi gadung 7 6 6
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 7 4 4
Keterangan: pH lateks merupakan pH awal lateks segar tanpa penambahan koagulan lateks atau senyawa lainnya.
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa koagulan lateks asam formiat, asam sulfat, ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao memiliki kandungan pH yang berbeda-beda. Ion H+ dalam koagulan lateks asam formiat, asam sulfat, ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao mampu meniadakan muatan listrik negatif partikel karet serta menurunkan pH lateks sehingga menyebabkan terjadinya penggumpalan lateks. Sucahyo (2010) menyatakan bahwa penambahan koagulan lateks kedalam lateks adalah menambahkan senyawa asam (ion H+) sehingga bereaksi dengan ion OH- pada protein lateks dan senyawa lainnya didalam lateks. Hal ini menyebabkan muatan listrik pada lateks menjadi netral sehingga terjadilah penggumpalan lateks.
Tabel 4.2. Rata-rata hasil analisis waktu kontak Koagulan lateks Waktu kontak (menit)
Asam formiat vs. Koagulan lain
Asam formiat 32.63a
Koagulan lain 48.34b
Asam formiat vs. Asam sulfat
Asam formiat 32.63b
Asam sulfat 23.38a
Asam formiat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam formiat 32.63b
Ekstrak kulit nanas 30.88a
Asam formiat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam formiat 32.63a
Ekstrak umbi gadung 19.88b
Asam formiat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam formiat 23.38b
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 19.88a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa perlakuan asam formiat menghasilkan waktu kontak yang lebih cepat secara nyata 32,63a menit dibandingkan dengan waktu kontak koagulan lainnya (asam sulfat, ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao), yaitu selama 48,34b menit. Kecepatan waktu kontak asam formiat terhadap lateks, diduga dipengaruhi oleh kandungan pH asam formiat, yaitu pH 3. Asam formiat mengandung pH yang lebih asam dibandingan dengan koagulan lainnya sehingga asam formiat mampu menyumbang lebih banyak ion H+ untuk berikatan dengan ion OH- lateks.
Hal ini mengakibatkan lateks mengalami penggumpalan yang lebih cepat dibandingkan dengan penambahan koagulan lateks yang lainnya. Simanjuntak et al., (2012) menyatakan bahawa semakin lemah kekuatan asam pada koagulan lateks maka semakin lemah juga koagulan lateks dalam menggumpalkan lateks. Sucahyo (2010) menambahkan bahwa asam semut memiliki kandungan asam yang tinggi dengan nilai pH rendah sehingga menyebabkan proses penggumpalan pada lateks dapat berlangsung dengan cepat.
Asam formiat CH2O2 atau yang biasa disebut dengan asam semut merupakan asam karboksilat jenis asam lemah hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil yang
terionisasi apabila dilarutkan kedalam air. Asam formiat berwarna jernih dan tidak berbau (Muthawali, 2016). Manday (2008) menambahkan bahwa asam formiat dimanfaatkan sebagai koagulan lateks karena menghasilkan bokar dengan mutu yang sesuai dengan SNI-06-2047-1998, yaitu baik dalam persentase kadar karet kering, Plasticity Index Retention (PRI) dan persentase kadar kotorannya.
Tabel 4.3. Rata-rata hasil analisis waktu kontak Koagulan lateks Waktu kontak (menit)
Asam sulfat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam sulfat 23.38b
Ekstrak kulit nanas 30.88a
Asam sulfat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam sulfat 23.38a
Ekstrak umbi gadung 19.88b
Asam sulfat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam sulfat 23.38a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 128.25b
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3. juga menunjukkan bahwa asam sulfat memiliki waktu kontak yang lebih cepat secara nyata 23,38a menit dibandingkan dengan waktu kontak asam formiat, yaitu selama 32,63b menit, waktu kontak ekstrak kulit nanas 30.88a menit, dan waktu kontak limbah cair hasil fermentasi biji kakao 128,25b menit. Hal ini diduga bahwa kecepatan waktu kontak asam sulfat terhadap lateks dipengaruhi oleh kandungan pH koagulan lateks. Pada Tabel 4.1. menunjukkan bahwa asam sulfat memiliki nilai pH 1 yang lebih asam dibandingkan dengan nilai pH pada koagulan asam formiat, ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao. Oleh karena itu semakin asam derajat keasaman suatu koagulan lateks maka semakin banyak ion H+ koagulan lateks yang berikatan dengan ion OH- protein sehingga menyebabkan terjadinya penggumpalan lateks. Hardiyanty et al., (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemanfaatan buah mengkudu yang diperam sebagai koagulan lateks menunjukkan waktu kontak yang lebih cepat secara nyata dibandingkan dengan waktu kontak oleh perlakuan buah mengkudu tanpa pemeraman. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan pH yang lebih
asam pada buah mengkudu yang diperam dibandingkan dengan kandungan pH pada buah mengkudu tanpa pemeraman.
Asam sulfat biasa dikenal dengan H2SO4 adalah asam kuat yang bersifat korosif, berbau menyengat dan larut dalam air. Asam sulfat juga banyak dimanfaatkan oleh petani karet sebagai koagulan lateks karena penggunaannya lebih sedikit dan memiliki harga yang terjangkau, meskipun asam sulfat menghasilkan mutu bokar yang tidak sesuai dengan SNI (Vachlepi dan Suwardin, 2016). Purbaya dan Suwardin (2017) menyatakan bahwa penggunaan asam sulfat sebagai koagulan lateks memberikan pengaruh negatif terhadap nilai plastisitas awal (P0) dan Viskositas Mooney. Asam sulfat juga merupakan oksidator kuat sehingga mampu menurunkan persentase PRI pada karet. Selain itu, kandungan ion sulfat SO42- pada asam sulfat akan menyebabkan tingginya kadar abu didalam karet.
Tabel 4.4. Rata-rata hasil analisis waktu kontak Koagulan lateks Waktu kontak (menit)
Ekstrak kulit nanas vs. Ekstrak umbi gadung
Ekstrak kulit nanas 30.88b Ekstrak umbi gadung 19.88a
Ekstrak kulit nanas vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak kulit nanas 30.88a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 128.25b
Ekstrak umbi gadung vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak umbi gadung 19.88a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 128.25b
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang disajikan pada Tabel 4.4. menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar koagulan lateks yang diujikan. Pada koagulan ekstrak kulit nanas menunjukkan waktu koagulan yang lebih lama secara nyata 30,88b menit dibandingkan dengan ekstrak umbi gadung, yaitu selama 19,88a menit. Hal ini tidak sesuai dengan (Praharnata et al., 2016) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa pada perlakuan ekstrak umbi gadung mampu menggumpalkan lateks lebih cepat secara nyata dibandingan dengan perlakuan ekstrak nanas. Meskipun, ekstrak umbi gadung menunjukkan waktu prakoagulasi yang lebih lama secara nyata dibandingkan dengan ekstrak nanas.
Ekstrak kulit nanas dimanfaatkan sebagai koagulan lateks karena mengandung asam organik, yaitu asam sitrat C6H8O7, asam askorbat C6H8O6, asam malat C4H6O5, asam oksalatC2H2O4 dan enzim bromelin, besarnya kandungan asam organik tersebut dipengaruhi oleh tingkat kematangan pada buah nanas (Nurhadiati, 2002).
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.4. menunjukkan bahwa waktu kontak ekstrak kulit nanas lebih cepat secara nyata 30,88a menit dibandingkan dengan waktu kontak limbah cair hasil fermentasi biji kakao, yaitu selama 128,25b menit. Hal ini diduga bahwa penambahan ion H+ oleh ekstrak kulit nanas bereaksi lebih cepat terhadap ion OH- lateks dibandingkan dengan limbah cair hasil fermentasi biji kakao.
Menurut Aridona et al., (2015) limbah cair kakao mengandung asam asetat CH3CHOOH yang dapat dimanfaatkan sebagai koagulan lateks. Selain itu, limbah cair hasil fermentasi biji kakao juga mengandung asam sitrat dan etil alkohol. Laoli et al., (2013) juga menambahkan bahwa penggumpalan lateks dapat terjadi dengan adanya penurunan pH akibat penambahan senyawa asam dan dapat terjadi karena adanya penarikan lapisan air pada lateks akibat penambahan alkohol. Oleh karena itu limbah cair hasil fermentasi biji kakao mampu dimanfaatkan sebagai koagulan lateks.
Hasil uji kontras ortogonal pada ekstrak kulit nanas 10 ml dan ekstrak kulit nanas 20 ml yang tersaji pada Tabel 4.5. menunjukkan waktu kontak yang tidak berbeda nyata secara signifikan. Pada koagulan lateks lainnya menunjukkan hasi uji kontras ortogonal yang berbeda nyata secara signifikan (Tabel 4.5.). Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa waktu kontak pada volume 20 ml dari masing-masing koagulan lateks lebih cepat secara signifikan dibandingkan dengan waktu kontak pada volume 10 ml dari masing-masing koagulan lateks. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak volume koagulan lateks yang ditambahkan kedalam lateks maka semakin banyak ion H+ yang berikatan dengan ion OH- lateks, sehingga muatan listrik pada lateks menjadi netral dan mengakibatkan terjadinya penggumpalan.
Ulfah et al., (2017) pada penelitiannya menyatakan bahwa semakin banyak volume koagulan lateks yang ditambahkan kedalam lateks, maka semakin cepat terjadinya penurunan pH lateks dan menyebabkan terjadinya penggumpalan lateks. Ali et al., (2016) menambahkan bahwa semakin banyak volume koagulan lateks yang ditambahkan kedalam lateks menyebabkan semakin luas kontak koagulan lateks
terhadap lateks, sehingga semakin banyak pula ion H+ koagulan lateks berikatan dengan ion OH- lateks dan mempercepat terjadinya penggumpalan pada lateks.
Tabel 4.5. Rata-rata hasil analisis waktu kontak Koagulan lateks Waktu kontak (menit)
Asam formiat 10 ml vs. Asam formiat 20 ml
Asam formiat 10 ml 27.50a
Asam formiat 20 ml 37.75b
Asam sulfat 10 ml vs. Asam sulfat 20 ml
Asam sulfat 10 ml 41.25b
Asam sulfat 20 ml 5.50a
Ekstrak kulit nanas 10 ml vs. Ekstrak kulit nanas 20 ml
Ekstrak kulit nanas 10 ml 27.75a
Ekstrak kulit nanas 20 ml 16.00a
Ekstrak umbi gadung 10 ml vs. Ekstrak umbi gadung 20 ml
Ekstrak umbi gadung 10 ml 20.75b
Ekstrak umbi gadung 20 ml 19.00a
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 10 ml vs.
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 20 ml
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 10 ml 136.00b
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 20 ml 120.50a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
1.2. PENGARUH KOAGULAN LATEKS TERHADAP BOBOT BASAH KARET
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.6. menunjukkan hasil yang signifikan antar koagulan lateks yang diujikan. Asam formiat CH2O2 menunjukkan bobot basah karet yang lebih berbobot 189.33b gram secara signifikan dibandingkan dengan bobot basah karet oleh koagulan lainnya, yaitu 141.97a. Asam formiat CH2O2 juga menunjukkan bobot basah karet yang lebih berbobot 189.33b gram secara signifikan dibandingkan dengan bobot basah karet oleh asam sulfat, yaitu 108.18a.
Asam sulfat H2SO4 merupakan jenis asam kuat dengan derajat keasaman yang lebih asam dibandingkan dengan asam formiat CH2O2. Nilai pH 1 yang dimiliki oleh asam sulfat mempengaruhi banyaknya ikatan ion H+ dengan ion OH– lateks yang membentuk air. Sehingga, semakin asam koagulan lateks yang digunakan dalam menggumpalkan lateks maka semakin banyak air yang terbentuk menyebabkan semakin
rendahnya bobot karet yang dihasilkan. Asam formiat CH2O2 merupakan jenis asam lemah sehingga banyaknya ion H+ yang disumbangkan dalam proses penggumpalan lateks lebih sedikit dibandingkan dengan asam sulfat H2SO4. Handayani (2014) menyatakan bahwa penggunaan asam kuat tidak dianjurkan dalam menggumpalkan lateks karena berpengaruh terhadap mutu bokar yang dihasilkan, oleh karena itu dianjurkan menggunakan asam-asam lemah dalam menggumpalkan lateks.
Tabel 4.6. Rata-rata hasil analisis bobot basah karet Koagulan lateks Bobot basah karet (gram)
Asam formiat vs. Koagulan lain
Asam formiat 189.33b
Koagulan lain 141.97a
Asam formiat vs. Asam sulfat
Asam formiat 189.33b
Asam sulfat 108.18a
Asam formiat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam formiat 189.33b
Ekstrak kulit nanas 147.61a
Asam formiat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam formiat 189.33b
Ekstrak umbi gadung 140.29a
Asam formiat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam formiat 189.33b
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 171.82a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang disajikan pada Tabel 4.7. menunjukkan bahwa bobot basah karet yang dihasilkan oleh asam sulfat berbeda nyata secara signifikan.
Ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao merupakan asam lemah. Derajat keasaman pada asam sulfat lebih asam (pH 1) dibandingkan dengan ekstrak kulit nanas sehingga asam sulfat menyumbang lebih banyak ion H+ dalam proses penggumpalan lateks dibandingkan dengan ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao. Suwardin dan Purbaya (2015) mengungkapkan bahwa penggunaan asam kuat sebagai koagulan lateks mampu meningkatkan kehilangan bobot karet.
Kandungan asam askorbat pada ekstrak kulit nanas mampu secara nyata menurunkan pH lateks sehingga muatan lateks menjadi tidak stabil, membentuk agregat karet yang lebih besar dan mengakibatkan terjadinya penggumpalan pada karet. Laoli et al., (2013) menyatakan bahwa kandungan asam askorbat didalam buah nanas mampu menurunkan pH lateks sampai ketitik isoelektrik. Asam askorbat mampu menyebabkan muatan protein pada lateks menjadi tidak stabil dan mengakibatkan terjadinya penggumpalan pada lateks.
Tabel 4.7. Rata-rata hasil analisis bobot basah karet Koagulan lateks Bobot basah karet (gram)
Asam sulfat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam sulfat 108.18a
Ekstrak kulit nanas 147.61b
Asam sulfat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam sulfat 108.18a
Ekstrak umbi gadung 140.29b
Asam sulfat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam sulfat 108.18a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 171.82b
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.8. menunjukkan bobot basah karet yang berbeda nyata antar perlakuan yang diujikan. Ekstrak kulit nanas menunjukkan bobot basah karet yang lebih berbobot 147.61b gram secara nyata dibandingkan dengan bobot basah karet oleh ekstrak umbi gadung, yaitu 140.29a. Ekstrak kulit nanas dan ekstrak umbi gadung merupakan asam lemah organik. Menurut Nurhadiati (2002) peningkatan bobot basah karet oleh kulit nanas dipengaruhi oleh kandungan pH pada kulit nanas tersebut. Ekstrak kulit nanas mengandung pH 3 dan mengandung senyawa asam, yaitu asam askorbat, asam sitrat, asam malat, asam oksalat serta enzim bromelin yang mempengaruhi penurunan pH lateks dalam menggumpalkan lateks serta meningkatkan bobot karet. Laoli et al., (2013) menyatakan bahwa penambahan senyawa asam kedalam lateks akan menyebabkan terjadinya penurunan pH lateks sampai ketitik isoelektri (pH 4,7) yang dapat menyebabkan partikel-partikel karet kehilangan muatan atau menjadi bermuatan netral sehingga menyebabkan terjadinya penggumpalan pada lateks.
Tabel 4.8. Rata-rata hasil analisis bobot basah karet Koagulan lateks Bobot basah karet (gram)
Ekstrak kulit nanas vs. Ekstrak umbi gadung
Ekstrak kulit nanas 147.61b
Ekstrak umbi gadung 140.29a
Ekstrak kulit nanas vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Ekstrak kulit nanas 147.61a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 171.82b
Ekstrak umbi gadung vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Ekstrak umbi gadung 140.29a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 171.82b
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Penggumpalan lateks oleh umbi gadung dipengaruhi oleh adanya kandungan alkaloid dioskrin yang dapat terurai menjadi hidrogen sianida HCN yang bersifat racun.
Menurut (Widiyanti dan Kumoro, 2017) kandungan asam sianida HCN didalam gadung adalah sebanyak 425,44 mg per kg, oleh karena itu umbi gadung tergolong sebagai jenis umbi yang sangat beracun. Selain itu, umbi gadung juga mengandung 91,51 % karbohidrat sehingga hal ini diduga menyebabkan bobot basah karet yang dihasilkan oleh ekstrak umbi gadung tidak sebesar bobot basah karet yang dihasilkan oleh ekstrak kulit nanas dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao secara nyata.
Hasil uji kontras ortogonal pada Tabel 4.8. menunjukkan bahwa bobot basah limbah cair hasil fermentasi biji kakao lebih berbobot 171.82b secara nyata dibandingkan dengan bobot basah karet oleh ekstrak kulit nanas 147.61a. Mahadewi et al., (2014) menyatakan bahwa limbah cair hasil fermentasi biji kakao mengandung asam organik yang terbentuk dari hasil fermentasi pulpa biji kakao. Asam-asam organik tersebut terdiri dari asam asetat, asam laktat dan alkohol. Pujisiswanto (2011) menambahkan bahwa asam asetat yang terkandung dalam limbah cair hasi fermentasi kakao adalah sebanyak 7,84 %. Selain itu, penggumpalan lateks dengan menambahkan limbah cair hasil kakao mampu menghasilkan produk berupa sit asap dengan mutu RSS 1. Berdasarkan kandungan asam asetat yang terdapat pada limbah cair hasil fermentasi biji kakao, diduga mampu meningkatkan bobot basah karet dibandingkan dengan kandungan asam askorbat pada ekstrak kulit nanas. Ali et al., (2009) mengungkapkan
bahwa senyawa asam yang terkandung pada koagulan lateks mampu menentukan kecepatan penggumpalan lateks dan peningkatan bobot karet.
Tabel 4.9. Rata-rata hasil analisis bobot basah karet Koagulan lateks Bobot basah karet (gram)
Asam formiat 10 ml vs. Asam formiat 20 ml
Asam formiat 10 ml 168.84a
Asam formiat 20 ml 209.81b
Asam sulfat 10 ml vs. Asam sulfat 20 ml
Asam sulfat 10 ml 105.76a
Asam sulfat 20 ml 110.60a
Ekstrak kulit nanas 10 ml vs. Ekstrak kulit nanas 20 ml
Ekstrak kulit nanas 10 ml 136.47a
Ekstrak kulit nanas 20 ml 158.74b
Ekstrak umbi gadung 10 ml vs. Ekstrak umbi gadung 20 ml
Ekstrak umbi gadung 10 ml 130.31a
Ekstrak umbi gadung 20 ml 150.26b
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 10 ml vs.
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 20 ml
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 10 ml 155.86a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 20 ml 187.79b
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.9. menunjukkan perbedaan yang signifikan antar koagulan lateks pada masing-masing volume yang diujikan. Pada koagulan lateks asam sulfat 10 ml terhadap asam sulfat 20 ml menunjukkan hasil uji kontras ortogonal yang tidak berbeda nyata secara signifikan.
Tabel 4.9. menunjukkan bahwa pada volume 20 ml koagulan lateks mampu menghasilkan bobot basah karet yang lebih berbobot dibandingkan dengan volume 10 ml koagulan lateks. Hal ini menunjukkan bahwa bobot basah karet dipengaruhi oleh banyaknya volume koagulan lateks yang ditambahkan kedalam lateks. hal ini sesuai dengan pernyataan Ali et al., (2014) yang menyatakan bahwa peningkatan bobot karet dihasilkan seiring dengan adanya penambahan volume pada koagulan lateks yang digunakan dalam menggumpalkan lateks. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya volume koagulan yang ditambahkan, maka semakin banyak ion H+ yang berikatan dengan ion OH- sehingga menyebabkan muatan menjadi netral dan semakin banyak
partikel-partikel karet yang membentuk gumpalan besar. Laoli et al., (2013) menambahkan bahwa semakin banyak volume ekstrak nanas yang ditambahkan kedalam lateks maka semakin banyak partikel-partikel karet yang membentuk agregat yang lebih besar dan mengakibatkan bobot karet meningkat.
1.3. PENGARUH KOAGULAN LATEKS TERHADAP KARAKTERISTIK KOAGULUM
Tabel 4.10. Karakteristik koagulum yang digumpalkan oleh beberapa koagulan lateks
Koagulan lateks Keragaan koagulum secara visual
Serum Warna koagulum Bau
Asam formiat Jernih Putih Berbau busuk
Asam sulfat Jernih Putih Berbau busuk
Ekstrak kulit nanas Jernih-kecokelatan Cokelat Sedikit berbau busuk Ekstrak umbi gadung Putih Putih kekuningan Sedikit berbau busuk Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao Jernih-kecokelatan Cokelat Sedikit berbau busuk
Keterangan: hasil pengamatan diukur dengan menggunakan uji organoleptik atau uji sensori atau pengujian yang dilakukan dengan menggunakan indra manusia. Pada warna dan bau diukur setelah dilakukan penyimpanan selama tiga hari masa penyimpanan.
1.3.1. Kejernihan Serum
Pada Tabel 4.10. menunjukkan bahwa koagulan lateks mampu mempengaruhi kejernihan serum, warna koagulum, bau busuk pada koagulum dan elastisitas koagulum.
Serum merupakan cairan jernih, mengandung senyawa asam dan ion logam yang terbentuk akibat penggumpalan lateks (Maryanti dan Edison, 2016). Tabel 4.10.
menunjukkan asam formiat CH2O2 dan asam sulfat H2SO4 menghasilkan serum yang jernih. Asam formiat CH2O2 dan asam sulfat H2SO4 merupakan jenis senyawa asam yang tidak berwarna sehingga hal ini diduga akan mempengaruhi kejernihan serum.
Selain itu, Purbaya dan Suwardin (2017) menyatakan bahwa kejernihan serum juga menunjukkan adanya penggumpalan lateks yang sempurna, dimana partikel-partikel karet sudah tergumpal dan tidak menunjukkan adanya cairan berwarna putih.
Penggumpalan lateks yang tidak sempurna ditunjukkan dengan adanya sebagian partikel karet yang membentuk flok-flok halus dan partikel karet yang masih bercampur serum sehingga masih berwarna putih seperti warna lateks segar pada umumnya.
Tabel 4.10. menunjukkan bahwa ekstrak umbi gadung menghasilkan serum berwarna putih. Hal ini diduga koagulasi lateks oleh ekstrak umbi gadung masih
membutuhkan waktu lebih lama sampai lateks menggumpal, yaitu keadaan dimana partikel-partikel karet saling berikatan membentuk agregat besar dan menggumpal.
Pada Tabel 4.1. menunjukkan bahwa ekstrak umbi gadung mengandung pH 6 dan mengandung senyawa asam HCN sehingga dapat dimanfaatkan sebagai koagulan lateks.
Namun, ekstrak umbi gadung juga mengandung karbohidrat sehingga hal ini diduga dapat mempengaruhi proses penggumpalan lateks dan menyebabkan serum yang dihasilkan berwarna putih.
Pada ekstrak kulit nanas dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao menunjukkan serum yang jernih-kecokelatan. Ekstrak kulit nanas dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao merupakan koagulan lateks yang berwarna jernih-kecokelatan, sehingga diduga ketika ditambahkan kedalam lateks menghasilkan serum yang berwarna jernih- kecokelatan.
1.3.2. Warna Koagulum
Tabel 4.10. menunjukkan bahwa asam formiat, asam sulfat dan ekstrak umbi gadung merupakan koagulan lateks yang mampu mempertahankan warna koagulum selama tiga hari masa penyimpanan dibandingkan dengan ekstrak kulit nanas dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao yang menghasilkan warna kecokelatan pada koagulum selama tiga hari masa penyimpanan. Chusna et al., (2017) menyatakan bahwa perubahan warna karet dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu bahan yang terkandung didalam koagulan lateks, reaksi didalam lateks, kebersihan alat dan kontaminan.
Ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao adalah asam organik yang mengandung fenol yang mampu mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk pada lateks. Chusna et al., (2017) mengungkapkan bahwa koagulum disimpan pada tempat penyimpanan berpotensi untuk terjadinya kontak dengan udara yang mengakibatkan semakin lama masa penyimpanan koagulum maka semakin gelap warna koagulum yang dihasilkan. Adanya kandungan fenol didalam koagulan lateks organik mampu mencegah aktivitas bakteri pembusuk dari udara bebas yang mampu menguraikan protein dalam lateks yang menyebabkan perubahan warna pada koagulum. Ibrahim (2012) menambahkan bahwa lama masa penyimpanan koagulum menimbulkan warna gelap pada koagulum. Hal ini disebabkan karena pada saat masa penyimpanan koagulum dimungkinkan terjadinya kontak dengan
udara bebas sehingga terjadi oksidasi pada lateks dan menyebabkan warna koagulum menjadi gelap. Selain itu, lama masa penyimpanan koagulum juga menyebabkan aktivitas enzimatis terhenti dan rusaknya beberapa komponen pada lateks sehingga menyebabkan perubahan warna koagulum.
1.3.3. Bau Koagulum
Bau busuk pada koagulum timbul setelah tiga hari masa penyimpanan. Pada Tabel 4.10. menunjukkan bahwa koagulum yang dihasilkan oleh asam formiat dan asam sulfat berbau busuk dibandingkan dengan ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao yang sedikit berbau busuk. Koagulum baru atau lateks yang baru menggumpal tidak menimbulkan bau busuk, bau busuk pada koagulum timbul setelah dilakukan penyimpanan lebih dari tiga hari masa simpan. Menurut Chusna et al., (2017) bau busuk pada koagulum timbul dikarenakan adanya petumbuhan bakteri pembusuk yang melakukan biodegradasi didalam koagulum menjadi amoniak NH3 dan sulfida H2S. Purwati (2005) menambahkan bahwa selama proses penyimpanan lump akan mengalami reaksi aerob dan anaerob akibat aktivitas bakteri yang menguraikan bahan organik serta menghasilkan gas-gas yang berbau busuk dan sangat menyengat terutama amoniak NH3 dan hidrogen sulfida H2S.
Amoniak merupakan senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3
hasil transformasi N-organik melalu proses amonifikasi. Amoniak memiliki bau busuk yang sangat tajam dan bersifat toksik. Gas amoniak sangat berbahaya bagi manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hidrogen sulfida H2S merupakan gas tidak berwarna, berbau busuk dan toksik. H2S dihasilkan ketika bakteri menguraikan bahan protein pada kondisi anaerob (Sucahyo, 2010).
Pada koagulan ekstrak kulit nanas, ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao selain mengandung senyawa asam organik juga mengandung fenol yang mampu mencegah aktivitas bakteri pembusuk pada koagulum. Suwardin dan Purbaya (2015) menyatakan bahwa kandungan senyawa asam organik dan fenol mampu mencegah aktivitas bakteri pembusuk. Selain itu, fenol juga berfungsi sebagai antioksidan yang akan melindungi molekul karet dari oksidasi sehingga meningkatkan nilai PRI pada karet. Mahadewi et al., (2014) menambahkan bahwa asam organik
didalam koagulan lateks organik, seperti asam asetat mampu berperan dalam mencegah aktivitas bakteri pembusuk pada koagulum.
1.4. PENGARUH KOAGULAN LATEKS TERHADAP KADAR KARET KERING
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia tentang bahan olah karet, analisis kadar karet kering (KKK) lump merupakan salah satu analisis yang penting untuk dilakukan karena dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan harga karet. Kadar karet kering kering adalah pengukuran jumlah partikel karet yang terkandung di dalam bokar yang dinyatakan dalam persen (%).
Tabel 4.11. Rata-rata hasil analisis kadar karet kering Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Asam formiat vs. Koagulan lain
Asam formiat 17.35a
Koagulan lain 17.34 a
Asam formiat vs. Asam sulfat
Asam formiat 17.35 a
Asam sulfat 17.82 a
Asam formiat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam formiat 17.35 b
Ekstrak kulit nanas 16.59 a
Asam formiat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam formiat 17.35 a
Ekstrak umbi gadung 19.44 a
Asam formiat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam formiat 17.35 a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 15.54 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang disajikan pada Tabel 4.11. menunjukkan persentase kadar karet kering yang tidak berbeda nyata secara signifikan antar perlakuan yang diujikan. Namun, pada perlakuan asam formiat dan ekstrak kulit nanas menunjukkan persentase kadar karet kering yang berbeda nyata secara signifikan.
Persentase kadar karet kering asam formiat nyata lebih tinggi 17.35b dibandingkan dengan persentase kadar karet kering ekstrak kulit nanas, yaitu 16,59 a. Kandungan pH
koagulan lateks mampu mempengaruhi persentase kadar karet kering. Asam formiat mengandung pH 3 sehingga asam formiat memiliki kemampuan untuk menggumpalkan partikel-partikel karet lebih besar dibandingkan dengan ekstrak kulit nanas yang mengandung pH 4. Zulyanti et al., (2017) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa asam formiat dengan derajat keasaman yang lebih asam dibandingkan dengan asap cair mampu mempercepat waktu penggumpalan lateks dan meningkatkan persentase kadar karet kering.
Tabel 4.12. Rata-rata hasil analisis kadar karet kering Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Asam sulfat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam sulfat 17.82a
Ekstrak kulit nanas 16.59 a
Asam sulfat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam sulfat 17.82 a
Ekstrak umbi gadung 19.44 a
Asam sulfat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam sulfat 17.82 b
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 15.54 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.12. menunjukkan bahwa persentase kadar karet kering yang tidak berbeda nyata secara signifikan. Namun, asam sulfat menunjukkan persentase kadar karet kering yang lebih tinggi 17.82b secara signifikan dibandingkan dengan persentase kadar karet kering limbah cair hasil fermentasi biji kakao, yaitu 15.54a. Tingginya persentase kadar karet kering pada asam sulfat dipengaruhi oleh kandungan pH. Asam sulfat memiliki derajat keasaman yang lebih asam dibandingkan dengan limbah cair hasil fermentasi biji kakao. Kandungan pH 1 pada asam sulfat mampu mempercepat penurunan pH lateks sehingga memepercepat terjadinya penggumpalan lateks dibandingkan dengan limbah cair hasil fermentasi biji kakao yang mengandung nilai pH 4. Zulyanti et al., (2017) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa asam formiat dengan derajat keasaman yang lebih asam dibandingkan dengan asap cair mampu mempercepat waktu penggumpalan lateks dan meningkatkan persentase kadar karet kering.
Tabel 4.13. Rata-rata hasil analisis kadar karet kering Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Ekstrak kulit nanas vs. Ekstrak umbi gadung
Ekstrak kulit nanas 16.59a Ekstrak umbi gadung 19.44 a
Ekstrak kulit nanas vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak kulit nanas 16.59 b
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 15.54 a
Ekstrak umbi gadung vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak umbi gadung 19.44 a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 15.54 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Tabel 4.13. menunjukkan hasil uji kontras ortogonal tentang persentase kadar karet kering yang tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan koagulan lateks lainnya yang diujikan. Namun, pada ekstrak kulit nanas menunjukkan persentase kadar karet kering yang lebih tinggi 16.59b secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar karet kering limbah cair hasil fermentasi biji kakao, yaitu 15.54a. Ekstrak kulit nanas mengandung asam organik, yaitu asam sitrat C6H8O7, asam askorbat C6H8O6, asam malat C4H6O5, asam oksalat C2H2O4 dan enzim bromelin, besarnya kandungan asam organik tersebut dipengaruhi oleh tingkat kematangan pada buah nanas (Nurhadiati, 2002).
Penambahan senyawa asam ion H+ oleh ekstrak kulit nanas kedalam lateks diduga mampu bereaksi lebih cepat terhadap ion OH- lateks dibandingkan penambahan dengan limbah cair hasil fermentasi biji kakao. Oleh karena itu ekstrak kulit nanas mampu menggumpalkan lateks lebih cepat dan mampu meningkatkan persentase kadar karet kering dibandingkan dengan limbah cair hasil fermentasi biji kakao. Zulyanti et al., (2017) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa asam formiat dengan derajat keasaman yang lebih asam dibandingkan dengan asap cair mampu mempercepat waktu penggumpalan lateks dan meningkatkan persentase kadar karet kering.
Tabel 4.14. Rata-rata hasil analisis kadar karet kering Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Asam formiat 10 ml vs. Asam formiat 20 ml
Asam formiat 10 ml 18.78b Asam formiat 20 ml 15.91 a
Asam sulfat 10 ml vs. Asam sulfat 20 ml
Asam sulfat 10 ml 17.89 a Asam sulfat 20 ml 17.74 a
Ekstrak kulit nanas 10 ml vs. Ekstrak kulit nanas 20 ml Ekstrak kulit nanas 10 ml 15.97 a
Ekstrak kulit nanas 20 ml 17.21 a
Ekstrak umbi gadung 10 ml vs. Ekstrak umbi gadung 20 ml
Ekstrak umbi gadung 10 ml 18.42 a Ekstrak umbi gadung 20 ml 20.45 a
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 10 ml vs.
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 20 ml
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 10 ml 14.86 a Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 20 ml 16.22 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.14. menunjukkan persentase kadar karet kering yang tidak berbeda nyata antar koagulan lateks yang diujikan.
Pada 10 ml asam formiat menghasilkan persentase kadar karet kering yang lebih tinggi 18.78b secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar karet kering 20 ml asam fomiat, yaitu 15.91a. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Ali et al., (2009) yang menyatakan bahwa semakin banyak volume koagulan karet yang ditambahkan kedalam lateks maka semakin cepat penurunan pH lateks, semakin cepat waktu penggumpalan lateks maka semakin meningkat kadar karet keringnya.
1.5. PENGARUH KOAGULAN LATEKS TERHADAP KADAR ABU
Pada umumnya abu berhubungan dengan kotoran seperti tanah, pasir atau bahan lainnya yang ditambahkan pada proses penggumpalan lateks. Kotoran pada koagulum ini tidak akan hilang pada pemanasan 5500C dalam proses pengolahan karet sehingga analisis kadar abu ini bertujuan untuk melindungi konsumen terhadap penambahan bahan-bahan lain yang menjadi sumber kotoran sebelum pengolahan lateks maupun pada waktu pengolahan karet. Menurut Setyamidjaya (1993) menyatakan bahwa persentase kadar abu dapat mempengaruhi ketahanan retak dan kelenturan barang- barang yang terbuat dari karet. Abu didalam karet terbentuk dari proses oksidasi karbonat dan fosfat dari kalium, magnesium, kalsium, natrium dalam jumlah yang berbeda-beda. Safitri (2010) menambahkan bahwa persentase kadar abu didalam karet memberikan gambaran mengenai jumlah bahan mineral yang dikandungnya.
Tabel 4.15. Rata-rata hasil analisis kadar abu
Koagulan lateks Kadar abu (%)
Asam formiat vs. Koagulan lain
Asam formiat 1.52a
Koagulan lain 2.26 b
Asam formiat vs. Asam sulfat
Asam formiat 1.52 a
Asam sulfat 2.07 b
Asam formiat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam formiat 1.52 a
Ekstrak kulit nanas 2.55 b
Asam formiat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam formiat 1.52 a
Ekstrak umbi gadung 2.04 b
Asam formiat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam formiat 1.52 a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 2.38 b
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.15. menunjukkan persentase kadar abu yang berbeda nyata secara signifikan antar koagulan lateks yang diujikan.
Tabel 4.15. menunjukkan bahwa koagulan lainnya nyata menghasilkan persentase kadar abu yang lebih tinggi 2.26b secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar abu
asam formiat, yaitu 1.52a. Asam formiat CH2O2 merupakan asam lemah yang dimanfaatkan sebagai koagulan lateks anjuran. Penambahan asam formiat pada proses koagulasi lateks adalah penambahan senyawa asam dimana seluruh ion H+ asam formiat berikatan dengan ion OH- lateks, sehingga menyisakan gas karbon dioksida CO2. Sedangkan, penambahan asam sulfat H2SO4 pada proses koagulasi lateks adalah penambahan senyawa asam dimana ion H+ asam sulfat berikatan dengan ion OH- dan menyisakan ion SO42-
yang mampu meningkatkan kadar abu pada koagulum.
Handayani (2014) mengungkapkan bahwa asam sulfat tidak direkomendasikan sebagai koagulan lateks karena mampu meningkatkan kadar abu dan menurnkan sifat kuat tarik (tensile strength).
Tabel 4.16. Rata-rata hasil analisis kadar abu
Koagulan lateks Kadar abu (%)
Asam sulfat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam sulfat 2.07a
Ekstrak kulit nanas 2.55 a
Asam sulfat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam sulfat 2.07 a
Ekstrak umbi gadung 2.04 a
Asam sulfat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam sulfat 2.07 a
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 2.38 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.16 tidak menunjukkan persentase kadar abu yang berbeda nyata antar koagulan lateks yang diujikan.
Pada Tabel 4.17, menunjukkan bahwa persentase kadar abu pada ekstrak kulit nanas dan ekstrak umbi gadung berbeda nyata secara signifikan. Pada Tabel 4.17. menunjukkan bahwa ekstrak kulit nanas memiliki persentase kadar abu yang lebih tinggi 2.55b dibandingkan dengan persentase kadar abu ekstrak umbi gadung, yaitu 2.04a. Ekstrak kulit nanas dan ekstrak umbi gadung merupakan asam organik.
Tingginya persentase kadar abu pada ekstrak kulit nanas diduga disebabkan oleh adanya kandungan kalium, fosfat, kalsium dan magnesium yang lebih besar didalam ekstrak kulit nanas dibandingkan didalam umbi gadung. Handayani (2014) menyatakan bahwa koagulan lateks dengan kandungan garam anorganik yang terdiri dari karbonat, fosfat,
slfat, kalium, magnesium dan kalsium mampu meningkatkan persentase kadar abu pada karet.
Tabel 4.17. Rata-rata hasil analisis kadar abu Koagulan lateks Kadar abu (%)
Ekstrak kulit nanas vs. Ekstrak umbi gadung
Ekstrak kulit nanas 2.55 b Ekstrak umbi gadung 2.04 a
Ekstrak kulit nanas vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak kulit nanas 2.55 a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 2.38 a
Ekstrak umbi gadung vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak umbi gadung 2.04 a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 2.38 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.18. menunjukkan bahwa persentase kadar abu menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar koagulan lateks yang diujikan. Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa penggunaan koagulan lateks asam kuat berupa H2SO4 berpotensi meningkatkan persentase kadar abu karet.
Selain itu, kandungan garam anorganik yang terdiri dari karbonat, fosfat, sulfat, kalium, magnesium dan kalsium mampu meningkatkan persentase kadar abu pada karet (Hidayoko dan Wulandra, 2014). Kandungan garam anorganik pada koagulan lateks organik, yaitu ekstrak kulit nanas ekstrak umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao diduga meningkatkan persentase kadar abu. Tingginya persentase kadar abu yang dihasilkan belum mampu memenuhi persyaratan mutu SNI 1903: 2011 tentang koagulum lapang, yaitu kadar abu SIR 20 (1,00 %).
Tabel 4.18. Rata-rata hasil analisis kadar abu Koagulan lateks Kadar abu (%)
Asam formiat 10 ml vs. Asam formiat 20 ml
Asam formiat 10 ml 1.42a Asam formiat 20 ml 1.62 a
Asam sulfat 10 ml vs. Asam sulfat 20 ml
Asam sulfat 10 ml 2.05 a Asam sulfat 20 ml 2.09 a
Ekstrak kulit nanas 10 ml vs. Ekstrak kulit nanas 20 ml Ekstrak kulit nanas 10 ml 2.67 a
Ekstrak kulit nanas 20 ml 2.43 a
Ekstrak umbi gadung 10 ml vs. Ekstrak umbi gadung 20 ml
Ekstrak umbi gadung 10 ml 1.97 a Ekstrak umbi gadung 20 ml 2.11 a
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 10 ml vs.
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 20 ml
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 10 ml 2.48 a Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 20 ml 2.28 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
1.6. PENGARUH KOAGULAN LATEKS TERHADAP KADAR ZAT MENGUAP
Analisis kadar zat menguap bertujuan untuk mengetahui sisa bahan yang dapat menguap seperti air dan serum yang masih tertinggal dalam karet setelah diuapkan.
Hasil uji kontras ortogonal yang disajikan pada Tabel 4.19. menunjukkan bahwa persentase kadar zat menguap pada asam formiat lebih rendah 1.25a secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar zat menguap koagulan lainnya, yaitu 1.53b. Selain itu, pada Tabel 4.19. juga menunjukkan bahwa asam formiat memiliki persentase kadar zat menguap yang lebih rendah 1.25a secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar zat menguap asam sulfat, yaitu 2.13b.
Rendahnya persentase kadar zat menguap pada asam sulfat diduga disebabkan oleh kandungan ion SO42- pada asam sulfat. Penambahan asam sulfat H2SO4 kedalam lateks menyebabkan terjadinya pengendapan ion SO42-
yaitu sebagai kontaminan yang sulit untuk menguap didalam koagulum (Suwardin dan Purbaya, 2015).
Tabel 4.19. Rata-rata hasil analisis kadar zat menguap Koagulan lateks Kadar zat menguap (%)
Asam formiat vs. Koagulan lain
Asam formiat 1.25a
Koagulan lain 1.53 b
Asam formiat vs. Asam sulfat
Asam formiat 1.25 a
Asam sulfat 2.13 b
Asam formiat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam formiat 1.25 a
Ekstrak kulit nanas 1.34 a
Asam formiat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam formiat 1.25 a
Ekstrak umbi gadung 1.35 a
Asam formiat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam formiat 1.25 a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 1.30 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Tabel 4.20. Rata-rata hasil analisis kadar zat menguap Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Asam sulfat vs. Ekstrak kulit nanas
Asam sulfat 2.13b
Ekstrak kulit nanas 1.34 a
Asam sulfat vs. Ekstrak umbi gadung
Asam sulfat 2.13 b
Ekstrak umbi gadung 1.35 a
Asam sulfat vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao
Asam sulfat 2.13 b
Limbah cair hasil fermentasi biji
kakao 1.30 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang disajikan pada tabel 4.20. menunjukkan persentase kadar zat menguap yang berbeda nyata secara signifikan antar koagulan lateks yang diujikan. Pada tabel 4.20. menunjukkan bahwa asam formiat memiliki persentase kadar zat menguap yang lebih tinggi 2.13b secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar zat menguap ekstrak kulit nanas, yaitu 1.34a. Selain itu, asam sulfat
juga nyata memiliki persentase kadar zat menguap yang lebih tinggi 2.13b secara nyata dibandingkan dengan ekstrak umbi gadung, yaitu 1.35a dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao, yaitu 1.30a. Hal ini disebabkan karena asam sulfat mengandung ion SO42-
, sehingga saat asam sulfat ditambahkan ke dalam lateks dapat menyebabkan terjadinya kontaminan pada koagulum.
Tabel 4.21. Rata-rata hasil analisis kadar zat menguap Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Ekstrak kulit nanas vs. Ekstrak umbi gadung
Ekstrak kulit nanas 1.34a Ekstrak umbi gadung 1.35b
Ekstrak kulit nanas vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak kulit nanas 1.34b
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 1.30 a
Ekstrak umbi gadung vs. Limbah cair hasil fermentasi biji kakao Ekstrak umbi gadung 1.35 a
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 1.30 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang tersaji pada Tabel 4.21. menunjukkan bahwa persentase kadar zat menguap ekstrak kulit nanas lebih rendah 1.34a secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar zat menguap ekstrak umbi gadung, yaitu 1.35b. Selain itu, ekstrak kulit nanas juga menunjukkan persentase kadar zat menguap yang lebih tinggi 1.34a secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar zat menguap limbah cair hasil fermentasi biji kakao, yaitu 1.30a. Kedua koagulan lateks organik ini diduga mengandung garam anorganik yang terdiri dari fosfat dari kalium, magnesium, kalsium, natrium dalam jumlah yang berbeda-beda sehingga memperlambat terjadinya penguapan. Ependi et al., (2015) menyatakan bahwa pada penggumpalan lateks dibutuhkan koagulan lateks yang bersifat mempercepat pengeluaran air (syneresis effect) dari dalam lump. Pengeluaran air dari dalam karet disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa didalam koagulan lateks yang mudah menguap sehingga mempercepat pengeringan karet.
Tabel 4.22. Rata-rata hasil analisis kadar zat menguap Koagulan lateks Kadar karet kering (%)
Asam formiat 10 ml vs. Asam formiat 20 ml
Asam formiat 10 ml 1.28a Asam formiat 20 ml 1.21 a
Asam sulfat 10 ml vs. Asam sulfat 20 ml
Asam sulfat 10 ml 1.85 a Asam sulfat 20 ml 2.41 b
Ekstrak kulit nanas 10 ml vs. Ekstrak kulit nanas 20 ml Ekstrak kulit nanas 10 ml 1.38 a
Ekstrak kulit nanas 20 ml 1.30 a
Ekstrak umbi gadung 10 ml vs. Ekstrak umbi gadung 20 ml Ekstrak umbi gadung 10 ml 1.30 a
Ekstrak umbi gadung 20 ml 1.39 a
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 10 ml vs.
Limbah cair hasil fermentasi biji kakao 20 ml
Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 10 ml 1.25 a Limbah cair hasil fermentasi
biji kakao 20 ml 1.35 a
Keterangan: angka yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal. Angka yang diikuti dengan notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar komponen hasil uji kontras ortogonal.
Pada hasil uji kontras ortogonal yang disajikan pada tabel 4.21 menunjukkan bahwa persentase kadar zat menguap 10 ml asam sulfat lebih rendah 1.85a secara nyata dibandingkan dengan persentase kadar zat menguap 20 ml asam sulfat, yaitu 2.41b. Tingginya kadar zat menguap pada 20 ml asam sulfat disebabkan karena adanya pengendapan ion SO42- yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengendapan ion SO42- oleh 10 ml asam sulfat. Suwardin dan Purbaya (2015) mengungkapkan bahwa penggunaan asam kuat yang berlebih akan menyebabkan meningkatnya kadar abu dan kadar zat menguap. Terkandungnya bahan-bahan yang tidak dapat menguap didalam karet belum mampu memenuhi persyaratan mutu SNI 1903: 2011 tentang koagulum lapang, yaitu; kadar zat menguap SIR 20 (0,80%).
1.7. ANALISIS HARGA DAN EKONOMI PADA KOAGULAN LATEKS
Koagulan lateks organik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari limbah kulit nanas, umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao. Masing-masing koagulan lateks organik ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai produk yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan limbah kulit nanas, umbi gadung dan limbah cair hasil fermentasi biji kakao sebagai koagulan lateks merupakan suatu usaha untuk mengubah suatu limbah yang tidak bernilai ekonomis menjadi suatu produk, yaitu koagulan lateks yang bernilai ekonomis dan mampu digunakan oleh petani karet dalam menggumpalkan lateks. Menurut Marfianda (2010) pengertian produksi secara umum merupakan suatu kegiatan suatu organisasi atau perusahaan untuk memproses dan merubah bahan baku menjadi barang jadi melalui penggunaan tenaga kerja dan fasilitas produksi lainnya.
Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran produksi, yaitu bahan baku utama, bahan penunjang lainnya, tenaga kerja, sarana produksi seperti kendaraan transportasi dan tanah untuk bangunan atau gudang tempat penyimpanan.
Pengadaan bahan baku dan hal-hal yang mendukung kelancaran produksi diperlukan adanya biaya produksi. Menurut Asnidar dan Asrida (2017) biaya produksi merupakan semua biaya yang berhubungan dengan kegiatan pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi. Pada biaya produksi terbagi menjadi biaya tetap, yaitu biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu dan biaya variabel, yaitu biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan.
Pada tabel 4.23. dapat dilihat biaya variabel pada penelitian ini meliputi biaya bahan baku untuk koagulan lateks, yaitu terdiri d