Sedangkan perlakuan 2:2:20 pada akhir pengamatan mempunyai warna coklat sangat tua atau coklat kehitaman. Berdasarkan data pada Tabel 2 terlihat bahwa seluruh perlakuan telah memenuhi standar SNI yang menyatakan bahwa kompos matang berwarna hitam, sehingga perlakuan 2:2:20 sudah memenuhi standar SNI. Pada perlakuan 2:2:20, warna kompos sejak minggu pertama hingga panen tidak mengalami perubahan, hanya berwarna coklat tua atau coklat hitam.
Hal ini dapat disebabkan karena perlakuan 2:2:20 pada minggu ke-1 telah berubah warna menjadi coklat tua atau coklat kehitaman akibat aktivitas degradasi yang ditandai dengan tingginya suhu (Gambar 1) pada perlakuan ini. Sedangkan pada perlakuan 2:2:20 dari minggu ke 3 ke minggu ke 6 mengalami penurunan kadar air yang signifikan yaitu dari 59,8% menjadi 49,9%. Aroma bahan awal digantikan oleh aroma apek bahan organik basah seperti pada perlakuan 4:0:20 pada minggu ke 3.
Perlakuan 2:2:20 menunjukkan aroma bahan awal sudah muncul pada minggu ke-1 dan berubah menjadi aroma amoniak menyerupai aroma urin. Pengolahan dengan perbandingan 0:0:20 menunjukkan bahwa aroma bahan awal yaitu bagian tengah daun sudah dapat tercium hingga minggu ke-3 pengomposan. Pada perlakuan 4:0:20, rasio passing kompos 2 mm cukup baik, meskipun data suhu sebagai fungsi aktivitas penguraian mikroba menurun drastis pada minggu ke-2.
Sedangkan pada perlakuan 0:0:20 menunjukkan perbandingan kompos yang lolos saringan 2 mm paling kecil dan tidak melebihi maksimal 1 cm.
Kadar Air
Penyebab tingginya kadar air pada perlakuan 0:0:20 adalah karena perlakuan tersebut mempunyai suhu pengomposan yang berada dibawah suhu optimal yaitu rata-rata dibawah 35oC. Peningkatan suhu kompos dapat mengubah air cair menjadi uap air sehingga dapat menurunkan kadar air kompos. Selain itu, tingginya kandungan air pada bahan kompos berupa pelepah daun salak menyebabkan kandungan air pada kompos juga tinggi.
Untuk dapat mengetahui perubahan kadar air kompos selama proses pengomposan, data pengamatan kadar air disajikan pada Gambar 3. Penyebab tingginya kadar air pada seluruh kompos adalah karena kandungan air bahan di dalam kompos. bentuk pelepah daun salak mengandung air yang tinggi. Bila diberi perlakuan dengan perbandingan 3:1:20, kadar air bahan pada awal pengomposan adalah 68% dan akhir pengomposan 61,9%, atau terjadi penurunan kadar air bahan sebesar 6,1%.
Pada perlakuan 2:2:20 kadar air awal sebesar 64,9% dan pada akhir pengomposan sebesar 56,5% atau terjadi penurunan sebesar 8,4% dari kadar air bahan awal. Tingginya kandungan air pada bahan baku tersebut kemungkinan disebabkan karena pelepah daun salak yang digunakan sebagai bahan kompos diambil pada musim hujan sehingga pelepah daun tersebut diambil. Hal ini mungkin disebabkan karena air pada bahan tersebut menguap karena bahan tersebut mengalami kenaikan suhu.
Selain itu, pembalikan dan pengeringan seluruh kompos juga dilakukan untuk menurunkan kadar air guna menurunkan kadar air pada kompos sehingga proses pengomposan dapat berlangsung secara maksimal. Kadar air yang terlalu tinggi akan menimbulkan banyak masalah pengomposan sehingga membuat pengomposan menjadi kurang efisien. Menurut Chen dkk. (2011) kadar air optimum untuk pengomposan adalah 50-60%, tergantung bahan dan berat bahan yang dikomposkan.
Hal ini didukung dengan data suhu (Gambar 1 dan 2) dimana perlakuan 0:0:20 dengan kadar air awal pengomposan tertinggi yaitu 73,8% mempunyai suhu pengomposan yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Senyawa NO3 mempunyai sifat mudah larut oleh air, sehingga kadar air yang tinggi dapat melarutkan senyawa tersebut. Hal ini didukung oleh data observasi kadar N total yang ditunjukkan pada Tabel 9, dimana perlakuan 0:0:20 dengan kadar air tertinggi pada saat pengomposan mempunyai peningkatan kadar N total yang lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya yaitu hanya sebesar 0,33%.
Kemampuan Ikat Air
Pada data tabel, kapasitas menahan air mempunyai nilai yang berbanding terbalik dengan persentase ukuran partikel yang disajikan pada tabel 5. Pada tabel 5 ukuran partikel pada perlakuan 2:2:20 mempunyai persentase terbesar ukuran partikel < 2 mm disusul perlakuan dengan perbandingan 3:1:20, perbandingan perlakuan 4:0:20 dan perbandingan perlakuan 0 :0.20 dengan persentase ukuran partikel terkecil < 2 mm. Sedangkan pada tabel 7 daya tampung air perlakuan 0:0:20 mempunyai daya tampung air terbesar disusul perlakuan dengan perbandingan 4:0:20, perlakuan 2:2:20 dan perlakuan 3:1:20 mempunyai air terkecil kapasitas.
Kemampuan kompos dalam mengikat atau menyerap air dipengaruhi oleh jenis bahan dan ukuran bahan. Hidrofilik adalah pengertian bahan yang dapat larut atau bergabung dengan unsur air, sedangkan hidrofobik adalah unsur yang diartikan sebagai bahan yang tidak dapat larut dan bergabung dengan unsur air (Abdul, 2017). Hubungan antara ukuran bahan dengan kemampuannya mengikat air pada kompos adalah adanya gaya adhesi dan kohesi yang berhubungan dengan pengikatan dan tolak menolak suatu zat.
Kohesi merupakan suatu gaya tarik menarik antara bahan atau zat yang sejenis atau serupa, sehingga suatu bahan tidak dapat bergabung atau bergabung dengan zat lain yang tidak sejenis. Sedangkan adhesi merupakan gaya tarik menarik antar bahan atau zat yang berbeda jenisnya sehingga memungkinkan zat yang berbeda jenis tersebut dapat bergabung atau melebur (Nurchayati, 2009). Gaya adhesi dan kohesi dihasilkan oleh permukaan material dan akan semakin kuat jika material mempunyai ukuran partikel yang kecil karena luas permukaannya lebih besar.
Widyorini dan Soraya (2017) menyatakan bahwa pelepah salak mengandung 52% alfa selulosa, 35% hemiselulosa, dan 29% lignin. Lignin dan selulosa merupakan senyawa yang berperan sebagai komponen dinding sel hidrofobik (Heru, 2016), lignin dan selulosa diyakini terurai menjadi partikel yang lebih kecil sehingga menyebabkan gaya kohesif pada kompos daun salak menjadi tinggi. Akibatnya, perlakuan dengan persentase ukuran partikel <2 mm yang tinggi mempunyai kapasitas menahan air yang rendah.
Selain itu, kandungan lemak atau lemak pada bahan aditif yang ditambahkan mempengaruhi kapasitas retensi air kompos daun tengah salak. Hal ini dibuktikan dengan daya ikat air pada perlakuan 0:0:20 yang tidak menambahkan endapan tahu dan tepung tulang mempunyai daya ikat air tertinggi yaitu sebesar 69,4%. Oleh karena itu, lemak atau lipid dari bahan tambahan yang ditambahkan menutupi sebagian partikel kecil kompos sehingga meningkatkan luas permukaan yang memiliki sifat anti air.
- Kandungan Bahan Organik
- Kadar N Total
- Kadar K Total
- Kadar P Total
- C/N Rasio
- Standarisai Kompos
Perlakuan dengan perbandingan 3:1:20 merupakan perlakuan dengan nilai kandungan C organik paling rendah diantara perlakuan lainnya. Pada perlakuan 0:0:20 atau kontrol, faktor kadar air mungkin menjadi penyebab kurang optimalnya proses penguraian C organik pada kompos. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa perlakuan 3:1:20 mempunyai kandungan bahan organik paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya.
Proses penguraian bahan pada perlakuan dengan perbandingan 3:1:20 berlangsung optimal seperti terlihat dari data suhu pada gambar 2 yang berada pada suhu optimal untuk pengomposan. Hal ini menunjukkan bahwa proses penguraian bahan organik pada perlakuan 0:0:20 dan perlakuan 4:0:20 oleh mikroorganisme pengurai belum berkembang secara optimal. Kurang optimalnya aktivitas mikroorganisme tersebut dapat disebabkan oleh tingginya kadar air pada perlakuan 0:0:20 yaitu di atas 70% seperti terlihat pada Gambar 3.
Hal ini terjadi pada perlakuan 0:0:20 atau kontrol yang mempunyai kadar air tinggi seperti terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 9 terlihat penambahan bahan aditif sudah baik pada perlakuan 3:1 :20 dan perbandingan 2:2:20 sama-sama dapat meningkatkan kandungan N pada kompos. Selain itu, perlakuan dengan perbandingan 3:1:20 mempunyai aktivitas dekomposisi optimal yang ditunjukkan oleh pengamatan suhu.
Hal ini mungkin disebabkan oleh hilangnya unsur K beserta kadar air pada perlakuan ini. Suhu sebagai indikator aktivitas mikroorganisme menunjukkan bahwa perlakuan dengan perbandingan 2:2:20 dan perlakuan dengan perbandingan 3:1:20 mempunyai aktivitas degradasi yang optimal. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan penambahan tepung tulang ayam sehingga menghasilkan kompos dengan kandungan P yang tinggi.
Pada perlakuan 4:0:20 dan perlakuan 0:0:20 nilai rasio C/N > 20 kemungkinan disebabkan oleh proses degradasi yang kurang optimal. Pada perlakuan dengan perbandingan 4:0:20, aktivitas penguraian bahan kompos mengalami penurunan hingga berada di bawah suhu optimum pengomposan pada minggu ke-2 hingga akhir pengomposan. Hal ini dibuktikan dengan nilai C pada perlakuan 4:0:20 dan perlakuan 0:0:20 yang ditunjukkan pada Tabel 9 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan 3:1:20 dan perlakuan 2:2:20.
Berdasarkan data pada Tabel 10, perlakuan dengan perbandingan 4:0:20 mempunyai parameter mutu fisik yang memenuhi standar SNI diantaranya suhu 23. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan dengan perbandingan 2:2:20, dimana kompos kadar air >50 % yaitu 56,5%.