• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV - Smart Library UMRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB IV - Smart Library UMRI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

36

A. Pengaturan Perundang-Uundangan Ketenagakerjaan Jenis Pekerjaan Outsourcing Di Indonesia

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), di mana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerja sama.1

Dapat juga dikatakan outsourcing sebagai penyerahan kegiatan perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian. Penyerahan kegiatan ini dapat meliputi bagian produksi, beserta tenaga kerjanya, fasilitas, peralatan, teknologi dan aset lain serta pengambilan keputusan dalam kegiatan perusahaan. Penyerahan kegiatan ini kepada pihak lain merupakan hasil dari keputusan internal perusahaan yangbertujuan meningkatkan kinerja agar dapat terus kompetitif dalam menghadapi perkembangan ekonomi dan teknologi global.

Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.

Perusahaan penyedia tenaga kerja secara khusus mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain.2Untuk mempermudah penjelasan menganai istilah outsourcing, penulis akan memberikan ilustrasi sebagai berikut3 : A diangkat sebagai karyawan di perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk ditempatkan di Perusahaan Y, disitu dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan

1 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, (Jakarta : Pohon Cahaya, 2013) hlm. 17

2 Lalu Husni, Op Cit hlm. 187.

3 Adrian Sutedi, , Op.Cit. hlm. 217

(2)

pemberi kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahaan X.

Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa dalam sistem outsourcingterdapat dua perjanjian yaitu, yaitu :

1. Perjanjian kerja antara A denga perusahaan X.

2. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.

Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A sehari-hari bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahan X. Oleh karena itu, dalam sistem outsourcing ini pemenuhan kebutuhan hak- hak A, seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap menjadi tanggung jawab perusahaan Y.

Kecenderungan suatu perusahaan untuk memperkerjakan karyawan dengan sistem outsourcing, pada umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Dengan menggunakan sistem outsourcing tersebut, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

1. Pengaturan Outsourcing di Indonesia

Tuntutan persaingan dalam era globalisasi dunia usaha yang ketat saat ini maka banyak perusahaan berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efesien. Salah satunya upaya dilakukan dengan mempekerjakan jumlah tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing”.4

4 Ariswan, Seputar Tentang Tenaga Outsourcing, outsourcing-sebagai-solusi-dunia, dari http://malangnet.wordpress.com,(Diaksespada tanggal 26 november 2019).

(3)

Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing).Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing. Atau dengan kata lain, Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan lain diluar perusahaan induk.

Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja padaproses pendukung (non core business unit) ataupun secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing.

Istilah Outsourcing tidak ditemukan secara langsung didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Didalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 hanya dikemukakan bahwa “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.Berdasarkan ketentuan Pasal 64 tersebut, maka outsourcing atau yang disebut dengan perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dikatogorikan dalam dua kelompok, yaitu: penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan ditempat perusahaan lain tersebut, atau penyedia jasa pekerja, yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan. Yang pertama titik-beratnya terletak pada produk kebendaan, sedangkan yang kedua, orang-perorangan yang jasanya dibutuhkan.5

Outsourcing, melalui ketentuan Pasal 64 diatas dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu :

a.Penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan ditempat perusahaan lain; atau

b.Penyediaan jasa tenaga kerja oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan

.

Maka jenis dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yaitu dapat berupa:

1.Perjanjanjian pemborongan pekerjaan atau

5 Sehat Damanik. Op.Cit. hlm 3

(4)

2.Penyediaan jasa pekerja/buruh.6

Perjanjian pemborongan pekerjaan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan merupakan salah satu jenis dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, dalam melakukan perjanjian pemborongan pekerjaan ini disyaratkan harus dilaksanakan melalui perjanjian secara tertulis (Pasal 65 ayat (1) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, secara limitative Undang-Undang Ketenagakerjaan atau UUK menetapakan bahwa jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain dan dilakukan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut

a.Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

b.Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan

c.Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan d.Tidak menghambat proses produksi secara langsung7

Lebih lanjut Pasal 65 UUK mengatur sebagai berikut :

a. Perusahaan lain sebagai perusahaan pelaksana penerima sebagian pekerjaan harus berbentuk badan hukum.

b. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain tersebut sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

d. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaanlain dan pekerja/buruh yang dipekerjakanya.

6 Agusmidah, Dinamika dan Kajian teori Hukum ketenagakerjaan di Indonesia, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 50.

7 Ibid, hlm. 51.

(5)

e. Hubungan kerja tersebut dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

f. Apabila syarat-syarat penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan tidak dipenuhi dan atau jika perusahaan lain selaku penerima pekerjaan tidak berbentuk badan hukum maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

g. Hubungan kerja tersebut dapat berupa PKWTT atau PKWT.

Penyediaan jasa pekerja /buruh, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain dapat pula dilakukan dengan sistem penyediaan jasa pekerja/buruh. Jika jenis pertama diistilahkan dengan outsourcingpekerjaan maka jenis kedua ini dapat diistilahkan sebagai outsourcing pekerja/buruh.

Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang berupa penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berikut:

1. Tidak untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, tetapi untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

2. Penyedia jasa pekerja/buruh memenuhi syarat sebagai berikut:

a.Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

b.Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksudpada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UUK dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;c.Perlindungan upah dan kesehjahteraan, syarat-syarat kerja,

(6)

serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d.Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenakerjaan.

4. Apabila terjadi pelanggaran atas beberapa hal berikut:

a. Pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan inti bukan penunjang;

b. Tidak terpenuhi syrat a, b, dan d pada poin diatas;

c. Perusahaan Penyedia jasa pekerja/buruh tidak berbadan hukum dan tidak memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

Dasar hukum outsourcing terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Perlu diketahui bahwa istilah perusahaan lainnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sama dengan perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dalam hal ini adalah perusahaan outsourcing.

Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan juga diatur dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut belum diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan maupun penyedia jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan permohonan judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

Dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, Kemenakertrans menerbitkan Permenakertrans No.19

(7)

Tahun 2012. Kemudian, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012, maka Kemenakertrans menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Semenjak diundangkannya, pelaksanaan outsourcing mengacu pada Permenakertrans No.

19 Tahun 2012 tersebut.

2. Pihak-Pihak Terkait Dalam Outsourcing

Ketentuan lain mengenai outsourcing terdapat pada Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat diketahui pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcing dan dijelaskan lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

Ada 3 (tiga) pihak yang terkait dalam praktik outsourcing yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan, dan pekerja. Adapun penjelasan dari pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcingyaitu :

a. Perusahaan Pemberi Kerja

Menurut Pasal 1 Angka 1 Permenakertrans No.19 Tahun 2012, perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

b. Perusahaan Yang Melaksanakan Sebagian Pekerjaan : 1. Perusahaan Penerima Pemborongan

Menurut Pasal 1 Angka 2 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 , perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.

2. Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja

Menurut Pasal 1 Angka 3 Permenakertrans No.19 Tahun 2012, perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat yaitu berbadan hukum dan

(8)

memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.

3. Pekerja

Pengertian pekerja/buruh dalam konteks praktik outsourcing diatur dalam Pasal 1 Angka 6 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu, setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini karena ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk barang.8

3. Hubungan Kerja Pada Perjanjian Kerja Outsourcing a. Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Adanya perjanjian kerja yang dibuat merupakan ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.9

Hubungan kerja yang terjadi dalam praktik outsourcing ini berbeda dengan hubungan kerja pada umumnya, karena dalam outsourcingterdapat hubungan kerja segi tiga, dikatakan bersegi tiga karena terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam hubungan kerja outsourcing, yaitu pihak perusahaan pemberi pekerjaan, pihak perusahaan yang melaksanakan sebagaian pekerjaan (Perusahaan Outsourcing) dan terakhir adalah pihak pekerja/buruh. Maka hubungan kerja yang terjalin diantara ketiganya adalah hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan outsourcing, dan hubungan kerja antara perusahaan outsourcingdengan pekerja/buruh.

Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh diatur dalam Pasal 65 ayat (4), (6) dan (7) Undang-Undang Ketenagakerjaan, berikut adalah bunyi ayat pada pasal tersebut :

4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan

8Iftida Yasar, Op Cit. hlm 45

9Adrian Sutedi, Op Cit, hlm.45.

(9)

kerja dan syarat-syarat kerja di perusahaan pemberi pekerjaan, atau sesuai dengan perundang-undangan.

6) Hubungan kerja pada outsourcing diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dengan karyawan yang dipekerjakannya.

7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang sama Pasal 59.

Selain itu hubungan kerja pada pekerjaan outsourcing juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Bunyi Pasal 29 ayat (1) adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

b. Perjanjian Kerja

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, hubungan kerja dalam praktik outsourcing dapat didasarkan atas PKWTT dan PKWT.

PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap, jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang, maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat dipersyaratkan adanya masa percobaan kerja maksimal tiga bulan. Sedangkan PKWT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.

Perjanjian kerja yang lazim digunakan pada perusahaan outsourcing adalah PKWT. Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan outsourcing karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang berubah-ubah.10

10Iftida Yasar, Op Cit, hlm. 27.

(10)

4. Jenis Penyerahan Sebagian Pekerjaan (Outsourcing)

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan peluang kepada perusahaan untuk dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan kepada perusahaan lainnya melalui:

1. Pemborongan pekerjaan

2. Perusahaan Penyediaan jasa Pekerja (PPJP).

Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kedua bentuk kegiatan dimaksud dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat yang dimaksud antara lain ditentukannya dengan wajib dilaksanakan melalui perjanjian yang dibuat secara tertulis. Adapun perusahaan penyediaan jasa pekerja, dipersyaratkan pula selain harus berbadan hukum, juga terdaftar pada instansi ketenagakerjaan.

Pada dasarnya pekerjaan yang bisa diserahkan (dioutsource) adalah pekerjaan penunjang (non core) dan bukan pekerjaan utama (core). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melakasanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak beruhubungan langsung dengan proses produksi.

Kemudian ketentuan lain yang mengatur jenis pekerjaan yang dapat diserahkan yaitu Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pasal tersebut menyatakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pemborongan Pekerjaan

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepadaperusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum, dengansyarat-syarat sebagai berikut :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

(11)

b. Dilakukan dengan perintah langsung / tidak langsung dari pemberi pekerjaan

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.

d. Tidak menghambat proses produk secara langsung11

Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan bahw aperlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakannya, yang dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tak tertentu akan perjanjian kerja waktu tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum dan / tidak dibuatnya perjanjian secara bertulis tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Hal ini menyebabkan hubungan kerja beralih antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan, dapat berupa waktu tertentu atau waktu tak tertentu, tergantung pada bentuk perjanjian kerja semula (Pasal 64 dan 65 Undang- undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

2. Penyedia Jasa Pekerja/buruh

Penyedia Jasa Pekerja yang dimaksud dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diartikan sebagai perusahaan menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada “pihak lain” berikut perlengkapan dan peralatan kerjanya. Dengan kata lain, “perusahaan lain” tersebut hanya menyediakan jasa tenaga kerja saja. Proses penerimaan karyawan sampai dengan proses Pemutusan Hubungan Kerja karyawan merupakan tugas dari perusahaan penyedia jasa pekerja, tentunya dengan masukan serta pertimbangan dari pihak pemberi pekerjaan. Penyediaan jasa tidak untuk kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses

11Adrian Sutedi, Op Cit, hlm 224

(12)

produksi. Perusahaan penyedia jasa berbentuk badan hukum dan memiliki izin dari Instansi Ketenagakerjaan. Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan karyawannya yang ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan dapat berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu ataupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

3. Persyaratan Formal Outsourcing

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, diberikan beberapa persyaratan formal untuk melakukan outsourcing yang harus diperhatikan oleh pemberi pekerjaan. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan seperti tercantum dalam pasal 65 ayat (1) sampai ayat (7).

Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja

b. Perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu / perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak.

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Pembatasan Kegiatan Outsourcing

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain atau dapat juga disebut sebagai pembatasan kegiatan outsourcing, seperti yang tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) sampai dengan ayat (9) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

(13)

Ketenagakerjaan.Selanjutnya, mengenai pasal 66 ayat (1), Penjelasan UU memberikan keterangan lebih lanjut sebagai berikut :

”Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”

Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.” Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering),usaha tenaga pengaman (security/satuan pengaman), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh

.

Pekerja yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja, juga memperoleh hak yang sama dengan yang diperjanjikan, mengenai perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja lainnya di perusahaan penyedia jasa pekerja (Pasal 66 dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Perusahaan penyedia jasa pekerja yang memperoleh pekerjaan, dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat :

a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja.

b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadiadalah antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja, sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yangtimbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.

c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja bersedia menerima pekerjadari perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaanyang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadipenggantian perusahaan penyedia jasa pekerja.

(14)

Kemudian jenis pekerjaan yang dapat diserahkan juga dijelaskan lebih lanjut pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 yaitu Pasal 17 ayat :

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(3) Kegiatan jasa penunjang yang dapat diserahkan pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh meliputi:

1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);

2. Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering);

3. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);

4. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan 5. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

(15)

B. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011

1. Pengujian Materil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan

Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan hukum publik atau privat atau lembaga negara.

Pada tanggal 21 Maret 2011, Didik Supriadi mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak yang lemah.

Pemohon berinisiatif mengajukan permohonan judicial review atas kasus pekerja outsourcing yang dirugikan atas tidak terpenuhinya hak-hak dan tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Pemohon juga bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat

(16)

Aliansi Petugas Penghitung Meteran Listrik (yang untuk selanjutnya disebut AP2ML) mengajukan permohonan judicial review pasal-pasal yang berkaitan dengan ketentuan outsourcing yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun pasal-pasal tersebut selengkapnya menyatakan:

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menuntut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a.Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b.Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c.Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d.Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

(4)Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5)Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu teretentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6)Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

(7)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6 maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8)Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 64

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”

(17)

Pasal 65

1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis

2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung

3. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus berbentuk badan hukum.

4. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

5. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

6. Hubungan kerja dalam pelasanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

7. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaskud dalam pasal 59.

8. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ayat 3 tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

9. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 8, maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 7.

Pasal 66

1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang

(18)

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perushaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) menempatkan buruh/pekerja sebagai faktor produksi semata. Buruh hanya dijadikan komoditas di pasar tenaga kerja dengan mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Karena itu menurut Pemohon menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dengan sendirinya terkait dengan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal tersebut selengkapnya menyatakan:12

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”,

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”,

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945

12Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, hlm 23

(19)

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, yang diartikan bahwa perekonomian kita didasarkan atas demokrasi ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dengan mengutamakan kemakmuran rakyat”.

Pemohon mengajukan permohonan ke MK pasal-pasal tersebut di atas, untuk selengkapnya di didasarkan pada argumentasi bahwa dalam ketentuan kontrak kerja outsourcingterdapat hal-hal sebagai berikut :

a. Kontrak kerja dalam outsourcing dilakukan sebagai penekanan efisiensi secara berlebihan dalam rangka peningkatan investasi dengan upah berakibat hilangnya keamanan kerja (job security);

b. Status pekerja/buruh outsourcing sebagai buruh kontrak menghilangkan hak-hak, tunjangan kerja, jaminan kerja dan jaminan sosial, yang dinikmati pekerja tetap;

c. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadikan buruh dipandang sebagai komoditas perdagangan pasar kerja, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan layak dalam Pasal 27 ayat (2) dan hak bekerja dan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dalam Pasal 28D ayat (2); dan

d. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 ayat (1)

2. Pertimbangan dan Putusan mahkamah konstitusi

Dari uraian tersebut di atas, menurut MK, ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, ayat (3), serta ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dalam Undang- Undang Dasar 1945.

Terhadap ketentuan Pasal 65 ayat (7), dan Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 (conditionally unconstitutional). Mahkamah Konstitusi kadang mempersempit atau memperluas makna suatu norma

(20)

undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi warga negara. Inilah yang disebut dengan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).13

Setelah menimbang berbagai ketentuan tersebut Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam amar putusannya pada Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 menyatakan :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2. Frasa “...perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “....perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkanadanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.14

3. Frasa “....perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “....perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

13Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al (eds.), Negara Hukum Yang Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H.

Bagir Manan, S.H., M. CL(Bandung : Rosda, 2011) hlm. 646-647.

14Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, hlm 46

(21)

4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan Putusan MK ini maka ketentuan Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak berlaku lagi. Dengan kata lain dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan mekanisme kontrak kerja outsourcing terhadap objek pekerjaan yang bersifat tetap meskipun pekerjaan tersebut sifatnya penunjang, dan pekerjaan inti perusahaan, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, normanya harus dipandang sebagai revisi hukum outsourcing yang sangat berarti bagi dunia kerja dan dunia usaha.

Pasal 65 ayat 7 Ketentuan yang dicabut oleh Putusan MK tersebut berbunyi:

“Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”. Ayat (7):

“Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59”.

Pasal 66 Ayat (2) yang dinyatakan tidak berlaku menurut Putusan MK adalah: “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; sebagaimana diputuskan oleh MK tentang: menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat (7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif.

Berkaitan dengan kedudukan outsourcing pasca Putusan MK, pengusaha tetap

(22)

boleh menyerahkan atau memborongkan pekerjaannya kepada perusahaan lain sehingga sistem outsourcing tetap bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan MK yang menyatakan “penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.

Berdasarkan putusan MK yang tidak menyatakan sistem outsourcing sebagai sistem terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.

Dengan demikian pengaturan tentang outsourcing dianggap oleh MK tidak bertentangan dengan UUD 1945 kecuali ketentuan Pasal 65 ayat 7 dan Pasal 66 ayat (2b), sehingga perjanjian kerja dengan sistem outsourcing masih boleh dilaksanakan asal dilaksanakan dengan perjanjian waktu tidak tertentu untuk pekerjaan yang sifatnya terus menerus.

3. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlindungan

Menurut amar putusan tersebut, prinsipnya pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Karena itu harus ada jaminan kepastian bahwa hubungan antara pekerja dan perusahaan outsourcing yang melindungai pekerja dan pengusaha tidak menyalahgunakan kontrak outsourcing. Untuk menjamin perlindungan hak-hak pekerja tersebut diatas tidak cukup hanya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saja karena kedudukan atau posisi

(23)

tawar (bargaining position) pekerja lemah sebagai akibat oversupply tenaga kerja.15

Solusinya, Mahkamah Konstitusi memberikan 2 (dua) model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja yaitu :

1. Mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan PKWTT, atau

2. Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja dengan Transfer of Undertaking Protection of Employment(TUPE).16

Berdasarkan prinsip dan solusi tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Artinya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 manakala “perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

TUPE (Transfer of Undertaking Protection of Employement) yang mempunyai pengertian dimana ketika pekerjaannya masih ada pada perusahaan pemberi kerja dan yang sebelumnya pekerjaan tersebut telah ditangani oleh perusahaan Outsourcing Y dan tergantikan oleh perusahaan Outsourcing Z.

Atau secara sederhana adalah prinsip pengalihan tindakan perlindungan

Prinsip pengalihan tindakan perlindungan (prinsip Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), terdapat dalam butir [3.18] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011 (Putusan MK) yang menyatakan bahwa “dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada

15Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi IX, No.1 (Maret 2012) : h.23.

16Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, hlm.44

(24)

suatu perusahaan outsourcing yang lama, dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerjayang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak- pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan prinsip pengalihan tindakan perlindungan (prinsipTransfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), adalah jaminan kelangsungan hubungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh dengan penghargaan masa kerja (experience) serta penerapan ketentuan kesejahteraan (upah) yang sesuai dengan pengalaman dan masa kerja yang dilalui seseorang pekerja/buruh.

Setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011, secara teknis dapat diatur suatu perjanjian outsourcing yang dapat melindungi semua pihak, dalam hal ini perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan pekerja. Perusahaan outsourcing yang akan melaksanakan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat menentukan perjanjian kerja berdasarkan sifat pekerjaannya

Dalam kaitan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Kemenakertrans dalam Surat Edaran No.B.31/PHIJSK/I/2012 menafsirkan amar putusan MK itu sebagai berikut :

a. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

(25)

b. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi kerja jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sangketa hak. Melalui prinsip pengalihan perlindungan tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak konstitusional pekerja outsourcing dapat dihindari.17

Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU- IX/2011 pada perjanjian kerja waktu tertentu disarankan adanya pencantuman klausul sebagai berikut :

a. Pada bagian Tanggung Jawab Para Pihak :

“Pihak pertama (perusahaan) bertanggung jawab dalam terselenggaranya pengalihan hak Pihak Kedua (pekerja/buruh)”

b. Pada bagian Hak Para Pihak :

“Pihak kedua berhak atas kepastian kelangsungan bekerja jika masa kontrak belum berakhir pada saat terjadi pengalihan kepada perusahaan lain”.18

1. Tujuan Prinsip Pengalihan Perlindungan

Prinsip pengalihan perlindungan pekerja/buruh diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan

17Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, hlm.45

18Iftidayasar, Op Cit. hlm.119

(26)

pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yangdiperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.

Selain itu penerapan prinsip pengalihan perlindungan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh oursourcing juga diharapkan dapat :

1) Mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi atau tidak melakukan sistem kerja outsourcing.

2) Mendorong perusahaan-perusahaan untuk sebanyak mungkin menggunakan sistem kerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

3) Memastikan kelangsungan pekerjaan bagi pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan pekerja (Transfer of Undertaking Protection of Employement-TUPE).19

2. Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcingyang dimuat dalam Permenakertrans No. 19 Tahun 2012

Prinsip pengalihan perlindungan yang lahir dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi pekerja/buruh outsourcing di Indonesia, maka untuk menjalankan amanah dari putusan tersebut, Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

Prinsip pengalihan perlindungan diterapkan dengan cara membuat klausul mengenai pengalihan perlindungan pada perjanjian kerja outsorcing,antara perusahaan pelaksana sebagian pekerjaan dengan pekerja/buruh. Menurut Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, ada dua jenis

19Iftida yasar, Ibidhlm.140

(27)

penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Outsourcing), yaitu melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh.

Beberapa pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012 memuat ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu :

Pasal 9 ayat (2) huruf b

“Perjanjian pemborongan pekerjaan harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan.”

Pasal 10

“Perjanjian pemborongan pekerjaan harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.”

Berdasarkan 2 (dua) ketentuan di atas, perjanjian pemborongan pekerjaan merupakan perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang dalam perjanjian itu harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundangan. Jaminan tersebut pun diperkuat dengan ketentuan yang mengaharuskan pendaftaran perjanjian tersebut pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat dilaksanakannya pemborongan pekerjaan.

Selanjutnya, ketentuan perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang memuat prinsip pengalihan perlindungan terdapat pada Pasal 13 Permenakertrans No.19. Perjanjian kerja pemborongan merupakan perjanjian antara perusahaan pemborongan pekerjaan (perusahaan outsourcing) dengan pekerja/buruh, ketentuat tersebut berbunyi :

Pasal 13

“Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan.”

Kententuan tersebut tidak memaparkan secara langsung mengenai prinsip pengalihan perlindungan, namun mengandung tujuan utama prinsip

(28)

pengalihan perlindungan. Oleh sebab itu, pada perjanjian kerja pemborongan pekerjaan harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja, agar dapat mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemborongan pekerjaan dalam hal terjadi pergantian perusahaan pemborongan dan perusahaan tersebut mengalihkan hak-hak pekerjanya pada perusahaan lain sehingga pekerja/buruh tetap menerima hak-hak pekerja/buruh pada jenis pekerjaan pemborongan pekerjaan.

Selanjutnya, pasal-pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yang memuat ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pada jenis perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh : Pasal 19 ayat (1) huruf b

“Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.”

Pasal 20 ayat (1)

“Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus didaftarakan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerajaan dilaksanakan.”

Pasal 32 ayat (1)

“Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjiasn kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.”

Pasal 32 ayat (2) “

Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru maka masa kerja yang telah dilalui pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungnkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.”

Beberapa ketentuan diatas merupakan ketentuan yang mengandung prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pada jenis perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Prinsip pengalihan perlindungan lebih

(29)

banyak diterapkan pada jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan, maka akan mungkin sering terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh juga harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat dilaksanakannya pekerjaan.

Ketentuan tersebut juga mengatur pelaksanaan prinsip pengalihan perlindungan diberlakukan dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perusahaan pemberi kerja tersebut mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tersebut harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati. Seperti masa kerja yang telah dilalui pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungnkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tentang penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusa aan lain melalui

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan

13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian

Tentang Perubahan Sosial “hmm kalau yang pertama dari sisi positif nya pasti kita lebih banyak teman ya dari kalangan gamers juga, karna kan ini game online semua orang bisa

Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru seharusnya memberikan sanksi yang tegas sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 dalam memungut tarif Retribusi

Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan pada tabel 4.2 didapatkan koefisien regresi Beta variabel ukuran pemerintah daerah sebesar 0,598 bernilai positif dengan nilai t

Disampaikan oleh narasumber desa bencah kelubi gading berikut: ‘’SPPSurat permintaan pembayaran,RABrencana anggaran biaya,bukti transaksi.’’ sekretaris desa bencah kelubi, 10 juli

disebutkan secara tegas tentang adanya keha- rusan untuk membuat perjanjian secara tertulis, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang