• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN AJAR ILMU HADIS -Pertenuan 3

N/A
N/A
ahmad

Academic year: 2023

Membagikan "BAHAN AJAR ILMU HADIS -Pertenuan 3"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3 HADIS PRA KODIFIKASI

Uraian Materi

Hadis pada masa Rasulullah SAW

Hadis sebagai suatu informasi, memiliki metodologi khusus dalam menentukan keotentikan periwayatannya. Metodologi ini kemudian berkembang menjadi satu keilmuan yang dikenal dengan Ulumul Hadis. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Hadis istilah Ulumul Hadis, belum diresmikan menjadi satu keilmuan. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi telah ada.1

Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun Hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran Hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan Hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode- metode tertentu di dalam menerima Hadis, namun mereka belum menuliskan atau mencatat kaidah-kaidah tersebut.2

Dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai di dalam Al- Qur’an dan Hadis Rasul SAW.

1 Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung 2005, hlm 52

2 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 102

1. Mampu menjelaskan periode pertama Hadis pada masa Rasulullah SAW

2. Mampu menjelaskan cara periwayatan Hadis pada masa Rasulullah SAW

3. Mampu menjelaskan perkembangan Hadis pada masa Sahabat dan Tabi’in

4. Mampu menjelaskan cara periwayatan Hadis pada masa Sahabat dan Tabi’in

Capaian Pembelajaran

(3)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik:





































Artinya :

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)

Di samping itu, Rasul SAW juga mendorong serta menganjurkan para sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima Hadis-hadis beliau untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah Hadisnya Rasul Saw bersabda :

َُّللَّا َرَّضَن َلاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص ِِّبَّنلا ْنَع ِويِبَأ ْنَع َِّللَّا ِدْبَع ِنْب ِنَْحَّْرلا ِدْبَع ْنَع اَ اِدَِ اَّنَِ َمَِِ َأَرَْا

َأ ٍغَّلَ بَُ َّبُرَ ف ُوَغَّلَ بَ ف ٍمَِاَس ْنَِ ُظَفِْ

Dari Abdurrahman bin Abdullah dari Bapaknya dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Allah akan memperindah seseorang yang mendengar satu hadits dari kami kemudian menyampaikannya. Berapa banyak orang yang di sampaikan hadits kepadanya lebih hafal dari orang yang mendengarnya.". (HR. Ibnu Majah).

Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap Hadis Nabi SAW dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

Penyelidikan periwayatan hadis (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara kemurnian Hadis dari kekeliruan dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW:

(4)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

َرْ اَرُى ِبَِأ ْنَع ُهَدَعْقََ ْأَّوَ بَ تَ يْلَ ف اَدِّمَعَ تَُ َّيَلَع َبَذَك ْنََ َمَّلَسَو ِوْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص َِّللَّا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق َة

ْنَِ

راَّنلا

Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Muslim) Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi pencampurbauran antara Hadis dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, yang mana pada masa itu hadis belum dikodifikasi secara resmi.

Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat.

Kritik terhadap matan Hadis (naqd al-riwayat).

Kritik terhadap matan hadis ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan meninggalkan riwayat tersebut.3

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama Hadis yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya Hadis-hadis palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadis dengan mempraktikan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarh wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuan Hadis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian Hadis, yaitu seperti :

a. Melakukan pembahasan terhadap sanad Hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi Hadis, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.

3 Ibid hal 104-105

(5)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

b. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut.

c. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if- an atau kepalsuan suatu Hadis. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu Hadis yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama Hadis umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.4

Pada abad ke-2 H, ketika Hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al- Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan Hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan Hadis Shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar di dalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghafal Hadis sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hafalan terhadap Hadis pun sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para ulama Hadis untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam Hadis.

Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama Hadis di dalam hati mereka

4 Nur al-Din Atr. “al-Madkhal ila ‘ulum al-Hadist.” Hal 8-10

(6)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

masing-masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadis.5

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan Hadis, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah Hadis ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi Hadis), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi Hadis ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadis atau perawinya), dan lain-lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu Hadis yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al- Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al- Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al- Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.6

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu Hadis ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu Hadis, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadis oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al- Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).7

Shahifah atau Catatan Hadis pada masa Rasul

5 Ibid hal 10-18

6 Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist. Hal 9-10

7 Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka Setia, 2004 Bandung hlm 109

(7)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

Pada abad pertama tampaknya ada sikap ambivalen pada sebagian shahabat dan para tabiin senior tentang penulisan Hadis. Di satu sisi, ada keinginan untuk menulis Hadis untuk tujuan-tujuan tertentu, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran bahwa Hadis- hadis yang ditulis tersebut akan menyaingi Al-Qur’an pada masa berikutnya. Meskipun demikian, berpuluh-puluh sahabat dan para tabi’in senior dilaporkan memiliki naskah- naskah, yang kemudian dinamakan suhuf (bentuk tunggalnya shahîfah).

Pada akhir abad pertama/ketujuh, ada faktor-faktor tertentu yang ikut mendorong penghimpunan Hadis tanpa ragu-ragu. Kekhawatiran akan terdistorsinya Al-Qur’an telah hilang. Teks Al-Qur’an sudah dihafal dan dibaca secara seragam oleh sebagian besar orang muslim yang tak terhitung banyaknya dan salinan mushaf Al- Qur’an sudah disebarkan secara luas ke berbagai wilayah. Lebih jauh lagi, para ulama Hadis yang terkemuka secara bertahap telah wafat satu demi satu, sementara gerakan korupsi dan pemalsuan Hadis mulai mengancam integritas Hadis. Perang sipil yang berawal dari terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsmân bin ‘Affân (w. 35/656) menyebabkan perselisihan dan pertentangan politik yang melibatkan periwayatan yang salah atas Hadis dalam rangka mendukung kepentingan dan doktrin kelompok tertentu.

Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran untuk membedakan materi-materi Hadis yang otentik dan yang palsu dan untuk mendukung dan menopang metode periwayatan Hadis secara lisan. Kebutuhan ini menyebabkan seorang Gubernur Mesir dinasti Umaiyah, ‘Abd al-‘Azîz bin Marwan (65-85/684-704), dan anak laki-lakinya Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz (97-101/715-19) untuk menginstruksikan kepada para ulama untuk menghimpun Hadis. Beberapa pernyataan juga disandarkan kepada para ulama terkemuka yang memperingatkan agar berhati-hati terhadap para periwayat Hadis dan materi Hadis yang tidak dapat dipercaya. Pernyataan-pernyataan semacam itu merupakan benih-benih bagi ilmu kritik Hadis.

Sayangnya, suhuf yang orisinil dari zaman ini telah hilang, walaupun beberapa salinan atas suhuf tersebut ada yang survive. Contoh suhuf dari zaman ini adalah shahîfah Hammâm bin Munabbih (w. 110/719), seorang tabi’in Yaman dan murid seorang shahabat, Abu Hurairah (w. 58/677), yang darinya Hammâm belajar dan

(8)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

menulis shahîfah tersebut. Naskah milik Hammâm ini berisi 138 hadis dan diyakini telah ditulis sekitar pertengahan abad pertama/ketujuh.

Penting dinyatakan bahwa Hammâm memperkenalkan matan Hadisnya dengan kata-kata, “Abu Hurairoh berkata kepada kami tentang apa yang disandarkan kepada Nabi SAW”. Ini berarti bahwa Hammâm sudah menyebutkan sumber informasinya ketika meriwayatkan sebuah hadis dalam bentuk yang kemudian dinamakan sanad atau isnâd, yakni guru atau rangkain para guru yang melalui mereka seorang kolektor hadis sampai kepada Nabi saw., sebuah praktik yang selalu diikuti dalam berbagai kompilasi hadis secara sistematis.

Cara Sahabat Menerima Hadis

Hadis-hadis yang ada sekarang ini, adalah hasil jerih payah ulama terdahulu.

Sahabat adalah pionir tongkat estafet pertama dalam penyebaran Hadis-hadis Nabi. Baik itu perkataan, perbuatan, taqrir, hingga segala hal yang terkait dengan pribadi Nabi. Apa yang disaksikan oleh para sahabat itulah yang sampai kepada generasi setelahnya.

Hadis yang diterima oleh sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh Hadis Nabi kemudian menyampaikan kepada orang lain. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis-majelis Nabi. Sambil tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Mereka menghadiri majelis Nabi secara bergantian karena kondisi yang tidak memungkinkan hal tersebut. Sebagaimana pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:

‘Umar bin Khattab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita terkait dengan Nabi. Kata ‘Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka

‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas.8

Dengan demikian sahabat yang jumlahnya sangat banyak tidak sama dalam tingkat kebersamaan mereka dengan Nabi. Di antara mereka ada yang sehari-harinya bergaul,

8 Lihat al-Bukhari, Juz I, h. 28; Juga al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Juz I, h. 185-186, lihat juga M. Ajjaj al-Khatib, Hadis Nabi sebelum di bukukan, (Cet. I; Jakarta: PT. Gema Insani Press, 1999), h. 87.

(9)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

dan bertemu dengan Rasul, tapi tak sedikit pun karena alasan tertentu tidak dapat bertemu dan bergaul langsung dengan Nabi. Mengingat keanekaragaman keadaan para sahabat, maka cara menerima Hadis dari Nabi pun berbeda.9Cara para sahabat menerima Hadis Nabi dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Secara langsung dari Nabi

a. Melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Nabi, kemudian beliau menjelaskan hukumnya hingga tersebar di kalangan kaum muslimin melalui saksi primer. Adakalanya sahabat yang merupakan saksi primer jumlahnya banyak sehingga berita tentang hukum itu tersebar dengan cepat, dan adakalanya sedikit sehingga beliau perlu mengutus sahabat yang lain untuk menyampaikan hal tersebut kepada kaum muslimin. Misalnya, Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khattab. bahwa Rasululullah melihat seorang berwudhu untuk melakukan shalat. Namun ia tidak membasuh bagian kuku kakinya. Lalu beliau bersabda:

(

كئوضو نسِأف مجرا

) “Ulangilah, dan sempurnakanlah wudhumu.”

Tidak ada batas dan penghalang antara mereka dan beliau. Sehingga dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ali r.a. bahwa pernah seorang A’raby datang dari tempat yang jauh hanya untuk meminta penjelasan mengenai ruwaihah (kentut kecil), kemudian Rasulullah bersabda:

نىزاجعا في ءاسنلا اوتتأ لاو أضوتيلاف مكدِا لعف اذا قلحا نَ ييحتسا لا الله نا

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak merasa malu (menjelaskan) kebenaran jika salah seorang diantara kamu kentut maka hendaklah ia berwudhu dan janganlah kamu mendatangi istri melalui dubur mereka.”10

b. Melalui kejadian dan peristiwa yang dialami para sahabat dan mereka menyaksikan tindakan Rasulullah

Hal ini banyak terjadi pada diri beliau. Misalnya, menyangkut masalah shalat,

9 Departemen Agama RI, Ulum al-Hadis, (Cet. I; PT. Departemen Agama RI, 1998), h. 68.

10 Musnad Imam Ahmad, Hadis ke-655, Juz II, pada suatu kali Rasulullah saw. Bersabda “نىربادا في”, lihat

Ibid, h. 92.

(10)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

puasa, haji. Saat dalam perjalanan, dan saat berdiam di rumah. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya Abdullah bin ‘Umar bahwa ia melihat Rasulullah saw., Abu Bakar, serta ‘Umar berjalan di depan jenazah11

2. Secara tidak langsung dari Nabi

Pada bagian ini, sahabat menerima Hadis secara tidak langsung dari Nabi. Baik itu mendengar, melihat atau menyaksikan langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi saw. Akan tetapi terkadang mereka hanya sebagai saksi sekunder.12 Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

a. Kondisi tempat tinggal yang berjauhan dari tempat tinggal Nabi Hal ini memungkinkan sahabat tidak dapat menerima Hadis langsung dari Nabi akan tetapi menanyakannya kepada para sahabat yang lain.

b. Kesibukan para sahabat dalam mengurus kebutuhan hidup dan keperluan sehingga mereka terkadang tidak sempat datang ke majelis Nabi, akan tetapi meskipun tidak hadir mereka tetap bisa menerima Hadis Nabi dengan bertanya kepada sahabat yang menghadiri majelis tersebut.

c. Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang ditanyakan kepada Nabi, menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat yang memiliki masalah demikian, biasanya minta tolong kepada sahabat lainnya untuk menanyakan kepada Nabi. Sebagaimana riwayat Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Saya adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi.

Saya malu menanyakan hal itu kepada Rasulullah karena status putrinya (sebagai istriku). Maka saya meminta al-Miqdad bin al-Aswad menanyakan hal itu kepada beliau. Beliau menjawab, Ia harus membasuh kemaluannya lalu berwudhu.13

11 Musnad Imam Ahmad, h. 247, hadis ke-653, Juz II, melalui isnad sahih, lihat Ibid.,h. 96. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu, (Cet. ..; Beirut: PT. Dar al-Fikr, 1998), h. 70.

12 M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 36.

13 M. ‘Ajjaj al-Khatib,op. cit.,h. 91. Lihat juga Musnad Imam Ahmad, h. 39, hadis ke-606 dan h. 46, hadis ke- 618, Juz II melalui sanad shahih. Fath al-Bari, h. 294 dan 394, Juz I, dan Shahih Muslim, H. 247, hadis ke 17-19, Juz I.

(11)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa terdapat tiga unsur yang berperan dalam pemeliharaan Sunnah yaitu: [1] kepribadian Rasulullah; [2]

Sunnah dilihat dari sisi materinya; [3] Para sahabat.

Hadis pada Masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan Hadis adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.14 Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi Hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan Hadis pun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan Hadis.

Kehati- hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan Hadis yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadis adalah sumber ajaran setelah Al- Qur’an.15 Keberadaan Hadis yang demikian harus dijaga keotentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al- Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al-zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadis. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.

1. Abu Bakar al-Shiddiq

Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .” kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar

14 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 79

15 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71

(12)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.16

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan Hadis dilakukan dengan sangat hati-hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M), sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan sikap kehati- hatiannya dalam meriwayatkan hadis adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan Hadis yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus Hadis. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan Hadis Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadis yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab- sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadis, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan Hadis tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan Hadis pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

16 Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.

(13)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

2. Umar ibn al-Khathab

Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan Hadis.

Perlu pula dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun Hadis dalam suatu kitab seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat Islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Alasan kedua, para sahabat banyak menerima Hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap.

Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan Hadis, di kalangan para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafazh dan kesahihannya.17 Abu Hurairah seorang sahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan Hadis di masa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan Hadis di masa Umar bin Khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya. Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadis. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al- Qur’an dan al-Hadis. Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadis juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.

17 Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82

(14)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

3. Utsman Ibn Affan

Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan Hadis dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.

Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan Hadis. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan Hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap

“longgar” dalam periwayatan Hadis. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan Hadis secara ketat.

4. Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan Hadis tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati- hati didalam meriwayatkan Hadis. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima Hadis sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.18 Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan Hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan Hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat Hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.

Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan Hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).

Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2]

pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan

18 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 1999), 47

(15)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.

Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat Hadis yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.

Cara Sahabat Menyampaikan Hadis

Pada zaman Nabi, tidak semua Hadis ditulis oleh para sahabat. Hadis Nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan.

Hadis Nabi yang memungkinkan untuk diriwayatkan secara lafal (Riwayah bi al-lafzhi) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis dalam bentuk perkataan. Sedangkan hadis yang tidak berbentuk perkataan, hanya dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna (Riwayah bi al-ma’na ). Hadis yang dalam bentuk perkataan pun sangat sulit diriwayatkan secara lafal.19 Bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda Nabi itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan tingkat kecerdasan sahabat tidak sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal transfer Hadis, sahabat menempuh dua cara. Yaitu:

1. Periwayatan secara lafal (Hadis riwayah bi al-lafzh).

Periwayatan Hadis secara lafal adalah “periwayatan Hadis yang redaksi atau matannya persis seperti yang diperoleh dari Rasulullah saw.20 Maksudnya bahwa Hadis yang diterima diriwayatkan dengan mempertahankan lafalnya sesuai redaksi yang disampaikan oleh Nabi. Para sahabat ketika meriwayatkan Hadis menempuh jalan ini. Mereka berusaha agar dalam periwayatan Hadis selalu sesuai dengan lafazh yang disampaikan oleh Nabi. Di antara para sahabat yang paling menuntut periwayatan Hadis sesuai dengan lafal asli dari Nabi adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Sa’id bin Arqam. Periwayatan Hadis secara lafal sangat sedikit disinggung pada buku-buku Hadis yang ada.

2. Periwayatan secara makna (Hadis riwayah bi al-ma’na)

19 M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 36.

20 Lihat Departemen Agama RI, op. cit., h. 46.

(16)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

Periwayatan secara makna adalah periwayatan Hadis dengan melakukan perubahan dari segi lafal. Baik dari segi pendahuluan dan pengakhiran sebuah kata, atau dengan cara penggunaan sinonim. Mereka yang memperbolehkan periwayatan Hadis secara makna, secara terpaksa meriwayatkan sebagian Hadis dengan kata-kata mereka sendiri. Terkadang mereka menggunakan kalimat “Atau seperti yang Rasulullah katakan” dan kalimat lain yang sejenis.21 Di antara sahabat yang membolehkan hal tersebut ialah ‘Aisyah r.a. dan Hasan al-Bashri dari golonan tabi’in

Hadis pada Masa Tabi’in

Pada dasarnya periwayatan Hadis yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengkuti jejak para sahabat sebagai guru–guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli Hadis menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in mempelajari Hadis.22

1. Pusat – pusat Pembinaan Hadis

Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari Hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat pembina Hadis pada kota- kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan Hadis cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.23

21 Subhi Shalih, ‘Ulum al-hadis wa musthalahatuhu, (Cet. I, Beirut; PT. Dar al-‘Ilmi li al-malayin, 1998), h. 86.

22 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999

23 Nor Ikhwan, Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87

(17)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

Tokoh–tokoh dalam perkembangan Hadis pada masa awal perkembangan Hadis, sahabat yang banyak meriwayatkan hadis disebut dengan al-Mukatsirun fi al-Hadis mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 Hadis, Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 Hadis, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 Hadis, Aisyah (istri Nabi) meriwayatkan 2210 Hadis, Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 Hadis, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 Hadis, Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan 1170 Hadis.

Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan Hadis sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya:

a. Madinah: Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn Umar dan Sulaiman ibn Yassar

b. Makkah: Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair c. Kufah: Ibrahim an-Nakha’i, ‘Alqamah

d. Basrah: Muhammad ibn Sirin, Qatadah e. Syam: Umar ibn Abdul Aziz

f. Mesir: Yazid ibn Habib

g. Yaman: Thaus ibn Kaisan al-Yamani.

Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis

Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).

Secara langsung atau tidak, dari pergolakan politik tersebut di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya Hadis–Hadis palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing–masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan–lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin Hadis,

(18)

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 3

sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.24

Latihan

1. Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW ? 2. Jelaskan bagaimana cara penyampaian Hadis dari Rasulullah kepada para

sahabat?

3. Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Sahabat ? 4. Jelaskan bagaiaman cara Sahabat menyampaikan Hadis?

5. Jelaskan bagaiamana perkembangan Hadis pada masa Tabi’in?

Tugas/Lembar Kerja

24 Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.2003

1. Hadis pada periode pertama atau pada masa Rasulullah SAW belum dikodifikasi. Pada masa itu sudah diterapkan kaidah-kaidah dan metodologi dalam menyampaikan Hadis, namun belum diresmikan menjadi satu keilmuan khusus.

2. Cara Nabi menyampaikan hadis kepada para sahabat ditempuh melalui 2 cara:

a. secara langsung dan b. secara tidak langsung

3. Sahabat Khulafa’ur Rasyidin baik Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sudah memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan Hadis pada masanya, dan semuanya sangat menganjurkan agar berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan Hadis.

4. Pada masa Tabi’in mulai muncul pusat-pusat pembinaan Hadis, dan pada masa ini pula muncul para tokoh periwayat Hadis dan berhasil membukukan Hadis yang diriwayatkannya seperti Abu Hurairah

Rangkuman

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena ini banyak terjadi dalam kritik yang dilakukan ulama terhadap hadis.. Audi dan Huzail bin Syurahbil tidak mampu mengemban hal ini [tidak mampu melawan riwayat

Ardana Dika Anggara. PENGARUH TERAK BAJA PENGGANTI AGREGAT KASAR TERHADAP KUAT TEKAN BETON NORMAL DENGAN METODE CAMPURAN PERBANDINGAN 1:2:3 DITINJAU BERDASARKAN UMUR

Dari hasil penelusuran yang dapat dilakukan penulis, tidak ditemukan adanya penelitian ilmiah yang telah membahas tentang pemikiran Kamaruddin Amin tentang ilmu hadis pada

Kemungkinan lain detonasi juga terjadi akibat saat pengapian yang terlalu maju atau perbandingan campuran udara bensin yang tidak homogen, oleh karena itu pengaturan saat penyalaan yang