DAFTAR ISI 1 Contents
BAB I PENDAHULUAN ... ii
1.1 Dasar-dasar Analisis Dalam Ilmu Mekanika Bahan ... 1
1.2 Asumsi-Asumsi yang digunakan ... 2
1.3 Klasifikasi Elemen Struktur Bangunan Sipil menurut Arah Beban ... 3
1.4 Tumpuan... 4
BAB II ANALISIS TEGANGAN DAN REGANGAN ... 5
2.1 Kekuatan Bahan ... 5
2.2 Tegangan ... 6
2.2.1 Hukum Hooke (Hooke’s Law) ... 7
2.3 Regangan ... 12
2.3.1 Regangan Normal ... 12
2.3.2 Regangan Geser ... 13
2.3.3 Regangan Volumetric ... 14
2.3.4 Angka Poisson ... 15
2.4 Hubungan Tegangan dan Regangan ... 15
2.4.1 Regangan dalam Sistem Tegangan Biaksial dan Triaksial ... 17
BAB III TITIK BERAT DAN MOMEN INERSIA ... 25
3.1 Titik Berat ... 26
3.1.1 Metode Analitis:... 29
3.1.2 Metode Grafis ... 30
3.2 MOMEN INERSIA SUATU TAMPANG (I) ... 35
3.2.1 Bila Titik Berat Tampang Berimpit Dengan Titik Pusat O. ... 36
3.2.2 Momen Inersia penampang Persegi ... 38
3.2.3 Momen Inersia Penampang Segitiga ... 41
3.2.4 Momen Inersia Lingkaran ... 42
BAB IV TEGANGAN NORMAL... 50
BAB V TEGANGAN LENTUR ... 57
BAB VI Tegangan geser akibat gaya lintang ( Ʈ ) ... 70
ii DAFTAR GAMBAR
Gambar 0.1 Jenis Elemen Struktur dan Pembebanan ... 4
Gambar 0.2 Jenis Tumpuan dan Arah Reaksi ... 5
Gambar 2.1 Gambaran singkat uji tarik dan datanya ... 6
Gambar 2.2 : Kurva tegangan-regangan ... 8
Gambar 2.3 : Dimensi spesimen uji tarik (JIS Z2201)... 8
Gambar 2.4 : Ilustrasi pengukur regangan pada spesimen ... 8
Gambar 2.5 : Profil data hasil uji tarik ... 9
Gambar 2.6 Penentuan tegangan luluh (yield stress) untuk kurva tanpa daerah linier ... 11
Gambar 2.7 Tegangan dan regangan berdasarkan panjang bahan sebenarnya ... 12
Gambar 2.8 Regangan Normal pada Elemen Batang ... 13
Gambar 2.9 Regangan Geser ... 14
Gambar 2.10. Hubungan Beban - Deformasi ... 16
Gambar 2.11. Hubungan Tegangan – Regangan ... 17
Gambar 2.12Sistem Tegangan Biaksial ... 17
Gambar 2.13. Sistem Tegangan Triaksial ... 18
Gambar 2.14Diagram tegangan regangan ... 19
Gambar 2.15: Penentuan tegangan luluh dengan metode offset ... 20
Gambar 3.1 Luasan Tampang Datar ... 26
Gambar 3.2 Titik berat luasan ... 27
Gambar 3.3Titik berat benda beraturan ... 28
Gambar 3.4Bentuk penampang gabungan ... 28
Gambar 3.5Titik berat metode Analisis ... 29
Gambar 3.6Bila Titik brat berimpit dengan Titik Pusat O ... 37
Gambar 5.1 Tegangan Lentur akibat momen positif ... 58
Gambar 5.2 Tegangan Lentur Akibat Momen Negatif ... 59
BAB I PENDAHULUAN
Deskripsi Singkat :
Pada bab ini berisi tentang dasar-dasar analisa dalam Ilmu Mekanika Bahan, asumsi yang digunakan, klasifikasi elemen struktur Bangunan Berdasarkan Arah Beban dan tumpuan.
Mata Kuliah Prasyarat :
Wajib/Pilihan : Wajib Praktik Studio : Tidak ada
Praktikum : Tidak ada
Tujuan spesifik mata kuliah
Tujuan :
Mahasiswa diharapkan dapat mampu memahami dasar-dasar Analisa dalam Ilmu Mekanika Bahan, asumsi yang digunakan , klasifikasi elemen struktur bangunan berdasarkan arah beban dan tumpuan.
Capaian Pembelajaran : (a) Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan di bidang mekanika bahan dalam bidang ketekniksipilan
Topik yang dibahas
1. Analisa dalam Mekanika Bahan
2. Klasifikasi elemen struktur bangunan berdasarkan arah beban
3. Tumpuan
1.1 Dasar-dasar Analisis Dalam Ilmu Mekanika Bahan
Mekanika bahan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik elemen struktur berkaitan dengan kekuatan (strength), kekakuan (stiffness) dan stabilitas (stability) akibat adanya beban yang bekerja pada sistem struktur.
Suatu sistem struktur pasti dirancang untuk memenuhi fungsi tertentu dan menanggung pengaruh luar yang mungkin terjadi. Sebuah gedung perkantoran berfungsi untuk melindungi komunitas manusia yang melakukan aktifitas di dalamnya, menanggung dan melindungi segala peralatan yang tersimpan di dalamnya, memikul berat sendiri serta mampu menahan beban angin maupun gempa yang mungkin terjadi
2 Beban maupun pengaruh luar yang bekerja pada suatu sistem struktur akan menimbulkan tanggap (response) dari sistem struktur itu sendiri. Struktur yang pada awalnya menempati kedudukan awal (initial configuration) yang seimbang dengan beban nihil, akan berpindah untuk mencapai kedudukan akhir yang berimbang dengan beban yang bekerja. Perpindahan (displacement) pada setiap titik bermateri dalam sistem struktur terjadi secara tidak seragam sehingga menimbulkan deformasi. Hal inilah yang menimbulkan gaya dalam pada setiap elemen struktur, sebagai reaksi akibat bekerjanya beban luar untuk diteruskan ke bagian tumpuan.
Ilmu mekanika bahan ini sangat berguna dalam membantu para ahli di bidang teknik sipil untuk melakukan perancangan struktur secara optimal yang memenuhi persyaratan;
a. Setiap elemen harus mampu menahan gaya luar (external force) yang bekerja dalam sistem struktur.
b. Deformasi yang terjadi akibat bekerjanya beban pada semua elemen struktur tidak boleh terjadi secara berlebihan meskipun kekuatan material yang digunakan masih mencukupi. Hal ini disebabkan karena deformasi yang terlalu besar akan menyebabkan tidak optimalnya fungsi sistem struktur dan timbulnya rasa tidak aman dan nyaman bagi penggunanya.
c. Pada saat beban bekerja, semua elemen struktur harus tetap dalam kondisi seimbang.
Stabilitas struktur yang tidak memadai dapat menimbulkan deformasi tidak diperkirakan sebelumnya, misalnya suatu kolom langsing menanggung beban aksial maka akan timbulnya kemungkinan kegagalan akibat fenomena tekuk (buckling).
1.2 Asumsi-Asumsi yang digunakan
Beberapan anggapan dasar yang sering digunakan dalam berbagai enyelesaian analisis matematis berkaitan dengan mekanika bahan meliputi :
a. Kontinuitas (continuity). Semua titik bermateri yang ada dalam elemen struktur dianggap selalu berhubungan secara kontinu. Pada kenyataannya tidak ada material kontinu sempurna, karena setiap bahan tersusun dari atom yang juga berongga. Tetapi karena elemen struktur yang diperhitungkan berukuran jauh lebih besar dari jarak susunan atom, maka asumsi ini dapat digunakan.
b. Homogen (homogeneity). Anggapan ini berarti semua titik bermateri yang ada dalam elemen struktur diasumsikan memiliki sifat (properties) yang sama.
c. Isotropis (isotropy). Semua titik bermateri dalam elemen struktur dianggap memiliki sifat (properties) yang sama dalam segala arahnya.
d. Tidak ada tegangan awal (stress-free material). Hal ini berarti dalam material yang digunakan sebagai elemen struktur bebas dari segala tegangan sisa (residual stress) yang mungkin timbul pada proses fabrikasi.
e. Memenuhi prinsip Saint Venant yang menyatakan distribusi tegangan yang terdapat pada potongan tampang melintang (cross-section) dianggap seragam, kecuali pada bagian ujungnya.
1.3 Klasifikasi Elemen Struktur Bangunan Sipil menurut Arah Beban
Dalam bidang Teknik Sipil berbagai elemen struktur dapat dibedakan menurut jenis beban yang bekerja padanya. Jenis-jenis struktur yang sering digunakan antara lain : a. Elemen Struktur dengan Beban Longitudinal
i.) Batang Tekan merupakan elemen struktur dengan beban aksial tarik. ii.) Batang Tarik merupakan elemen struktur dengan beban aksial tekan. iii.) Kolom merupakan batang tekan yang pada umumnya diletakkan
dengan posisi vertikal.
b. Elemen Struktur dengan Beban Transversal
i.) Balok yang pada masing-masing ujungnya diberikan tumpuan.
ii.) Kantilever merupakan balok dengan tumpuan jepit pada salah satu ujungnya.
c. Elemen Struktur dengan Beban yang bekerja di atas Luasan Bidang
i.) Plat merupakan elemen struktur berupa luasan yang pada umumnya diletakkan pada posisi horisontal dengan beban transversal diatasnya.
ii.) Panel merupakan sejenis plat dengan posisi vertikal.
iii.) Cangkang merupakan elemen struktur sejenis plat yang berbentuk kurvatur.
a.) i.
a.) ii
a.) iii
4
b.) i b.) ii
c.) i
c.) ii
Gambar 0.1 Jenis Elemen Struktur dan Pembebanan 1.4 Tumpuan
Jenis-jenis tumpuan yang sering digunakan dalam bidang teknik sipil dapat dibedakan menurut arah reaksi dan kekangan yang diberikan. Jenis-jenis tumpuan tersebut meliputi :
a. Rol merupakan tumpuan yang hanya memberikan reaksi dalam arah vertikal, sehingga terjadi pergerakan dalam arah horisontal dan rotasi.
b. Sendi merupakan tumpuan yang memberikan reaksi dalam arah vertikal dan horisontal, sehingga hanya terjadi perpindahan dalam bentuk rotasi.
c. Jepit merupakan jenis tumpuan yang mampu memberikan reaksi dalam bentuk gaya arah vertikal, horisontal dan momen sehingga tidak ada lagi pergerakan yang dapat terjadi.
c.) iii
a. b. c.
Gambar 0.2 Jenis Tumpuan dan Arah Reaksi 2 BAB II
ANALISIS TEGANGAN DAN REGANGAN
Deskripsi Singkat :
Pada bab ini berisi tentang Analisa tegangan dan regangan dan deformasi tegangan. Kekuatan bahan/material dihubungan dengan tegangan dan regangan serta membahas hubungan tegangan dan regangan.
Mata Kuliah Prasyarat :
Wajib/Pilihan : Wajib Praktik Studio : Tidak ada
Praktikum : Tidak ada
Tujuan spesifik mata kuliah
Tujuan : Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan apa yang dimaksud tegangan dan regangan.
Capaian Pembelajaran : (a) Kemampuan untuk menganalisa tegangan, regangan, dan hubungan tegangan dan regangan.
Topik yang dibahas
1. Kekuatan bahan 2. Tegangan 3. Regangan
4. Hubungan tegangan dan regangan
2.1 Kekuatan Bahan
Suatu sistem struktur yang menanggung beban luar (external forces) akan menyebabkan timbulnya gaya dalam (internal forces) pada elemen-elemen penyusun struktur tersebut, gaya dalam berfungsi untuk menahan beban yang bekerja sesuai dengan hukum keseimbangan (equilibrium). Apabila gaya dalam bertambah maka akan menyebabkan bertambahnya tahanan dalam material yang digunakan sampai mencapai suatu nilai maksimum, jika penambahan beban masih terus dilanjutkan maka akan terjadi kegagalan pada elemen struktur tersebut. Batas
6 beban luar yang bekerja disebut sebagai kekuatan, selanjutnya kekuatan struktur sangat dipengaruhi oleh material yang digunakan, jenis pembebanan, sistem struktur, temperatur, jangka waktu pembebanan dan lain sebagainya.
Kriteria kekuatan juga berhubungan dengan material, hal ini tergantung pada besarnya gaya tarik-menarik dan tolak-menolak antar atom-atom penyusun material yang digunakan pada elemen struktur sebagai hasil dari perubahan jarak antar atom (interatomic spacing) akibat bekerjanya gaya luar. Analisis kekuatan bahan perlu mempertimbangkan intensitas gaya dalam yang bekerja untuk menahan seluruh beban luar yang bekerja pada elemen struktur. Intensitas gaya dalam yang bekerja pada setiap titik material disebut sebagai tegangan, sedangkan tegangan maksimum yang terukur pada saat terjadinya kegagalan disebut sebagai kekuatan bahan.
2.2 Tegangan
Tegangan merupakan intensitas gaya dalam pada elemen struktur sebagai reaksi terjadinya deformasi yang timbul akibat bekerjanya beban luar, pada umumnya intensitas gaya ini berarah miring pada bidang potongan. Dalam praktek keteknikan intensitas gaya tersebut diuraikan menjadi tegak lurus dansejajar dengan irisan yang sedang dianalisis. Penguraian intensitas gaya ini dapat dilihat pada Gambar 2.1, sehingga menghasilkan tegangan normal dan geser.
Gambar 2.1 Gambaran singkat uji tarik dan datanya
Biasanya yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan maksimum bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut “Ultimate Tensile Strength”
disingkat dengan UTS, dalam bahasa Indonesia disebut tegangan tarik maksimum.
2.2.1 Hukum Hooke (Hooke’s Law)
Untuk hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke sebagai berikut:
rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan
Stress adalah beban dibagi luas penampang bahan dan strain adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan.
Stress: σ = F/A F: gaya tarikan, A: luas penampang
Strain: ε = ΔL/L ΔL: pertambahan panjang, L: panjang awal
Hubungan antara stress dan strain dirumuskan:
E = σ / ε
Untuk memudahkan pembahasan, gambar 2.1 kita modifikasi sedikit dari hubungan antara gaya tarikan dan pertambahan panjang menjadi hubungan antara tegangan dan regangan (stress vs strain). Selanjutnya kita dapatkan gambar 2.2, yang merupakan kurva standar ketika melakukan eksperimen uji tarik. E adalah gradien kurva dalam daerah linier, dimana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama “Modulus Elastisitas” atau “Young Modulus”. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurva SS (SS curve).
8 Gambar 2.2 : Kurva tegangan-regangan
Bentuk bahan yang diuji, untuk logam biasanya dibuat spesimen dengan dimensi seperti pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 : Dimensi spesimen uji tarik (JIS Z2201).
Gambar 2.4 : Ilustrasi pengukur regangan pada spesimen
Perubahan panjang dari spesimen dideteksi lewat pengukur regangan (strain gage) yang ditempelkan pada spesimen seperti diilustrasikan pada gambar 2.4. Bila pengukur regangan ini mengalami perubahan panjang dan penampang, terjadi perubahan nilai hambatan listrik yang dibaca oleh detektor dan kemudian dikonversi menjadi perubahan regangan.
Gambar 2.5 : Profil data hasil uji tarik Batas elastic σE ( elastic limit)
Dalam gambar 2.5 dinyatakan dengan titik A. Bila sebuah bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula (tepatnya hampir kembali ke kondisi semula) yaitu regangan
“nol” pada titik O (lihat inset dalam gambar 5). Tetapi bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku dan terdapat perubahan permanen dari bahan. Terdapat konvensi batas regangan permamen (permanent strain) sehingga masih disebut perubahan elastis yaitu kurang dari 0.03%, tetapi sebagian referensi menyebutkan 0.005%. Tidak ada standarisasi yang universal mengenai nilai ini.
Batas proporsional σp (proportional limit)
Titik sampai di mana penerapan hukum Hooke masih bisa ditolerir. Tidak ada standarisasi tentang nilai ini. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis.
Deformasi plastis (plastic deformation)
Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula. Pada Gambar 2.5 yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional dan mencapai daerah landing.
Tegangan luluh atas σuy (upper yield stress)
Tegangan maksimum sebelum bahan memasuki fase daerah landing peralihan deformasi elastis ke plastis.
10 Tegangan luluh bawah σly (lower yield stress)
Tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki fase deformasi plastis. Bila hanya disebutkan tegangan luluh (yield stress), maka yang dimaksud adalah tegangan ini.
Regangan luluh εy(yield strain)
Regangan permanen saat bahan akan memasuki fase deformasi plastis.
Regangan elastis εe(elastic strain)
Regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan. Pada saat beban dilepaskan regangan ini akan kembali ke posisi semula.
Regangan plastis εp (plastic strain)
Regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban dilepaskan regangan ini tetap tinggal sebagai perubahan permanen bahan.
Regangan total (total strain)
Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastis, εT= εe+εp. Perhatikan beban dengan arah OABE. Pada titik B, regangan yang ada adalah regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi regangan ada pada titik E dan besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis.
Tegangan tarik maksimum TTM (UTS, ultimate tensile strength)
Pada gambar 2.5 ditunjukkan dengan titik C (σβ), merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik.
Kekuatan patah (breaking strength)
Pada gambar 5 ditunjukkan dengan titik D, merupakan besar tegangan di mana bahan yang diuji putus atau patah.
Tegangan luluh pada data tanpa batas jelas antara perubahan elastis dan plastis Untuk hasil uji tarik yang tidak memiliki daerah linier dan landing yang jelas,
tegangan luluh biasanya didefinisikan sebagai tegangan yang menghasilkan regangan permanen sebesar 0.2%, regangan ini disebut offset-strain (gambar 6).
Gambar 2.6 Penentuan tegangan luluh (yield stress) untuk kurva tanpa daerah linier Perlu untuk diingat bahwa satuan SI untuk tegangan (stress) adalah Pa (Pascal,
N/m2) dan strain adalah besaran tanpa satuan.
Istilah lain
Selanjutnya akan kita bahas beberapa istilah lain yang penting seputar interpretasi hasil uji tarik.
Kelenturan (ductility)
Merupakan sifat mekanik bahan yang menunjukkan derajat deformasi plastis yang terjadi sebelum suatu bahan putus atau gagal pada uji tarik. Bahan disebut lentur (ductile) bila regangan plastis yang terjadi sebelum putus lebih dari 5%, bila kurang dari itu suatu bahan disebut getas (brittle).
Derajat kelentingan (resilience)
Derajat kelentingan didefinisikan sebagai kapasitas suatu bahan menyerap energi dalam fase perubahan elastis. Sering disebut dengan Modulus Kelentingan (Modulus of Resilience), dengan satuan strain energy per unit volume (Joule/m3 atau Pa). Dalam Gambar1, modulus kelentingan ditunjukkan oleh luas daerah yang diarsir.
Derajat ketangguhan (toughness)
Kapasitas suatu bahan menyerap energi dalam fase plastis sampai bahan tersebut putus. Sering disebut dengan Modulus Ketangguhan (modulus of toughness). Dalam gambar 5, modulus ketangguhan sama dengan luas daerah dibawah kurva OABCD.
12 Pengerasan regang (strain hardening)
Sifat kebanyakan logam yang ditandai dengan naiknya nilai tegangan berbanding regangan setelah memasuki fase plastis.
Tegangan sejati , regangan sejati (true stress, true strain)
Dalam beberapa kasus definisi tegangan dan regangan seperti yang telah dibahas di atas tidak dapat dipakai. Untuk itu dipakai definisi tegangan dan regangan sejati, yaitu tegangan dan regangan berdasarkan luas penampang bahan secara real time. Detail definisi tegangan dan regangan sejati ini dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 2.7 Tegangan dan regangan berdasarkan panjang bahan sebenarnya
2.3 Regangan
Deformasi yang terjadi pada elemen batang yang menerima beban luar tergantung pada ukuran awal penampang, sehingga lebih tepat jika dinyatakan dalam bentuk regangan.
Regangan merupakan nilai banding perubahan dimensi per satuan ukuran terhadap dimensi awalnya. Regangan dapat juga didefinisikan sebagai ekspresi non-dimensional dari deformasi.
2.3.1 Regangan Normal
Berdasarkan dimensi panjang elemen batang (L0) yang menerima beban tarik sebesar P (Gambar 2.8), akan terjadi perpanjangan sebesar ∆L pada elemen batang.
Besaran regangan normal dapat dinyatakan dalam bentuk Persamaan berikut :
𝜀 =∆𝐿 𝐿𝑜
P P
∆L/2 L0 ∆L/2 . Gambar 2.8 Regangan Normal pada Elemen Batang
Seperti halnya dalam penandaan arah gaya, regangan juga diberi tanda positif jika terjadi gaya tarik yang menyebabkan bertambahnya dimensi batang, sebaliknya digunakan tanda negatif jika diberikan gaya tekan yang menyebabkan berkurangnya dimensi batang dibandingkan ukuran semula.
2.3.2 Regangan Geser
Perubahan fraksional dalam dimensi material yang dihasilkan oleh gaya disebut regangan. Untuk gaya tarik dan tekan, regangan adalah rasio perubahan panjang terhadap panjang original. Symbol yang digunakan untuk regangan adalah ε (epsilon). Untuk material dengan panjang L meter yang berubah dalam panjang sebesar x, maka
Regangan adalah besaran tak berdimensi dan sering dinyatakan sebagai persentase
Untuk gaya geser, regangan dinyatakan dengan symbol ϒ (gamma) dan dirumuskan dengan
14
Gambar 2.9 Regangan Geser
Regangan ini timbul akibat bekerjanya gaya geser pada elemen batang. Fenomena regangan geser dapat dilihat pada Gambar 2.9. Regangan geser = tan γ = γ, karena nilai γ yang sangat kecil maka digunakan
= ∆𝐿 𝐿 2.3.3 Regangan Volumetric
Suatu benda yang menerima gaya luar yang bekerja ke segala arah, akan menyebabkan terjadinya perubahan volume. Perubahan per satuan volume yang dihitung berdasarkan volume awalnya disebut regangan volumetric.
𝜀𝑣 =∆𝑉 𝑉0
Dimensi pada suatu kubus dengan panjang masing-masing sisi x, y dan z menerima beban ke segala arah akan mengalami perubahan pada setiap sisinya sebesar dx, dy dan dz. Sehingga perubahan volume benda tersebut dapat dihitung sebesar :
∆V = (x + dx).(y + dy).(z + dz) – x.y.z
= (x.y.z + x.y.dz + y.z.dx + x.z.dy) – x.y.z (nilai relatif kecil diabaikan)
= y.z.dx + x.z.dy +x.y.dz maka besarnya regangan volumetric 𝜖𝑣 =𝑦. 𝑧. 𝑑𝑥 + 𝑥. 𝑧. 𝑑𝑦 + 𝑥. 𝑦. 𝑑𝑧
𝑥. 𝑦. 𝑧 𝜖𝑣 =𝑑𝑥
𝑥 + 𝑑𝑦
𝑦 + 𝑑𝑧
𝑧
= 𝜖𝑥 + 𝜖𝑦 + 𝜖𝑧
Dapat disimpulkan bahwa regangan volumetric adalah hasil penjumlahan regangan normal ke arah sumbu x, y dan z.
2.3.4 Angka Poisson
Apabila suatu batang menerima beban tarik dalam arah longitudinal, maka akan terjadi perubahan dimensi dalam bentuk perpanjangan ke arah longitudinal dan penyempitan ke arah lateral, sebaliknya jika bekerja beban aksial tekan maka akan terjadi pemendekan dalam arah longitudinal dan pemekaran dalam arah lateral. Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya regangan yang terjadi dalam arah longitudinal dan lateral akan memiliki tanda yang berlawanan (positif dan negatif).
Perubahan dimensi dalam arah lateral selalu terjadi secara proporsional dengan perubahan dimensi ke arah longitudinal. Konstanta yang menghubungkan antara regangan ke arah lateral dan longitudinal disebut poisson’s ratio.
𝜗 = −𝜀𝑙𝑎𝑡𝑒𝑟𝑎𝑙 𝜀𝑙𝑜𝑛𝑔𝑖𝑡𝑢𝑑𝑖𝑛𝑎𝑙
Dari Persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa regangan lateral dapat timbul tanpa adanya tegangan ke arah yang sama.
2.4 Hubungan Tegangan dan Regangan
Pada pelaksanaan Uji Tarik yang menggunakan Universal Testing Machine dengan penambahan beban secara konstan maka akan terlihat pula terjadinya perpanjangan batang, sehingga grafik dihasilkan grafik yang merupakan hubungan antara laju penambahan beban dengan laju penambahan deformasi batang. Grafik tersebut akan tersaji dalam bentuk linear sampai pada titik a yang merupakan batas proporsional. Sampai pada batas ini bahan yang diuji masih mengikuti Hukum Hooke yang menyatakan bahwa penambahan tegangan berbanding lurus
secara linear dengan penambahan regangan atau 𝑡𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑟𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛= 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛.
Konstanta tersebut lazim dilambangkan dengan huruf E yang disebut sebagai Modulus Young atau Modulus Elastisitas, yang ditunjukkan sebagai kemiringan (slope) dari diagram tegangan-regangan sampai pada batas proporsional. Sedikit
16 di atas titik a adalah titik b yang merupakan batas elastis. Jika beban yang telah diterapkan sampai pada batas elastis ini dilepaskan lagi maka dimensi benda uji akan kembali ke ukuran awalnya. Pada kenyataannya letak titik a dan b sangat berdekatan sehingga akan sangat sulit membedakan keduanya. Secara matematis hubungan antara tegangan dan regangan dapat dinyatakan dalam Persamaan berikut :
𝑂 𝜀 = 𝐸
Pada pelaksanaan uji tarik dapat dihitung pula besarnya pertambahan panjang benda uji dengan Persamaan berikut :
∆𝐿 = 𝜀 ∙ 𝐿𝑜 =𝑃 ∙ 𝐿0 𝐴 ∙ 𝐸
Apabila pengujian telah mencapai titik b dan jalannya pembebanan tetap diteruskan maka akan dijumpai fenomena leleh sampai pada titik c baru terjadi penambahan tegangan yang berarti kekuatan bahan bertambah secara progresif, fenomena ini disebut sebagai strain hardening. Pada titik d beban maksimum tercapai, sehingga disebut sebagai titik maksimum, mulai titik ini gejala necking terlihat dengan mengecilnya dimensi lateral (luas tampang) sampai mencapai titik e yang disebut sebagai titik putus.
Titik
leleh d atas
b c e
a Titik leleh
bawah
Deformasi
Gambar 2.10. Hubungan Beban - Deformasi
Beban
σX Kuat Tarik
Maksimum d
Diagram σ-ε sebenarnya
e
b c Diagram σ-ε
a Teknis
Regangan (ε)
Gambar 2.11. Hubungan Tegangan – Regangan
Pada Gambar 2.11 terlihat dua grafik hasil uji tarik baja, diagram tegangan- regangan teknis dihitung dengan anggapan luas tampang melintang (A) tetap, sedangkan diagram tegangan-regangan sebenarnya memperhitungkan adanya perubahan luas akibat fenomena necking.
2.4.1 Regangan dalam Sistem Tegangan Biaksial dan Triaksial
Sistem tegangan biaksial terjadi apabila dalam suatu sistem struktur bekerja beban aksial dalam dua arah sumbu yang saling tegak lurus (Gambar 2.7), sedangkan triaksial terjadi jika tegangan bekerja dalam tiga arah sumbu koordinat (Gambar 2.12).
Tegangan (σ)
Menurut Gambar 2.12, regangan total dalam arah sumbu x (εX), dipengaruhi oleh tegangan ke arah sumbu X dan Y (σX dan σY), sehingga dengan menggunakan hukum Hooke dan angka Poisson dapat ditentukan:
𝜀𝑥 =𝜎𝑥 𝐸 − 𝜐
𝜎𝑦
𝐸 𝜀𝑥= 1
𝐸 (𝜎𝑥− 𝜐𝜎𝑦) 𝜀𝑦 = 1
𝐸 (𝜎𝑦− 𝜐𝜎𝑥)
Z
Gambar 2.13. Sistem Tegangan Triaksial
Selanjutnya dalam sistem tegangan triaksial yang ditunjukkan Gambar 2.13, besarnya regangan total dalam semua arah dipengaruhi oleh besarnya tegangan σX, σY dan σZ, sehingga diperoleh
𝜀𝑥= 1
𝐸 (𝜎𝑥− 𝜐(𝜎𝑦− 𝜎𝑧) 𝜀𝑦 = 1
𝐸 (𝜎𝑦− 𝜐(𝜎𝑥− 𝜎𝑧)
𝜀𝑧 = 1
𝐸 (𝜎𝑧− 𝜐(𝜎𝑥− 𝜎𝑦)
Hubungan tegangan dan regangan dapat diketahui dengan jelas pada diagram tegangan dan regangan yang didasarkan dari data yang diperoleh dari pengujian tarik. Ini juga berlaku hukum hooke yang menyatakan tegangan sebanding dengan regangan. Dan tegangan (stress) adalah beban dibagi dengan luas penampang bahan dan regangan (strain) adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan. Persamaannya sebagai berikut :
Stress = δ= F/A ; F = gaya tarikan ; A = luas penampang
Strain = ε =ΔL/L ; ΔL = pertambahan panjang ; L = panjang awal
Gambar 2.14Diagram tegangan regangan
Sumber : BJM Beumer, Ilmu Bahan Logam, Jilid 1, Bharata Karya Aksara, Jakarta 1985. hal 12
Keterangan :
σP = Proporsional stress
= pertambahan tegangan sebanding dengan pertambahan regangan σE = Elasticity stress = titik dimana terjadi deformasi elastis
σY = Yield stress
= tempat terjadinya penambahan regangan tanpa penambahan beban σU = Ultimate stress
= tegangan maksimum yang dapat dicapai bahan σB = Breaking stress
= titik dimana material tersebut patah
Pada titik nol sampai batas proporsional, tegangan berbanding lurus dengan regangan dan membentuk garis lurus yang curam (semakin curam garis tersebut maka semakin kaku materialnya). Pada titk nol sampai yield point merupakan daerah elastis. Pada titik yield material akan mengalami pertambahan regangan tanpa disertai penambahan beban.
Untuk material tertentu umumnya tidak memperlihatkan batas yield yang jelas.
Maka untuk menentukannya digunakan metode offset. Dengan metode ini, kekuatan ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari keadaan proporsional tegangan dan regangan.
Gambar 2.15: Penentuan tegangan luluh dengan metode offset Sumber : Timoshenko dan Gere, Mekanika Bahan, Erlangga, Jakarta
1987, hal 13
Cara metode offset adalah dengan menarik garis lurus sejajar dengan kurva tegangan dan regangan (pada daerah proporsional) dan berjarak 0,002 atau 0,2%
dari 0. Garis tersebut akan memotong kurva tegangan dan regangan. Titik hasil perpotongan tersebut adalah titik yield offset. Titik yield/luluh tersebut bukan dari hasil pengujian sifat fisik bahan maka dinamakan titik luluh offset.
Pada kurva/diagram tegangan regangan terdapat 2 daerah yaitu daerah elastis (dari 0 sampai yield point) dan daerah plastis (dari yield sampai breaking point). Adapun sifat mekanik dalam setiap daerah tersebut, yaitu :
Sifat Mekanik Pada Daerah Elastis
a. Kekuatan elastisitas = kemapuan untuk menerima beban tanpa terjadi deformasi plastis.
b. Modulus Young (Modulus elastisitas) = didefinisikan sebagai ukuran kekakuan suatu material, semakin kecil regangan elastis yang terjadi, maka semakin kaku material itu.
c. Modulus Resilience (Modulus kelentingan) = didefinisikan sebagai kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terdeformasi plastis. Energi yang diserap untuk meregang satu satuan volume sampai batas elastisnya.
d. Kekerasan = kemapuan material untuk menerima penetrasi dan gesekan.
Kekerasan berbanding dengan elasttisitas sehingga benda yang punya elastisitas tinggi maka kekerasannya rendah
Secara Umum Sifat Mekanik dari Logam Dibagi Menjadi : a).Batas proposionalitas (Proportionality Limit)
Adalah daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier : s = E e
Batas elastis (Elastic limit)
Adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bagian dari batas elastik.
Bila beban terus diberikan tegangan maka batas elastis pada akhimya akan terlampaui sehingga bahan tidak kembali seperti ukuran semula. Maka batas elastis merupakan titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi plastis untuk pertama kalinya.
Kebanyakan material tenik mempunyai batas elastis yang hampir berhimpitan dengan batas proporsionalitasnya.
Titik Luluh (Yield Point) dan Kekuatan Luluh (Yield Strength)
Adalah batas dimana material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress). Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam- logam ulet dengan struktur kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom karbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antar dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh atas (upper yield point).
Untuk baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas pada umumnya tidak memperlihatkan batas luluh yang jelas. Sehingga digunakan metode offset untuk menentukan kekuatan luluh material. Dengan metode ini kekuatan luluh ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari keadaan proporsionalitas tegangan dan regangan.
Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan, bending atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan dipakai dalam proses manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan titik luluh adalah suatu tingkatan tegangan yang tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service) dan harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process).
Kekuatan Tarik Maksimum (Ultimate Tensile Strength)
Adalah tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum tejadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum tarik ditentukan dari beban maksimum dibagi luas penampang.
Kekuatan Putus (Breaking Strength)
Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaking) dengan tuas penampang awal (A0). Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet, kekuatan putus lebih kecil dari kekuatan maksimum, dan pada bahan getas kekuatan putus sama dengan kekuatan maksimumnya.
Keuletan (Ductility)
Adalah sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi hingga tejadinya perpatahan. Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu :
•Persentase perpanjangan (Elongation) : e (%) = [(Lf-L0)/L0] x 100%
dimana : Lf = panjang akhir benda uji L0 = panjang awal benda uji
•Persentase reduksi penampang (Area Reduction) R (%) = [(A1 – A0)/A0] x 100%
dimana : Af = luas penampang akhir A0 = luas penampang awal Modulus Elastisitas (Modulus Young)
Adalah ukuran kekakuan suatu material, semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi, atau semakin kaku.
Modulus Kelentingan (Modulus of Resilience)
Adalah kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya kerusakan. Nilai modulus resilience (U) dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area elastik diagram tegangan-regangan. Perumusannya : U = 0.5se atau U = 0.5se2/E.
Modulus Ketangguhan (Modulus of Toughness)
Adalah kemampuan material dalam mengabsorb energi hingga terjadinva perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva tegangan-regangan hasil pengujian tarik.
Kurva Tegangan-Regangan Rekayasa dan Sesungguhnya
Kurva tegangan-regangan rekayasa (engineering) didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan sesungguhnya (true) diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat terukur. Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada saat perhitungan tegangan σ = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya luas area aktual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena σ = P/A.
3 BAB III
TITIK BERAT DAN MOMEN INERSIA
Deskripsi Singkat :
Pada bab ini berisi tentang titik berat penampang berbentuk teratur dan penampang gabungan dengan metode analitis dan metode grafis . Momen inersia sebuah penampang teratur juga akan dibahas dalam bab ini.
Mata Kuliah
Prasyarat :
Wajib/Pilihan : Wajib Praktik Studio : Tidak ada Praktikum : Tidak ada Tujuan spesifik mata kuliah
Tujuan : Mahasiswa diharapkan mampu menetukan dan menghitung titik berat dan momen inersia
Capaian
Pembelajaran : (a) Kemampuan untuk menganalisa titik berat dan momen inersia.
Topik yang dibahas 1. Titik berat 2. Momen Inersia
Dalam analisis struktur, khususnya mekanika bahan sering kali muncul kebutuhan untuk mendefinisikan sifat-sifat geometris (geometrical properties) bidang datar yang digunakan. Misalnya, beban aksial yang bekerja pada suatu batang akan menimbulkan intensitas gaya (tegangan) yang dihitung sebagai besaran gaya per satuan luas penampang, sehingga muncul kebutuhan untuk menentukan luas tampang datar dalam perhitungan tegangan.
Bahasan materi dalam bagian ini mencakup penyajian formulasi dan langkah penghitungan beberapa sifat geometris bidang datar. Sifat-sifat geometris tampang
datar (cross-sectional properties) yang sering diterapkan dalam mekanika bahan di antaranya; luas, momen statis dan momen inersia.
Luas tampang (A) merupakan luas bidang datar yang dihitung menurut fungsi sumbu X dan Y, mewakili luas tampang melintang elemen struktur yang menanggung beban di atasnya.
Gambar 3.1 Luasan Tampang Datar 3.1 Titik Berat
Titik berat atau pusat suatu luasan adalah suatu titik dimana luasan terkonsentrasi dan tetap meninggalkan momen yang tidak berubah terhadap sembarang sumbu. Pada umumnya letak titik berat dinyatakan sebagai jarak pada koordinat “x” dany’.
Titik berat suatu penampang dapat dipandang sebagai sebuah titik, yang jika seluruh permukaan dipusatkan (lumped) di sana, akan memberikan momen statis yang nilainya sama terhadap kedua sumbu atau terhadap sumbu manapun juga, dengan kata lain momen statis suatu penampang terhadap semua garis yang melalui pusat berat penampang selalu bernilai nol.
dx dA
(X0, Y0) dy
Sy
Sx
X dF
Xo O
y yo
Sb x Sb y
Gambar 3.2 Titik berat luasan
dF = suatu bagian kecil dari luas x, y = koordinat dari dF
x, y = koordinat dari dF O = Titik berat luas total F xo, yo = koordinat titik berat Maka :
F.y
o= ∫ 𝑦. 𝑑𝐹
yo
=
∫ 𝑦.𝑑𝐹𝐹
x
o=
∫ 𝑥.𝑑𝐹𝐹
O 1/2h 1/2h
2/3h 1/3h
R R 2/3h
1/3h 1/2b 1/3b
1/2b
Beberapa Bentuk Teratur :
Gambar 3.3Titik berat benda beraturan
Untuk luasan bidang yang tersusun atas n sub‐luasan Fi, dengan masing ‐ masing koordinat “x” dan “y” seperti terlihat di gambar berikut ini:
Gambar 3.4Bentuk penampang gabungan
diketahui, titik berat dapat ditentukan dengan cara menganggap luasan penampang sebagai berat. Kemudian berdasarkan jumlah momen dari bagian‐bagian luasan
penampang terhadap garis sembarang sama dengan momen keseluruhan penampang terhadap garis yang sama, maka letak titik berat dapat ditentukan :
y
o=
𝐹1.𝑦1+𝐹2.𝑦2+...+𝐹𝑛.𝑦𝑛∑ 𝐹
x
o=
𝐹1.𝑥1+𝐹2.𝑥2+...+𝐹𝑛.𝑥𝑛∑ 𝐹
Untuk mencari titik berat dari penampang gabungan, dapat digunakan dua metode, yaitu metode analitis dan metode grafis.
3.1.1 Metode Analitis:
Metode analitis adalah adalah cara melukiskan dan menentukan hasil penjumlahan vektor (resultan) melalui proses penguraian vektor menjadi vektor- vektor komponennya. Jadi, dengan menggunakan metode analitis kita tidak hanya mengetahui resultan vektor secara grafis tetapi juga dapat mengetahui besar dan arah vektor resultan secara kuantitatif.
F2 F1
F3 Sb y
SbX
yo y2
y1 y3
X1 X3 X2
X0
Sb xo
Sb yo 0
Gambar 3.5Titik berat metode Analisis
Langkah – langkah:
1. Luasan dibagi-bagi, F1, F2, F3 dengan titik berat masing-masing titik 1, 2, 3 2. Tarik sumbu Xo ( Horizontal ) dan sumbu yo ( Vertikal ) sembarang.
3. Ukur x1,y1, x2,y2, x3,y3, ( titik berat 1, 2, 3 ke sumbu xo dan yo ) 4. Misal ditentukan titik berat luas total adalah 0 ( xo,yo )
5. x
o=
𝐹1.𝑥1+𝐹2.𝑥2+𝐹3.𝑥3 𝐹1+𝐹2+𝐹3y
o=
𝐹1.𝑦1+𝐹2.𝑦2+𝐹3.𝑦3 𝐹1+𝐹2+𝐹33.1.2 Metode Grafis
Metode grafis adalah cara melukiskan penjumlahan dua vektor atau lebih berdasarkan besar dan aranya membentuk suatu bidang datar. Jadi, dengan menggunakan metode grafis kita hanya bisa menggambarkan hasil penjumlahan atau resultan vektor tanpa tahu besar dan arahnya secara kuantitatif.
Penentuan sumbu X:
1. Luas F1, F2, F3 diwakili oleh vector F1, F2, & F3 dengan arah horizontal.
2. Buat diagram polygon gaya F1, F2, & F3 3. Buat diagram batang
4. Gambar polygon batang pada tampang didapat letak F ( resultan F1, F2, & F3 ) disitulah sumbu X
Penentuan sumbu Y:
( Sama dengan diatas )
F
2F B
C
sbx F
3F
2F
11 0 2
3
D E F
3MENENTUKAN SUMBU X
POLIGON GAYA &
DIAGRAM KUTUB
F1
MENENTUKAN SUMBU Y
sby
F3
F2
C
B A
D
E S
0
1
2
3 F1
F2
F3
POLIGON BATANG ABCDE
POLIGON GAYA &
DIAGRAM KUTUB
Contoh :
1. Diketahui sebuah penampang persegi dengan ukuran sesuai gambar.Hitung titik berat penampang.
10
8
Penyelesaian:
O 4
4 5
5
Titik berat arah x dan y sebagai berikut:
𝑥 = 12𝑏 𝑦 = 12ℎ 𝑥 = 1210 𝑦 = 128
𝑥 = 5 𝑦 = 4
2. Diketahui penampang gabungan berbentuk seperti gambar berikut ini.
F1
F2 30
10 10
40
``
20
Tentukan Titik berat penampang gabungan tersebut.
Penyelesaian:
F1
F2 30
10 10
40 `
`
20 5
20
20 5
𝑭𝟏 = 𝟏𝟎𝒙𝟒𝟎 = 𝟒𝟎𝟎𝒄𝒎𝟐 𝑭𝟐 = 𝟐𝟎𝒙𝟏𝟎 = 𝟐𝟎𝟎𝒄𝒎𝟐
𝑥
0= 𝐹1. 𝑥1 + 𝐹2. 𝑥2 𝐹1 + 𝐹2
𝒙𝟎=𝟒𝟎𝟎𝒙𝟓 + 𝟐𝟎𝟎𝒙𝟐𝟎 𝟒𝟎𝟎 + 𝟐𝟎𝟎 𝒙𝟎=𝟐𝟎𝟎𝟎 + 𝟒𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒙𝟎=𝟔𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒙𝟎= 𝟏𝟎 𝒄𝒎
𝑦
0= 𝐹1. 𝑦1 + 𝐹2. 𝑦2 𝐹1 + 𝐹2
𝒚𝟎= 𝟒𝟎𝟎𝒙𝟐𝟎 + 𝟐𝟎𝟎𝒙𝟓 𝟒𝟎𝟎 + 𝟐𝟎𝟎 𝒚𝟎= 𝟖𝟎𝟎𝟎 + 𝟏𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒚𝟎= 𝟗𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒚𝟎= 𝟏𝟓 𝒄𝒎
Jadi titik berat penampang adalah : (10; 15) Latihan:
Hitung titik berat penampang berikut:
20 20
100 100
80 F1
F2
F3
100
30
100
30 35
35
100
35 35
3.2 MOMEN INERSIA SUATU TAMPANG (I) Umum
X dF
y
Sb x Sb y
Luasan Tampang F
dF = suatu bagian kecil dari luas tampang F x = absis dari dF
y = ordinat dari dF
ρ = jarak dF ke titik sumbu
Momen inersia suatu luasan elemen terhadap suatu sumbu di dalam bidang luasan diberikan dengan produk luasan elemen dan kuadrat jarak (tegak lurus)antara elemen dengan sumbu.
Momen inersia disebut juga dengan momen kelembaman. Data momen inersia suatu penampang dari struktur diperlukan pada perhitungan-perhitungan tegangan lentur, tegangan geser, tegangan torsi dan sebagainya . Adapun momen inersia adalah suatu sifat kekakuan yang ditimbulkan perkalian luas dengan kuadrat jarak ke suatu garis lurus atau sumbu. Momen inersia dilambangkan dengan I
Ada dua macam momen inersia yaitu
a. Momen Inersia linier yaitu momen inersia terhadap suatu garis lurus atau sumbu.
Jika terhadap sumbu x adalah Ix dan jika terhadap sumbu y adalah Iy
b. Momen inersia polar yaitu momen inersia terhadap suatu titik perpotongan dua garis lurus atau sumbu. Dengan kata lain, bahwa inersia polar adalah jumlah momen
inersia linier terhadap sumbu x dan sumbu y . Momen inersia polar dilambangkan dengan Ip
Momen inersia elemen terhadap sumbu x adalah dlx = y2dF dan terhadap sumbu y adalah dly = x2dF.
Ix = momen inersia tampang terhadap sumbu x = ∫ y2dF
Iy = momen inersia tampang terhadap sumbu y = ∫ 𝑥2𝑑𝐹
Ip = momen inersia tampang terhadap titik pusat O = ∫ ρ2𝑑𝐹
Sxy = momen = ∫ 𝑥𝑦 𝑑𝐹 Ρ = 𝑥2+ y2
Ip = ∫ ρ2𝑑𝐹 = ∫ 𝑥2𝑑𝐹 + ∫ y2dF Ip = I𝑥 + Iy
JADI
RUMUS DASAR MOMEN INERSIA
Dimensi I = 𝑐𝑚4
3.2.1 Bila Titik Berat Tampang Berimpit Dengan Titik Pusat O.
Untuk penampang gabungan (penampang yang terdiri dari minimal 2 bentuk penampang teratur) dalam mencari inersia secara manual harus melewati beberapa tahap perhitungan.
Ix = ∫ y
2dF Iy = ∫ 𝑥
2𝑑𝐹
Ip = ∫ ρ
2𝑑𝐹 = I𝑥 + Iy
Sxy = ∫ 𝑥𝑦 𝑑𝐹
a. Untuk mempermudah balok T di bagi 2 segmen yaitu bagian atas memanjang arah horizontal dan segmen yang kedua adalah yang memanjang vertikal
b. Cari titik berat atau titik keseimbangan balok penampang T tersebut dengan cara :
1. Luasan masing-masing segmen dikali dengan jarak titik tengah masing- masing kesumbu yang di tinjau. Jumlahkan semuanya kemudian bagi dengan luas total penampang
2. setelah menemukan titik seimbang penampang maka akan diketahui d1 dan d2
3. Selanjutnya tinggal masukkan ke rumus (1/12 x b x h pangkat 3) + (Luasan masing-masing x dengan jarak d pangkat 2) masing-masing segmen.
4. setelah itu jumlahkan dari semua segmen maka hasilnya adalah Inersia penampang
X
0dF
y
Sb x Sb y
X
X
y0
Y
Sb x Sb y
Gambar 3.6Bila Titik brat berimpit dengan Titik Pusat O Ix’ = ∫ 𝑦′2𝑑𝐹 = ∫(𝑦 + 𝑦𝑜)2𝑑𝐹
= ∫(𝑦2+ 2𝑦𝑜. 𝑦 + 𝑦𝑜2) 𝑑𝐹
= ∫ 𝑦2𝑑𝐹 + 2𝑦𝑜 ∫ 𝑦𝑑𝐹 + ∫ 𝑦𝑜2𝑑𝐹 = Ix + 2yo (0) + 𝑦𝑜2. 𝐹
∫ 𝑥′𝑦′ = ∫ 𝑥′. 𝑦′𝑑𝐹 = ∫(𝑥 + 𝑥𝑜)(𝑦 + 𝑦𝑜)𝑑𝐹 = ∫(𝑥𝑦 + 𝑦𝑜 . 𝑥 + 𝑥𝑜 . 𝑦 + 𝑥𝑜 . 𝑦𝑜) 𝑑𝐹
= ∫ 𝑥𝑦 𝑑𝐹 + 𝑦𝑜 ∫ 𝑥 𝑑𝐹 + 𝑥𝑜 ∫ 𝑦 𝑑𝐹 + 𝑥𝑜 . 𝑦𝑜 ∫ 𝑑𝐹 = ∫ 𝑥𝑦 + 0 + 0 + 𝑥𝑜 . 𝑦𝑜 . 𝐹
I𝜌’ = ∫ 𝜌′ 𝑑𝐹 = 𝐼𝑥′+ 𝐼𝑦′ = Ix + 𝑦𝑜2 𝐹 + 𝐼𝑦 + 𝑥𝑜2 𝐹
Ix, Iy, I𝜌, ∫ 𝑥𝑦 = Momen Inersia pribadi ke sumbu pusat (titik berat)
3.2.2 Momen Inersia penampang Persegi Mencari Ix :
y
Sb y dF
dy h/2
Sb x
h/2
b/2 b/2
0
Sb x
a
dF = b.dy
Ix’ = Ix + 𝑦𝑜
2. 𝐹 Iy’ = Iy + 𝑥𝑜
2. 𝐹
∫ 𝑥
′𝑦
′= ∫ 𝑥𝑦 + 𝑥𝑜 . 𝑦𝑜 . 𝐹
I 𝜌
′= 𝐼𝑥 + 𝐼𝑦 + (𝑥𝑜
2+ 𝑦𝑜
2)𝐹
− h 2⁄ ≤ y ≤ h 2⁄
𝐼𝑥 = ∫
h⁄2y
2dF
−h 2⁄
𝐼𝑥 = ∫ y
2. b. dy
h⁄2
−h 2⁄
𝐼𝑥 = | b. y
23 |
1 ⁄ h 2
− 1 2 ⁄ h 𝐼𝑥 = ( bh
324 ) − (−
bh
324 ) 𝐼𝑥 = 1
12 bh
3Mencari Iy:
Sb y dx dF
h/2 Sb x
h/2
b/2 b/2
0
Sb y
b
dF = h . dx
− b 2 ⁄ ≤ x ≤ b 2 ⁄
𝐼𝑦 = ∫
b⁄2x
2dF
−b 2⁄
Iy = ∫ x
2. h. dx
b⁄2
−b 2⁄
𝐼𝑦 = | h x
23 |
b ⁄ 2
− b 2 ⁄ 𝐼𝑦 =
121hb
3Bila sumbu 𝒙′//𝒙 berimpit dengan alas (gambar a)
Ix’ = ∫ 𝐛𝐲
𝟎𝐡 𝟐𝐝𝐲 = |
𝐛𝐲𝟑𝟑|
𝐡𝟎=
𝟏𝟑𝐛𝐡
𝟑Atau dengan rumus Ix’ = Ix + yo2F Ix = 1
12bh3 yo = 1
⁄ h2 F = b.h Ix’ = 121 bh3 + ( 1
2h)2(b. h) = 4
12bh3 = 1
3bh3
Bila sumbu 𝒚′//𝒚 berimpit dengan sisi kiri ( gambar b )
Iy’ = ∫ 𝐱
𝟎𝐛 𝟐. 𝐡 𝐝𝐱 = |
𝐡𝐱𝟑𝟑|
𝐛𝟎=
𝟏𝟑𝐡𝐛
𝟑Atau dengan rumus Iy’ = Iy + xo2. F Iy’ = 121 hb3 + ( 1
2b)2(b. h) = 4
12hb3 = 1
3hb3
3.2.3 Momen Inersia Penampang Segitiga
b
dF dy
y
b
sb x
sb x sb x 2/3h
1/3h
sb x II alas dF = b’dy
= 2⁄ h−y3h
b’ = b (2 3⁄ − y h⁄ )
− 1 3⁄ h ≤ y ≤ 2 3⁄ h
Ix = ∫−1 32⁄ h3⁄ hy2dF = ∫−1 32⁄ h3⁄ hy2{ b(2 3⁄ − y h⁄ )}dy = ∫−1 32⁄ h3⁄ h(2 3⁄ by2− byh3) dy
= |2by93−by4h4| 2⁄ ℎ3
−1 3⁄ ℎ
= (16 bh2433−16 bh324 h4) − (− 2 bh2433−324 hbh4 ) = (24318 −324 15) bh3
= bh3
81 (183 −154 ) = bh3
81 (94) = 1
36 bh3
Bila sb x’ // sb x berimpit dengan alas
Ix’ = Ix + yo2 . F (RUMUS) = 1
36 bh3+ (1 3⁄ h)2 . (bh2 ) = 1
36 bh3+181 bh3 = 1
12 bh3 Bila sb” // sb x lewat puncak Ix” = Ix + yo2 . F = 1
36 bh3+ (2 3⁄ h)2 . (bh2 ) = 1
36 bh3+184 bh3 = 1
4 bh3
3.2.4 Momen Inersia Lingkaran
sby dF
b
dx ds
dy
y = R Cos α α dα sbx
R sin α α
y = R cos x ds = R . dx dy = ds . sin 𝛼 = R sin 𝛼 𝑑𝛼 b = 2 R sin 𝛼
y = R cos α dF = b . dy = 2𝑅2sin2𝛼 𝑑𝛼
Ix = ∫ 𝑦
2𝑑𝐹
= ∫ (𝑅
0𝜋 2cos
2𝛼) (2 𝑅
2sin
2𝛼) 𝑑𝛼
= 2 𝑅
4∫ sin
0𝜋 2𝛼 cos
2𝛼 𝑑𝛼
= 2 𝑅
4∫ (1 2
0𝜋⁄ sin2α)
21 2 ⁄ 𝑑 (2𝛼) =
2 𝑅48
∫ (sin2α)
0𝜋 2𝑑 (2𝛼) =
𝑅44
∫ (
0𝜋 1−cos 4𝛼2) .
12𝑑 (4𝛼) =
𝑅416
∫ (1 −
0𝜋cos 4𝛼) 𝑑(4𝛼) =
𝑅416
|4𝛼 − cos 4𝛼 |
𝜋0=
𝑅416
{(4𝜋 − 0) − (0 − 0)}
=
𝜋𝑅44
KARENA SIMETRIS Iy = Ix =
𝜋𝑅44
Momen Inersia terhadap sumbu yang melaui titik berat penampang:
a. Empat persegi Panjang
b. Segitiga sama kaki
c. Segitiga siku – siku
d. Segitiga tidak sama kaki
e. Lingkaran
f. Setengah Lingkaran
Contoh Soal:
1. Diketahui penampang gabungan berbentuk seperti gambar berikut ini.
F1
F2 30
10 10
40
``
20
Tentukan Momen Inersia arah x dan arah y (Ix dan Iy) penampang gabungan tersebut.
Penyelesaian:
F1
F2 30
10 10
40
``
20 5
20
20 5
Sb x Sb y
15
10
𝑭𝟏 = 𝟏𝟎𝒙𝟒𝟎 = 𝟒𝟎𝟎𝒄𝒎𝟐 𝑭𝟐 = 𝟐𝟎𝒙𝟏𝟎 = 𝟐𝟎𝟎𝒄𝒎𝟐
𝑥
0= 𝐹1. 𝑥1 + 𝐹2. 𝑥2 𝐹1 + 𝐹2
𝒙𝟎=𝟒𝟎𝟎𝒙𝟓 + 𝟐𝟎𝟎𝒙𝟐𝟎 𝟒𝟎𝟎 + 𝟐𝟎𝟎 𝒙𝟎=𝟐𝟎𝟎𝟎 + 𝟒𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒙𝟎=𝟔𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒙𝟎= 𝟏𝟎 𝒄𝒎
𝑦
0= 𝐹1. 𝑦1 + 𝐹2. 𝑦2 𝐹1 + 𝐹2
𝒚𝟎= 𝟒𝟎𝟎𝒙𝟐𝟎 + 𝟐𝟎𝟎𝒙𝟓 𝟒𝟎𝟎 + 𝟐𝟎𝟎 𝒚𝟎= 𝟖𝟎𝟎𝟎 + 𝟏𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎 𝒚𝟎= 𝟗𝟎𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎
𝒚𝟎= 𝟏𝟓 𝒄𝒎
Jadi titik berat penampang adalah : (10; 15)
F1
F2
`
`
5 20
20 5
Sb x Sb y
15
10 5
5 10
10
𝐼𝑥 = 𝐼𝑥
1+ 𝐼𝑥
2𝐼𝑥
1= 1
12 𝑏 × ℎ
3+ (𝑦
1× 𝐹
1) 𝐼𝑥
1= 1
12 10 × 40
3+ (5
2× 400) 𝐼𝑥
1= 53333,33 + 10000
𝐼𝑥
1= 63333,33 𝑐𝑚
4𝐼𝑥
2= 1
12 𝑏 × ℎ
3+ (𝑦
2× 𝐹
2) 𝐼𝑥
2= 1
12 20 × 10
3+ (10
2× 200) 𝐼𝑥
2= 1666,67 + 20000
𝐼𝑥
2= 3666,67 𝑐𝑚
4Maka
𝐼𝑥 = 𝐼𝑥
1+ 𝐼𝑥
2𝐼𝑥 = 6333,33 + 3666,67 𝐼𝑥 = 10000 𝑐𝑚
4𝐼𝑦 = 𝐼𝑦
1+ 𝐼𝑦
2𝐼𝑦
1= 1
12 ℎ × 𝑏
3+ (𝑥
21× 𝐹
1) 𝐼𝑦
1= 1
12 40 × 10
3+ (5
2× 400) 𝐼𝑦
1= 3333,33 + 10000
𝐼𝑦
1= 13333,33 𝑐𝑚
4𝐼𝑦
2= 1
12 ℎ × 𝑏
3+ (𝑥
22× 𝐹
2) 𝐼𝑦
2= 1
12 10 × 20
3+ (10
2× 200) 𝐼𝑦
2= 6666,67 + 20000
𝐼𝑦
2= 26666,67 𝑐𝑚
4Maka
𝐼𝑦 = 𝐼𝑦
1+ 𝐼𝑦
2𝐼𝑦 = 13333,33 + 26666,67
𝐼𝑦 = 40000 𝑐𝑚
4Y0
dy2
dy1 Y1
Y2
Latihan
1. Suatu balok yang memiliki bentuk tampang T, dengan ukuran yang tercantum pada Gambar berikut. Hitung nilai momen inersia ekstrim dari tampang balok tersebut.
I 10 cm
II
75 cm
45 cm 30 cm 45 cm
4 BAB IV
TEGANGAN NORMAL
Deskripsi Singkat : Pada bab ini berisi tentang Analisa Tegangan Normal Mata Kuliah
Prasyarat :
Wajib/Pilihan : Wajib Praktik Studio : Tidak ada Praktikum : Tidak ada Tujuan spesifik mata kuliah
Tujuan : Mahasiswa diharapkan mampu menganalisa tegangan dan deformasi normal akibat beban.
Capaian
Pembelajaran : (a) Kemampuan untuk menganalisa tegangandan deformasi normal
Topik yang dibahas 1. Tegangan normal 2. Deformasi normal 4.1 Tegangan normal
Tegangan normal adalah besaran yang timbul akibat gaya normal (N) pada suatu tampang balok yang tersebar secara merata pada luasnya (Ϝ)
Rumus : 𝜎𝑛 = Tegangan Normal
Ν = Gaya Normal Ϝ = Luas Tampang Bila N tarik maka 𝜎𝑛 positif
N tekan maka 𝜎𝑛 negatif
4.2 Deformasi Normal
Suatu batang lurus AB sepanjang L ditarik 𝜎𝑛= Ν
Ϝ
p
B’
A B
𝐿 ∆𝐿
oleh gaya normal ρ memanjang ∆L
Hukum Hooke : ↪ 𝜎 = 𝜌Ϝ
∆𝐿 =𝜎 . 𝐿Ε
∆𝐿
𝐿 = 𝜎Ε ↪ ∆𝐿𝐿 = ℇ
ℇ =σΕ ℇ = specific ukur
↪ ∆𝐿 = ℇ. 𝐿
∆L = perubahan panjang L = panjang mula-mula 𝜌 = gaya normal Ε = modulus elastis
Ϝ = luas tampang yang konstan Contoh soal :
1.
Suatu batang prismatis engan penampang berubah Ϝ1 dan Ϝ2 dan beban tetap ρ
𝜎
1, 𝜎
2= ?
∆ L
1, ∆L
2= ? 𝜎
1=
Ϝ𝜌1
, ∆𝐿
1