• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKUMEN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIRSPRUNG

N/A
N/A
Dimas J Pratama

Academic year: 2024

Membagikan "DOKUMEN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIRSPRUNG"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIRSPRUNG

ANGGOTA KELOMPOK:

Ayat Sri Maryati 22090270035

Erni Apriani 22090270016

Dimas Janu Pratama 22090270026 R Nurwidiya Kartika Bella 22090270038

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

SEMESTER GANJIL 2022-2023

(2)

DAFTAR ISI

BAB I...3

PENDAHULUAN...3

A. Latar Belakang...3

B. Tujuan...5

BAB II...6

TINJAUAN PUSTAKA...6

A. Definisi...6

B. Epidemologi...7

C. Etiologi...7

D. Patofisiologi...8

E. Pemeriksaan Diagnostik...9

F. Penatalaksanaan...11

G. Pengkajian...14

H. Diagnosa Keperawatan...16

I. Intervensi Keperawatan...17

J. Evaluasi...19

K. WOC...20

BAB III...21

PENUTUP...21

A. KESIMPULAN...21

B. SARAN...21

DAFTAR PUSTAKA...22

(3)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus besar merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 m yang terdiri dari sekum, kolon, dan rectum.

Dimana diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Semakin ke bawah menuju rectum, diameternya akan semakin kecil (Izadi M, 2007). Secara fisiologis, usus besar berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan elektrolit. Selain itu, usus besar juga berfungsi untuk menyimpan feses, dan mendorongnya keluar. Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi usus besar sangat berkaitan dengan sel ganglion pada submukosa (Meissner’s) dan pleksus myenteric (Aurbach’s) pada usus besar bagian distal.

Apabila sel ganglion tersebut tidak ada, maka akan timbul penyakit yang disebut Hirschsprung’s Disease (Izadi M, 2007).

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.

Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak ada lion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.

Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.

(4)

Penyakit hirscsprung adalah penyebab langka obstruksi usus neonatus yang sangat menarik bagi ahli bedah anak di seluruh dunia. prevalensi menunjukkan beberapa heterogenitas geografis dengan kejadian 10.000 kelahiran di Eropa dan 5343 di Jepang. dr harald Hirschsprung, seorang dokter anak Denmark dari rumah sakit Queen Louise Childrens, copenhagen, menyajikan deskripsi yang paling jitu dan ringkas tentang

"megakolon kongenital" di masyarakat pediatri di berlin 1886. risalahnya berjudul

"sembelit pada bayi baru lahir karena dilatasi dan hipertrofi dari usus besar". pada saat itu, dia tidak mengetahui laporan sebelumnya tentang subjek tersebut. dia mempresentasikan spesimen usus besar patologis dan laporan kasus dari dua bayi laki-laki yang memiliki gejala konstipasi segera setelah lahir dan yang akhirnya meninggal pada usia 11 bulan dan 8 bulan. pasien pertama gagal buang air besar saat lahir dan membutuhkan enamas berulang untuk menghilangkan obstruksinya.

Hirschsprungs observasi diterbitkan pada tahun 1904 sebagai bab buku teks pertama yang dikhususkan untuk dilatasi kongenital usus besar dalam "traite des maladies de I'enfance" (edisi ke-2). tahun 2016 adalah peringatan seratus tahun yang patut dicatat, karena dr harald hirschsprung lahir pada tahun 1930 meninggal pada tahun 1916 pada usia 86 tahun. dengan dunia sekarang lebih sadar akan kondisi umum ini, laporan tambahan yang menjelaskan temuan klinis serupa mulai muncul dalam literatur. banyak dari laporan ini berkaitan dengan pasien dewasa dengan riwayat konstipasi yang singkat dan studi otopsi yang atipikal atau tidak memadai yang kemungkinan memiliki diagnosis lain.

dalam kaitannya dengan intervensi bedah. perthes menjelaskan reseksi transanal dari lipatan dan katup dubur pada tahun 1905, dan finney pada tahun 1908 dan barington-ward pada tahun 1915 melaporkan "keberhasilan sementara" setelah reseksi usus dilatade.

pasien terus memburuk dan etiologi kondisi ini tetap sulit dipahami. pada tahun 1920, dalla Valla memberikan pencerahan baru pada subjek ketika ia melaporkan tidak adanya sel ganglion di kolon sigmoid pada dua bersaudara yang memiliki sel ganglion normal di kolon proksimal. pengamatan ini dikuatkan oleh cameron 8 tahun kemudian.

Sejak presentasi klinis oleh Harald Hirschsprung di berlin pada tahun 1886, kondisi yang menyandang namanya memiliki sejarah yang kaya. peristiwa ini yang mempengaruhi kemajuan dalam pemahaman dan pengelolaan gangguan kongenital yang kompleks ini telah dibahas secara singkat dalam tinjauan sejarah ini. lebih dari 100 tahun yang lalu, kondisi itu dianggap tidak dapat disembuhkan dan secara seragam berakibat fatal dari waktu ke waktu. angka kematian terus tinggi di tahun 1940-an (70%) dan tetap tinggi

(5)

bahkan di tahun 1970-an (25%). tidak termasuk kasus dengan kelainan kromosom atau komorbiditas lanjut. sementara kematian telah membaik, masih banyak yang harus dipelajari. mengapa beberapa pasien dengan HSCR berkinerja buruk setelah perbaikan operasi tetap menjadi teka-teki. demikian pula, manajemen yang tepat dari banyak pasien dengan varian HSCR perlu dijelaskan lebih jelas. studi lanjutan tentang ENS dan genetika molekuler dari kondisi ini dapat menjelaskan lebih lanjut masalah ini dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pilihan manajemen di masa depan untuk anak-anak yang terkena dampak.

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mendapatkan pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Hisprung dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khususnya diharapkan penulis mampu dalam:

a. Melakukan pengkajian dan asuhan keperawatan pada pasien dengan Hisprung b. Menganalisis data dari asuhan keperawatan pada pasien dengan Hisprung

c. Membuat rencana keperawatan pada pasien dengan Hisprung untuk dilakukan tindakan keperawatan.

d. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan Hisprung sesuai rencana keperawatan yang telah disusun.

e. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Hisprung dengan menggunakan SOAP.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011).

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus (Imseis dan Gariepy, 2012).

Hirschsprung merupakan kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus Auerbach dan pleksus meisneri pada kolon, 90% terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat menegani seluruh kolon bahkan seluruuh usus (Total colonic Aganglionois). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada Gerakan peristaltic sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pad akolon yang lebih proksimal.

Macam-macam Penyakit Hirschprung. Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :

1. Penyakit Hirschprung segmen pendek

Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.

2. Penyakit Hirschprung segmen Panjang

Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)

(7)

B. Epidemologi

kejadian penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan mayoritas penderita adalah laki- laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1. Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga penyakit Hirschprung dan pada pasien penderita Syndrome Down, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung juga memiliki trisomi 21. Kejadian pada bayi laki-laki lebih banyak. daripada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidensi pada kasus-kasus dengan faktor risiko familial yang rata-rata mencapai 6% (Mustaqqin dan Sari, 2011). Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5 sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12,5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang menderita kebanyakan mengalami long segment aganglionosis (Kapur, 2009).

C. Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis myentericus dari cephalon ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal. penyebab penyakit hisprung atau megacolon itu sendiri belum diketahui tetapi diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukosa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.

(8)

D. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.

Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).

Gambaran klinis penyakit hirsprung dapat dibedakan pada usia, sebagai berikut (Ball, J. et al., 2017):

1. Periode Neonatal

Ada trias gelaja klinis: pengeluaran meconium yang terlambat, muntah berwarna hijau, adanya distensi abdomen merupakan gejala klinis yang sering ditemukan pada usia neonatus. Gejala klinis yang paling khas adalah meconium akan kelaur lebih dari 24jam pertama kehidupan. Bila meconium dapat segera dikeluarkan, muntah hijau dan distensi abdomen biasanya berkurang. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur biasanya feses akan keluar menyemprot.

2. Periode Anak-Anak

Konstipasi kronis dan gizi buruk adalah gejala klinis yang paling menonjol pada anak.

Tidak mampu mengeluarkan feses tanpa obat pencahar atau enema. Anak juga akan menunjukan pertumbuhan dan perkembangan yang lambat, serta tampak kurang energi karena kekurangan sel darah merah. Biasanya anak juga akan memiliki siklus buang air besar yang tidak teratus, bahkan sekali dalam beberapa hari.

Gejala pada anak yang lebih besar karena gejala tidak jelas pada waktu lahir, Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir, distensi abdomen bertambah, serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling, terganggu tumbang karena sering diare, feses bentuk cair, butir- butir dan seperti pita, perut besar dan membuncit, kegagalan lewatnya mekonium dalam

(9)

24 jam pertama kehidupan, konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita, obstruksi usus dalam periode neonatal, nyeri abdomen dan distensi, (Suriadi, 2001 : 242). Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.

Komplikasi yang muncul pasca bedah menurut Suriadi (2011: 241) yaitu:

1. Enterokolitis (akut), disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran en dotoxin.

2. Stenosis striktura ani, disebabkan karena gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan relaksasi karena ada kolostomi sehingga terjad i kekakuan ataupun penyempitan

3. Obstruksi usus, dapat disebabkan karena penumpukan feses pada daerah spur (duha mel), striktur (soave dan swenson), atau penyempitan pada muscular cuff (soave) 4. Inkontinensia (jangka panjang), sfingter yang abnormal bias diakibatkan karen

a injuri saat dilakukan pullthrough atau myectomy atau sphincterotomy sebelumnya

E. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung.

1. Foto Abdomen Polos

Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada usus, tanda obstruksi usus (Lakhsmi, 2008) Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar untuk menentukan diagnosis Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema. Pada bayi dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian distal yang tidak dilatasi mudah terdeteksi (Ramanath,2008). Pada total aganglionsis colon, penampakan kolon normal. Barium enema kurang membantu penegakan diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering tidak tampak. Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak, antara lain; terdapat penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang yang bervariasi; terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow zone) sampai ke daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian proksimal zona transisi (Schulten,2011)

2. Barium Enema

Dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi. terlihat usus usus melebar atau terhadap gambaran obstruksi usus rendah.

(10)

b. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Foto radiografi diambil segera setelah injeksi kontras dan 24 jam selanjutnya. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang bercampur dengan feses kearah proksimal kolon (Trisnawan dan Darmajaya, 2009).

c. Ditemukan daerah transmisi, gambaran kontraksi usus, yang tidak teratur dibag.

Yang menyempit, enterkolitik pada segmen yang melebar, terhadap retensi barium setelah 24-48 jam.

3. Pemeriksaan Colok Dubur

Jari akan merasa jepitan pada waktu. Ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan meconium ata tinja yang menyemprot.

4. Biopsy Isap

Mengambil mukosa, sub mukosa dengan alat penghisap. Dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa. submukosadilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm proksimal dari anal verge. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada spesimen, tempat spesimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian dari spesialis patologi anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%

(Rahman, Hannan dan Islam, 2010). Apabila hasil biopsi isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach

5. Biopsy Otot Rectum

Pengambilan otot rectum (dilakukan dibawah narkose yang bersifat traumatik). Di samping itu teknik ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi (Kartono, 2010).

6. Manometri Anorectal

kateter dengan balon dipasang ke dalam rectum. Tes ini mencatat respons tekanan refleks sfingter anal internal terhadap distensi balon. Respon normal adalah relaksasi sfingter internal, diikuti dengan kontraksi sfingter eksternal. Pada penyakit hisprung, sfingter eksternal berkontraksi secara normal tetapi sfingter internal gagal untuk relaksasi (Mendri and Prayogi, 2018).

Untuk mencatat respon respon refleks spingter interna dan eksterna. Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya,

(11)

manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan (Trisnawan dan Darmajaya, 2009).

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah : a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi

b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik

c. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses

d. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Pensabene et al., 2003).

Pada neonates penegakan diagnose dicurigai berdasarkan adanya tanda klinis obstruksi usus atau kegagalan mengeluarkan meconium. Pada bayi dan anak-anak, Riwayat merupakan bagian penting dari diagnose dan biasanya mencakup adanya sembelit kronis. Pada pemeriksaan rectum dalam keadaan tidak ada feses, sfingter internal biasanya sempit, ada kebocoran feses dengan konsistensi cair dan akumulasi gas dapat terjadi jika segmen aganglionik pendek. Enema kontras sering menunjukan zona transisi antara kolon proksimal yang berdilatasi (megacolon) dan segmen distal aganglionik. Tetapi, megacolon khas dan segmen distal sempit ini mungkin tidak berkembang sampai usia 2 bulan atau lebih (Mendri and Prayogi, 2018).

F. Penatalaksanaan

1. Medis

Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tubuh (Pieter, 2005).

Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.

(12)

Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.

Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medik berhasil dan direncanakan bedah definitif langsung. Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap.

Indikasi kolostomi adalah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pasca bedah, dengan kolostomi pasien akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum. Pada pasien yang tidak termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat langsung dilakukan tindakan bedah definitif (Kartono, 2010).

Pilihan bedah bervariasi tergantung pada usia pasien, status mental, kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, panjang segmen aganglionik, derajat dilatasi kolon, dan kehadiran enterokolitis. Pilihan bedah kolostomi termasuk pada tingkat usus normal, irigasi rektal diikuti oleh reseksi usus dan prosedur kolostomi (Mustaqqin dan Sari, 2011).

Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah rektum.

Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besaru ntuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga no rmal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahap pembedahan pertama dengan kolostomi. loop atau double barrel dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilata si dan hipertropi dapat Kembali menjadi normal dalam waktu 3-4 bulan . Terdapat pros edur dalam pembedahan diantaranyaa:

a. Prosedur duhanel biasanya dilakukan terhadap bayi kurang dari 1 tahun dengan car a penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang u

(13)

sus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionikdan bagian po sterior kolon normal yang telah ditarik.

b. Prosedur Swenson membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pem otongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.

c. Prosedur soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dengan cara membiarka n dinding otot dari segmen rectum tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antarakolon normal dan ja ringan otot rektosigmoid yang tersisa.

2. Keperawatan

Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketida kmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :

a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak seca ra dini

b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.

c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).

d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.

Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak - anak dengan malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. H al ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga ad anya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutr isi parenteral total (NPT).

Perencanaan pulang dan perawatan dirumah :

Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi jangka pa njan berikut ini:

a. Stenosis dan kontriksi b. Inkontinensia

c. Pengosongan usus yang tidak adekkuat

Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak.

a. Siapkan alat untuk pelaksanaan kolostomi

(14)

c. Jelaskan pada anak dan orang tua prosedur yg akan digunakan

d. Lapaskan kantung kolostomi dan lakukan pembersihan daerah kolostomi e. Periksa adanya kemerahan dan iritasi

f. Pasang kantung kolostomi di daerah stoma g. Tutup dan lakukan fiksasi dengan plester h. Cuci tangan

G. Pengkajian

1. Anamnesis

Tanyakan apakah ada Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, yang pada keadaan normal keluar dalam 24 jam. Adanya muntah berwarna hijau. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi dan kesulitan untuk buang gas (flatus) (Hidayat, 2009).

2. Identitas Klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada neonatus), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan orang tua, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis. Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensiabdomen, kembung, muntah.

a. Keluhan Utama Klien

Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdo men, kembung, muntah.

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Yang diperhatikan adanya keluhan meconium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal. Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.

c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, Riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, Riwayat alergi, imunisasi.

d. Riwayat Nutrisi

(15)

Meliputi : Apakah ada penurunan BB (minimal +- 10% dibawah rentang normal, Adakah penurunan hasil laboratorium (serum Albumin), Bagaimana kondisi klinis pasien seperti; membran mukosa pucat/tidak, adakah sariawan, adakah rambut rontok yang berlebihan, Bagaimana masukan diet pada anak dan pola makan anak, adakah penurunan nafsu makan.

e. Riwayat Psikologi

Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.

f. Riwayat Kesehatan Keluarga

Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita hircshprung.

g. Riwayat Tumbuh Kembang

Tanyakan sejak kapan, berapalama klien merasakan sudah BAB.

3. Pemeriksaan Fisik

Bayi yang baru lahir jarang dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi sehingga pemeriksaan fisik pada kasus penyakit Hirschspung sering dilakukan setelah beberapa jam kemudian,

a. Inspeksi (melihat)

Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang. Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding abdomen .

b. Auskultasi (mendengar)

pada pasien penyakit Hirschsprung sering di dengar suara berisi suatu masa ataupun kontraksi usus yang meningkat, penurunan bising usus, dan suara timpani akibat abdominal mengalami kembung.

c. Palpasi (meraba)

akan teraba dilatasi kolon pada abdominal. Namun pada anak-anak, perut buncit dan di tambah tidak mengeluarkan mekonium (kotoran pertama) dapat dipertimbangkan bahwa penyebabnya adalah penyakit Hirschprung (Lee, 2012;

Mustaqqin dan Sari, 2011). Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi (Mustaqqin dan Sari, 2011)

4. Pre Operasi

a. Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital, asupan dan keluaran)

(16)

c. Kaji adanya tanda-tanda enterocolitis

d. Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap pembedahan yang akan dating

e. Kaji tingkat nyeri yang dialami anak 5. Post Operasi

a. Kaji status pembedahan anak (tanda tanda vital, distensi abdomen, bising usus) b. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan

c. Kaji adanya komplikasi

d. Kaji adanya tanda tanda infeksi e. Kaji tingkat nyeri yang dialami anak

f. Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan

g. Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan pengobatan dan perawatan yang berkelanjutan

H. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis penyakit Hirchsprung harus ditegakkan sedini mungkin. Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiologi, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum dan manometri, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan (Kartono, 2010) Diagnose Pre Operasi:

1. Konstipasi b.d Aganglionik

2. Defisit nutrisi b.d intake tidak adekuat

3. Resiko Hipovolemia b.d kehilangan cairan secara aktif muntah dan diare 4. Gangguan rasa nyaman b.d adanya distensi abdomen

5. Ansietas (pada orang tua) b.d kurang terpapar informasi Diagnose Post Operasi:

1. Nyeri b.d insisi pembedahan

2. Risiko infeksi b.d kontaminasi feses, kurang pengetahuan keluarga dalam merawat klien

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terpajan dari feses sekunder akibat kolostomi atau ileostomi

(17)

I. Intervensi Keperawatan

1. Konstipasi b.d Aganglionik.

Tujuan : Setelah dilakukan Tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan eliminasi teratasi dengan kriteria hasil :

Defekasi normal

Tidak distensi abdomen Intervensi :

a. Monitor cairan yang keluar dari kolostomi

Rasional : mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana selanjutnya

b. Pantau jumlah cairan kolostomi

Rasional : jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian cairan

c. Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi

Rasional : untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu 2. Defisit nutrisi b.d intake tidak adekuat

Tujuan : Setelah dilakukan Tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil :

Reflek hisap kuat Intervensi :

a. Berikan nutrisi parental sesuai kebutuhan

Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan b. Pantau pemasukan makanan selama perawatan

Rasional : mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori c. Pantau atau timbang berat badan

Rasional : mengetahui perubahan berat badan

3. Resiko Hipovolemia b.d kehilangan cairan secara aktif muntah dan diare.

Tujuan : Setelah dilakukan Tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria hasil :

Tidak mengalami dehidrasi Turgor kulit normal

Intervensi :

a. Monitor tanda – tanda dehidrasi

(18)

b. Monitor cairan yang masuk dan keluar

Rasional : untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh c. Berikan cairan sesuai kebutuhan dan yang diprogramkan

Rasional : mencegah terjadinya dehidrasi

4. Gangguan rasa nyaman b.d adanya distensi abdomen.

Tujuan : Setelah dilakukan Tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan rasa nyaman teratasi dengan kriteria hasil :

Klien tenang Tidak menangis

Tidak mengalami gangguan pola tidur Intervensi :

a. Kaji terhadap rasa nyeri

Rasional : mengetahui tingkat nyeri dan menentukan Langkah selanjutnya b. Berikan Tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan

Rasional : upaya dengan distraksi dapat mengurangi nyeri c. Berikan obat analgesic sesuai program

Rasional : mengurangi persepsi terhadap nyeri yang kerjanya pada system saraf pusat

5. Ansietas (pada orang tua) b.d kurang terpapar informasi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan ansietas teratasi, dengan ktriteria hasil : Orang tua pasien tampak rileks

Intervensi :

a. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal)

Rasional: Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan cemas b. Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaaan

Rasional: Menciptakan suasana yang kondusif dalam perawatan, bina trust dapat terjalin

c. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis Rasional: Memberikan penguatan terhadap keluarga akan informasi

d.Ajarkan tehnik relaksasi

Rasional: Memberikan ketenangan dan mengurangi kecemasan 6. Nyeri b.d insisi pembedahan (prosedur operasi).

(19)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan tingkat nyer i menurun

Kriteria Hasil: Keluhan nyeri menurun, meringis menurun, sikap proteksti menurun, gelisah menurun, kesulitan tidur menurun, pola tidur membaik.

Intervensi: Manajemen Nyeri

a. Observasi, Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nye ri

b. Identifikasi skala nyeri

c. Identifikasi respon nyeri non verbal

d. Monitor efek samping penggunaan analgetik

e. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri f. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri

g. Fasilitasi istirahat tidur

h. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri i. Jelaskan strategi meredakan nyeri

j. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 6. Resiko Infeksi b.d efek prosedur invasive.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien menunjukkan tingkat Infeksi men urun

Kriteria Hasil: Nyeri menurun, kemerahan menurun, demam menurun, nafsu makan men ingkat, kebersihan tangan meningkat, kebersihan badan meningkat.

Intervensi: Pencegahan infeksi

a. Observasi Monitor tanda dan gejala infeksi lokal

b. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien c. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

d. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar e. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka operasi f. Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi

g. Kolaborasi pemberian antibiotic

J.Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan

(20)

tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Evaluasi terbagi ataus dua jenis, yaitu: Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan dan Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan berdasarkan tujuan dan kriteria hasil sesuai masalah keperawatan.

(21)

Tidak Adanya Sel Ganglion

Tidak Adanya Peristaltik Usus Secara Spontan Makanan Menumpuk Dicolon

Colon Dilatasi Megacolon

Pembedahan Colostomy

Nyeri Gangguan

Integritas Kulit Resiko Infeksi

Menekan Lambung Distensi

Abdomen Mual, Muntah

Anoreksia

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan

Penurunan jumlah cairan

Gangguan Keseimbangan cairan Nyeri

Meconium Terlambat Atau Tidak Ada Mekonium

Konstipasi

Gangguan Eliminasi Alvi

K. WOC

(22)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

B. SARAN

Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda Nurarif, Hardi Kusuma. 2015. Nanda NIC NOC. Yogyakarta : Mediaction

Bet2, Cecily, dkk. 2010. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC

Doengoes, Marilyn. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Wong, Donna L. 2010. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta : EGC

Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika.

Novita Verayanti Manalu, Monalisa Sitompul, Riama Marlyn Sihombing, Yenni Ferawati Sitanggang, Adventina Delima Hutapea, Rycco Darmareja, Bima Adi Saputra, Lina Berliana Togatorop, Lani Natalia Watania, Upik Rahmi, Umi Faridah, Imanuel Sri Mei Wulandari, Zuliani Zuliani, Tri Suwarto. Keperawatan system pencernaan. Yayasan kita menulis: 2021

Suriadi dan Yulaini, R. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi III. Jakarta: CV Sagung Seto

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Kelainan jantung yang berupa defek yang terdapat pada ventrikel disebut defek septum ventrikel (Ventricular Septal Defect, VSD).. Pada bagian ini tedapat lubang abnormal pada

Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan, dapat

Meningokel adalah penyakit kongenital dari kelainan embriologis yang disebut neural tube defect (NTD) yaitu adanya defek pada penutupan spina yang berhubungan

Patofisiologi kelainan kongenital pada sistem cardiovaskuler dan asuhan keperawatan pada anak: Paten Ductus Arteriosus (PDA), ventrikel Septal Defect (VSD), Tetralogi of

Sel mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya dapat berespon terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah

 Terdapatnya hambatan impuls supra atau intraventrikular Aritmia adalah kelainan eletrofisiologi dalam hal kecepatan, irama, tempat asal dari rangsangan (impuls), atau

Trakeomalasia merupakan suatu kelainan kongenital atau didapat, berupa suatu kelainan tunggal atau bagian dari kelainan lain yang menyebabkan penekanan pada jalan napas.. 3,4

Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel