• Tidak ada hasil yang ditemukan

download fullpapers ijph560211beb42full

N/A
N/A
Shally Mahardhikasari Putri

Academic year: 2023

Membagikan "download fullpapers ijph560211beb42full"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

130

Ade Saputra Nasution*, Albiner Siagian*, Ernawati Nasution*

*Program Studi Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara, Medan Korespondensi:

Ade Saputra Nasution

Universitas Sumatera Utara, Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan email: [email protected]

ABSTRACT

The grilled peppers (capsicum annum l) is a result of grilling peppers becoming soft peppers. The grilled pepper which are consumed by people are usually in form of mixed pepper. The sellers attenpt to make grilled peppers more attractivity, both thourgh its colour performance and its taste, they are using Rhodamin B, a kind of colour element, that make the grilled pepper has good red colour and need low cost compare to natural one. This research was descriptive using cromatography paper method with qualitative approach to know wether there is or no the usage of Rhodamin B in the grilled peppers and gravimetry with quantitative approach to know the dose of Rhodamin B. The samples was taken by purposive that were 10 traditional market seller in 5 traditional market in Medan city which consist of 2 each. Based on the research showed that from 10 samples of grilled peppers, there were a kind of grilled pepper has Rhodamin B. Those grilled peppers were coming from the first taken in Central Market. The test by quantitative to the positive sample has 0,419 grams per 100 grams of Rhodamin B. The grilled peppers which was coming from Central Market on the first taken are unsafe to consumed because it is not based on the health regulation. It is not based on the PERMENKES RI number 1168/Menkes/

Per/1999 and Decision of General Director of Food and Drug Control of Indonesia number 00386/C/SK/

II/1990 that the usage of Rhodamin B to the food are prohibited.

Keywords: the grilled pepper, Rhodamin B, traditional market

ABSTRAK

Cabe merah (capsicum annum l) giling adalah hasil dari proses penggilingan cabe merah menjadi cabe lunak. Cabe merah giling dikonsumsi masyarakat biasanya dalam bentuk bumbu campuran masakan. Pedagang berusaha menampilkan cabe merah giling menarik bagi konsumen baik dari segi warna maupun rasa. Hal inilah yang membuat beberapa pedagang menggunakan Rhodamin B sebagai bahan pewarna, agar cabe merah giling yang dihasilkan lebih merah serta biaya produksi rendah jika dibandingkan dengan pewarna alami. Penelitian ini adalah deskriptif, dengan menggunakan metode kromatografi kertas secara kualitatif untuk mengetahui ada tidaknya penggunaan Rhodamin B dalam cabe merah giling, dan metode gravimetri secara kuantitatif untuk mengetahui kadar Rhodamin B.

Sampel diambil secara purposif, yaitu sepuluh pedagang cabe merah giling dari lima pasar tradisional kota Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dari sepuluh sampel cabe merah giling yang diperiksa, terdapat satu cabe merah giling yang mengandung Rhodamin B. Cabe merah giling ini berasal dari pengambilan pertama di Pusat pasar. Pemeriksaan secara kuantitatif terhadap sampel yang positif mengandung Rhodamin B didapat kadarnya sebesar 0,4 gr dalam setiap 100 gr. Dengan demikian, cabe merah giling yang berasal dari Pusat pasar pada pengambilan pertama tidak aman dikonsumsi karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Berdasarkan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/1999 dan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No. 00386/C/SK/II/1990 bahwa penggunaan Rhodamin B ke dalam makanan dilarang.

Kata kunci: cabe merah giling, Rhodamin B, dan pasar tradisional

(2)

PENDAHULUAN

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk didalamnya adalah tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Pada hakikatnya pangan adalah kebutuhan dasar setiap insan manusia yang paling hakiki yang tidak dapat dihindari untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di muka bumi. Karena pangan inilah manusia dapat tumbuh dan berkembang baik fisik, mental maupun otaknya, sehingga pangan menjadi sangat penting peranannya bagi manusia di dalam meningkatkan kualitas intelektualitas dan produktivitas kerjanya (Seto, 2001).

Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam prakteknya masih banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini, telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai risiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan makanan yang berbahaya (Syah dkk, 2005).

Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi menyangkut kepedulian dari individu. Jaminan keamanan pangan merupakan hak asasi dari setiap konsumen. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan. Keamanan pangan menjadi pertimbangan pokok dalam perindustrian.

Karena keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring

dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan, sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).

Dalam kehidupan sehari-hari bahan tambahan pangan sudah digunakan secara umum oleh masyarakat, termasuk dalam pembuatan makanan jajanan. Dalam praktiknya masih banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan (Syah dkk, 2005).

Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi, dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan dan pembangunan gizi nasional merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008).

Seiring berkembangnya teknologi, produksi instan sangat digemari oleh masyarakat karena mudah, cepat dan murah. Inilah salah satu faktor pemicu semakin berkembang dan dibutuhkannya bahan tambahan pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan dewasa ini sangat beragam, dari pengawet sampai pemberi aroma dan pewarna. Berkembangnya bahan tambahan pangan mendorong pula perkembangan makanan hasil olahan pabrik, yakni bertambah aneka ragam jenisnya serta

(3)

cita rasa maupun kenampakannya (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Cabe giling merupakan hasil penggilingan cabe merah segar, dengan atau tanpa bahan pengawet. Umumnya cabe giling diberi garam sampai konsentrasi 20%, bahkan ada mencapai 30%. Cabe merah giling banyak digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga maupun pedagang pangan olahan karena praktis (Hardinsyah dan Sumali, 2001).

Adanya produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang pada produknya disebabkan karena pengetahuan yang tidak memadai mengenai bahaya penggunaan bahan kimia seperti rhodamin B pada kesehatan dan juga karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih sangat rendah. Rhodamin sering disalahgunakan ke dalam bahan pangan sebagai pewarna karena harganya relatif lebih murah daripada pewarna sintetis yang aman untuk pangan, warna yang dihasilkan rhodamin B lebih menarik dan tingkat stabilitas warnanya lebih bagus daripada pewarna alami.

Rhodamin B merupakan zat yang apabila diamati dari segi fisiknya cukup mudah untuk dikenali. Bentuk rhodamin seperti kristal, biasanya berwarna hijau atau ungu kemerahan. Selain itu rhodamin juga tidak berbau serta mudah larut dalam larutan berwarna merah terang berfluorescen. Zat pewarna ini mempunyai banyak sinonim, antara lain D and C Red no 19, Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine dan Brilliant Pink B (Syah dkk, 2005).

Rhodamin B (C28N31N2O3CL) adalah bahan kimia sebagai pewarna dasar untuk berbagai kegunaan, semula zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya yang berfluorensi. Rhodamin B. Rhodamin B seringkali disalahgunakan untuk pewarna pangan dan pewarna kosmetik, misalnya sirup, lipstik, pemerah pipi, dan lain-lain.

Pewarna ini terbuat dari dietillaminophenol

dan phatalic anchidria di mana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia.

Biasanya pewarna ini digunakan untuk pewarna kertas, wol dan sutra (Djarismawati, 2004).

Zat pewarna seperti halnya citarasa, juga merupakan suatu pelengkap daya tarik makanan, minuman, serta bumbu masak.

Penambahan zat warna dalam makanan, minuman, dan bumbu masak seperti cabe giling mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap selera dan daya tarik konsumen. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 28 tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/

Menkes/Per/X/1999, rhodamin B merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan. Tetapi penggunaannya masih terus digunakan oleh produsen dalam mewarnai produk makanan dan minuman yang dihasilkannya seperti untuk mewarnai terasi, gulali, kerupuk, saus tomat, cabai giling dan minuman sirup (Cahyadi, 2008).

Rhodamin B juga disalahgunakan pada produk kosmetik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widana dan Ni (2007) menyatakan bahwa dari 14 (empat belas) merek kosmetika jenis lipstik yang ditemukan di wilayah Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng yang dianalisis, ditemukan 5 (lima) merek yang mengandung pewarna berbahaya jenis merah K.10 atau Rhodamin B.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2004 menyatakan bahwa cabe merah giling di DKI Jakarta mengandung zat pewarna yang tidak diizinkan untuk dimakan seperti Rhodamin B. Penggunaan Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) serta dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Walaupun penggunaan Rhodamin B telah dilarang digunakan tetapi ada produsen yang sengaja menambahkan zat

(4)

Rhodamin B pada produk cabe merah giling sebagai pewarna merah. Alasan penggunaan pewarna ini adalah untuk memperbaiki warna merah cabe yang berkurang (menjadi pudar) akibat penambahan bahan campuran seperti wortel dan kulit bawang putih (Djarismawati, 2004).

Bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B. Bila Rhodamin B tersebut masuk melalui makanan maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang berwarna merah maupun merah muda.

Sedangkan menghirup Rhodamin B dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, yakni terjadinya iritasi pada saluran pernapasan.

Demikian pula apabila terkena kulit akan mengalami iritasi. Mata yang terkena Rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau oedem pada mata (Yuliarti, 2007).

penelitian ini adalah untuk mengetahui pemakaian zat pewarna Rhodamin B pada cabe merah giling yang diproduksi oleh pedagang di beberapa pasar tradisional di Kota Medan.

METODE PENELITIAN

penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat dekstriptif yaitu untuk mengetahui ada tidaknya Rhodamin B pada cabe merah giling dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode kromatografi kertas dan untuk mengetahui kadar Rhodamin B secara kuantitatif dengan metode gravimetri.

dilaksanakan di beberapa pasar tradisional di Kota Medan yaitu:

Pasar Peringgan, Pasar Sukaramai, Pasar Sei Sikambing, Pusat Pasar, Pasar Aksara.

Waktu penelitian berlangsung dari pada bulan Maret sampai Agustus 2009.

penelitian adalah cabe merah giling yang diproduksi sendiri oleh pedagang di lima pasar tradisional di Kota Medan.

sampel menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan bahwa cabe merah giling berasal dari pedagang, diambil dari pedagang yang paling banyak menjual cabe merah giling dan paling ramai dikunjungi pembeli, di mana cabe merah giling yang dijual pedagang adanya perbedaan warna.

Kemudian dari masing-masing pedagang tersebut sampel diambil sebanyak 100 gram dari dua pedagang dalam satu pasar dan dimasukkan ke dalam masing-masing plastik lalu sampel dibawa untuk diperiksa di Balai Laboratorium Kesehatan Kota Medan.

Pemeriksaan Kualitatif

campuran senyawa menjadi senyawa murni dan mengetahui kuantitas.

Kemurnian bahan atau komposisi campuran dengan kandungan yang berbeda dapat dianalisis dengan benar. Kontrol kualitas, analisis bahan makanan dan lingkungan, tetapi juga kontrol dan optimasi reaksi kimia dan proses berdasarkan penentuan analitik dari kuantitas material. Teknologi yang penting untuk analisis dan pemisahan preparatif pada campuran bahan adalah kromatografi.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pengujian Rhodamin B secara kualitatif adalah gelas ukur, Labu Erlenmeyer, Beaker Glass, bejana kromatografi, kertas saring, Pipet Kapiler, Penangas Air (water bath), Timbangan Analitik, Benang Wool, Gunting, Pensil. Bahan yang digunakan adalah Cabe merah giling, Amonia 10%, Larutan KHSO3 10% dan Aquadest.

Prosedur Kerja

Masukan 50 gr sampel yang sudah dihaluskan ke dalam beaker glass, tambahkan 50 ml larutan KHSO3 10% dan

(5)

masukan benang wool secukupnya kemudian panaskan selama 10 menit. Setelah dingin cuci benang wool dengan air bersih. Amati warna yang terbentuk, apabila benang wool berwarna berarti ada zat warna tambahan.

Masukan benang wool ke dalam beaker glass kemudian tambahkan larutan amonia 10%. Panaskan di water bath hingga zat warna luntur dari benang wool. Larutan ini di uji dengan metode kromatografi kertas.

Larutan diteteskan di atas kromatografi kertas dengan menggunakan pipet kapiler dan biarkan mengering. Ulangi beberapa kali. Setelah itu kertas kromatografi dimasukkan ke dalam bejana (Chamber) yang sudah mengandung larutan eluen (pilih salah satu eluen yang cocok) eluen I (etilmetilketon:aseton:air = 70:30:30) dan eluen II (2 g NaCl dalam 100 ml etanol 50%). Kemudian bejana ditutup kemudian biarkan dua sampai tiga jam. Kertas kromatografi dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan di udara, kemudian amati bercak-bercak yang timbul (Cahyadi, 2008).

Penentuan zat warna dengan cara mengukur nilai Rf dari masing-masing bercak tersebut, dengan cara membagi jarak gerak zat terlarut oleh jarak zat pelarut.

Rf = Jarak gerak zat terlarut Jarak gerak zat pelarut

(Cahyadi, 2008).

Pemeriksaan Kuantitatif

Gravimetri adalah penentuan kadar unsur ataupun spesi kimia dengan cara mengukur berat hasil reaksi kimia tidak larut yang diketahui dengan pasti. Hasil reaksi yang tidak larut bisa berupa gas yang berasal dari suatu larutan atau residu padat yang tidak menguap, baik berasal dari penguapan pada suhu rendah maupun dari pemijaran pada suhu tinggi. Pada umumnya yang dimaksud senyawa tidak larut adalah endapan yang terbentuk di dalam suatu larutan dalam air (Gusdinar, 2008).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan secara gravimetri adalah oven, desikator, neraca analitik, gelas

ukur 50 ml, Beaker Glass 250 ml, Water Bath (Penangas Air) dan botol Aquadest.

Bahan yang digunakan secara gravimetri adalah n-Hexana, benang Wool, cabe merah giling, KHSO4, Aquadest.

Prosedur Kerja

Benang wool (± 20 cm) dicuci dengan n-Hexana, lalu dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (berat a). 30–50 sampel cair ditimbang dengan larutan KHSO4encer. Jika sampel padatan terlebih dahulu dicampurkan 25 gr sampel dengan air kemudian dihomogenkan, lalu diambil 30–50 ml dan ditambahkan dengan larutan KHSO4encer.

Masukkan benang wool yang sudah ditimbang di ke dalam larutan, lalu didihkan selama 30 menit. Benang wool diangkut dan dicuci dengan air panas. Benang wool dikeringkan dan ditimbang kembali (berat b) dan dihitung selisih berat benang wool sebelum dan sesudah perlakuan, itulah sebagai kadar zat warna (Cahyadi, 2008).

Perhitungan kadar zat warna yang digunakan adalah sebagai berikut:

Kadar zat warna = b – a berat sampel Keterangan:

a : Berat benang wool sebelum perlakuan

b : Berat benang wool sesudah penyerapan zat warna (Cahyadi, 2008).

HASIL

Pemeriksaan Kandungan Rhodamin B pada Cabe Merah Giling dari Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan

Hasil pemeriksaan cabe merah giling secara kualitatif terhadap penggunaan Rhodamin B dari sepuluh pedagang yang memproduksi sendiri di lima pasar tradisional kota Medan yang dilakukan pengujian di Balai Laboratorium Kesehatan Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan tabel 1. di atas dapat diketahui bahwa seluruh sampel yang diperiksa secara kualitatif, ada satu sampel sama perambatan zat warna cabe merah

(6)

Tabel 1. Hasil pemeriksaan kualitatif kandungan rhodamin b pada cabe merah giling di lima pasar tradisional kota Medan

Sumber Sampel Kode

Pengamatan terhadap Perambatan Zat Warna Sampel dan Zat Warna Baku

Banding Rhodamin B

Hasil Pengamatan

Pasar Peringgan A Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Peringgan B Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Sukaramai C Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Sukaramai D Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Sei Kambing E Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Sei Kambing F Tidak sama Rhodamin B (-)

Pusat Pasar G Sama Rhodamin B (+)

Pusat Pasar H Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Aksara I Tidak sama Rhodamin B (-)

Pasar Aksara J Tidak sama Rhodamin B (-)

Tabel 2. Hasil pemeriksaan kuantitatif kandungan rhodamin b pada cabe merah giling di lima pasar tradisional kota Medan

Sumber Sampel Kode Kuantitatif Kadar (gr)

Pasar Peringgan A Rhodamin B (-) -

Pasar Peringgan B Rhodamin B (-) -

Pasar Sukaramai C Rhodamin B (-) -

Pasar Sukaramai D Rhodamin B (-) -

Pasar Sei Kambing E Rhodamin B (-) -

Pasar Sei Kambing F Rhodamin B (-) -

Pusat Pasar G Rhodamin B (+) 0,419

Pusat Pasar H Rhodamin B (-) -

Pasar Aksara I Rhodamin B (-) -

Pasar Aksara J Rhodamin B (-) -

giling dengan zat warna baku banding Rhodamin B, berarti ada satu sampel yang mengandung Rhodamin B, sampel berasal dari Pusat Pasar pada pedagang pertama. Ini merupakan suatu kondisi yang tidak diharapkan karena Rhodamin B salah satu pewarna yang tidak diijinkan penggunaannya sesuai dengan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes /Per /IX/ 1988 dan diperkuat melalui Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No.

00386/C/SK/II/1990.

Hasi l Pemeri ksaan K andungan Rhodamin B pada Cabe Merah Giling Secara Kuantitatif dari Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan

Hasil pemeriksaan secara kuantitatif terhadap penggunaan Rhodamin B pada cabe merah giling dari sepuluh pedagang yang memproduksi sendiri di lima pasar tradisional kota Medan yang dilakukan pemeriksaan di Balai Laboratorium Kesehatan Kota Medan dapat dilihat pada tabel 2.

(7)

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa dari 10 sampel yang diperiksa secara kuantitatif terdapat 1 sampel yang mengandung rhodamin B dengan kadar sebesar 0,419 gr dalam setiap 100 gr cabe merah giling. Sampel yang mengandung rhodamin B ini berasal dari pusat pasar.

PEMBAHASAN

Kondisi Umum Pedagang Cabe Merah Giling

Berdasarkan data hasil survei pada para pedagang cabe merah giling di kota Medan dengan pendidikan SD, SLTP dan SMA. Rata-rata pedagang baru berjualan cabe merah giling kurang dari 5 tahun.

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 pasar tradisional di Kota Medan. Kelima pasar di atas merupakan pasar yang cukup besar, lengkap di Kota Medan, banyak dijumpai pembeli, pedagang cabe merah giling, terletak di pinggir jalan sehingga mudah dijangkau masyarakat, dan adanya perbedaan warna cabe merah giling dalam satu pedagang.

Cabe merah giling yang dijual di beberapa pasar tradisional di kota Medan berbahan baku utama cabe merah yang diolah dengan penambahan air dan garam.

Umumnya para pedagang menambahkan garam tanpa takaran yang jelas.

Pedagang cabe merah giling di pasar tradisional kota Medan menjual dagangannya dengan cara curah dalam wadah yang besar dan baru ditempatkan di kantong plastik saat konsumen membeli dan ada juga pedagang lainnya menjual cabe merah giling sudah dalam bentuk kemasan kantung plastik bermacam ukuran yang disediakan.

Pembahasan Analisis Kimiawi

Penelitian ini dilakukan mengingat pembuatan cabe merah giling yang dijumpai bervariasi, ada yang menambahkan bahan tambahan seperti wortel atau pepaya dengan tujuan untuk menambah berat cabe merah giling tetapi dapat membuat warna cabe merah giling kelihatan pudar sehingga

untuk mendapatkan warna yang lebih bagus ditambahkan pewarna seperti Rhodamin B.

Pewarna Rhodamin B dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan di mana penggunaannya diatur pada Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/ X /1999 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/Per/

IX/1988 dan diperkuat melalui Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No. 00386/C/SK /II/1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetik. Seperti kasus yang telah terjadi di DKI Jakarta di mana cabe merah giling mengandung zat pewarna yang tidak diijinkan untuk dimakan seperti Rhodamin B.

Berdasarkan penelitian Djarismawati (2004), terhadap cabe merah giling di pasar tradisional di DKI Jakarta dari 90 sampel yang diteliti ternyata sebanyak 57 sampel positif mengandung Rhodamin B atau sebesar 63% dari sampel yang diteliti, di mana cabe merah giling menggunakan zat pewarna dalam proses pengolahan cabe merah giling tersebut.

Begitu juga menurut Cahyadi (2008) dari 251 jenis minuman yang diambil contoh, ternyata positif Rhodamin B, di Bogor sebanyak 14,5% dan Rangkasbitung 17%, sedangkan di kota-kota kecil dan di desa-desa 24% minuman yang berwarna merah ternyata mengandung Rhodamin B. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh YLKI di Semarang, minuman yang mengandung Rhodamin B ternyata mencapai 54,55% dari 22 contoh yang diuji, dan 31,82% dari 44 contoh pangan yang diuji juga positif menggunakan pewarna terlarang seperti Rhodamin B, Methanil Yellow, atau Orange RN.1.

Penggunaan zat pewarna Rhodamin B ini diduga untuk meningkatkan warna merah pada cabe merah giling agar terlihat lebih menarik, hal ini karena memudarnya warna cabe giling yang disebabkan karena penggunaan bahan baku cabe merah yang

(8)

kurang baik, bahkan bahan baku cabe merah yang digunakan sudah busuk atau berulat.

Penambahan Rhodamin B pada cabe merah giling juga diperkirakan karena tingginya harga bahan baku cabe merah dan penyebab lainnya karena penambahan air yang berlebihan sehingga memengaruhi kualitas warna cabe merah giling.

Dalam uji toksikologi zat warna Rhodamin B terhadap hewan menunjukkan terjadinya perubahan bentuk sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami desintegrasi atau disorganisasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak dan sitolisis dari sitoplasma.

Terjadinya degenerasi lemak ini disebabkan karena terhambatnya pemasokan energi yang diperlukan untuk memelihara fungsi dan struktur reticulum endoplasmic sehingga proses sintesa protein menjadi menurun dan sel kehilangan daya untuk mengeluarkan trigliserida, akibatnya terjadi nekrosis hati (Djarismawati, 2004).

Rhodamin B sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena sifat kimia dan kandungan logam beratnya. Rhodamin B mengandung senyawa klorin (Cl). Senyawa klorin merupakan senyawa halogen yang berbahaya dan reaktif. Jika tertelan, maka senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara mengikat senyawa lain dalam tubuh, hal inilah yang bersifat racun bagi tubuh. Selain itu, rhodamin B juga memiliki senyawa pengalkilasi (CH3-CH3) yang bersifat radikal sehingga dapat berikatan dengan protein, lemak, dan DNA dalam tubuh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siswati dan Slamet (2000) menyatakan bahwa pemberian Rhodamin B dengan konsentrasi 150, 300, dan 600 ppm berakibat terjadinya kerusakan pada jaringan hati.

Kerusakan jaringan hati ini ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak, dan sitolisis

hingga terjadi perubahan dari bentuk sel hati menjadi nekrosis, dan disintegrasi jaringan sekitarnya.

Pemberian Rhodamin B pada mencit dengan dosis yang bertingkat dapat meningkatkan persentase kerusakan glomerulus ginjal mencit. Hal ini disebabkan karena Rhodamin B yang bersifat toksik dan dapat memberikan efek yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya dosisi Rhodamin Byang dikeringkan. Bahan-bahan yang bersifat toksit akan sangat mudah merusak jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan fungsinya (Hanifah, 2008).

Rhodamin B tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan mengendap di dalam hati secara utuh, sehingga lama kelamaan Rhodamin B yang ada di dalam hati dapat menyebabkan kerusakan. Rhodamin B dapat menyebabkan kanker hati pada mencit yang diinduksi Rhodamin B, 16,6%

kanker hati pada tikus, 8,3% kanker limfa (Samsudin, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Sihombing (1987), tikus yang diberi 1 g Rhodamin B ke dalam setiap 3 kg makanan menunjukkan perubahan perilaku yang abnormal. Tikus tersebut menjadi lebih agresif dan menampakkan tanda-tanda kanibal, terjadi diskolorasi dan degradasi warna rambut dan kulit menjadi kemerah- merahan dan kasar.

Pada umumnya, bahaya yang diakibatkan dari mengkonsumsi Rhodamin B akan muncul jika zat warna ini dikonsumsi dalam jangka panjang. Tetapi, Rhodamin B juga dapat menimbulkan efek akut jika tertelan sebanyak 500 mg/kg BB, yang merupakan dosis toksiknya. Efek toksik yang mungkin terjadi adalah iritasi saluran cerna.

Pengaruh atau efek samping yang ditimbulkan dari Rhodamin B dapat dijelaskan karena proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan dengan pemberian asam sulfat atau asam nitrat sering terkontaminasi oleh logam

(9)

berat yang bersifat racun. Di samping itu, perlu diketahui bahwa dalam pembuatan zat warna organik sebelum mencapai produk akhir harus melalui senyawa-senyawa antara terlebih dahulu yang kadang- kadang berbahaya dan kadang-kadang tertinggal pada hasil akhir atau mungkin dapat terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Sardjimah, 1996).

Hasil Pemeriksaan Rhodamin B Secara Kualitatif

Cabe merah giling yang diperiksa adalah cabe merah giling yang masih mentah atau belum dimasak supaya memudahkan dalam pemisahan zat-zat pada waktu pemeriksaan di laboratorium. Hal ini dengan pertimbangan bahwa, adanya kemungkinan cabe merah giling yang dikonsumsi itu sudah masak akan memengaruhi kadar Rhodamin B.

Berdasarkan pemeriksaan Rhodamin B secara kualitatif pada cabe merah giling diperoleh hasil bahwa di dalam sepuluh sampel yang diperiksa, ternyata ada satu sampel yang mengandung Rhodamin B sebagai bahan tambahan makanan yang berasal dari Pusat Pasar.

Berdasarkan hasil observasi bahwa cabe merah giling yang tidak mengandung Rhodamin B memiliki warna merah yang tidak mencolok jika dibandingkan dengan warna cabe merah giling yang ditambahkan Rhodamin B. Proses pembuatan cabe merah giling dimulai dengan pencucian cabe merah hingga bersih, kemudian tangkai buah dibuang, buah cabe yang bebas dari tangkai selanjutnya digiling sampai halus, sambil ditambah dengan garam dan air, kemungkinan bubur cabe merah hasil penggilingan ditampung dalam wadah dan ditambahkan zat pewarna buatan Rhodamin B sambil diaduk rata.

Hasil Pemeriksaan Rhodamin B Secara Kuantitatif

Berdasarkan hasil penelitian secara kuantitatif pada cabe merah giling di Laboratorium Kesehatan Kota Medan menggunakan metode gravimetri dan diperoleh bahwa cabe merah giling yang positif mengandung Rhodamin B sebesar 0,419% atau sebesar 419 ppm dalam setiap 100 gr cabe merah giling. Padahal Rhodamin B yang terkandung di dalam cabe merah giling cukup tinggi, hal ini dikarenakan makanan tidak boleh mengandung Rhodamin B meskipun dalam jumlah kecil.

Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan.

Penggunaan rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama (kronis) akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker (Yuliarti, 2007).

Semakin tingginya tingkat permintaan cabe merah giling dalam satu hari, semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat terhadap cabe merah giling, sehingga semakin banyak pula masyarakat yang akan terpapar oleh zat warna Rhodamin B yang terkandung dalam cabe merah giling.

Tingginya tingkat permintaan cabe merah giling oleh masyarakat dalam satu hari dikarenakan gaya hidup masyarakat yang menggemari produk instant karena mudah dan cepat diperoleh.

Penyalahgunaan Rhodamin B dalam pembuatan cabe merah giling oleh industri rumah tangga diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang akibat dan efek yang ditimbulkan Rhodamin B bagi manusia.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama bertahan/langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).

(10)

Alasan lainnya adalah agar warna cabe merah giling tetap merah sehingga dapat menarik perhatian konsumen. Harga zat warna Rhodamin B untuk industri tekstil relatif lebih murah dibandingkan dengan pewarna khusus digunakan untuk makanan dan minuman yang juga mendorong pedagang menggunakan Rhodamin B dalam cabe merah giling.

Pedagang yang memproduksi sendiri cabe merah giling untuk dijual di beberapa pasar tradisional Kota Medan seharusnya dapat mempertahankan warna alami cabe merah giling yaitu dengan tidak menggunakan bahan pewarna buatan yang dilarang penggunaannya ke dalam makanan seperti Rhodamin B.

Fenomena yang perlu disikapi adalah adanya praktiknya ketidakjujuran sebagian pedagang dalam menghasilkan dan menjual pangan yang membahayakan kesehatan konsumen khususnya pangan. Mengingat makanan secara langsung masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut, maka makanan dapat secara langsung memberikan pengaruh terhadap kesehatan manusia, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif yang dapat membahayakan keamanan konsumen. Makanan yang diproduksi dan diedarkan di masyarakat harus mempunyai persyaratan-persyaratan, baik persyaratan mutu maupun persyaratan kesehatan.

Persyaratan ini sangat dibutuhkan, lebih- lebih bagi masyarakat Indonesia (Ilyani, 2006).

Masih banyak masyarakat Indonesia kurang mampu untuk membeli makanan yang bermutu tinggi dan memenuhi persyaratan. Kondisi seperti ini disebabkan karena makanan yang demikian harganya masih di luar jangkauan dan juga karena pendidikan mereka yang belum memadai memungkinkan mereka tidak mengetahui akan bahaya, serta pengaruh-pengaruh negatif lainnya yang diakibatkan oleh makanan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Keadaan ini menjadi semakin parah jika mengingat masih buruknya kepedulian

produsen terhadap keselamatan konsumen (BPOM, 2002).

Dalam rangka melindungi konsumen pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap penggunaan bahan tambahan makanan untuk menjamin keamanan makanan, mutu, dan gizi makanan. Setiap makanan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran ditetapkan oleh kepala BPOM berdasarkan hasil penilaian keamanan, mutu, dan gizi, sesuai dengan kriteria dan tata laksana yang telah ditetapkan oleh BPOM. Adanya peraturan dan badan yang melakukan pengawasan namun masalah keamanan makanan masih terjadi (Saparinto, 2009).

Pihak masyarakat konsumen juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan terhadap makanan yang diedarkan, mengingat merekalah yang secara langsung melakukan konsumsi makanan, dan mereka pulalah yang akan menerima risiko yang akan ditimbulkan oleh makanan yang dikonsumsi (DJSPK, 2009).

SIMPULAN

Cabe merah giling yang diperoleh dari pasar Peringgan, pasar Sukaramai, pasar Sei Kambing dan pasar Aksara tidak mengandung Rhodamin B. Ditemukan Rhodamin B dalam cabe merah giling pada salah satu pedagang dari Pusat Pasar. Adapun kadar Rhodamin B yang terkandung dalam cabe merah giling adalah 0,419 gr dalam setiap 100 gr cabe merah giling. Untuk pembeli perlu memperhatikan warna dari cabe merah giling yang ingin dibeli, apabila warna cabe merah giling terlihat sangat mencolok atau berbeda dari pada warna biasanya sehingga dicurigai mengandung Rhodamin B. Perlu dilakukan penyuluhan oleh BPOM kepada pedagang yang memproduksi sendiri cabe merah giling di setiap pasar yang ada di Kota Medan tentang bahaya penggunaan Rhodamin B.

(11)

Perlu adanya pemakaian label yang jelas dan tanda bahaya pada kemasan zat warna non pangan sehingga pedagang lebih cepat tanggap dalam memilih zat warna sintetis untuk bahan pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), 2002. Panduan Pengolahan Pangan yang Baik bagi Industri Rumah Tangga, Amankan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Jakarta: Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Departemen Kesehatan R.I. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 722/ Menkes/

Per/IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlibdungan Konsumnen (DJSPK), 2009.http://ditjenspk.kemendag.go.id/.

Diakses pada tanggal 20 Mei 2009.

Djarismawati, dkk. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pedagang Cabe Merah Giling dalam Penggunaan Rhodamin B di Pasar Tradisional di DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 3 No. 1 Hal. 7–12.

Jakarta.

Gusdinar, T. 2008. Analisis Farmasi Anorganik. Institut Teknologi Bandung.

www.download.fa.itb.ac.id. Diakses tanggal 6 Agustus 2009.

Hanifah, L. 2008. Pengaruh Pemberian Buah Pepaya (Carica Papaya L) terhadap Tingkat Nekrosis Epitel Glomerulus dan Tubulus Ginjal Mencit (Mus Musculus) yang Diinduksi CCL4 (Karbon Tetraklorida). Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang. Malang.

Hardinsyah dan Sumali. 2001. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Koswara.

Jakarta.

Ilyani S.A. 2006. Kajian Kebijakan Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam

Perlindungan Konsumen terhadap Pangan Rekayasa Genetik. Jakarta: YLKI dan HIVOS.

Notoatmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:

Rineka Cipta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/

X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Kesehatan722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Samsudin. 2004. Puskesmas Diminta Memantau Terasi Bercampur Zat Pewarna. http://www.suaramerdeka.

com

Saparinto, C dan Diana, H. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogya kar t a:

Kanisius.

Saparinto, Cahyo dan Diana, H. 2009.

Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:

Kanisius.

Sardjimah, A. 1996. Analisis Zat Warna (Buku Panduan Kuliah Analisis Obat Kosmetika dan Makanan). Surabaya:

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

Seto, S. 2001. Pangan dan Gizi; Ilmu, Teknologi, Industri dan Perdagangan.

Institut Pertanian Bogor. Bandung.

Sihombing, G. 1987. Latar Belakang Penggunaan Bahan Pewarna Sintetik.

Risalah Seminar Bahan Tambahan Kimiawi. Jakarta.

Siswati, P dan Slamet. 2000. Uji Toksisitas Zat Warna Rhodamin B terhadap Jaringan Hati Mencit (Mus Muscullus). Jurnal Toksikologi Indonesia Vol. 3(1): 18–27.

Syah Dahrul, dkk, 2005. Manfaat dan Bahaya Tambahan Pangan. Bandung:

Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Widana, G.A dan Ni W.Y,. 2007. Analisis Ba han Berbahaya pa da Se diaan Kosmetika di Wilayah Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains dan Humaniora Vol 1(1), 26–36.

Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Andi. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Analisa kandungan rhodamin B dan natrium benzoat pada cabai merah ( capsicum annum l.) Giling yang dijual dibeberapa pasar di kota medan tahun 2007.2007..

Bahan pewarna yang digunakan pada cabe giling belakangan ini banyak disalah gunakan dari beberapa produsen mereka memilih pewarna sintetis untuk membuat warna merah pada

Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah cabai merah segar dan cabai merah giling dari beberapa pasar tradisional Kota Medan yaitu Pasar Padang Bulan, Pasar

Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah cabai merah segar dan cabai merah giling dari beberapa pasar tradisional Kota Medan yaitu Pasar Padang Bulan, Pasar

Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah zat warna rhodamin B masih digunakan sebagai pewarna pada cabe merah giling dan saos yang beredar

Hasil penelitian terhadap 64 sampel cabai merah giling yang dijual di pasar tradisional di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta diketahui sebanyak 61 sampel (95,31%)