TUGAS
HUKUM PELAYANAN KESEHATAN
Mengenai Kasus Muhidin dan dr.Husaeni
Disusun Oleh:
Fitri Rochmawati – 24060064
Dosen Pengampu:
Dr. dr. Nasser, Sp.KK., D.Law.
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER PROGRAM PASCA SARJANA
JAKARTA 2024
Penjelasan singkat tentang kasus.
Muhidin Suhenda yang diketahui sebagai pemuda lulusan SLA tahun 1984, pernah berobat ke RSU Syamsudin di tahun 1984. Ketika itu Muhidin diketahui menderita endoftalmi (radang mata yang menimbulkan ulkus atau borok) yang masih tingkat dini, walau korneanya sudah terkena dan jarak penglihatannya cuma tinggal tiga meter. Tetapi ketika masih dalam perawatan, Muhidin tidak kembali lagi ke rumah sakit untuk menyelesaikan perawatan sampai akhir. Baru pada bulan Juni Muhidin (20tahun) kembali ke Rumah Sakit bersama temannya tanpa didampingi orang tua, dengan keadaan yang sudah gawat dan matanya sudah dipenuhi dengan nanah. “Sebelah matanya tidak berfungsi lagi, dan demi keselamatannya tak ada pilihan lain kecuali bola matanya harus dibuang”, tutur dr.Husaeni (selaku dokter yang merawat dan mengoperasi Muhidin). Setelah mendapatkan penjelasan tersebut, Muhidin sebagai pasien di minta untuk menandatangani surat persetujuan (informed consent) agar dapat segera dilakukan tindakan. Setelah Muhidin menandatangani informed consent tersebut, dokter langsung melakukan tindakan operasi.
Muhidin di rawat inap di Rumah Sakit, kurang lebih 5 hari tanpa pendampingan orang tua.
Setelah dilakukan perawatan selama 5 hari itu, kemudian baru Muhidin pulang dan kedua orang tuanya terkejut karena mata sang anak bolong. Merasa tidak senang, upaya operasi mata atas Muhidin malah berbuntut panjang. Orang tua Muhidin Letda (Purn) Mamun menuntut dokter yang mengoperasi anaknya, dr. G. Muhammad Husaeni. Besarnya tuntutan Rp 20 juta bila mata Muhidin bisa kembali seperti sediakala, atau Rp 30 juta bila tak bisa.
Mamun mengatakan, apapun ikhtiar damai, ia tak akan membatalkan tuntutannya, malah ia berniat memidanakan dokter yang mengoperasi anaknya. Karena menurutnya, tindakan upaya menolong anak nya tanpa izin dari nya, merupakan tindakan criminal. Ia menyebutkan pula sakit mata anaknya bersifat ringan-ringan saja ketika berangkat berobat.
Pandangan saya pada kasus dr. Husaeni dalam menangani kasus Muhidin di RSU Syamsudin Sukabumi dilihat dari Aspek Bioetika terdapat 4 kaidah didalamnya yaitu sikap berbuat baik (beneficence), tidak merugikan orang lain (non maleficence), berlaku adil (justice) dan menghornati otonomi pasien (autonomy).
Dilihat dari kaidah, sikap berbuat baik (beneficence) perilaku dr.Husaeni yang memasuki dalam kaidah tersebut yaitu (1) Melakukan kewajiban menolong pasien kegawat daruratan dengan memberi tindakan operasi, (2) Mengusahakan semaksimal mungkin agar lebih banyak kebaikan dibanding keburukan dari suatu tindakan, (3) Menghargai hak-hak pasien, dengan memberikan penjelasan dan informed consent sebelum dilakukan tindakan operasi.
Dilihat dari kaidah yang tidak merugikan orang lain (non maleficence) perilaku dr.Husaeni yang memasuki dalam kaidah tersebut yaitu (1) Mengobati dan menolong pasien gawat darurat, (2) Memberikan tindakan terbaik agar keburukan tidak terjadi kepada pasien, (3) Tidak membunuh pasien atau tidak melalukan kelalaian yang membahayakan hidup pasien, (4) Sudah memberikan informed consent sehingga tidak terjadi misrepresentasi dari pasien.
Dilihat dari kaidah berlaku adil (justice) perilaku dari dr. Husaeni yang memasuki dalam kaidah tersebut yaitu (1) Melakukan tindakan yang sam terhadap semua pasien dengan kasus yang serupa sesuai dengan SOP yang ada, (2) Menghargai hak untuk hidup sehat pasien dengan mengambil keputusan operasi agar tidak semakin memburuk dan menyebabkan hal yang lebih fatal terhadap pasien. (3) Tidak melakukan penyalahgunaan karena bekerja sesuai dengan SOP.
Dilihat dari kaidah menghormati otonomi pasien (autonomy) perilaku dari dr.Husaeni yang memasuki dalam kaidah tersebut yaitu (1) Memberikan penjelasan yang lengkap tentang tindakan dengan terus terang tanpa ada yang ditutup-tutupi, (2) Tidak mengintervensi pasien dalam menentukan pilihan tindakan, (3) Menghargai hak pasien untuk menentukan nasibnya memilih dilanjutkan atau tidak tindakan operasi tersebut dengan memberikan informed consent.
Dilihat dari aspek hukum kasus ini :
Tindakan operasi yang langsung dilakukan oleh dr.Husaeni di RSU Syamsudin Sukabumi pada kasus Muhidin dianggap gawat darurat karena salah satu mata Muhidin sudah tidak berfungsi, dan dapat membahayakan nyawa nya sudah sesuai menurut Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Bab 1 Pasal 1 ayat 2 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Menurut Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Bab 1 Pasal 1 tentang persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dan menurut Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Bab II Pasal 7 Ayat 3 dimana penjelasan tentang tindakan kedokteran harus mencakup : (a) diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, (b) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, (c) Alternatif tindakan lain, dan resikonya, (d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, (e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, (f) Perkiraan pembiayaan. Semua hal tersebut diatas sudah dilakukan dan dilaksanakan oleh dr.Husaeni terhadap Muhidin dan mendapatkan persetujuan
langsung dari Muhidin sendiri karna dianggap sudah cukup umur untuk menentukan dan memilih tindakan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Jika dilihat dari rentetan kasusnya, keparahan penyakit Muhidin mungkin tidak akan terjadi apabila Muhidin dan keluarga tidak menyepelakan Kesehatan matanya dan tetap mengikuti rencana perawatan sampai akhir pada saat penyakit nya masih tahap tingkat dini. Jadi, jika dilihat terdapat pula kelalaian yang dilakukan oleh Muhidin dalam perihal pencegahan penyakitnya sendiri.