See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/371228903
Ekonomi Pariwisata
Book · April 2023
CITATIONS
0
READS
4,917
3 authors, including:
Suparman Suparman Tadulako University 43PUBLICATIONS 54CITATIONS
SEE PROFILE
Muzakir Muzakir Tadulako University 17PUBLICATIONS 44CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Suparman Suparman on 01 February 2024.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Publica Indonesia Utama 2023
EKONOMI PARIWISATA
TEORI, MODEL, KONSEP DAN STRATEGI
PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidanadengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Publica Indonesia Utama 2023
EKONOMI PARIWISATA
TEORI, MODEL, KONSEP DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Dr. Suparman, S.E., M.Si
Dr. Muzakir, S.E., M.Si
Dr. Vitayanti Fattah, S.E., M.Si
iv
***
Perpustakaan Nasional RI. Katalog dalam Terbitan (KDT) xii + 215 Hlm; 15,5 X 23 cm
ISBN: 978-623-8232-26-0 Cetakan Pertama, April 2023
EKONOMI PARIWISATA
Teori, Model, Konsep dan Strategi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Penulis : Dr. Suparman, S.E., M.Si, Dr. Muzakir, S.E., M.Si,
dan Dr. Vitayanti Fattah, S.E., M.Si Penata halaman : Teguh Heri Purwanto
Desain Cover : Tim Kreatif Publica Institute copyrights © 2023
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang All rights reserved
Diterbitkan oleh:
Publica Indonesia Utama Anggota IKAPI DKI Jakarta 611/DKI/2022
18 Office Park 10th A Floor Jl. TB Simatupang No 18, Kel. Kebagusan, Kec. Pasar Minggu Kota Adm. Jakarta Selatan, Prov. DKI Jakarta
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabbil Alamin, Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala curahan taufiq, rahmat, dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan buku referensi ini. Penulisan buku referensi ini merupakan karya dari hasil pemikiran dan studi yang dilaksanakan para penulis yang diberi judul: EKONOMI PARIWISATA: Teori, Model, Konsep, dan Strategi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan.
Perkembangan pesat dan signifikan ekonomi pariwisata dalam beberapa dekade terakhir mungkin merupakan hasil dari kombinasi beberapa faktor yang terjadi secara global. Namun, secara umum diketahui bahwa pendorong utamanya adalah meningkatnya pariwisata sebagai aktivitas ekonomi penting di seluruh dunia.
Pariwisata adalah komoditas gabungan yang melibatkan banyak industri. Jika dihitung secara lengkap, pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dari segi lapangan kerja dan produksi secara global.
Dalam ekonomi pariwisata, maka paradigma pembangunan pariwisata berkelanjutan berfokus pada 3 (tiga) hal penting yakni: 1).
Kualitas—pengalaman berharga bagi pengunjung dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat setempat melalui identitas budaya, pengurangan kemiskinan, dan kualitas lingkungan; 2). Kontinuitas—
pemanfaatan dilakukan pada tingkat optimal yang memungkinkan terjadinya pelestarian dan regenerasi sumber daya alam; 3).
Keseimbangan antara kebutuhan industri pariwisata, perlindungan lingkungan, dan masyarakat lokal melalui distribusi manfaat yang adil di antara pemangku kepentingan yang berada di daerah setempat.
Buku ini menyajikan berbagai teori, model, konsep dan strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan, termasuk berbagai tantangan dalam permasalahan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang dihadapi saat ini dan masa mendatang. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah dan tantangan pembangunan pariwisata
vi
tersebut membutuhkan berbagai teori, model, konsep, dan strategi pembangunan pariwisata pariwisata berkelanjutan. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan dan terbitnya buku ini.
Wabillahi Taufiq Walhidayah. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabbarakatuh.
Palu, April 2023
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ... iii
Halaman Balik Sampul ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Pariwisata Berkelanjutan ...2
BAB II EKONOMI PARIWISATA ...7
2.1 Definisi Pariwisata ...8
2.1.1 Ekonomi ...8
2.1.2 Teknikal ...8
2.1.3 Holistik ...10
2.2 Ekonomi Pariwisata ...11
2.3 Eksternalitas Pariwisata ...13
2.3.1 Eksternalitas Negatif ...14
2.3.2 Eksternalitas Positif ...16
BAB III PEMBANGUNAN PARIWISATA ...21
3.1 Tujuan Pembangunan Kepariwisataan ...22
3.2 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan ...22
3.3 Pembangunan Kepariwisataan ...23
3.4 Kawasan Strategi Pariwisata ...23
3.5. Paradigma Pembangunan Pariwisata ...24
viii
3.5.1 Kerangka Berkelanjutan ...24
3.5.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ...26
3.5.3 Pariwisata Berkelanjutan ...29
3.5.4 Bentuk-Bentuk Pariwisata Berkelanjutan ...31
BAB IV PERENCANAAN PARIWISATA ...35
4.1 Perencanaan Pariwisata ...35
4.2. Model-Model Teoretis ...36
4.2.1 Model Sistem Keseluruhan (Whole System Models) ..36
4.2.2 Model Spasial/Temporal (Spatial/Temporal Models) 36 4.2.3 Model Motivasi dan Perilaku (Motivational and Behavioral Models) ...36
4.2.4 Model Dampak (Impact Models) ...37
4.2.5 Model Peramalan (Forecasting Models) ...37
4.3 Model-Model Proses ...38
4.3.1 Model Pengembangan Wilayah (Area Development Mod- els) ...38
4.3.2 Model Pengembangan Proyek (Project Development Models) ...38
4.3.3 Model Manajemen/Pemasaran (Marketing/Management Models) ...39
BAB V MANAJEMEN PARIWISATA ...41
5.1 Manajemen Pariwisata...42
5.2. Organisasi Manajemen Destinasi ...42
5.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat ...43
5.4 Ekowisata ...43
5.5 Desa Wisata ...46
BAB VI DAMPAK PEMBANGUNAN PARIWISATA ...53
6.1 Dampak Pembangunan Pariwisata...53
6.2 Dampak Pariwisata terhadap Ekonomi ...54
6.2.1 Dampak Langsung (Direct Impact/effects) ...54
6.2.2 Dampak Tidak Langsung (Indirect impact/effects) ....55
6.2.3 Dampak Induced ...56
6.3 Dampak Pariwisata terhadap Sosial Budaya ...56 6.3.1 Dampak Terhadap Keterkaitan Dan Keterlibatan Antara
ix
Masyarakat Setempat Dengan Masyarakat Yang Lebih Luas,
Termasuk Tingkat Otonomi Atau Ketergantungannya ...56
6.3.2 Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat ...57
6.3.3 Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial ...58
6.3.5 Dampak Terhadap Ritme Kehidupan Sosial Masyarakat ...59
6.3.6 Dampak Terhadap Pola Pembagian Kerja ...60
6.3.7 Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial ...60
6.3.8 Dampak Terhadap Meningkatnya Penyimpangan-Peny- impangan Sosial ...61
6.3.9 Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat . ...62
6.4 Dampak Pariwisata Terhadap Lingkungan ...62
6.4.1 Menipisnya sumber daya alam: ...62
6.4.2 Polusi ...63
BAB VII DESTINASI PARIWISATA ...65
7.1 Destinasi Pariwisata ...66
7.1.1 Pendekatan Klasik/Tradisional ...68
7.1.2 Pendekatan Sistemik ...69
7.1.3 Pendekatan Cerdas ...70
7.2 Permasalahan Destinasi Pariwisata ...74
7.3 Isu-Isu Strategi Pengembangan Destinasi Pariwisata ...76
7.4 Arah Kebijakan Pengembangan Destinasi Pariwisata ...76
7.5 Strategi Peningkatan Daya Saing Destinasi Pariwisata ...77
BAB VIII INDUSTRI PARIWISATA ...91
8.1 Industri Pariwisata ...91
8.2 Permasalahan Industri Pariwisata ...92
8.2 Isu-Isu Strategi Pengembangan Industri Pariwisata ...95
8.3 Arah Kebijakan Pengembangan Industri Pariwisata ...95
8.4 Strategi Peningkatan Industri Pariwisata ...96
BAB IX PEMASARAN PARIWISATA ...101
9.1 Pemasaran Pariwisata ...101
x
9.2 Permasalahan Pemasaran Pariwisata ...102
9.3 Isu-Isu Strategi Pengembangan Pemasaran Pariwisata ...103
9.4 Arah Kebijakan Pengembangan Pemasaran Pariwisata ...104
9.5 Strategi Pemasaran Pariwisata ...105
9.5.1 Strategi Bauran Pemasaran ...105
9.5.2 Strategi Segmentasi ...107
9.5.3 Strategi Optimalisasi Peran dalam Pemasaran Pariwisata ...108
9.5.4 Strategi Positioning ...110
BAB X KELEMBAGAAN PARIWISATA ...111
10.1 Kelembagaan Pariwisata ...111
10.2 Permasalahan Kelembagaan Pariwisata ...113
10.3 Isu-Isu Strategi Pengembangan Kelembagaan Pariwisata ...115
10.4 Arah Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Pariwisata ...116
10.5 Strategi Pengembangan Kelembagaan Pariwisata ...117
10.5.1 Strategi Pengembangan Sumber Daya Kelembagaan Pariwisata ...117
10.5.2 Strategi Peningkatan Kompetensi SDM Pemerintah Dan Swasta ...120
BAB XI KINERJA PEMBANGUNAN PARIWISATA ...123
11.1 Indeks Pariwisata Indonesia ...124
11.2 Indeks Daya Saing Pariwisata Sulawesi Tengah ...133
11.2.1 Aspek Atraksi ...135
11.2.2 Aspek Amenitas ...137
11.2.3 Aspek Aksesibilitas ...139
11.2.4 Aspek Tata Kelola ...142
11.3 Indeks Pariwisata Kabupaten/Kota ...145
11.3.1 Kabupaten Tojo Unauna ...146
11.3.2 Kabupaten Poso...150
11.3.3 Kabupaten Donggala ...154
11.3.4 Kota Palu ...159
11.4 Jumlah Kunjungan Wisatawan di Sulawesi Tengah ...163
11.5 Pendapatan Sektor Pariwisata di Sulawesi Tengah ...165
xi
BAB XII ROADMAP PEMBANGUNAN PARIWISATA ...167
12.1 Arah Kebijakan Pembangunan Pariwisata ...169
12.1.1 Kebijakan Umum Peningkatan Daya Saing Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah ...169
12.1.2 Kebijakan Pada Pilar Pembangunan Kepariwisataan ...170
12.1.3 Kebijakan Pokok Peningkatan Daya Saing Pariwisata ...172
12.1.4 Kebijakan Percepatan Daya Saing Pariwisata ...173
12.2 Tujuan Dan Sasaran Pembangunan Pariwisata ...179
12.2.1 Tujuan Pembangunan Pariwisata ...179
12.2.2 Sasaran Pembangunan Kepariwisataan ...180
12.3. Program-Program Pembangunan Pariwisata ...182
12.3.1 Pengembangan Sumber Daya Pariwisata ...182
12.3.2 Program Pembangunan Pariwisata ...184
DAFTAR PUSTAKA ...186
TENTANG PENULIS ...213
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata (tourism) merukan salah satu industri terbesar dan terpenting di era globalisasi. Pariwisata berkembang sangat pesat setelah terjadinya penurunan Sektor Industri Manufaktur dan beberapa industri lainnya, yang sebelumnya memonopoli sistem ekonomi dan sosial dunia (Mc Intosh, Goeldner dan Ritchie, 2000;
Mohammed, 2005). Pada dasarnya, pariwisata adalah fenomena sosial yang didefinisikan sebagai konsekuensi dari pergerakan orang dari tempat tinggal sementara mereka menuju ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggal sehari-hari (Sharpley, 2014). Dengan meningkatnya pendapatan, maka munculnya ide rekreasi dan adanya budaya popular dari konteks global, sehingga turis asing dan domestik telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat saat ini.
Perubahan besar dan cepat yang telah terjadi dunia selama dua dekade terakhir tercemin dalam perubahan konteks pariwisata.
Reorganisasi politik dan ekonomi global telah menghasilkan perluasan pariwisata, baik dalam arti spasial maupun dalam peningkatan signifikan ukuran pasar wisata (market tourism). Perubahan ini berlangsung cepat dan tak terduga, namun pasar pariwisata tidak memiliki efek revolusioner pada pariwisata. Sebaliknya, pasar pariwisata telah memungkinkan tumbuh secara evolusioner.
Perubahan di bidang lingkungan, tampaknya lebih mendasar bahkan revolusioner pengaruhnya terhadap pariwisata. Jika ada satu faktor yang memiliki potensi untuk berubah pada pariwisata lebih dari yang lain, yaitu pengenal konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sejak munculnya istilah pembangunan berkelanjutan tersebut dalam satu dekade terakhir, telah mencapai puncaknya dengan pengakuan dunia dan tersebar secara luas. Pertemuan puncak para pemimpin dunia, adanya kebijakan, regulasi, respons pergeseran industri, dan pemasaran pariwisata, bahkan memungkinkan terjadinya perubahan perilaku wisatawan (turis). Semuanya menunjukkan terdapat beberapa perubahan mendasar yang terjadi pada elemen pariwisata tertentu dengan skala yang berbeda.
2 Ekonomi Pariwisata
Para ahli geografi telah lama tertarik pada hubungan antara pariwisata dan lingkungan baik secara fisik maupun manusia.
Dimana pariwisata beroperasi dan logisnya mereka sangat tertarik pada pembahasan dan penerapan pembangunan berkelanjutan dalam konteks pariwisata. Minat ini terwujud dalam karya yang dilakukan ahli geografi di bidang Pariwisata (Butler, 1993; Mathieson dan Wall, 1982; Murphy 1985; Pearce, 1989 dan 1995). Namun, terdapat beberapa ahli geografi dan peneliti lain di bidang pariwisata menolak dan mengambil pandangan kritis terhadap pembangunan berkelanjutan dan penerapan pada pariwisata. Hal ini terjadi karena konsep pembangunan berkelanjutan sangat menarik, untuk siapa saja yang memiliki kekuatiran tentang kerusakan lingkungan yang mencakup sebagian besar ahli geografi. Oleh karena itu, banyak prinsip pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip- prinsip dasar rasional sumber daya dan pengelolaan lingkungan.
Terlepas dari alasan tersebut, terdapat banyak peneliti pariwisata tampaknya telah menerima tanpa ragu-ragu proposisi dasar, bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya baik dan tepat untuk pariwisata. Penerapan pembanguan berkelanjutan pada dasarnya akan memecahkan masalah-masalah negatif yang dihasilkan dalam pengembangan pariwisata. Namun, terdapat juga beberapa pendapat ahli yang berbeda (Butler, 1993; Wheeler, 1993; Wall, 1996).
Dimana, pembangunan berkelanjutan tidak selalu tepat dalam konteks pariwisata, tetapi konsep ini tampaknya sudah mendapatkan perhatian dan dukungan luas, sehingga seringkali didasarkan pada sikap optimis tersebut.
1.2 Pariwisata Berkelanjutan
Perdebatan tentang definisi dan konsep pembangunan berkelanjutan, pariwisata berkelanjutan, dan ekowisata dapat diterjemahkan ke dalam dunia nyata. Namun, seringkali tetap menjadi sangat teknis dan ilmiah, sehingga mengabaikan pertimbangan-pertimbangan atas nilai dan kepentingan dari berbagai aktor yang terlibat (stakeholders). Dalam upaya untuk mencapai kompromi tersebut, upaya secara sungguh-sungguh bagi siapa untuk mendapatkan apa, kapan, dimana, bagaiman dan mengap (Lasswell, 1936; Pforr, 2001), mereka menentukan interpretasi ide-ide ini dan
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 3
implementasinya. Akibatnya, mengabaikan interaksi dan pengaturan kekuasaan ini berarti mengabaikan fenomena politik, sebuah proses yang mengatur bagaimana konsep-konsep ini didefinisikan dan diterjemahkan ke dalam tindakan atau non-tindakan. Seringakali terlalu banyak berakhir pada tingkat perdebatan retorika politik, bagaimana hal tersebut menunjukkan kurangnya kemauan politik yang jelas dan kemampuan untuk mencapai pariwisata berkelanjutan (Richards, 2013; Weaver, 2006; WTO, 1995).
Berkenaan pengalaman dengan pariwisata berkelanjutan dan kebijakan ekowisata yang sudah ada, yang semakin dipertanyakan adalah apakah kebijakan tradisional dan proses pengambilan keputusan, serta pengaturan kelembagaan tersebut sudah cocok untuk mengimplementasikan agenda keberlanjutan dengan sukses.
Oleh karena itu, kemampuan untuk menjawab tantangan dan tuntutan perkembangan pariwisata dan ekowisata berkelanjutan. Konsep ini sudah d iterima secara luas, bahwa berkelanjutan sebagai tujuan sosial yang menantang, hanya dapat dicapai, jika basis konsensus tersebut dibangun melalui kerjasama yang luas antara kekuatan yang relevan dalam masyarakat. Seperti yang ditunjukkan oleh Lew dan Hall (1998), bahwa pariwisata berkelanjutan mewakili orientasi nilai, kemitraan baru antara pemerintah, industri, komunitas, dan akademisi yang diperlukan untuk menetapkan dan melaksanakan tujuan-tujuan konsensus melalui dialog yang komprehensif.
Partisipasi dan Kerjasama yang besar akan menghasilakan legitimasi yang lebih besar dari keputusan politik, sehingga dengan demikian meningkatkan kemampuan pemerintah untuk merespons secara memadai terhadap isu-isu berkelanjutan yang kompleks tersebut.
Oleh karena itu, perdebatan harus difokuskan kembali pada sistem yang seringkali terfragmentasi dalam menentukan interpretasi antara pariwisata berkelanjutan dan ekowisata.
Sejak akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, bagaimanapun konsekuensi negative dari pembangunan pariwisata semakin diakui, dan terjadi perdebatan sengit tentang biaya ekologi dan sosial dari pengembangan pariwisata yang telah terjadi. Pada awalnya, kritik pariwisata ini terutama berorientasi ekologis, adalah upaya untuk mengatasi masalah pertumbuhan tak terbatas dan pariwisata massal tak terbatas (Krippendorf, 1975). Namun, kemudian pendekatan
4 Ekonomi Pariwisata
alternatif untuk pengembangan pariwisata semakin meningkat dibahas, yang menciptakan keragaman istilah dan konsep untuk arah baru dalam perkembangan pariwisata. Pariwisata berkelanjutan dan ekowisata adalah ide yang lebih popular dalam perdebatan tersebut.
Hal ini melibatkan banyak actor (para pihak), mulai dari kalangan politik, masyarakat, dan ekonomi yang terkadang dengan kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest) dan mengarah pada konsepsi dengan berbagai segi atau sudut pandang.
Dalam beberapa tahun terakhir, paradigma pembangunan berkelanjutan telah menjadi sangat popular di seluruh dunia, dan telah menjadi pusat perdebatan politik. Dalam perspektif global sudah menjadi elemen penting, dimana konsep tersebut akan dapat dioperasionalkan. Hal tersebut harus dibawa ke dalam tingkat tindakan yang lebih praktis. Dalam konteks ini, slogan ‘berfikir secara global, bertindak secara lokal’ bermmakna secara konkret (Becker et al, 1996). Di sisi lain, proyeksi ke tingkat nasional, regional, dan lokal, gagasan tersebut juga telah dialihkan ke konteks Sektor Pariwisata.
Meningkatnya popularitas konsep pembangunan berkelanjutan, dan kebutuhan akan spesifikasi spasial dan sectoral. Oleh karena itu, konsep pariwisata berkelanjutan dan ekowisata menjadi diskursus yang dinamis. Namun demikian, pendekatan ini tidak boleh mengabaikan dan menafikan bahwa pariwisata bersifat global yang berkonsekuensi secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Pforr, 2001).
Pariwisata berkelanjutan berfokus pada tiga hal penting yakni sebagai berikut: a). Kualitas—pengalaman berharga bagi pengunjung dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat setempat melalui identitas budaya, pengurangan kemiskinan, dan kualitas lingkungan;
b). Kontinuitas—pemanfaatan dilakukan pada tingkat optimal yang memungkinkan terjadinya pelestarian dan regenerasi sumber daya alam; c). Keseimbangan antara kebutuhan industri pariwisata, perlindungan lingkungan, dan masyarakat lokal melalui distribusi manfaat yang adil di antara pemangku kepentingan yang berada di daerah setempat (UNWTO, 2017).
Konsep keberlanjutan pertama kali muncul dalam laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia pada tahun 1987. Laporan komisi mengemukakan gagasan pembangunan berkelanjutan dengan mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 5
tidak hanya kompatibel, tetapi sebagai mitra strategis yang sangat diperlukan. Dimana, satu tidak akan eksis tanpa adanya yang lain (WCED,1987). Pembangunan berkelanjutan memiliki potensi yang tinggi bagi setiap komunitas dalam batasan ekonomi, sosial, budaya, ekologi, dan fisik (Butler dan Hinch, 2007).
Pembangunan berkelanjutan telah didefinisikan dalam banyak cara, tetapi definisi yang paling sering dikutip berasal dari Laporan Brundtland, yang dikenal sebagai Our Common Future: pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Definsi ini mengandung dalamnya dua konsep kunci (WCED, 1987). Konsep kebutuhan, khususnya kebutuhan mendasar orang miskin di dunia, yang harus diberi prioritas utama; dan 2) gagasan tentang batasan yang dikenakan oleh keadaan teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan.
7
BAB II
EKONOMI PARIWISATA
Perkembangan ekonomi pariwisata (tourism economics) yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir mungkin merupakan hasil dari kombinasi beberapa faktor. Namun, salah satu pendorong utamanya tanpa keraguan adalah meningkatnya pariwisata sebagai aktivitas ekonomi penting di seluruh dunia. Pariwisata adalah komoditas gabungan yang melibatkan banyak industri. Jika dihitung secara lengkap, pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dari segi lapangan kerja dan produksi secara global. Selain itu, industri pariwisata terus berkembang. Di sisi permintaan, ekspansinya mencerminkan pertumbuhan ekonomi global. Jumlah orang di seluruh dunia yang memperoleh pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan lebih banyak waktu luang. Karena permintaan pariwisata elastis terhadap pendapatan dan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya waktu luang yang tersedia, hal ini telah merangsang permintaan pariwisata (Tisdell, 2006).
Di sisi pasokan, kontributor untuk ekspansi pariwisata secara global adalah penurunan biaya perjalanan sebenarnya, penurunan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan pada jarak yang sama, peningkatan frekuensi dan kepadatan layanan perjalanan, serta penurunan biaya transaksi dalam mengatur tur. Argumen juga menyebutkan bahwa meskipun terdapat terorisme, risiko keseluruhan yang terkait dengan pariwisata lebih sedikit daripada masa lalu. Selain itu, pengetahuan tentang kemungkinan perjalanan dan pariwisata lebih mudah diperoleh daripada masa lalu, misalnya, karena kemajuan dalam teknologi informasi. Semua faktor ini (dan kemungkinan faktor lainnya) telah berkontribusi pada pertumbuhan pariwisata global dan meningkatkan relevansi ekonomi pariwisata bagi dunia modern.
Selain itu, setidaknya dalam jangka waktu yang dapat diprediksi, pariwisata global, meskipun memiliki efek jangka pendek dan siklikal (seperti yang disebabkan oleh resesi ekonomi), kemungkinan akan terus berkembang (Tisdell, 2006).
8 Ekonomi Pariwisata
2.1 Definisi Pariwisata 2.1.1 Ekonomi
Beberapa definisi pariwisata dari sisi ekonomi dan bisnis adalah sebagai berikut:
1. Pariwisata adalah industri penting dan strategis secara nasional yang dapat diidentifikasi. Industri pariwisata melibatkan wadah yang lebih luas dari aktivitas komponen termasuk penyediaan transportasi, akomodasi, rekreasi, makanan dan jasa terkait;
2. Pariwisata mengacu pada penyediaan transportasi, akomodasi, rekreasi, makanan, dan layanan terkait untuk wisatawan nusantara (domestik) dan mancanegara (luar negeri). Pariwisata terkait perjalanan untuk semua tujuan termasuk rekreasi dan bisnis;
Definisi pariwisata melibatkan lebih dari komponen bisnis itu sendiri. Pariwisata memiliki segi kualitatif yakni: Pariwisata dapat didefinisikan sebagai ilmu, seni, dan bisnis untuk menarik dan mengangkut pengunjung, menampung dan melayani pengunjung dengan ramah kebutuhan dan keinginan mereka (McIntosh, 1977).
Dimana, pariwisata yang terdiri dari tiga elemen yakni: manusia—
elemen pencipta tindakan pariwisata, ruang—elemen fisik yang akan tertutupi, dan waktu—elemen temporal yang dikonsumsi dalam perjalanan dan tinggal.
2.1.2 Teknikal
Definisi pariwisata secara teknikal sejak tahun 1930-an, pemerintah dan organisasi pariwisata telah mencoba untuk memantau ukuran dan karakteristik dari pasar wisata (tourism market). Untuk melakukan hal tersebut membutuhkan definisi wisatawan, untuk membedakan dari wisatawan lain sehingga memiliki dasar kesamaan yang digunakan untuk mengumpulkan data statistik yang sebanding.
Secara alamiah, berbagai definisi pariwisata memiliki garis perbedaan yang sangat menonjol dalam tiga elemen dalam definisi turis (wisatawan): tujuan perjalanan, jarak tempuh, dan durasi. Definisi turis ini diadopsi oleh Komite Stastistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1937, dan disebut sebagai turis internasional yang mengunjungi negara lain, selain tempat biasa turis tersebut tinggal untuk jangka waktu paling sedikit dua puluh empat jam (OECD, 1974).
Definisi turis ini telah menjadi dasar dari definisi yang digunakan
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 9
selanjutnya. Pada tahun 1963, PBB mensponsori sebuah konferensi tentang perjalanan dan pariwisata di Roma, Italia. Konferensi tersebut merekomendasikan definisi pengunjung dan turis untuk digunakan dalam menyusun statistik internasional. Untuk tujuan statistik istilah pengunjung menggambarkan setiap orang yang mengunjungi suatu negara selain tempat tinggal yang biasa. Definisi wisatawan (turis) ini mencakup sebagai berikut.
1) Wisatawan yaitu pengunjung sementara yang tinggal sekurang- kurangnya 24 jam (dua puluh empat jam) di suatu negara yang dikunjungi dan tujuan perjalanannya dapat diklasifisikasi dalam salah satu dari dua hal berikut ini yakni: a) waktu luang (rekreasi, liburan, kesehatan, studi, agama dan olahraga); dan b) bisnis, keluarga, misi, pertemuan;
2) Wisatawan yaitu pengunjung sementara yang tinggal kurang dari dua puluh empat jam di suatu negara yang dikunjungi termasuk pelancong di kapal pasiar (IUTO, 1963).
Pada tahun 1968, Persatuan Internasional Organisasi Perjalanan Resmi (Tourism Organization) menyetujui definisi tahun 1963 tersebut, dan sejak itu mendorong negara-negara untuk mengunakan definisi turis tersebut. Bahwa berdasarkan hasil data statistik wisatawan internasional termasuk perjalanan menjadi kata yang penggunaannya sangat popular (IUTO, 1963; OECD, 1974). Secara umum publik dan karyawan perusahaan industri pariwisata tidak menganggap perjalanan untuk tujuan bisnis dan lainnya sebagai bentuk pariwisata. Definisi statistik turis dalam pengaturan domestik (perjalanan dalam negara tempat tinggal) bervariasi antar negara dan wilayah, tetapi umumnya termasuk tiga elemen definisi standar internasional: jarak perjalanan, durasi, dan tujuan. Dimana, sebagian mengukur ukuran dan sifat pasar wisata, dan karena adanya kesulitan untuk mengatasi berbagai aspek pariwisata, maka terdapat banyak definisi pariwisata dibatasi dalam menyatakan definisi turis dan secara umum memperluasnya dengan implikasi pariwisata. Konsep ini menyediakan kerangka kerja teoritis dan rasional, untuk mengidentifikasi hal-hal yang esensial, dan sering kali terkait dengan pariwisata, tetapi dengan fenomena yang berbeda.
Definisi secara teknis, menyediakan instrumen definisi turis khusus statistik, legislasi, dan keperluan industri pariwisata (Burkart dan Medlik, 1974). Berbagai definisi teknis wisatawan memberikan konsep dan definisi umum yang berlaku secara internasional dan domestik, serta dapat diintegrasikan dalam kerangka definisi pariwisata tersebut.
10 Ekonomi Pariwisata
2.1.3 Holistik
Definisi pariwisata secara holistik berupaya untuk merangkul esensi keseluruhan dari suatu subyek pariwisata. Dimana, pariwisata sebagai jumlah dari fenomena dan hubungan muncul dari perjalanan dan tempat tinggal bukan penduduk, sepanjang perjalanan tersebut tidak mengakibatkan tempat tinggal yang tetap (Burkart dan Medlik, 1974). Definisi pariwisata ini telah diakui oleh berbagai organisasi internasional. Dimana ruang lingkupnya, menganggap bahwa pariwisata mencakup banyak banyak aspek yang berpusat di sekitar wisatawan. Oleh karena itu, tidak dalam ruang lingkup disiplin secara akademis, maka definisi pariwisata ini memungkinan pendekatan interdisipliner dan multidisiplin untuk studi pariwisata.
Menurut Editor Annals of Tourism Research perlunya untuk menggabungkan pariwisata ke dalam teori dan konsep yang terafiliasi dengan berbagai bidang yakni: antropologi, sosiologi, ekonomi, geografi, ilmu politik, ekologi, dan studi perkotaan (Jafari, 1977).
Berbagai bidang tersebut dapat diperluas lagi untuk mencakup pemasaran, hukum, manajemen, dan psikologi. Meskipun pendekatan ini dianggap rasional, namun definisi dari Hunziker dan Kraph dikritik dengan alasan terlalu luas, dimana frasa jumlah fenomena dan hubungan tidak menunjukkan eksistensi metodis dari pariwisata tersebut. Dalam diskursus singkat tentang masalah definisi tersebut, pendekatan holistik lainnya juga mengusulkan definisi bahwa:
Pariwisata adalah studi tentang manusia yang jauh dari habitat yang biasanya, tentang industri untuk memenuhi kebutuhannya, dan dampak pariwisata terhadap aspek sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan fisik. Pendekatan holistik tersebut muncul dalam desain studi kawasan wisata. Pendekatan ini menyajikan model yang dapat dilihat sebagai definisi pariwisata. Konsep ini mengklaim bahwa perencanaan pariwisata memiliki kesempatan untuk sistem tertutup di lingkungan pariwisata yang terdiri dari lima komponen yakni sebagai berikut.
1. Orang—area pasar dengan keinginan dan kemampuan untuk berpartisipasi;
2. Atraksi—menawarkan aktivitas untuk partisipasi pengguna;
3. Layanan dan fasilitas—untuk pengguna/pendukung kegiatan;
4. Transportasi—memindahkan orang ke dan dari objek destinasi wisata;
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 11
5. Informasi dan arahan—membantu pengguna dalam mengetahui, menemukan, dan menikmati.
Pendekatan Gunn (1972) menyarankan kemungkinan untuk menyatakan definisi dalam pengaturan teori sistem yang lebih formal.
Sebuah sistem yang dapat didefinisikan sebagai satu set elemen yang berdiri dalam hubungan timbal balik, di antara mereka dan lingkungan—sistem teori adalah cara untuk melihat hal-hal yang sebelumnya diabaikan atau dilewati. Secara eksplisit, sistem Gunn mengenai interaksi lingkungan di luar 5 (lima) elemen tersebut, sehingga dalam konteks teori sistem, maka pariwisata harus dilihat sebagai suatu sistem terbuka (open system). Pendekatan Gunn tersebut mendefinisikan pariwisata sebagai kerangka sistem yang memungkinkan setiap aspek untuk dapat diidentifikasi. Pendekatan ini menggunakan studi multidisplin tentang aspek-aspek tertentu dari pariwisata, dan studi interdisiplin dari berbagai aspek. Terdapat 4 (empat) aspek utama yang terlibat dalam pariwisata yakni: wisatawan, komponen geografis, komponen industri, dan berbagai interaksi dengan lingkungan yang lebih luas (Leiper, 1979).
2.2 Ekonomi Pariwisata
Ekonomi pariwisata (tourism economics) mengalami perkembangan yang sangat pesat dan substansial dalam beberapa dekade terakhir yang disebabkan hasil dari kombinasi berbagai faktor.
Namun, salah satu penggerak utama (main driver) yang tidak diragukan lagi, disebabkan semakin pentingnya pariwisata secara global sebagai aktivitas ekonomi. Pariwisata adalah komoditas komposit yang berasal dari banyak industri. Ketika seluruhnya diperhitungkan, maka pariwisata menjadi industri terbesar di dunia dalam menciptakan lapangan kerja dan produksi secara global. Dimana, pariwisata merupakan industri yang terus menerus berkembang dan maju (Sinclair dan Stabler, 1997).
Di sisi permintaan, ekspansi pariwisata merupakan cerminan dari pertumbuhan ekonomi secara global. Jumlah orang di seluruh dunia yang memperoleh peningkatan pendapatan per kapita dan lebih banyak lagi terjai waktu luang yang meningkat. Oleh karena itu, permintaan pariwisata bersifat elastis terhadap pendapatan dan cenderung meningkat seiring dengan waktu luang yang terus tersedia tersebut. Kondisi ini juga telah memicu terjadinya peningkatan permintaan untuk pariwisata.
12 Ekonomi Pariwisata
Sementara itu, di sisi penawaran kontributor ekspansi pariwisata secara global adalah adanya pengurangan biaya perjalanan riil, adanya penurunan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu, frekuensi, dan kepadatan layanan perjalanan yang lebih besar, serta biaya transaksi yang lebih rendah dari pengelola wisata (tourism operator). Selain itu, juga hilangnya ancaman terorisme sebagai salah satu ancaman dengan risiko tinggi yang terkait dengan pariwisata. Dimana, jumlah kasus terorisme menurun dari waktu ke waktu. Selain itu, informasi tentang kemungkinan perjalanan yang lebih mudah tersedia secara mudah dibandingkan dengan kondisi masa lalu. Misalnya terjadi dukungan kemajuan teknologi informasi yang berkembangan cepat dan pesat. Semua faktor-faktot tersebut dan kemungkinan besar faktor lainnya juga telah memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan pariwisata global, dan meningkatkan relevansi ekonomi pariwisata ke dunia moderen. Selanjutnya, untuk dapat diperkirakan di masa depan, maka pariwisata global terlepas dari efek jangka pendek dan siklus seperti disebabkan oleh resesi ekonomi, kemungkinan akan terus berkembang lagi (Cooper et al, 2018; Tribe dan Airey, 2007; UNWTO, 2019 dan Gretzel et al, 2015).
Sebagian besar pertumbuhan pariwisata global saat ini dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar di Kawasan Asia seperti Cina dan India. Selain itu, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut di Asia dan beberapa negara berpenghasilan rendah lainnya. Hal ini akan terus mendorong perluasan pariwisata global. Dengan pertumbuhan ekonomi, industri jasa (merupakan bagian pariwisata) yang relatif meningkatkan ekonomi, sedangkan banyak industri lainnnya di Sektor Pertanian terjadi penurunan secara relatif tajam dari waktu ke waktu. Akibatnya, sebagai perbandingannya maka minat dalam ekonomi pariwisata telah meningkat pesat, sedangkan minat mata terhadap ekonomi pertanian semakin berkurang sampai pada batas tertentu.
Fitur yang menarik dari ekonomi pariwisata disebabkan melibatkan kajian tentang komposit komoditas. Hal Ini berarti bahwa sejumlah teknik atau metode ekonomi (seperti akuntansi pariwisata dan penenerapannya) harus terus dikembangkan oleh para ekonom pariwisata, untuk memastikan analisis-analisis tersebut dapat diterapkan secara implementatif. Kondisi ini terus membutuhkan
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 13
adanya inovasi dan kreatifitas yang signifikan, karena arus utama ekonomi sebagian besar berkonsentrasi pada analisis ekonomi yang terkait dengan komoditas lokal, yang sudah terdefinisi dengan baik pada masing-masing industri tertentu. Namun, berdasarkan pengamatan yang dilakukan bertahun-tahun, dalam prakteknya sangat tidak jelas (produk atau komoditas bukan merupakan gabungan) dimana batas- batas industri berada. Hal ini juga terjadi pada beberapa industri atau Sektor Pariwisata (tourism sector). Misalnya, sebagian besar pariwisata (tidak semua) adalah kegiatan waktu luang atau rekreasi, dan rekreasi lainnya. Namun dalam beberapa kasus kegiatan pariwisata dapat berdiri sendiri (parsial), atau bahkan dapat pula saling melengkapi.
Oleh karena itu, dalam mendefinisikan batas-baas industri atau Sektor Pariwisata tidak dapat dilakukan secara kaku (sticky). Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan harus bersifat fleksibel dan dinamis berdasarkan perkembangan dan situasi yang terus terjadi (Tribe, 2017;
UNWTO, 2018; Page and Connel, 2014; Jamal dan Robinson, 2010;
Buhalis, 2000; Weaver, 2014; dan Lashley, 2019).
2.3 Eksternalitas Pariwisata
Eksternalitas (externality) menjadi isu penting dalam bidang ekonomi, termasuk dalam ekonomi pariwisata. Boardman et al (2001) mendeksripsikan eksternalitas sebagai efek produksi atau konsumsi dari pihak ketiga—orang yang tidak terlibat dalam produksi atau konsumsi barang. Dimana produk sampingan dari produksi atau konsumsi yang tidak ada pasar. Peneliti lain menggunakan konsep efek eksternal dibandingkan ikatan eksternal (Mishan, 1994). Eksternalitas dianggap sebagai biaya sosial dan manfaat proyek (swasta atau publik) dari adanya pengeluaran dan penerimaan keuangan yang dipertimbangkan pengambil keputusan secara pribadi atau publik oleh perusahaan. Terdapat beberapa alasan untuk membedakan antara biaya sosial dan manfaat sosial yang berbeda dari pengeluaran dan penerimaan swasta (publik). Eksternalitas atau efek eksternal dapat terjadi karena adanya berbagai alasan. Beberapa eksternalitas dihasilkan oleh jenis teknologi tertentu yang digunakan misalnya kerusakan lanskap yang disebabkan oleh listrik. Hal lainnya adanya ketergantungan atau sinergi antara produsen dan konsumen dari
14 Ekonomi Pariwisata
kelompok produsen yang berbeda misalnya tetangga saya adalah peternak lebah yang menyediakan layanan penyerbukan untuk buah di kebun saya. Eksternalitas lainnya, adanya jaringan misalnya jaringan yang meningkatkan omset hotel dan restoran, adanya efek negatif dari kegiatan proyek dan aktivitas perusahaan yang terjadi.
Eksternalitas secara umum juga sering digunakan, benar atau salah untuk membenarkan banyak proyek. Selain itu, dalam banyak penelitiab, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk mencakup eksternalitas—efek tidak langsung, efek limpahan, efek yang diinduksi, efek asal, efek uang, dan efek samping. Banyak konsultan pariwisata, seringkali melakukan penyalahgunaan penggunaan eksternalitas untuk menggelembungkan apa yang disebut manfaat proyek. Oleh karena itu, untuk menghindari penyalahgunaan seperti itu, tampaknya tepat untuk mengidentifikasi jenis-jenis eksternalitas. Terdapat jenis- jenis eksternalitas negatif dan positif: biaya dan manfaat belum dibayar; biaya dan manfaat kurang bayar; serta efek samping positif dan negative (Pearce dan Turner, 1990; Cropper dan Oates, 1992;
Kahn, 2003, Hanley et 2001).
Berdasarkan berbagai uraian yang sudah disebutkan tersebut di atas maka terlihat jelas adanya eksternalitas positif dan negatif. Dimana, kelompok pertama (eksternalitas positif ) dapat menghasilkan manfaat, sedangkan kelompok kedua (eksternalitas negatif ) mendapatkan beban biaya sosial. Stabiler et al (2010) mengkategorikan eksternalitas menjadi 4 (empat) bentuk yaitu: 1). Konsumen pada konsumen; 2).
Konsumen pada produsen; 3). Produsen pada ponsumen; dan 4).
Produsen pada produsen.
2.3.1 Eksternalitas Negatif
Kelompok pertama eksternalitas negatif (negative externality) adalah biaya yang belum dibayar. Setiap proyek atau kegiatan adalah inisiatif dari seseorang, perusahaan, atau badan publik. Siapa yang membayar atau membiayai proyek tidak penting. Namun, Investor bertugas sebagai pembayar. Pada tingkat ini, pembayar bertanggung jawab atas biaya investasi dan dalam menjalankan biaya proyek, tetapi investor juga menguangkan pembayaran langsung tersebut dari konsumen. Misalnya biaya masuk untuk berpartisipasi pada suatu acara dalam penggunaan sky-lift. Namun, dalam banyak
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 15
kasus, pemberi pembayaran tidak membayar semua biaya dari proyek. Banyak proyek menguras biaya ekonomi, biaya sosial, dan biaya lingkungan yang tidak ditanggung investor. Oleh karena itu menyebabkan pihak ketiga akan membayar tagihan atau mengalami ketidaknyamanan dari aktivitas tersebut (Vanhove, 2003; Stabiler et al, 2010). Contohnya lainnya, biaya yang belum dibayar pada Sektor Pariwisata termasuk polusi udara, kebisingan, kemacetan lalu lintas, dan kerusakan landskap.
Kelompok kedua eksternalitas negatif, adalah biaya yang kurang bayar, dimana beberapa biaya telah diperhitungkan tetapi tidak dengan harga penuh. Contohnya pengambilalihan tanah untuk acara besar dengan harga di bawah nilai pasar. Kondisi ini menyebabkan biaya peluang (oportunitas). Dimana, biaya harus diukur dengan biaya oportunitas. Biaya oportunitas, istilah lain yang sering digunakan secara umum di bidang ekonomi. Setiap proyek pariwisata membutuhkan sumber daya yang dapat digunakan untuk memproduksi barang atau jasa lain sebagai gantinya.
Proyek atau acara pariwisata seperti festival, acara olahraga, taman hiburan, prasarana olahraga musim dingin yang membutuhkan tenaga kerja, modal dan/atau peralatan. Sumber daya yang digunakan untuk tujuan tersebut, tidak dapat lagi digunakan untuk memproduksi barang atau jasa lain. Secara umum hampir seluruh proyek publik atau swasta menyebabkan terjadinya biaya oportunitas. Secara konseptual, biaya oportunitas ini sama dengan nilai barang dan jasa yang akan dihasilkan dengan sumber daya yang telah digunakan untuk melaksanakannya, sebagai ganti dengan cara alternatif terbaik. Dengan kata lain, produksi di tempat lain ditiadakan dengan sumber daya yang telah digunakan untuk melaksanakan hal tersebut (Boardman et al, 2001; Mishan, 1994).
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa bagian biaya tersebut harus diukur dengan biaya peluang. Pada pasar yang efisien, maka biaya oportunis sama dengan harga pasar. Namun, pasar tidak selalu berada pada kondisi efisien. Misalnya, Olimpiade diselenggarakan di daerah atau negara dengan tingkat pengangguran sangat tinggi. Pada tahap konstruksi infrastruktur yang diperlukan.
Misalnya, kebutuhan adanya stadion dan infrastuktur olahraga baru yang digunakan untuk melaksanakan pertandingan, dimana ratusan atau bahkan ribuan dari pengangguran yang mencari pekerjaan.
16 Ekonomi Pariwisata
Semua akan dibayar dengan gaji biasa ketika mereka bekerja pada konstruksi stadion dan infrastruktur tersebu. Dimana gaji ini termasuk dalam investasi dan biaya operasional pada tingkat mikro.
Biaya tersebut harus diukur dengan biaya peluang. Berapa biaya peluang dari orang yang menganggur? alternatif terbaik dari mungkin menjadi pengangguran. Kontribusi yang sesuai dari orang-orang yang menganggur untuk produk nasional adalah nol—transfer murni dari manfaat pengangguran. Disana tidak ada produksi (barang atau jasa) yang hilang. Kondisi ini sangat penting dari penilaian proyek dari sudut padangan makro. Hal ini mungkin sering terjadi di Sektor Pariwisata di suatu Kawasan industri. Banyak daerah pariwisata yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Kelompok ekternalitas negatif ketiga yakni efek samping dari proyek, atau peristiwa yang kompetitif. Secara umum diketahui, dimana proyek pariwisata baru bersaing dengan unit produksi yang ada di wilayah yang sama—misalnya pusat acara atau kegiatan yang baru dibangun ditempat dekat dengan kota yang sudah memiliki fasilitas sama yang baik. Maka, terjadi pengurangan nilai tambah yang harus diperhitungkan, sebagai item biaya untuk acara dan kegiatan yang baru dibangun tersebut.
2.3.2 Eksternalitas Positif
Kelompok pertama eksternalits positif adalah manfaat yang tidak dibayar. Dimana, tidak semua manfaat dari suatu proyek atau peristiwa diperoleh oleh investor. Di Sektor Pariwisata, terdapat banyak kemungkinan manfaat yang belum dibayar seperti efek promosi, eksposur internasional, dan peningkatan nilai properti. Namun, dalam kasus lain konsumen tidak selalu membayar harga penuh dari produk atau layanan yang mereka terima, atau mereka diperhadapkan dengan manfaat yang kurang dibayar. Jika konsumen membayar lebih rendah dari harga pasar untuk suatu layanan (misalnya kinerja)—
manfaat diukur dari segi harga pasar—tampaknya jelas bahwa ada kekurangan pembayaran manfaat. Situasi menjadi lebih rumit ketika mempertimbangkan kesediaan konsumen untuk membayar. Hal ini membawa pada gagasan surplus konsumen. Surplus konsumen menjadi salah satu dasar dari analisis biaya manfaat (Pearce, 1983;
Boardman et al, 2001; Stabliser et al, 2010; Vanhove, 2003; Mishan, 1994).
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 17
Gambar 3.1 Surplus Konsumen
Berdasarkan gambar 3.1 di atas, dimana kurva permintaan menunjukkan jumlah barang atau jasa yang dibeli individu pada berbagai harga. Kurva permintaan dengan miring ke bawah diilustrasikan pada garis P1F. Kondisi ini menunjukkan hubungan antara permintaan dan kesediaan membayar (WTP). Gambar 3.1 juga mengilustrasikan setidaknya ada satu konsumen yang bersedia membayar harga P1 untuk satu unit layanan X. Demikian pula, setidaknya ada satu orang yang akan membayar harga P2 untuk unit kedua X, dan ada seseorang yang akan membayar harga P3 untuk satuan ketiga dari X, dan seterusnya. Kondisi ini mengambarkan bahwa area di bawah kurva permintaan, atau persegi panjang lebar menunjukan WTP untuk X bagi semua anggota masyarakat. Dengan kata lain, setiga P1P4C dan persegi Panjang P4CX30 pada gambar 3.1 di atas, masyarakat menuju WTP untuk jumlah tertentu X, dalam hal ini jumlah X3. Jadi jumlah setiga dan persegi Panjang mendekati total manfaat kotor yang akan diterima masyarakat dari mengkonsumsi sebanyak X3 unit layanan X. Konsumen membayar P4 kepada produsen jasa pariwisata. Dalam hal ini, keuntungan bersih dari mengkonsumsi unit X3 sama dengan luas area di bahwa kurva permintaan, tetapi di atas garis harga P4C. Segitiga P1P4C ini disebut surplus konsumen.
Kapan kurva permintaan diketahui, surplus konsumen adalah salah satu konsep dasar dalam analisis biaya-manfaat (CBA), untuk menilai
18 Ekonomi Pariwisata
atau mengukur dampak. Alasan mengapa surplus konsumen sangat penting bagi CBA adalah bahwa perubahan surplus konsumen dapat digunakan sebagai hal yang wajar dalam memperkirakan perubahan WTP masyarakat (Boardman et al, 2001). Untuk menunjukkan bagaimana konsep surplus konsumen dapat digunakan dalam CBA, untuk mempertimbangkan proyek yang menghasilkan perubahan harga. Penurunan harga pada gambar 3.1 dari P4 ke P5. Kondisi ini akan menghasilkan manfaat yang sama bagi konsumen pada area trapesium P4CFP5.
Garis harga P4C. Segitiga P1P4C ini disebut surplus konsumen.
Apabila ke area trapesium P4CFP5. Hal ini terjadinya karena konsumen mendapatkan dari membayar harga yang lebih rendah untuk unit X3 yang mereka beli sebelumnya, dan karena itu mereka memperoleh keuntungan dari konsumsi unit tambahan X3 dan X4. Jika ada kenaikan harga, ada kerugian surplus konsumen. Namun, jika kenaikan harga disebabkan oleh pajak yang dikenakan, tidak ada kerugian tetapi terjadi transfer sederhana —uang ditransfer dari konsumen ke pemerintah. Dari perspektif masyarakat secara keseluruhan, dampak bersihnya adalah nol. Perubahan surplus konsumen adalah ukuran efek pada kesejahteraan individu dari perubahan harga barang yang mereka konsumsi. Individu mungkin terpengaruh dengan cara yang sangat mirip jika ada perubahan biaya harga faktor (seperti tenaga kerja, penggunaan modal dan tanah) yang mereka suplai.
Perubahan tersebut dikatakan menyebabkan perubahan surplus produsen (Sugden dan Williams, 1988; Boardman et al, 2001).
Surplus produsen adalah sisi penawaran yang setara dengan surplus konsumen. Untuk menentukan surplus produsen terdapat pada Gambar 3.2. Pada harga dari P1, produsen menerima pendapatan yang sama dengan area yang diwakili oleh luas persegi panjang OP1BX1. Selisih antara luas persegi panjang ini dan luas persegi panjang di bawah kurva penawaran S, yaitu luas AP1B, disebut surplus produsen.
Terdapat beberapa produsen bersedia berproduksi pada harga lebih rendah dari P1. Jadi, surplus produsen sama dengan pendapatan dari penjualan X1 kurang dari biaya variabel yang diperlukan untuk memproduksi X1— atau jumlah total produsen surplus dan biaya peluang (yaitu area AP1B + OABX1) sesuai terhadap total pendapatan.
Menurut Burgan dan Mules (2001), surplus produsen kembalinya
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 19
ke produsen untuk setiap unit produksi dan termasuk unit terakhir yang berada di atas dan di luar biaya sumber daya yang terlibat di dalam produksi. Asumsinya adalah sumber daya digunakan pada biaya kesempatan mereka. Perubahan harga yang disebabkan oleh suatu proyek berdampak pada produsen yang dapat dinilai dari sisi perubahan surplus produsen (Burgan dan Mules, 2001; Williams dan Wall, 2002; Say, 2009). Peningkatan harga menjadi P2 meningkatkan surplus produsen (atau keuntungan ekonomi) sebesar P1P2CB (Boardman et al., 2001).
Sebagian besar kegiatan atau acara pariwisata berdampak positif pada omzet dari banyak unit produksi lainnya seperti hotel, restoran, pub, taksi, dan toko suvenir yang dikenal sebagai efek samping atau kegiatan pelengkap. Efek samping kegiatan pelengkap tersebut bukan omzet yang diperhitungkan, tetapi nilai tambah yang tercipta. Namun, seringkali nilai tambah dalam kegiatan pelengkap tersebut berkali- kali lipat lebih besar dari nilai tambah pada tingkat mikro. Kegiatan pelengkap tersebut pada gilirannya berdampak pada pengiriman perantara. Biasanya disebut sebagai efek tidak langsung (indirect income).
Gambar 3.2 Surplus Produsen
21
BAB III
PEMBANGUNAN PARIWISATA
Pembangunan pariwisata (tourism development) adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah, swasta dan masyarakat. Keberhasilan pembangunan pariwisata sangat ditentukan oleh adanya kerjasama dan keterpaduan semua pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga harus dilakukan secara terintegrasi. Pembangunan pariwisata menjadi isu yang menarik untuk dibahas. Sektor pariwisata memiliki kelebihan terkait dengan penerimaan devisa, penyerapan tenaga kerja, efek menetes ke bawah (trickle down effect) ke sektor ekonomi terkait serta pemanfaatan sumber daya domestik yang mendukung kebijakan ekonomi inklusif. Penerimaan devisa dari sektor pariwisata merupakan bagian dari pendapatan korporasi maupun rumah tangga penyelenggara jasa. Meningkatnya penerimaan devisa juga memberikan manfaat ke perbaikan neraca berjalan dan manajemen pengelolaan nilai tukar di tataran makro ekonomi (Ritchie dan Crouch, 2003; Gosling, 2015; Sharpley, 2014; Hal dan Page, 2014; Weaver, 2014;
Saarinen, 2006; WTO, 1981; Tosun, 2001; Mowforth dan Munt, 2015).
Peranan Sektor Pariwisata secara nasional semakin penting sejalan dengan perkembangan dan kontribusi melalui penerimaan devisa, pendapatan daerah, pemerataan pengembangan wilayah maupun dalam penyerapan investasi dan tenaga kerja serta pengembangan usaha yang tersebar di berbagai pelosok wilayah di daerah. Pada beberapa dekade terakhir, Travel & Tourism dan ekosistem pendukungnya telah terbukti menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi yang signifikan, berkontribusi lebih dari 10 persen terhadap PDB global dan menyumbang 1 dari 10 pekerjaan di planet ini. Industri ini terus menjadi kekuatan yang baik, memberikan peluang unik bagi negara berkembang dan negara berkembang untuk meningkatkan rantai nilai (WTTC, 2021; UNWTO, 2019, 2021; Dwyer et al, 2010; Hall dan Page, 2014).
22 Ekonomi Pariwisata
Menurut The Travel and Tourism Competitiveness Report tahun 2019, pariwisata Indonesia menempati posisi ke-40 dari 136 negara tujuan wisata naik dua peringkat dari posisi tahun 2017. Data ini menunjukkan tren positif kunjungan wisatawan ke Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kampanye pemasaran pariwisata Indonesia “Wonderful Indonesia” meraih penghargaan Most Popular Both Awards dan Most Outstanding Both Awards pada pameran pariwisata Beijing International Travel Expo (BITE) 2018 yang dilaksanakan di China National Convention Center. Selain itu, Indonesia juga meraih penghargaan di bidang inovasi wisata dari United Nation World Tourism Organization (UNWTO, 2021).
3.1 Tujuan Pembangunan Kepariwisataan
Merujuk pada Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dimana bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Berdasarkan kondisi tersebut dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tersebut disebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk: a). meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b). meningkatkan kesejahteraan rakyat; c).
menghapus kemiskinan; d). mengatasi pengangguran; e). melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; f ). memajukan kebudayaan;
g). mengangkat citra bangsa; h). memupuk rasa cinta tanah air; i).
memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan j). mempererat persahabatan antarbangsa (Dirjen Pariwisata, 2012; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, 2018).
3.2 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang terdapat Pasal 5 Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip-prinsi sebagai berikut: a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b).menjunjung tinggi
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 23
hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; d). memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; e). memberdayakan masyarakat setempat; f ). menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan; g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Direktorat Jenderal Pariwisata, 2012; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, 2018).
3.3 Pembangunan Kepariwisataan
Pembangunan kepariwisataan (tourism development) di Indonesia termasuk pada tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota dilakukan berdasarkan asas manfaat; kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan. Dimana asas penyelenggaran kepariwisata tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pembangunan kepariwisataan meliputi: 1). Industri pariwisata (tourism industry); 2). Destinasi pariwisata (tourism destination); 3. Pemasaran pariwisata (tourism marketing); dan 4). Kelembangaan pariwisata (tourism institution).
(Direktorat Jenderal Pariwisata, 2012; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, 2018).
3.4 Kawasan Strategi Pariwisata
Kawasan strategis pariwisata dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dimana, Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan agama masyarakat setempat.
Selanjutnya, Kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkan oleh Pemerintah, Kawasan strategis pariwisata provinsi ditetapkan oleh
24 Ekonomi Pariwisata
Pemerintah Daerah provinsi, dan Kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Oleh karena itu, penetapan Kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek: a). sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata (tourism attraction); b). potensi pasar pariwsata yang luas; c). lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah;
d). perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e).
lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; f ). kesiapan dan dukungan masyarakat;
dan kekhususan dari wilayah (Direktorat Jenderal Pariwisata, 2012;
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, 2018).
3.5. Paradigma Pembangunan Pariwisata
Secara umum tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) memilki tiga kebijakan mendasar yakni efisiensi ekonomi (economic efficiency), keadilan sosial (social equity), dan integritas lingkungan (environmental integrity) (Bramwell, 1997). Efisiensi ekonomi adalah tujuan kebijakan pertama yang membutuhkan penggunaan sumber daya ekonomi yang efisien untuk mendukung generasi sekarang dan masa mendatang. Keadilan sosial adalah tujuan kebijakan kedua untuk pembangunan berkelanjutan, dan memerlukan keberlanjutan sistem sosial lokal atau cara hidup, serta keadilan sosial antar manusia saat ini dan antara generasi. Integritas lingkungan adalah tujuan kebijakan ketiga, namun pariwisata memilih untuk lebih memprioritaskan masalah ekonomi dan sosial daripada integritas lingkungan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, masalah-masalah lingkungan belum menjadi perhatian penting, meskipun disadari bahwa lingkungan mempengaruhi aspek-aspek lainnya (Young, 1992; Bramwell, 1997).
3.5.1 Kerangka Berkelanjutan
Kerangka kerja berkelanjutan (sustainability framework) berpotensi sebagai titik awal untuk mengembangkan strategi pariwisata untuk Kawasan lindungan dalam perencanaan terpadu kerang kerja dalam membangun prinsip-prinsip keberlanjutan
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 25
(Sharpley, 2000; Waldon dan Williams, 2002). Analisis dilakukan pada dua tingkat pemangku kepentingan: 1) secara regional melalui perencanaan regional; dan 2) tingkat lokal yang berfokus pada pemangku kepentingan terkait taman.
Sejumlah pakar yakni Spangenberg dan Valentin (1999); Eden et al (2000) mengajukan kerangka berkelanjutan dalam bentuk prima berkelanjutan yang diadaptasi dari Wuppertal Institute yang mengambarkan keterkaitan antara kelembagaan, imperatif sosial, ekonomi dan lingkungan (yang disebut sebagai dimensi) dari pembangunan berkelanjutan. Dimana, tidak mungkin dilakukan pemisahan antara tiga dimensi klasik (yaitu ekonomi, sosial- budaya, lingkungan) dalam pembangunan berkelanjutan. Prisma keberlanjutan yang menjadi perdebatan dan diskursus mencakup 4 (empat) dimensi: kelembagaan yang menekankan pada proses pengambilan keputusan partisipatif, demokrasi, partisipasi dan keterlibatan publik yang menyerukan penguatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan politik. Dimensi ekologi menekankan perlunya mengurangi tekanan pada lingkungan fisik. Selanjutnya, dimensi ekonomi mempertimbangkan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan secara materi (misalnya pekerjaan) dalam kerangka kerja kompetitif dan stabil. Suatu sistem ekonomi berkelajutan secara lingkungan hanya selama jumlah sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan kesejahteraan dibatasi pada ukuran dan kualitas yang tidak menghabiskan sumberdanya untuk penggunaan di masa mendatang. Dimensi sosial mengacu pada ketrampilan individu, dedikasi, pengalaman, dan perilaku yang dihasilkan (Bramwell, 1997; Valentin dan Spangenberg, 2000).
Keempat dimensi tersebut adalah saling terkait mewakili konsep pembangunan berkelanjutan yang lebih holistik. Ketersediaan akses yang setara dalam distribusi sumber daya yang terbatas ini. Kesetaraan dalam distribusi akses sebagai keterkaitan antara dimensi sosial dan lingkungan. Demokrasi sebagai keterkaitan antara institusional dan imperative sosial, merupakan kondisi dasar dari toleransi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, demokrasi partisipatif merupakan syarat dasar bagi kehidupan kohesi sosial serta pembangunan berkelanjutan pada umumnya. Penciptaan kesejahteraan sosial seiring dengan harga sosial yang harus dibayar.
26 Ekonomi Pariwisata
Jika beban juga manfaatnya didistribusikan secara merata, pembagian beban yang adil, menghubungkan sosial dan dimensi ekonomi, merupakan kebutuhan yang tak terelakan sebagai elemen dasar kesejahteraan negara. Peduli, sebagai keterkaitan antara kelembagaan dan lingkungan, mengacu pada kombinasi antara dedikasi dan tindakan. Peraturan hukum serta organisasi dan Tindakan individu, untuk peduli terhadap lingkungan. Ini juga mewakili sistem nilai yang lebih tegas (berlawanan dengan teknokratis) yang dibutuhan untuk pembangunan berkelanjutan. Ekoefisiensi (ecoefficiency) mengacu pada ukuran fisik yang mencirikan penggunaan sumber daya untuk totalitas kegiatan ekonomi di daerah referensi, sebuah pengukuran untuk efisiensi fisik suatu perekonomian. Keadilan adalah keterkaitan antara kelembagaan dan ekonomi yang mewakili konteks sosial politik (Cottrell dan Cutumisu, 2006; WCED, 1987; UNDP, 2011, 2015). Secara lengkap prisma keberlanjutan terdapat pada gambar sebagai berikut.
Sumber: Spangenberg dan Valentin (1999); Cottrell dan Cutumisu (2006)
Gambar 3.1 Model Prisma Keberlanjutan 3.5.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan (concept of sustainable development) berdasarkan adanya suatu bukti bahwa pemanfaataan dan pengelolaan keanekaragama hayati memiliki kecenderungan mengarah pada perilaku yang bersifat eksploitatif. Timbulnya kesadaran akan pentingnya keanekaragaman hayati sebagai sumber
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 27
daya alam (natural resources), fungsinya dalam proses-proses ekologis dan perannya dalam kaitanya dengan kondisi sosial dan budaya mendorong terciptanya strategi konservasi (conservative strategic), terutama untuk menjamin tersedianya sumber daya hayati dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh World Commission on Environment and Development pada Tahun 1986 pada saat Our Common Future yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987; Luchman, 2004).
Pembangunan berkelanjutan menyediakan kerangka integratif kerangka kerja untuk menilai beragama dampak olahraga mega- event, termasuk hubungannya dengan pariwisata. Namun, terdapat perdebatan tentang arti dan konsep pembangunan berkelanjutan.
Yang paling banyak dikutip sebagai definisi pembangunan berkelanjutan berasal dari Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan yang mengambarkan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan masa depan genarasi untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan masa depan generasi untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep pembangunan berkelanjutan menghubungkan hal ini secara lebih luas ide untuk suatu sektor kegiatan ekonomi (Bramwell, 1997).
Secara historis, model atau paradigma pembangunan kepariwisataan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan merupakan model alternatif dan wujud dari kritik yang tajam terhadap model konvensional pembangunan kepariwisataan yang ada sebelumnya. Model atau pembangunan kepariwisataan yang berorientasi pada pertumbuhan semata yang telah memberikan prioritas tinggi pada kepariwisataan masal. Strategi pembangunan kepariwisataan yang berorientasi pada pertumbuhan ini sangat mengedepankan peroldeh devisa dan pertumbuhan investasi yang setinggi-tingginya di sektor kepariwisataan. Muara dari seluruh kritik dan perdebatan terhadap model dan strategi kepariwisataan yang berorientasi pada pertumbuhan tersebut telah melahirkan strategi baru yakni perencanaan pembangunan kepariwisataan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dimana strategi ini mengedapankan pemberdayaan dari optimalisasi manfaat kepariwisataan bagi
28 Ekonomi Pariwisata
masyarakat dan kelestarian lingkungan fisik maupun nonfisik pada destinasi pariwisata. Fokus utama yang menjadi tujuan dan sasaran dalam pembangunan kepariwisataan berkelanjutan adalah bahwa pembangunan kepariwisataan tidak hanya untuk target pertumbuhan investasi pariwisata untuk memperoleh devisa semata, tetapi juga jauh lebih penting adalah terjaganya kelestarian lingkungan, keberlanjutan pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama yang berada di sekitar destinasi pariwisata (WCED, 1987; Luchman, 2004).
Tabel 3.1 Pergeseran Paradigma dan Strategi Pembangunan Pariwisata
No. Karateristik Paradigma Pembangunan Pariwisata Pertumbuhah (growth) Berkelanjutan
(sustainable) 1. Fokus Growth: mass tourism Development 2. Nilai yang
dikejar
Devisa dan Investasi Community Based and Green Tourism 3. Indikator Jumlah kunjungan, lama
tinggal, dan pembelanjaan wisatawan
Dampak multi ganda dari kepariwisataan 4. Peran
Pemerintah
Entrepreneur and devel- oper
Fasilitator 5. Peran
masyarakat:
Akses Tertutup Terbuka
Peran Pasif Partisipatif Aktif
Karakter Beneficiaries (penerima manfaat)
Entrepreneur
Posisi Marginal Stakeholder
6. Tuntutan Kualitas
Standar lokal Standar universal Sumber: Inskeep (1991), Sharpley dan Telfer (2015), Hall dan Page
(2014), Weaver dan Lawton (2014), Buhalis dan Darcy (2011), Bramwell (2004), Choi dan Sirakaya (2006), Airey (2005), Mowforth
dan Munt (2015)
Suparman, Muzakir, dan Vitayanti Fattah 29
Berdasarkan model pergeseran paradigma tersebut di atas, terlihat begitu penting dan strategi hal-hal penting mengalami pergeseran, namun pembangunan kepariwisataan berkelanjutan masih sulit diimplementasikan secara baik tersebut karena disebabkan beberapa hambatan (kendala) yang sering terjadi (Luchman, 2004) yaitu:
1). Masih kurangnya pasar dari produk-produk (komoditas) yang dihasilkan dari kegiatan/praktek pembangunan berkelanjutan, antara lain pasar pertanian produk organik atau produk-produk yang ramah lingkungan lainnya; 2). Kurangnya subsidi dari pemerintah terhadap suatu industri dengan isu-isu dan praktek-prakter pembangunan berkelanjutan; dan 3). Adanya konflik-konflik kepentingan (vested interest) dan politik yang menghalangi implementasi penerapan paradigma berkelanjutan.
Menurut Whiteen et al (1995), pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan ini memerlukan kebijakan dan peraturan yang harmonis dan tidak saling bertentangan sebagai berikut: 1). Meningkatkan dan memelihara integritas ekosistem; 2).
Meminimalkan kemerosotan mutu lingkungan dan sumber daya; 3).
Meminimalkan limbah yang dihasilkan dan sebaliknya meningkatkan proses-proses daur ulang; 4). Menetapkan akses terhadap sumber daya yang adil, serta alokasi peraturan yang pantas; 5). Memecahkan kesulitan dalam kebaikan ekosistem terpadu dan pembangunan sosial; dan 6). Menghargai keanekaragaman hayati dan manusia.
3.5.3 Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) didefinisikan oleh United National World Tourism Organization (UNWTO) adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak penuh dari kehadiran ekonomi, sosial dan masa depan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan pengunjung, industri pariwisata, lingkungan dan masyarakat lokal (UNWTO, 2015; 2017). Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah keseimbangan antara lingkungan pariwisata, kebutuhan masyarakat setempat dan kebutuhan wisatawan. Dengan kata lain, pencapaian pembangunan berkelanjutan tujuannya adalah sebagai berikut: 1). Tujuan pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi melalui pendekatan akar rumput untuk pembangunan yang berfokus pada kepuasan kebutuhan dasar masyarakat; 2). Tujuan