• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edisi XXXVII / No. 2 / 2011 - Jurnal Masyarakat Indonesia

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Edisi XXXVII / No. 2 / 2011 - Jurnal Masyarakat Indonesia"

Copied!
267
0
0

Teks penuh

Di sinilah, seperti yang akan dibahas lebih lanjut, persoalan-persoalan yang dihadapi Ahmadiyah di Indonesia. Bagian pertama akan memaparkan konteks politik Indonesia kontemporer yang cenderung anti-minoritas, sedangkan bagian kedua akan mengkaji praktik minoritas Ahmadiyah di daerah dengan mengambil studi kasus Cianjur dan Tasikmalaya. Namun jika melihat sejarah Ahmadiyah di Indonesia, perjalanan organisasi ini pada awalnya tidak menemui kendala yang berarti.

Melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (JD) pada 9 Juni 2008, yang berisi pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Indonesia – yang dikenal dengan JD Tiga Menteri. Namun, meski jelas para korban adalah warga Ahmadiyah, tak lama setelah kejadian itu, Pemkab Pandeglang dan tiga pemerintah daerah lainnya mengeluarkan surat keputusan pelarangan kegiatan Ahmadiyah di wilayahnya. 2008, “Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya”, Makalah pada Seminar Internasional IX Yayasan Percik, Salatiga.

KASUS MULTIKULTURALISME BELANDA SEBAGAI KRITIK ATAS UTOPIA

Persoalannya kemudian adalah seberapa relevan konsep multikulturalisme yang dikembangkan para ilmuwan sosial di Barat dengan kasus Indonesia. Pemahaman tentang dinamika toleransi dan multikulturalisme di Belanda diharapkan dapat memberikan alternatif bacaan tentang isu keberagaman di Indonesia. Dinamika toleransi dan multikulturalisme di Belanda memiliki keunikan tersendiri yang membuat menarik untuk dibahas dalam tulisan ini.

Relativisme budaya (yang nilai-nilai dari tradisi dianggap nilai-nilai non-kontradiksi di Belanda. Permasalahan tersebut menyebabkan diskusi tentang keragaman di Indonesia ke arah kecenderungan untuk memposisikan konsep multikulturalisme sebagai jawaban ideal. Dalam proses ini , para intelektual di Indonesia juga memiliki kewajiban untuk dapat membentuk konsep multikulturalisme yang lebih cocok untuk kasus di Indonesia.

PEMETAAN SOSIAL-POLITIK KELOMPOK ETNIK CINA DI INDONESIA

Situasi ini akan semakin membingungkan ketika berhadapan dengan Tionghoa Peranakan - yang merupakan bagian terbesar dari etnis Tionghoa di Indonesia. Antara tahun 1955 dan 1960, diadakan perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok untuk menetapkan status kewarganegaraan keturunan Tionghoa di Indonesia. Nampaknya semakin berkembang masyarakat Indonesia, kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di Indonesia semakin berubah.

Melihat situasi yang diuraikan di atas, muncul pertanyaan: bagaimana cara mengidentifikasi warga negara keturunan Tionghoa di Indonesia. Istilah "Cina" untuk menyebut orang Tionghoa pada umumnya, atau warga negara keturunan Tionghoa Indonesia pada khususnya, bukanlah berasal dari orang Tionghoa, melainkan dari orang Eropa yang menghubungkan mereka dengan dinasti yang didirikan di Tiongkok pada masa pemerintahan 225-206 SM, yaitu. Dinasti Qin (Chin). Angka penduduk tahun 1930 selalu digunakan orang untuk menghitung jumlah penduduk etnis Tionghoa di Indonesia di masa mendatang melalui ekstrapolasi.

Secara sosiologis, penurunan persentase ini sangat mungkin terjadi karena mereka yang seharusnya digolongkan sebagai KEC tidak lagi ingin mengaku sebagai warga KEC, tetapi mengaku sebagai mayoritas "Indonesia" atau "suku" tempat tinggalnya. Pada tahun 1957, perjanjian kewarganegaraan KEC di Indonesia ditandatangani antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia. Kelompok ini terutama didukung oleh Tionghoa Peranakan yang kurang memiliki rasa nasionalisme "Tionghoa" karena mereka lahir di Hindia Belanda dan pada umumnya dididik di sekolah-sekolah Belanda dan berorientasi pada Belanda.

Perbedaan tingkat asimilasi, agama, pendidikan, ekonomi dan lain-lain menjadikan masyarakat Tionghoa di Indonesia sebagai suku bangsa yang heterogen. Apakah dilatarbelakangi oleh kesamaan budaya yaitu ingin melestarikan “budaya Tionghoa” dimanapun berada. Semua orang setuju bahwa "masalah China" harus diselesaikan, tetapi cara untuk menyelesaikannya berbeda di antara pihak-pihak.

From Chinatown to Nan Yang: An Introduction to Chinese Entrepreneurship in Indonesia, di Prisma, no.

REISLAMIZING LOMBOK: CONTESTING THE BAYANESE ADAT

Adat in general can be understood as the embodiment of the local culture and tradition. The characteristic of adat is aptly quoted by Hefner: "the term adat itself has acquired a variety of regional usage. The contextual aspect of the Bayane's belief includes beliefs and behaviors strongly related to their natural surroundings and the deceased relatives.

Instead of reforming the whole adat belief, Islam gave more accentuation of adat in the use of the Arabic payer in any adat function. He concluded that by bearing the name "Bayan", "the Wali expected that this area could be the center of Islam, followed by other parts of Lombok. All his pupils live in the dormitory of the pesantren (mondok ) while undertaking their studies.

Instead, he appoints alumni (arbituren) of Nurul Hakim as missionaries who work at the grassroots level of the community (da’i lapangan). It has since been abandoned for Karang Bajos, as the Bayanese were not regular prayer companions of the mosque. In his words: “The Friday prayer would never have been performed if the da'i had associated with the Syafi'ites.

Da'i direct their activity more towards the behavioral change of the young generation. 16 Kiai adat performed the ritual death prayer in the house of the deceased family. Community attachment to adat does not appear to be the only factor leading to low daqua acceptance.

Takziah is a speech dedicated to the family and friends of the deceased at the place of the grave, after the funeral has ended.

DINAMIKA KEHIDUPAN MINORITAS MUSLIM DI BALI

Orang-orang Bugis yang tinggal di pesisir pantai di Bali Selatan kemudian membentuk perkampungan Muslim yang dapat ditemukan hingga saat ini. Walaupun tidak ada catatan yang pasti, diperkirakan orang Bugis menetap di Bali Utara pada tahun 1642. Berdasarkan cerita turun temurun, suku Bugis yang menetap di Serangan berasal dari Lombok dan Sumbawa.

Orang Islam ini kemudiannya dibawa oleh Panji Sakti dari Blambangan ke Buleleng kerana mereka membantu kemenangannya. Pada masa itu, ramai orang Islam di Lombok yang dianggap sebagai orang bertuah dibawa oleh raja ke Karangasem untuk membantu raja (Temu bual dengan tokoh agama). Raja Karangasem menempatkan orang Islam yang dibawa dari Lombok menggunakan strategi pengepungan istana.

Sejak abad ke-19, 3 orang Muslim asal Jawa tinggal di Denpasar, khususnya di Kampung Wanasari atau Kampung Jawa. Pada awal abad ke-20, karena faktor ekonomi, banyak orang Islam dari Jawa, Madura, dan Sasak menetap di Kampung Jawa. Prajurit Muslim ini terdiri dari orang-orang Bugis-Mandar yang dulu ditempatkan di Praampang-Blambangan.

Misalnya di Desa Banyubiru Jembrana, umat Islam sudah lama menjadi anggota perkumpulan subak dan bergabung dengan mereka. Anggota paguyuban ini tidak hanya umat Hindu Bali tetapi juga umat Islam yang berkeliling desa. Orang Bugis sering memberikan pengobatan gratis, yang menimbulkan simpati di kalangan masyarakat Hindu.

Misalnya pada tahun 1855, kehidupan harmonis antara masyarakat Muslim dan Hindu di Jembrana terganggu pada masa pemerintahan I Gusti Ngurah Pasekan yang berlaku tidak adil terhadap umat Islam.

NASIONALISME ETNIK DI KALIMANTAN BARAT

Kami mendekati observasi kemunculan semacam “bangsa etnis” di Kalimantan Barat dengan teori hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci. Jatuhnya Sultan Hamid juga berimbas pada jatuhnya hegemoni etnis Melayu di Kalimantan Barat. Selain itu, etnis Dayak juga menduduki 4 jabatan kabupaten dari 7 kabupaten di Kalbar.

Dapat dilihat dari uraian di atas bahwa pada masa Orde Lama (ORLA), suku Dayak melakukan hegemoni dengan menguasai peran-peran strategis dalam pemerintahan dan politik di Kalimantan Barat. Tercatat, selain bupati, ada juga pejabat militer Madura yang bertugas di Kalbar selama ini. Detil mengenai konflik yang melibatkan suku Dayak di Kalimantan Barat disajikan dalam bentuk tabel agar lebih ringkas.

Pada masa Orde Baru juga dapat dikatakan bahwa etnis Melayu kembali menduduki posisi strategis dalam pemerintahan dan politik di Kalimantan Barat. Di Kalbar, sebelumnya hanya ada 7 kabupaten/kota, hingga saat ini bertambah menjadi 14 kabupaten/kota. Di Kalimantan Barat, yang jiwa primordialnya masih kental, identitas etnis menjadi daya tawar yang menarik.

“Negara etnis” di Kalimantan Barat berangkat dari semangat untuk menunjukkan eksistensi budaya yang tinggi dengan dukungan momentum politik di era otonomi daerah. Politik lokal di Kalimantan Barat berat dibebani persaingan antara dua kutub etnis, yakni etnis Dayak dan Melayu. Sejarah Kalimantan Barat mencatat bahwa elit etnis yang berkuasa melakukan hegemoni etnis atas kelompok etnis lain.

Kekerasan Komunal dan Kedamaian Etnis: Dinamika Hubungan Sosial Antar Suku Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura di Kalimantan Barat”.

STREET CHILDREN AND BROKEN PERCEPTION

A Child’s Right Perspectives

There is much evidence showing the growing number of street children in larger cities across Indonesia. 1 I use the word 'mainstream' to distinguish between the cultures of society in general and the culture of street children in particular. However, before 1990, the government of Indonesia denied the existence of street children in cities in Indonesia (West 2003).

The types of activities that street children usually engage in are also different from children at home. It is difficult to distinguish whether it is the street children who need the street prostitutes or vice versa. There are cases when street children are used by some prostitutes to get money.

The habit of changing names, according to Beazley, characterizes the "multiple and fluid identities" of the street children. Street children usually identify themselves by the place where they usually sleep or work, such as. The street children's way of life, networks, choices, autonomy and coping strategies have led to their own identity and subculture of street children (Beazley 2003; Ennew and Swart-Krueger 2003: 4).

Tikyan was the subject of Beazley's thesis on the subculture of street children in Yogyakarta (Beazley 1999). For street children, autonomy is the most important characteristic that differentiates them from children at home. Street children's way of life, networks, choices, autonomy and their coping strategies have created a distinct identity and subculture of street children.

Om, kasihan Om”: The Mysterious Voice of Street Children's Poverty, retrieved March 10, 2004 from

Referensi

Dokumen terkait

Patut dicatat juga bahwa solidaritas antar etnik semakin kuat antara penambang Cina dengan orang-orang Melayu Bangka yang tergabung dalam gerakan perlawanan Depati Bahrin dan Depati