• Tidak ada hasil yang ditemukan

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS PADA KEJADIAN DRUG RELATED PROBLEMS PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "COST EFFECTIVENESS ANALYSIS PADA KEJADIAN DRUG RELATED PROBLEMS PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS - repository perpustakaan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Gagal jantung sering juga disebut gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah yang ada untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung kongestif sering digunakan jika terjadi gagal jantung sisi kiri dan kanan (Kasron 2012). Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat (PERKI 2015).

Drug Related Problems (DRPs) atau masalah terkait obat adalah peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan (Syafrida 2018). Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan penting dalam rangka mengurangi morbiditas, mortalitas, dan biaya terapi obat (Fajriansyah 2016).

Berikut adalah beberapa penelitian yang sudah dilakukan.

Tabel 2. 1. Penelitian Terdahulu

No Nama Variabel Hasil

1 Cyntiya Rahmawati dan Atik Nurwahyuni (2014)

biaya obat, biaya jasa dokter, dan biaya rawat inap

(1) Nilai rata-rata biaya total penggunaan obat ramipril- spironolakton sebesar Rp.2.527.743, sedangkan rata- rata biaya total penggunaan obat valsartan sebesar Rp.2.430.923;

(2) Obat ramipril-spironolakton efektivitasnya tidak berbeda signifikan atau setara dengan obat valsartan; (3) Adanya penghematan pada rata-rata biaya total obat valsartan sebesar Rp.96.820 per pasien; (4) Adanya penghematan pada biaya

(2)

rawat inap obat valsartan sebesar Rp.299.031 per pasien. Obat valsartan memberikan nilai rupiah yang terendah dan menjadi pilihan yang lebih efisien dibandingkan obat ramipril-spironolakton pada pasien gagal jantung kongestif.

2 Wa Ode (2018) Obat digoksin, ISDN, captopril pada pasien umum, jamkesmas, dan jamkesda

pengobatan yang paling banyak yaitu digoksin sebanyak 21 (20,79%), ISDN sebanyak 16 (15,84%) dan captopril 15 (14,85%). Rata rata biaya riil pengobatan gagal jantung di RSUD Kabupaten Karanganyar tahun 2011-2012 untuk stage B pada pasien umum Rp 1.460.012,00 pasien jamkesmas Rp 929.325,55 dan pasien jamkesda 1.305.095,33 untuk stage C pada pasien umum Rp.

1.193.882,71, jamkesmas Rp.1.065.896,64 dan jamkesda Rp.1.137.514,69.

Faktor yang mempengaruhi biaya pengobatan gagal jantung adalah lama rawat (p<0,05),dan komorbid (p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata- rata biaya rill pengobatan gagal jantung tanpa dan dengan komorbid lebih rendah dari biaya paket INA-CBGs.

3 Ani Rahayu, dkk (2020)

Kombinasi dosis tetap (FDC) Valsartan- amlodipin+furosemide dengan FDC Valsartan- HTC+Amlodipin dengan biaya pengobatan langsung dan tak langsung

Hasil penelitian menunjukkan efektivitas terapi paling besar untuk menurunkan tekanan darah adalah FDC Valsartan- Amlodipin + Furosemide yaitu sebanyak 32 pasien dengan rata- rata MAP 101,29 mmHg,

(3)

sedangkan FDC ValsartanHCT + Amlodipin hanya 29 pasien dengan rata-rata MAP 103,59 mmHg. Sedangkan efektivitas biaya berdasarkan nilai ACER pada kombinasi FDC Valsartan- Amlodipin + Furosemide dan FDC Valsartan-HCT + Amlodipin secara berurutan adalah Rp. 3.922.040/MAP dan Rp. 4.458.034/MAP. Dapat disimpulkan bahwa FDC Valsartan-Amlodipin + Furosemide lebih cost efektif.

Dari beberapa penelitian terdahulu yang sudah dipaparkan, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan yang akan peneliti lakukan. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai pasien dengan gagal jantung kongestif dan farmakoekonomi. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah peneliti melakukan analisis pasien gagal jantung kongestif rawat inap berdasarkan kejadian DRPs ditinjau dari segi biaya penggunaan obat jenis Ramipril dan Valsartan di rumah sakit “X” Kabupaten Cilacap.

B. Landasan Teori

1. Congestif Heart Failure (CHF) a. Definisi

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari fungsi struktural jantung atau sebagai kegagalan jantung dalam mendistribusikan oksigen sesuai dengan yang dibutuhkan pada metabolisme jaringan, meskipun tekanan pengisian normal atau adanya peningkatan tekanan pengisian (Mc Murray et al., 2012). Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis progresif yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro et al., 2015).

b. Epidemiologi

(4)

Angka kejadian gagal jantung di Amerika Serikat mempunyai insidensi yang besar tetapi tetap stabil selama beberapa dekade terakhir yaitu >650.000 pada kasus baru setiap tahunnya. Meskipun angka bertahan hidup telah mengalami peningkatan, sekitar 50% pasien gagal jantung dalam waktu 5 tahun memiliki angka kematian yang mutlak (Yancy et al., 2013).

c. Faktor Resiko

1) Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi pada LV, infark miokard, obesitas, diabetes.

2) Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik, albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.

3) Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.

4) Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.

5) Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi (antrasiklin, siklofosfamid, FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase inhibitor), NSAID, kokain, alkohol.

6) Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga.

(Ford et al., 2015) d. Etiologi

Mekanisme fisiologis yang menjadi penyebab gagal jantung dapat berupa:

1) Meningkatnya beban awal karena regurgitasi aorta dan adanya cacat septum ventrikel.

2) Meningkatnya beban akhir karena stenosis aorta serta hipertensi sistemik.

3) Penurunan kontraktibilitas miokardium karena infark miokard, ataupun kardiomiopati.

Gagal jantung dan adanya faktor eksaserbasi ataupun beberapa penyakit lainnya, mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam penanganannya dan seharusnya dilakukan dengan penuh pertimbangan.

e. Patofisiologi

(5)

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

1) Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure) a) Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)

Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskulator pulmonal (Berkowitz, 2013). Pada saat terjadinya aliran balik darah kembali menuju ventrikular pulmonaris, tekanan kapiler paru akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik (>25 mmHg). Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke dalam interstitium paru dan menginisiasi edema (Porth, 2007).

b) Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)

Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung sebelah kiri Pada gagal jantung kanan dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di ekstermitas bawah (Acton, 2013).

f. Mekanisme neurohormonal

Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon pada gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin (Mann, 2012). Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi atau dihasilkan sebagai respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatik.

g. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS. Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah menjadi

(6)

angiotensin I dan angiotensinogen II. Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor. Selain itu, angiotensin II juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di ginjal, akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya edema cairan pada gagal jantung kongestif (Mann, 2012).

h. Cardiag remodeling

Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis sebagai perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi stress ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat dan Molkentin, 2010).

i. Klasifikasi

Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut:

1) Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).

2) Stage B

Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.

3) Stage C

(7)

Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.

4) Stage D

Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal jantung dalam empat kelas, meliputi:

1) Kelas I

Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.

2) Kelas II

Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).

3) Kelas III

Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).

4) Kelas IV

Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe CHF).

Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus pada faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala

(8)

yang ditimbulkan yang pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal jantung yang dialami oleh pasien.

j. Diagnosa

Pemeriksaan laboratorium pada pasien gagal jantung harus mencakup evaluasi awal pada jumlah darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum (termasuk pemeriksaan kalsium, magnesium), blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, glukosa, profil lipid puasa, tes fungsi ginjal dan hati, x-ray dada, elektrokardiogram (EKG) dan thyroid-stimulating hormone (Yancy et al., 2013). Pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung, dapat pula dilakukan pemeriksaan kadar serum natrium peptida (NICE, 2010).

k. Tanda dan gejala gagal jantung kongestif meliputi:

1) Mudah mengalami kelelahan dan kelemahan.

2) Dispnea (peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri menyebabkan penumpukan cairan ke dalam paru, sehingga terjadinya peningkatan kerja pernafasan). Dispne dapat dialami pada saat beraktivitas maupun istirahat.

3) Ortopnea (sesak nafas yang timbul beberapa saat setelah berbaring).

4) Dispne nokturna paroksimal (sesak nafas pada malam hari).

5) Batuk; terjadi edema batang bronkus disebabkan oleh peningkatan tekanan atrium kiri.

6) Nokturia dan oliguria (retensi garam dan air yang timbul dalam gagal jantung kongestif menyebabkan pengurangan produksi urin).

7) Gallop S3; bunyi yang di dengar kira-kira sepertiga jalan diastolik, terjadi pada awal diastolik selama fase pengisian cepat dalam ventrikel atau pada akhir kontraksi atrium.

8) Anoreksia, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan.

9) Takikardi (peningkatan frekuensi denyut jantung) 10) Nyeri dada dan palpitasi.

11) Ascites (penumpukan cairan pada rongga perut).

(9)

12) Hepatomegali (pembesaran hati).

13) Edema paru (penumpukan cairan pada paru-paru) (Dumitru, 2016)

l. Pelaksanaan Terapi Gagal Jantung Kongestif

Panduan praktik terbaik yang dikeluarkan oleh American Heart Association (AHA) telah mengidentifikasi penggunaan β-bloker dan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor) sebagai terapi yang paling efektif untuk gagal jantung kecuali ada kontraindikasi khusus. ACE inhibitor menurunkan afterload (TPR) dan volume plasma (preload). Antagonis angiotensin dapat digunakan sebagai ACE inhibitor. Diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran balik vena dan peregangan serabut otot jantung berkurang. Nitrat diberikan untuk mengurangi afterload dan preload. Antagonis aldosteron termasuk alprerenon telah terbukti mengobati gagal jantung kongestif setelah serangan jantung. Digoksin diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas.

Digoksin bekerja secara langsung pada serabut otot jantung untuk meningkatkan kekuatan setiap kontraksi tanpa bergantung kepada panjang serabut otot jantung (Corwin, 2009).

1) Terapi Farmakologi

Tujuan pengobatan pada pasien gagal jantung adalah meningkatkan kualitas hidup, meredakan atau mengurangi gejala, mencegah atau meminimalkan rawat inap, memperlambat perkembangan penyakit, dan memperpanjang kelangsungan hidup (Dipiro, et al., 2015). Terapi farmakologi pada gagal jantung, antara lain:

a) ACE – Inhibitor

ACE-inhibitor pada gagal jantung kongestif mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik. Mekanisme kerja ACE inhibitor mengurangi pembentukan angiotensin II di reseptor AT1 maupun AT2 (Arini dan Nafrialdi, 2007). ACE-inhibitor pada gagal jantung dapat mencegah terjadinya remodeling dan menghambat perluasan

(10)

kerusakan miokard serta dapat menurunkan sekresi aldosteron (sehingga meningkatkan ekskresi natrium) dan menurunkan sekresi vasopresin yang semuanya berguna untuk penderita gagal jantung kongestif (Kabo, 2011).

ACE inhibitor merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun, yaitu dengan fraksi ejeksi di bawah normal (<40- 45%) dengan atau tanpa gejala. Pada pasien dengan gejala gagal jantung tanpa retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretik. Efek samping batuk kering dan angiodema (Arini dan Nafrialdi, 2007).

Berdasarkan Clinical Practice Guideline (CPG) European Society of Cardiology (ESC) dosis ACE-inhibitor untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada berikut.

Tabel 2.2. ACE - Inhbitor

ACE Inhibitor Dosis Awal Dosis Target

Captopril 6,25 mg 3 kali sehari 50 mg 3 kali sehari Enalapril 2,5 mg 2 kali sehari 10- 20 mg 2 kali sehari Lisinopril 2,5 – 5,0 mg 1 kali sehari 20 – 35 mg 1 kali sehari Ramipril 2,5 mg 1 kali sehari 10 mg 1 kali sehari Trandolapril 0,5 mg 1 kali sehari 4 mg 1 kali sehari

b) Antagonis Angiostensin II (AT1 – Bloker)

Antagonis angiotensin II (Ang II) menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT1 dan tidak di reseptor AT2, maka disebut juga AT1- bloker. Tidak adanya hambatan kininase II menyebabkan bradikinin dipecah menjadi kinin aktif, sehingga vasodilator Nitric Oxide (NO) dan PGl2 tidak terbentuk. Karena itu, AT1-bloker tidak menimbulkan efek samping batuk kering, angiodema meskipun jarang (Arini dan Nafrialdi, 2007). ACC/AHA merekomendasikan penggunaan ARB pada pasien gagal jantung stadium A, B, dan C yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Candesartan dan valsartan direkomendasi oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan gagal jantung dan merupakan

(11)

senyawa pilihan, apakah digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan ACE inhibitor (Dipiro, et al., 2015).

Berdasarkan Clinical Practice Guideline European Society of Cardiology, dosis antagonis angiotensin II untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2.3. Antagonis Angiotensin II (AT1 – Bloker)

ARB Dosis Awal Dosis Target

Candesartan 4 – 8 mg 1 kali sehari 32 mg 1 kali sehari Valsartan 40 mg 2 kali sehari 160 mg 2 kali sehari Losartan 50 mg 1 kali sehari 150 mg 1 kali sehari

c) Diuretik

Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang menyebabkan kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dapat menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload) (Arini dan Nafrialdi, 2007). Diuretik tidak harus diberikan untuk pasien tanpa retensi cairan. Diuretik yang biasa digunakan adalah golongan diuretik tiazid dan diuretik loop. Diuretik loop seperti furosemide, bumetanide, dan torsemide biasanya diperlukan untuk memulihkan dan mempertahankan euvolemia pada gagal jantung (Dipiro, et al., 2015). Berdasarkan Clinical Practice Guideline European Society of Cardiology, dosis diuretik untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2.4. Diuretik dan Thiazide

Diuretik Dosis Awal Dosis Target

Diuretik Loop

Furosemide 20 – 40 mg 20 – 140 mg

Bumetanide 0,5 – 1,0 mg 1 – 5 mg

Torasemide 5 – 10 mg 10 – 20 mg

(12)

Thiazide

Bendroflumethiazide 2,5 mg 2,5 – 10 mg Hydrocholothiazide 25 mg 12,5 – 100 mg

Metolazone 2,5 mg 2,5 – 10 mg

Indapamide 2,5 mg 2,5 – 5 mg

d) Antagonis Aldosteron

Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron meningkat akibat aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (Dipiro, et al., 2008).

Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air serta mengekskresi K dan Mg.

Retensi Na dan air menyebabkan edema dan peningkatan preload jantung.

Aldosteron memacu remodeling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi fibroplas (Arini dan Nafrialdi, 2007). Ada dua antagonis aldosteron, yaitu diuretik hemat kalium seperti spironolakton dan penghambat konduksi natrium seperti amilorin, triamteren yang menghilangkan sekresi kalium dan ion hidrogen di ginjal. Obat-obat ini umumnya digunakan untuk mengimbangi efek kehilangan kalium dan magnesium dari diuretik loop (Gray, et al., 2006). Berdasarkan Clinical Practice Guideline St. Luke’s Health Partners, dosis antagonis aldosteron untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2.5. Antagonis Aldosteron

Antagonis Aldosteron

Dosis Awal Dosis Target

Spironolaktone 12,5 – 25 mg 1 kali sehari 25 mg 1 kali sehari Alprerenone 25 mg 1 kali sehari 50 mg 1 kali sehari

e) 𝛃 – Blocker

β-blocker bekerja dengan menghambat efek merugikan dari aktivitas simpatis pada pasien gagal jantung. Stimulasi adrenergik pada jantung memang pada awalnya meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivitas simpatis yang berkepanjangan pada jantung yang telah mengalamai

(13)

disfungsi akan merusak jantung, dan hal ini dapat dicegah oleh β-blocker (Arini dan Nafrialdi, 2007). Pedoman ACC/AHA merekomendasikan penggunaan β-blocker pada semua pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang stabil yang tidak ada kontraindikasi atau riwayat intoleransi β-blocker. Pasien harus menerima β-blocker meskipun gejalanya ringan atau keadaan pasien terkontrol baik dengan penggunaan ACE inhibitor dan terapi diuretik. Penambahan β-blocker lebih bermanfaat daripada peningkatan dosis ACE-inhibitor (Dipiro, et al., 2015).

Berdasarkan Clinical Practice Guideline European Society of Cardiology, dosis β-blocker untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2.6. β – Blocker

𝛃 – Bloker Dosis Awal Dosis Target Bisoprol 1,25 mg 1 kali sehari 10 mg 1 kali sehari Carvediol 3,125 mg 2 kali sehari 25 mg 2 kali sehari Metoprolol

Suksinat

12,5 – 25 mg 1 kali sehari 200 mg 1 kali sehari Nebivolol 1,25 mg 1 kali 10 g 1 kali sehari

f) Vasodilator

Vasodilator berperan penting dalam mengatasi gagal jantung berat, terutama yang disebabkan oleh hipertensi, penyakit jantung iskemik, infusiensi mitral dan infusiensi aorta. Pemilihan vasodilator pada penderita gagal jantung dilakukan berdasarkan gejala gagal jantung dan tanda yang ada. Pada penderita dengan tekanan pengisian tinggi sehingga sesak nafas, vasodilator dapat membantu mengurangi gejala (Chaidir dan Munaf, 2009). Selain ACE-inhibitor dan antogonis ATII, vasodilator lain yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung adalah hidralazin-isosorbid dinitrat, Na-nitropusid I.V, nitrogliserin I.V, dan nesiritd I.V (Arini dan Nafrialdi, 2007).

g) Digoksin

(14)

Efek digoksin pada pengobatan gagal jantung yaitu inotropik positif, konotropik negatif (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardi atau fibrilasi atrium), dan mengurangi aktivitas saraf simpatis (Arini dan Nafrialdi, 2007). Digoksin harus digunakan bersamaan dengan terapi gagal jantung standar (ACE inhibitor, β-bloker, dan diuretik) pada pasien dengan gejala gagal jantung untuk mengurangi rawat inap. Dosis digoksin untuk mencapai konsentrasi plasma yaitu 0,5 sampai 1 ng/ mL (0,6-1,3 nmol/ L). Pasien dengan fungsi ginjal normal dapat mencapai tingkat ini dengan dosis 0,125 mg/hari. Pasien dengan fungsi ginjal menurun, lanjut usia atau menerima obat yang berinteraksi misalnya amiodarone harus menerima 0,125 mg setiap hari (Dipiro, et al., 2015).

h) Obat Inotropik

Sebagian besar simpatomimetik seperti adrenalin, isoprenalin, dobutamin atau efedrin memiliki efek inotropik positif, namun obat ini tidak dianjurkan untuk gagal jantung karena dapat meningkatkan denyut jantung yang akan memperparah kondisi penyakit (Kabo, 2011).

Yancy et al. (2013) juga memaparkan mengenai algoritma terapi dari penggolongan obat-obat CHF berdasarkan klasifikasi AHA (Tabel 2) dan NYHA (Gambar 3). Algoritma dari kedua klasifikasi tersebut dapat disesuaikan dengan keluhan dan perburukan penyakit yang dialami oleh pasien CHF.

Tabel 2.7. Terapi CHF Klasifikasi AHA

Stage A ACE Inhibitor atau ARB Stage B ACE Inhibitor dan Beta – Bloker

Stage C ACE Inhibitor, Beta Blocker Diuretik, Digoksin Alternatif lain : ARB, Spironolakton, Nitrat+Hidralazin

Stage D Terapi stage A, B, C dengan tambahan infus iv inotropic (digoksin) untuk terapi paliatif

Yancy et al, 2013

2) Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi menurut Dipiro et al (2008) terdiri atas:

(15)

a) Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diet sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah atau berat badan.

b) Merokok harus dihentikan.

c) Mengurangi aktivitas fisik dengan melakukan olahraga yang teratur seperti bersepeda atau berjalan dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III).

d) Istirahat, dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.

e) Hindari berpergian ke tempat-tempat tinggi, panas, dan lembab.

m. Drug Related Problems

1) Definisi Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pada pasien. Suatu kejadian dapat disebut Drug Related Problems (DRPs) apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang terjadi dan yang akan terjadi pada pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit, ketidakmampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

Drug Related Problems (DRPs) dapat terjadi secara aktual maupun potensial.

Aktual sebagai problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. Potensial sebagai problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien.

Berdasarkan tabel 2.7, ada beberapa klasifikasi Drug Related Problems (DRPs) yang dapat dianalisis selama terapi pasien gagal jantung kongestif.

Tabel 2.8. Klasifikasi DRPs

Klasifikasi Uraian

Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)

Reaksi obat yang dapat memperburuk penyakit awal yang sedang diterapi serta menyebabkan masalah lebih lanjut bahkan kematian

(16)

Obat diresepkan tanpa indikasi yang jelas

Bila pengobatan tidak diindikasi dengan benar, kondisi dapat membaik dengan terapi non farmakologi, penggunaan lebih dari satu regimen obat atau pengobatan untuk mengatasi efek samping

Obat tidak deresepkan untuk indikasi yang jelas

Kendal aini timbul Ketika pasien memerlukan obat tambahan misal untuk pencegahan atau pengobatan, mempunyai penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan lanjutan, diperlukan kombinasi terapi untuk mencapai efek atau potensiasi atau pada kondisi medis baru yang membutuhkan terapi obat

Pemilihan obat tidak tepat Pemilihan obat tidak tepat dapat terjadi Ketika suatu obat atau bentuk sediaan yang diserahkan kepada pasien tidak direkomendasikan pada kondisinya

Dosis kurang Dosis tidak memadai (dosis terlalu rendah) merupakan penggunaan dosis yang berada dibawah kisaran nilai atau batas dosis yang biasa digunakan atau penggunaan frekuensi yang lebih rendah, sehingga tidak menimbulkan respon sesuai yang diharapkan

Dosis lebih Dosis yang terlalu tinggi memiliki kriteria yaitu penggunaan dosis lebih tinggi dari nilai batas dosis yang disarankan. Overdosis menimbulkan efek toksik.

Interaksi obat Suatu obat mengalami interaksi jika obat – obat tersebut mengalami perubahan efek yang mungkin diakibatkan karena kehadiran obat lain selama pengobatan. Terjadinya interaksi obat tersebut dapat menghasilkan efek samping bagi pasien. Efek samping interaksi obat pada pasien meliputi peningkatan biaya dan durasi pengobatan.

Cipolle, 2013

Berdasarkan signifikansinya, interaksi obat dikategorikan kedalam tiga kelas (Srikanth et al., 2014) yaitu sebagai berikut :

1) Interaksi obat minor

Interaksi obat dikatakan minor apabila secara klinik interaksi yang terjadi signifikansinya adalah rendah (minor) dan tidak memerlukan perhatian khusus dalam penanganannya.

(17)

2) Interaksi obat moderate

Interaksi obat dikatakan moderate apabila secara klinik interaksi yang terjadi memiliki signifikan dengan rentang sedang (moderate) dibandingkan dengan interaksi obat mayor.

3) Interaksi obat mayor

Interaksi obat dikatakan berat (mayor) apabila obat yang berinteraksi mempunyai efek yang dapat membahayakan pasien dan biasanya terjadi pada obat yang mempunyai indeks terapi sempit (narrow therapeutic).

n. Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah salah satu cabang dari ilmu ekonomi kesehatan yang digunakan terutama untuk mempertimbangkan penggunaan terapi obat dalam pelayanan kesehatan (Walley, 2004). Farmakoekonomi didefinisikan sebagai gambaran dan analisis biaya terapi obat untuk sistem perawatan kesehatan. Penelitian farmakoekonomi digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya dan hasil yang diperoleh dari penggunaan obat dalam pelayanan kesehatan (Bootman, 2005).

1) Metode Evaluasi Farmakoekonomi

Evaluasi ekonomi digunakan untuk menilai efektivitas biaya dilihat dari manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan dari suatu intervensi perawatan kesehatan (Fleurence R., 2003). Metode penelitian dalam evaluasi farmakoekonomi meliputi Analisis Minimisasi Biaya (AMiB), Analisis Efektivitas Biaya (AEB), Analysis Manfaat Biaya (AMB), dan Analysis Utiliti Biaya (AUB) (Bootman, 2005).

a) Analisis Efektivitas Biaya (AEB) / Cost Effectiveness Analysis (CEA) Analisis efektivitas biaya adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan biaya dan hasil (outcomes) relatif dari dua atau lebih intervensi kesehatan. Analisis efektivitas biaya digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda. Pada Analisis efektivitas biaya, hasil diukur dalam

(18)

unit non-moneter (Kemenkes RI, 2013). Oleh sebab itu AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki tujuan sama. Metode kajian farmakoekonomi ini terutama digunakan untuk memilih alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat yang digunakan. Hasil CEA dapat disimpulkan dengan ICER. ICER adalah rasio perbedaan antara biaya dari dua obat dengan perbedaan efektivitas dari masing-masing obat yang dihitung dengan persamaan 2.

𝐼𝐶𝐸𝑅 =

Jika perhitungan ICER memberikan hasil negatif, maka suatu terapi dinilai lebih cost effectivinnes dibanding terapi pendampingnya (Kemnekes RI, 2013).

b) Analisis Manfaat Biaya (AMB) / Cost Benefit Analysis (CBA)

Analisis manfaat biaya adalah teknik untuk menghitung rasio antara biaya intervensi kesehatan dan manfaat (benefit) yang diperoleh, dimana outcome diukur dengan unit moneter (rupiah). Analisis manfaat biaya digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda (Kemenkes RI, 2013).

c) Analisis Minimalisasi Biaya (AMB) / Cost Minimization Analysis (CMA) Analisis minimalisasi biaya adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan dua pilihan intervensi atau lebih yang memberikan hasil (outcomes) kesehatan setara untuk mengidentifikasi pilihan yang menawarkan biaya lebih rendah. Metode analisis minimalisasi biaya merupakan metode yang paling sederhana. Analisis minimalisasi biaya digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua jenis obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis

(19)

atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan (Kemenkes RI, 2013).

d) Analisis Utilitas Biaya (AUB) / Cost Utility Analysis (CUA)

Analisis utilitas biaya adalah teknik analisis ekonomi untuk menilai utilitas atau kepuasan atas kualitas hidup yang diperoleh dari suatu intervensi kesehatan. Kegunaan diukur dalam jumlah tahun dalam keadaan sehat sempurna, bebas dari kecacatan, yang dapat dinikmati umumnya diekspresikan dalam Quality Adjusted Life Years (QALYs), atau jumlah tahun berkualitas yang disesuaikan. Analisis Utilitas Biaya diukur dalam unit moneter (jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, karena hasil pengobatannya tidak bergantung secara langsung pada keadaan penyakit (Kemenkes RI, 2013).

2) Perspektif Evaluasi Farmakoekonomi

Perspektif penilaian merupakan hal penting dalam kajian farmakoekonomi, karena perspektif yang dipilih menentukan komponen biaya yang harus disertakan dalam kajian farmakoekonomi (Kemenkes RI, 2013). Penilaian dalam kajian ini dapat dilakukan dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu:

a) Perspektif Masyarakat

Perspektif masyarakat merupakan evaluasi farmakoekonomi dilihat dari sudut pandang masyarakat luas, sebagai contoh adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, atau penghematan biaya pelayanan kesehatan secara nasional dari intervensi kesehatan tersebut (Kemenkes RI, 2013).

b) Perspektif Kelembagaan

Contoh evaluasi farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain penghitungan efektivitas biaya pengobatan untuk penyusunan Formularium Rumah Sakit, penghitungan AEB untuk penyusunan DOEN dan Formularium Nasional (Kemenkes RI, 2013).

(20)

c) Perspektif Individu

Evaluasi farmakoekonomi dari perspektif individu adalah penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup tertentu sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan, dibanding kebutuhan lainnya (Kemenkes RI, 2013).

Perbedaan ketiga perspektif dalam kajian farmakoekonomi di atas, akan menentukan jenis biaya yang diperhitungkan dalam masing-masing perspektif tersebut juga tak sama (Kemenkes RI, 2013).

3) Jenis Biaya

Biaya didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana yang dikeluarkan dalam upaya kesehatan, termasuk biaya pelayanan lain yang diperlukan oleh pasien sendiri (Kemenkes RI, 2013).

Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut:

a) Biaya Langsung (Direct Cost)

Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya obat dan perbekalan kesehatan, biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya (Kemenkes RI, 2013).

b) Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien) (Kemenkes RI, 2013).

c) Biaya Tidak Berwujud (Intangible Cost)

(21)

Biaya tidak teraba adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun seringkali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya (Kemenkes RI, 2013).

d) Biaya Terhindarkan (Averted Cost, Avoided Cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Kemenkes RI, 2013).

4) Hasil Pengobatan (Outcome)

Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Dalam upaya pemilihan alternative terapi berdasarkan biaya yang dikeluarkan dan efektivitas hasil terapi yang dihasilkan, maka dapat digunakan tabel perbandingan efektivitas berikut ini:

Tabel 2.9. Perbandingan Efektivitas Biaya

Efektivitas Biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi

Efektivitas lebih rendah A B C

Efektivitas sama D E F

Efektivitas tinggi G H I

a) Kolom D, G, H

Tiga kolom tersebut disebut kolom dominan. Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah (Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan CEA.

b) Kolom B, C, F

Tiga kolom ini disebut Kolom didominasi. Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C), tidak perlu

(22)

dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan CEA atau ACER.

c) Kolom E

Disebut juga sebagai posisi seimbang. Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien, misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari versus tablet yang harus diminum 3 x sehari.

Sehingga dalam kategori ini, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biayadan hasil pengobatan, misalnyakebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.

d) Kolom A dan I

Posisi yang memerlukan pertibangan Efektivitas-biaya. Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya, menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan ICER. nilai ICER diperoleh dari hasil membagi selisih biaya antar intervensi dengan selisih persentase efektivitas antar intervensi (DiPiro et al., 2011).

(23)

C. Kerangka Konsep

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian D. Hipotesis

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan yang mempengaruhi efektivitas biaya pengobatan berdasarkan kejadian Drug Related Problems (DRPs) dan non Drug Related Problems (DRPs) pasien gagal jantung kongestif di Rumah Sakit Umum Derah Banyumas.

Congestif Heart Failure

Terapi

Drug Related Problems

Efektivitas Biaya metode CEA ICER

Non Drug Related Problems

Gambar

Tabel 2. 1. Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian  D.  Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

1) Pasien dimana obatnya tidak efektif. 3) Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. 4) Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan

1) Pasien dimana obatnya tidak efektif. 3) Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.. 4) Pasien dengan faktor resiko pada

• Pasien menerima obat yang tidak paling efektif untuk indikasi pengobatan • Pasien dengan resiko pada kontraindikasi penggunaan obat. • Pasien menerima obat efektif tetapi

Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi

Kategori DRP yang didapat adalah pilihan obat yang kurang tepat sebanyak 78,95% dari 45 kejadian DRP, indikasi tanpa terapi (17,54%) dan duplikasi obat (3,51%), sedangkan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui angka kejadian DRPs kategori interaksi obat dan ketidaktepatan pemilihan obat (obat tidak efektif, obat efektif tapi

Pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan komplikasi penyakit Makrovaskular baik yang tanpa komorbid ataupun yang disertai komorbid membutuhkan terapi pengobatan beberapa obat

KESIMPULAN Pada penelitian ini terdapat 78 pasien hasil penelitian menunjukan kategori Drug Related problems DRPs jumlah kasus sebanyak 71 pada kategori indikasi tanpa obat jumlah