• Tidak ada hasil yang ditemukan

DRUG RELATED PROBLEMS PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DRUG RELATED PROBLEMS PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DRUG RELATED PROBLEMS

PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT

JALAN RUMAH SAKIT

DRUG RELATED PROBLEMS OCCURED IN PEDIATRIC HOSPITAL OUTPATIENT

Maya Arfania 1), Tri Murti Andayani 1) dan Fita Rahmawati 1)

1) Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK

Drug related problems (DRPs) merupakan bagian dari suatu medication error yang dihadapi hampir semua negara di dunia dan menyebabkan biaya pengobatan menjadi mahal. Pediatrik menempati peringkat kedua sebagai spesialis medis yang sering mengalami DRPs. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi DRPs dan mengetahui angka kejadian DRPs pada peresepan pasien pediatrik rawat jalan serta mengetahui faktor yang berhubungan dengan terjadinya DRPs pada peresepan rawat jalan. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Pengambilan data dilakukan secara prospektif. Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Kabupaten Sleman pada bulan Oktober sampai Desember 2014. Subyek penelitian ini adalah pasien pediatrik rawat jalan sebesar 198 pasien dengan metode pengambilan sampel secara consecutive sampling. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi adanya DRPs pada peresepan pasien pediatrik rawat jalan, kemudian menentukan faktor yang berhubungan dengan terjadinya DRPs pada pasien. Hubungan faktor usia, jenis kelamin, jumlah obat, jumlah diagnosis, dan dokter penulis resep dengan DRPs dianalisis menggunakan Chi square/ Fisher exact test sedangkan untuk melihat besarnya rasio jenis obat yang dapat menyebabkan DRPs dilakukan dengan menghitung drug risk ratio (DRR). Hasil penelitian menunjukkan DRPs terjadi pada 99 (50%) pasien pediatrik dengan total kejadian DRPs sebanyak 172 kejadian. Tipe DRPs yang mayoritas terjadi adalah interaksi obat sebesar 97 (56,40%) kejadian, dosis terlalu kecil 42 (24,42%) kejadian, kepatuhan 17 (9,88%) kejadian, obat tidak tepat 13 (7,56%) kejadian, dan ESO 3 (1,74%) kejadian. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DRPs adalah usia, jumlah obat, dan dokter penulis resep.

Kata Kunci: drug related problems, pediatrik, faktor risiko

ABSTRACT

Drug related problems(DRPs) are a part of medication errors occurring in almost all countries in the world, and lead to the expensive cost of the treatment. Pediatric field is in the second rank as a medical specialist who experience DRPs oftenly. The purpose of this study is to identify and determine the incidence of DRPs in pediatric outpatients prescription and determine the factors associated with the occurrence of DRPs on outpatient prescription. This study used a cross sectional design. Data were collected prospectively conducted in PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital and RSUD Kabupaten Sleman during October to Desember 2014. The subjects of the present study were 198 pediatric outpatient with a consecutive sampling method. This study was to identify the presence of DRPs in pediatric outpatient prescription, then to determine the factors associated with the occurence of DRPs. The correlation between age, gender, number of drugs, number of diagnoses, and prescriber with DRPs were analyzed using a Chi square test/ Fisher exact test. To see the amount of drug ratio that can lead to DRPs, drug risk ratio (DRR) was calculated. The result showed that DRPs have occurred in 99 (50%) pediatric patients with 172 incidence of total incidence of DRPs. The major type of DRPs is drug interaction to be 97 (56.40%) cases, underdose 42 (24.42%) cases, compliance 17 (9.88%) cases, inappropriate drugs 13 (7.56%) cases, and drug side effect 3 (1,74%) cases. Risk factor associated with DRPs are age, number drugs used, and prescriber.

Keywords: drug related problems, pediatric, risk factor

PENDAHULUAN

Drug related problems (DRPs) merupakan permasalahan yang paling sering terjadi dan menyebabkan biaya pengobatan menjadi sangat mahal. Di Amerika Serikat di antara 90.000 kasus klaim asuransi, drug related problems. termasuk masalah kedua yang paling sering terjadi dan paling mahal biaya klaimnya (Dwiprahasto, 2005).

Korespondensi

Maya Arfania, S. Farm., Apt

Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada Jl. Sekip Utara Yogyakarta

Email : itsme.mayaarfania@gmail.com

HP : 085729563433

Dalam hal ini, bidang pediatri termasuk 6 terbesar di antara 16 spesialisasi yang seringkali mengalami DRPs.

Pasien pediatrik harus diprioritaskan dalam penanganan DRPs karena kondisi fisiologisnya masih belum sempurna sehingga faktor-faktor metabolisme dan absorbsi obat tidak dapat disamakan dengan pasien dewasa. Kejadian kesalahan dalam pengobatan serta risiko kesalahan yang serius pada pasien pediatrik lebih sering terjadi dibandingkan dengan pasien dewasa. Hal tersebut mungkin terkait dengan perhitungan dosis bagi pasien

80

Submitted: 08-05-2015 Accepted : 29-05-2015 Published : 30-06-2015

Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi

p-ISSN: 2088-8139 e-ISSN: 2443-2946

(2)

pediatrik, tidak terdapat bentuk sediaan dan formulasi yang sesuai serta penggunaan indikasi maupun dosis obat secara ‘off-license’ (Aslam et al., 2003).

Terdapat beberapa penelitian di Indonesia terkait dengan drug related problems pada pasien pediatrik. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan masih tingginya kejadian DRPs yang terjadi pada pasien pediatrik di bangsal rawat inap. Kejadian DRPs yang biasa terjadi adalah obat tanpa indikasi, obat tidak tepat, indikasi tidak tepat, dosis lebih, tidak tepat pasien, frekuensi pemberian obat tidak tepat, waktu minum obat tidak tepat, adverse drug reaction, gagal menerima obat, dan pemilihan sediaan obat yang tidak tepat, dan interaksi obat (Ado, 2012; Aini, 2007; Hidayah, 2011; Pratiwi, 2011; Wahyundari, 2011). Drug related problems juga ditemukan pada pasien pediatrik di instalasi rawat jalan. Nurpeni (2006) melaporkan DRPs potensial yang paling banyak terjadi secara berurutan adalah dosis kurang, obat salah (kontraindikasi), dosis lebih, butuh obat, dan interaksi obat.

Faktor yang berhubungan dengan terjadinya DRPs juga harus dipertimbangkan dalam upaya pencegahan kejadian DRPs. Terdapat beberapa penelitian yang melaporkan hal-hal yang menjadi faktor yang berhubungan dengan terjadinya DRPs seperti usia, jenis kelamin, jumlah obat yang diresepkan, jumlah diagnosis/penyakit yang dialami pasien, dan dokter penulis resep (Ahmad et al., 2014; Blix et al., 2004; Dean et al., 2002; Mulyaningsih, 2010; Rashed et al., 2012; Tahir et al., 2011; Tigabu et al., 2014).

Oleh karena alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, maka dilakukan penelitian di 2 rumah sakit di Yogyakarta untuk dapat mendeteksi DRPs beserta faktor risiko yang menyebabkan terjadinya DRPs. Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Kabupaten Sleman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DRPs dan apa saja jenis DRPs pada peresepan pasien pediatrik rawat jalan serta mengetahui faktor yang berhubungan

dengan terjadinya DRPs pasien pediatrik rawat jalan.

METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien pediatrik yang berobat di instalasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Kabupaten Sleman pada Oktober sampai Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Materi yang diteliti adalah angka kejadian DRPs, yang meliputi terapi tanpa indikasi, kondisi yang perlu diterapi, obat tidak tepat, dosis terlalu besar, dosis terlalu kecil, kondisi yang tidak diinginkan, dan kepatuhan serta faktor yang diduga merupakan faktor risiko terjadinya DRPs seperti usia, jenis kelamin, jumlah diagnosis, jumlah obat, jenis obat, dan dokter penulis resep. Hubungan faktor risiko dengan kejadian DRPs dianalisis menggunakan Chi square/ Fisher exact test, sedangkan untuk jenis obat dilakukan perhitungan drug risk ratio (DRR) untuk mengetahui jenis obat yang paling berisiko menyebabkan terjadinya DRPs.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien

Penelitian ini dilakukan di 2 rumah sakit di Yogyakarta, yaitu RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Kabupaten Sleman. Total subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 198 pasien. Pasien pediatrik yang berobat ke instalasi rawat jalan pada penelitian ini paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 110 (55,56%) pasien. Pada penelitian ini, pasien pediatrik dibagi menjadi 5 kelompok usia, yaitu usia ≤ 1 bulan, > 1 bulan - ≤ 2 tahun, > 2 - ≤ 6 tahun, dan > 6 - ≤ 12 tahun, dan > 12 - ≤ 18 tahun. Pasien pediatrik yang berobat di unit rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Kabupaten Sleman mayoritas pasien dengan rentang usia > 2-≤ 6 tahun yaitu sebesar 80 (40,40%) pasien diikuti dengan pasien dengan rentang usia > 6 - ≤ 12 tahun yaitu sebesar 46 (23,23%) pasien. Total diagnosis pasien pediatrik dalam penelitian ini adalah 219 diagnosis. 219 diagnosis tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan International Classification of Disease

(3)

10 (ICD-10) tahun 2015, terdapat 41 kelompok diagnosis. Infeksi saluran pernapasan atas akut merupakan diagnosis paling tinggi yaitu sebesar 42 (19, 18%) pasien.

Total jumlah obat yang diterima oleh pasien pediatrik pada penelitian ini sebanyak 536 jenis obat. Obat yang paling banyak diresepkan untuk pasien pediatrik adalah parasetamol sebesar 37 (6,90%) pasien. Dokter penulis resep dalam penelitian ini adalah dokter umum dan dokter spesialis, baik dokter spesialis anak dan dokter spesialis non anak. Dari 198 pasien pediatrik yang terlibat dalam penelitian ini, paling banyak mendapatkan resep dari dokter spesialis anak yaitu sebesar 129 (65,15%) pasien.

Identifikasi Drug Related Problems

Dari 198 pasien pediatrik ditemukan sebesar 99 (50%) pasien yang mengalami kejadian DRPs. Rata-rata per pasien mengalami kejadian DRPs 0,87 ± 1,31. Total kejadian DRPs yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebesar 172 (86,87%) kejadian. Dari 172 kejadian DRPs tersebut terdapat 3 (1,74%) kejadian DRPs aktual dan 169 (98,26 %) kejadian DRPs potensial. DRPs aktual yang terjadi pada pasien pediatrik adalah efek samping obat dan DRPs potensial yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat, yaitu sebesar 97 (57,40%) kejadian.

Pada penelitian ini, klasifikasi DRPs menggunakan klasifikasi Cipolle et al. (1998) dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel I. Berdasarkan tabel I, DRPs yang paling sering terjadi adalah interaksi obat yaitu sebesar 56,40% kejadian, dimana seluruhnya bersifat potensial. Pratiwi (2011) melaporkan dari 55 pasien yang menderita infeksi saluran pernapasan akut sebanyak 12,72% mengalami interaksi obat dan dari 22 pasien yang menderita asma sebanyak 50% mengalami kejadian

interaksi obat. Pada penelitian ini interaksi obat yang paling sering terjadi adalah interaksi obat antara rifampicin dan isoniazid. Regimen tuberkulosis pada anak yang paling sering digunakan adalah 2HRZ 4HR, yaitu 2 bulan fase intensif menggunakan kombinasi isoniazid, rifampicin dan isoniazid dilanjutkan 4 bulan fase lanjutan isoniazid dan rifampicin. Penggunaan ketiga obat tersebut penting untuk menyembuhkan penyakit dengan jumlah bakteri yang banyak dan mengurangi risiko resistensi obat (Graham, 2011). Obat antituberkulosis selain mempunyai efikasi yang baik juga memiliki adverse effect seperti dapat menyebabkan hepatotoksisitas (Akura et al., 2009).

Dosis terlalu kecil yang dialami pasien pediatrik sebesar 42 kejadian (24,42%). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rashed et al (2012, 2013) mengenai DRPs pada pediatrik, kejadian DRPs yang sering terjadi adalah permasalahan terkait dengan dosis. Hal ini juga didukung oleh Kazouini et al (2011) yaitu 19,4% pasien pediatrik berisiko tinggi mengalami dosis terlalu kecil.

Permasalahan pengobatan terkait dengan kepatuhan sebesar 17 (26,98%) kejadian, terdiri dari 3 kejadian yang dialami oleh pasien pediatrik dengan diagnosis penyakit kronis dan 14 kejadian pada pasien pediatrik yang mendapatkan antibiotika dengan diagnosis penyakut akut seperti rhinofaringitis akut, tonsillitis akut dan bronkhitis. Untuk penyakit kronis, kepatuhan dinilai menggunakan kuesioner MMAS-8 dengan tingkat kepatuhan rendah (skor < 6) dan yang menjadi alasan ketidakpatuhan mayoritas pasien adalah karena lupa mengkonsumsi obat tersebut. Hal ini didukung oleh Dawood et al (2010) yang mana melalui penelitiannya melaporkan sebanyak 30-70% pasien dengan penyakit kronis memiliki

Tabel I. Tipe DRPs pada Pasien Pediatrik yang Berobat di Unit Rawat Jalan

Tipe DRPs Jumlah %

Obat tidak tepat 13 7,56

Dosis terlalu kecil 42 24,42

Interaksi obat 97 56,40

Efek samping obat 3 1,74

Kepatuhan 17 9,88

82 Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi

(4)
(5)

kepatuhan yang kurang baik karena terapi yang lama dan obat-obatan yang didapatkan terlalu banyak (Dawood et al., 2010). Untuk penyakit akut dilakukan wawancara melalui telepon dan yang menjadi alasan pasien tidak menghabiskan antibiotiknya karena kurangnya pengetahuan pentingnya menghabiskan antibiotik, pasien sudah sembuh meskipun antibiotik belum habis, dan pasien menolak minum obat karena rasa yang pahit. Kardas (2002) mengungkapkan alasan yang mendasari ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi antibiotik biasanya dikarenakan penyakit yang dialami pasien telah sembuh sebelum lama waktu penggunaan antibiotik yang direkomendasikan. Selain itu, munculnya reaksi yang tidak diinginkan dalam penggunaan antibiotik juga merupakan alasan pasien menghentikan pengobatan. Ukuran tablet yang terlalu besar atau tidak dapat menelan tablet serta rasa antibiotik dalam bentuk suspensi yang pahit juga menjadi salah satu alasan ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan antibiotik.

Identifikasi Faktor Risiko

Pada penelitian ini faktor risiko yang dilihat adalah usia, jenis kelamin, jumlah diagnosis, jumlah obat, dan dokter penulis resep. Seperti pada Tabel II, dari 172 kejadian DRPs pasien pediatrik yang mengalami kejadian DRPs paling banyak pada rentang usia ≤ 1bulan yaitu sebesar 100% diikuti dengan usia > 2 - ≤ 6 tahun yaitu 60%. Sistem eliminasi pada anak dibawah 2 tahun masih belum sempurna (Ritschel dan Kearns, 2004). Enzim metabolisme pada bayi yang baru lahir rendah dan akan bertambah banyak seiring bertambahnya usia hingga mencapai maksimal pada usia dewasa dan akhirnya menurun pada usia tua (Badyal dan Dadhich, 2001). Hal ini dapat menyebabkan tingginya risiko kejadian DRPs pada anak berusia < 2 tahun. Hubungan antara usia dengan DRPs kemudian dianalisis secara statistik menggunakan Fisher exact test didapatkan p value < 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pada penelitian ini terdapat hubungan antara usia dengan kejadian DRPs. Hasil penelitian serupa dengan Rashed et al (2011) dan Andreazza et al (2011) yang mana melalui penelitiannya menemukan terdapat perbedaan yang signifikan

pada faktor usia terhadap kejadian DRPs, dengan nilai p < 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan persentase pasien yang lebih banyak mengalami DRPs yaitu perempuan sebesar 52,30%. Carrasco-Portugal dan Flores-Murrieta (2011) menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi (1,5-1,7 kali) mengalami adverse drug reaction dibandingkan dengan laki-laki. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab yaitu perbedaan farmakokinetika, farmakodinamika, dan hormonal. Perempuan terkadang lebih sensitif terhadap obat meskipun kadar obat bebas kurang lebih sama dengan laki-laki (Faye dan Mattison, 2008). Aktivitas enzim metabolisme dapat meningkat karena perubahan level hormon endogen seperti androgen, esterogen, progestational steroid, glukokortikoid dan insulin (Ebadi, 2002). Hubungan jenis kelamin dengan kejadian DRPs kemudian dianalisis secara statistik menggunakan Chi square. Dari hasil analisa secara statitik didapatkan p > 0,05 sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DRPs. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Rashed et al (2012), Blix et al (2004), dan Andreazza et al (2011) dimana pada penelitian yang dilakukan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DRPs dengan nilai p > 0,05.

Dari 99 pasien pediatrik yang mengalami DRPs, persentase pasien yang mengalami kejadian DRPs lebih banyak dialami oleh pasien dengan lebih dari 1 diagnosis yaitu sebesar 52,40%. Blix et al (2004) mengemukakan bahwa jumlah diagnosis dapat menjadi faktor risiko terjadinya DRPs seperti interaksi obat, masalah dosis, dan membutuhkan terapi tambahan. Mulyaningsih (2010) melalui penelitiannya menyatakan bahwa semakin besar jumlah diagnosis maka semakin besar pula risiko terjadinya DRPs. Hubungan jumlah diagnosis dengan kejadian DRPs selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan Chi square dengan nilai p > 0,05 sehingga disimpulkan pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara jumlah diagnosis dengan kejadian DRPs. Hasil penelitian berbeda dengan

83

(6)

penelitian yang dilakukan oleh Mulyaningsih (2010) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah diagnosis dengan kejadian DRPs, yaitu semakin banyak jumlah diagnosis semakin besar pula kemungkinan terjadi DRPs. Penelitian lain yang dilakukan oleh Blix et al (2004) juga melaporkan jumlah diagnosis sebagai faktor risiko terjadinya DRPs, dengan nilai p < 0,01 dan nilai RR sebesar 1,51.

Pasien dikatakan mengalami polifarmasi ketika mendapatkan obat lebih dari sama dengan 5 macam obat. Pada penelitian ini, persentase pasien yang lebih tinggi mengalami kejadian DRPs adalah pasien yang mengalami polifarmasi yaitu sebesar 79,40%. Hubungan jumlah obat dengan kejadian DRPs kemudian dianalisis secara statistik menggunakan Chi square dan didapatkan nilai p < 0,05 sehingga ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian ini terdapat hubungan antara jumlah obat dengan kejadian DRPs. Hasil penelitian didukung oleh penelitian yang dilakukan Mulyaningsih (2010) yang mana melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah obat dengan kejadian DRPs. Semakin banyak jumlah obat yang diresepkan semakin besar pula risiko terjadinya DRPs. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Rashed et al (2012), Blix et al (2004), Huri dan Ling (2013), dan Andreazza et al (2011) dimana diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah obat dengan kejadian DRPs (p < 0,05).

Pengetahuan dan ketrampilan dokter penulis resep merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DRPs. Dari 99 pasien pediatrik yang mengalami kejadian DRPs, persentase pasien yang mengalami DRPs lebih besar pada pasien

yang mendapat resep dari dokter anak yaitu sebesar 57,40%. Kejadian DRPs terjadi pada kelompok dokter spesialis anak mayoritas adalah interaksi obat. Pada penelitian ini interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah interaksi antara isoniazid dan rifampicin yaitu sebesar 30 kejadian. Isoniazid dan rifampicin merupakan obat yang termasuk dalam regimen pengobatan tuberkulosis (Graham, 2011). Hubungan antara dokter penulis resep dengan kejadian DRPs kemudian dianalisis menggunakan Chi square didapatkan p < 0,05, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian ini terdapat hubungan antara spesialisasi dokter penulis resep dengan kejadian DRPs.

Untuk mengetahui risiko suatu obat dapat menyebabkan DRPs dapat dilakukan perhitungan menggunakan Drug Risk Ratio (DRR). Nilai DRR tertinggi seperti yang terdapat pada tabel III adalah fexofenadin yaitu sebesar 2,44 kemudian diikuti oleh desloratadin dan fenobarbital sebesar 2. Rashed et al (2011) melalui penelitiannya melaporkan 5 kelompok obat yang beresiko tinggi menyebabkan DRPs yaitu analgesik, anti epilepsi, anti bakteri dan anti mikotik untuk penggunaan sistemik, kortikosteroid untuk penggunaan sistemik, agen immunosupresan. Dengan diketahui nilai DRR, diharapkan dapat menjadi warning bagi klinisi dan apoteker sehingga lebih berhati-hati dalam peresepan obat yang memiliki risiko tinggi dalam menyebabkan DRPs. Dengan demikian diharapkan efek terapi dapat tercapai dengan baik dan mengurangi risiko terjadinya adverse drug reaction.

KESIMPULAN

Drug related problems (DRPs) terjadi pada 99 (50 %) pasien dengan angka kejadian sebesar 172 kejadian drug related problems dengan rincian sebagai berikut: obat tidak tepat 13 (7,56 %) kejadian, dosis terlalu kecil 42 (24,42 %) kejadian, interaksi obat 97 (56,40 %) kejadian, efek samping obat 3 (1,74 %) kejadian, dan kepatuhan 17 (9,88 %) kejadian. Tidak

ditemukan drug related problems untuk kategori terapi tanpa indikasi, kondisi yang perlu diterapi, dan dosis yang terlalu besar.

Faktor usia, jumlah obat, dan dokter penulis resep berpengaruh atau memiliki hubungan dengan kejadian DRPs (p < 0,05).

(7)

Tabel II. Persentase Jumlah Pasien Pediatrik yang Mengalami Drug Related Problems Berdasarkan Usia

Faktor Risiko Pasien mengalami DRPs Pasien tidak mengalami DRPs p value Usia ≤ 1bulan 1 (100%) 0 (0%) 0,03 > 1 bln - ≤ 2 tahun 22 (48,90%) 23 (51,10%) > 2 - ≤ 6 tahun 48 (60%) 32 (40%) > 6 - ≤12 tahun 21 (45,7%) 25 (54,3%) > 12 - ≤ 18 tahun 7 (26,9%) 19 (73,1%) Jenis Kelamin Laki-laki 53 (48,20%) 57 (51,80%) 0,67 Perempuan 46 (52,30%) 42 (47,70%) Jumlah Diagnosis 1 88 (49,70%) 89 (50,30%) 1,00 > 1 11 (52,40%) 10 (47,60%) Jumlah Obat < 5 72 (43,90%) 92 (56,10%) 0,00 >= 5 27 (79,40%) 7 (20,60%)

Dokter Penulis Resep

Dokter Umum 8 (40%) 12 (60%) 0,02

Dokter Spesialis Anak 74 (57,40%) 55 (42,60%)

Dokter Spesialis Non Anak 17 (34,7%) 32 (65,30%)

Data dianalisis menggunakan uji Chi square/ Fisher exact test dengan taraf kepercayaan 95% Tabel III. Sepuluh Drug Risk Ratio Tertinggi pada Pasien Pediatrik

Nama Obat Jumlah DRPs Jumlah Diresepkan DRR Fexofenadin 39 16 2,44 Desloratadin 2 1 2,00 Fenobarbital 2 1 2,00 Ketotifen 5 3 1,67 Chlorpheniramin 23 14 1,64 Pirazinamid 8 6 1,33 Rifampicin 36 30 1,20 Dexchlorpheniramin 7 6 1,17 Asam tranexamat 1 1 1,00 Carbamazepin 1 1 1,00

Keterangan: DRPs: Drug Related Problems; DRR: Drug Risk Ratio

DAFTAR PUSTAKA

Ado, M.W., 2012, Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Pediatrik di Bangsal Rawat Inap RSUD Abunawas Kendari Periode November 2011-Januari 2012, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ahmad, A., Mast, M.R., Elders, P., Dekker, J.M., Hugtenburg, J.M., 2014, Identification of Drug-Related Problems of Elderly Patients

Discharged from Hospital, Patient Preference and Adherence, 8: 155–165.

Aini, W.N., 2007, Identifikasi Drug Related Problems yang Potensial dalam Pengobatan Penyakit Tuberculosis Paru Pada Pasien Pediatrik di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta Periode September

2004-85

(8)

Desember 2005, Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Akura, B., Oswari, H., Supriyatno, B., Advani, N., 2009, Incidence and Characteristics of Antituberculosis Drug Induced Hepatotoxicity in Children: A Preliminary Study, Pediatrica Indonesiana, 49(6):342–348. Andreazza, R.S., Silveira De Castro, M., Sippel Köche, P., Heineck, I., 2011, Causes of Drug-Related Problems in the Emergency Room of A Hospital in Southern Brazil. Gaceta Sanitaria, 25(6): 501–506.

Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A., 2003, Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Elec Media Komputindo, Jakarta. Blix, H.S., Viktil, K.K., Reikvam, Å., Moger, T.A.,

Hjemaas, B.J., Pretsch, P., Vraalsen, T.F., Walseth, E.K., 2004, The majority of Hospitalised Patients Have Drug-Related Problems: Results from a Prospective Study in General Hospitals, European Journal of Clinical Pharmacology, 60(9): 651– 658.

Carrasco-Portugal, M. del C., Flores-Murrieta, F.J., 2011, Gender Differences in the Pharmacokinetics of Oral Drugs. Pharmacology And Pharmacy, 2: 31–41. Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998,

Pharmaceutical Care Practice, McGrow Hill, New York.

Dawood, O.T., Izham, M., Ibrahim, M., Palaian, S., 2010, Medication Compliance Among Children, World Journal of Pediatrics, 6(3):

200–202.

Dean, B., Schachter, M., Vincent, C., Barber, N., 2002, Causes of Prescribing Errors in Hospital Inpatients: A Prospective Study, The Lancet, 359(9315): 1373–78.

Dwiprahasto, I., 2005, Medication Error, Makalah Ceramah Umum, Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Faye, A., dan Mattison, D., 2008, Sex Differences in Drug Development, Blinckpunkt der Mann, 6(1): 21–25.

Graham, S.M., 2011, Treatment of Paediatric TB: Revised WHO Guidelines, Paediatric Respiratory Reviews, 12(1): 22–26.

Hidayah, F.N., 2011, Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Asma Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2009, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 1(3):180-189.

Huri, H.Z., Ling, L.C., 2013, Drug-Related Problems in Type 2 Diabetes Mellitus Patients with Dyslipidemia, Biomed Central Public Health, 13: 1192.

Kardas, P., 2002, Patient Compliance with Antibiotic Treatment for Respiratory Tract Infections, Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 49(6): 897–903.

Kazouini, A., Mohammed, B.S., Simpson, C.R., Helms, P.J., McLay, J.S., 2011, Paracetamol Prescribing in Primary Care: Too Little and Too much?, British Journal of Clinical Pharmacology, 72(3): 500–504.

Mulyaningsih, K., 2010, Profil Drug-Related Problems pada Pasien Geriatrik Rawat Inap di Bangsal Bugenvil Unit Penyakit Dalam RSUP Sardjito Yogyakarta Periode September 2009-Januari 2010, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nurpeni, H., 2006, Identifikasi Drug Related Problems Potensial pada Resep Dokter Anak di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pratiwi, D.A.B., 2011, Kajian Drug Related

Problems pada Pasien Anak dengan Infeksi saluran Nafas Bawah dan Asma di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode 1 Januari-30 Juni 2006, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, Desember; 1(4):262-268.

Rashed, A.N., Neubert, A., Alhamdan, H., Tomlin, S., Alazmi, A., AlSaikh, A., Wilton, L., Wong, I.C.K., 2013, Drug Related Problems Found in Children Attending an Emergency Departement in Saudia Arabia and in the United Kingdom, International Journal of Clinical Pharmacy, 35(3): 327–331. Rashed, A.N., Neubert, A., Stephen Tomlin,

Jackman, J., Alhamdan, H., AlShaikh, A., Attar, A., Aseeri, M., Wilton, L., Wong, I.C.K., 2012, Epidemiology and Potential Associated Risk Factors of Drug-Related

(9)

Problems in Hospitalised Children in The United Kingdom and Saudi Arabia, Eur. J. Clin. Pharmacol. 68:1657–1666.

Rashed, A.N., Wong, I.C.K., Cranswick, N., Tomlin, S., Rascher, W., Neubert, A., 2011, Risk Factors Associated with Adverse Drug Reactions in Hospitalised Children: International Multicentre Study, European Journal of Clinical Pharmacology, 68(12): 801– 810.

Tahir, M., Nawaz, S., Amin, F., Butt, M., Mahmood, K.T., Haq, I., 2011, Prescriber’s Perception, Knowledge and Attitude towards Prescribing Error in the Pedriatric Ambulatory Care, Journal of Pharmaceutical Science and Research, 3(11): 1585–1592.

Tigabu, B., Daba, D., Habte, B., 2014, Drug-Related Problems among Medical Ward Patients in Jimma University Specialized Hospital, Southwest Ethiopia, Journal of Research in Pharmacy Practice, 3(1): 1-5. Wahyundari, Z., 2011, Kajian Problem

Pemberian Obat pada Pasien Pediatri Rawat Inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

87

Gambar

Tabel I. Tipe DRPs pada Pasien Pediatrik yang Berobat di Unit Rawat Jalan
Tabel II. Persentase Jumlah Pasien Pediatrik yang Mengalami Drug Related Problems Berdasarkan  Usia

Referensi

Dokumen terkait

Calcium chloride mempunyai kegunaan yang luas pada industri kimia di. Indonesia, hal ini dapat kita lihat pada kegunaan calcium chloride

Pada Frame 139 buat animasi kaki karakter Neo yang sedang menendang, kini gerakan kaki tersebut tepat mengenai kepala karak- ter Smith. Animasi Tween pada

Agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan berkembangnya, maka suatu perusahaan harus berusaha memperoleh laba. Salah satu usaha perusahaan untuk

Kesepuluh prinsip tersebut adalah: (1) Inovatif, yaitu apakah sebuah produk membuka kesempatan baru atau tidak; (2) Kegunaan, yaitu apakah sebuah produk dibeli untuk

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Dekomposisi beberapa tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah, serta pertumbuhan dan produksi jagung pada ultisol Lampung.Thesis.. Program

Pemenuhan kebutuhan sistem informasi bagi semua jenis organisasi menyebabkan perkembangan sistem informasi begitu pesat. Penerapan Teknologi Informasi pada proses

Pada variabel perhatian (empathy) terhadap mutu pelayanan pasien JKN rawat inap kelas III tergolong dalam kategori puas, hal ini dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang