1 EKSISTENSI ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK
SEBAGAI ALAT UJI DALAM MEMUTUS PERKARA TATA USAHA NEGARA
Dwi Komala Septiani
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected]
Abstract
The basis of legitimacy authentication on state administrative decision (berschikking) is that the state administrative decision is charged as in contradictory with the legislation prevailing and the general principles of good governance. Such the provision is governed in Article 53 clause (2) a,b, Act Number 9 of 2004 about PTUN, as the first amendment to the Act Number 5 of 1986 about PTUN. The existence of good governance general principles in the Act Number 5 of 1986 has not been confirmed as legal norm, but in the Act Number 9 of 2004, the general principles of good governance (AAUPB) have been confirmed in formal juridical way as the legal norm. In the presence of such the confirmation, various opinions raise, on the one hand, the presence of AAUPB confirmation restricts the judge’s movement, so that the existence of AAUPB remains to be ethics and is not necessary to be included into the Act. AAUPB is better growing and developing in non-written legal norm as code of ethics (Muchsan, in W. Riawan Tjandra, 2009:140). On the other hand, some people argues that AAUPB confirmed in formal juridical way as a legal norm is not a problem, because the judge in the society change and development is required to be more active, creative, future oriented and not handcuffed by normative rules as the legal positivism tenet prioritizing more the procedural justice. The judge may not be bound by the written convention only but should also explore the legal values and sense of justice living within the society as mandated by the jurisdictional law. The Judge interprets and constructs law to produces a verdict emphasizing on the justice the society expects.
Keywords: general principles of good governance, AAUPB, beschikking, code of ethics, constructs law, state administrative decision.
Abstrak
Dasar pengujian terhadap keabsahan keputusan tata usaha negara (beschikking) adalah bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan huruf b, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Eksistensi AUPB dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, belum ditegaskan sebagai norma hukum, namun dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 AUPB tersebut ditegaskan secara yuridis formal sebagai norma hukum. Dengan penegasan tersebut, timbul berbagai pendapat, di satu pihak dengan adanya penegasan AUPB akan membatasi ruang gerak hakim, sehingga eksistensi AUPB
2 tetap sebagai etika dan tidak perlu dimasukan dalam undang-undang. AUPB lebih baik tetap tumbuh dan berkembang dalam bentuk norma hukum tak tertulis sebagai code of ethics. Di pihak lain berpendapat bahwa AUPB yang secara yuridis formal ditegaskan sebagai norma hukum, bukan merupakan suatu permasalahan, karena hakim dalam perubahan dan perkembangan masyarakat dituntut untuk lebih aktif, kreatif, berpandangan ke depan dan tidak terbelenggu oleh aturan-aturan normatif sebagai ajaran positivisme hukum yang lebih mengedepankan keadilan prosedural. Hakim tak boleh terikat oleh undang-undang yang bersifat tertulis saja, tetapi harus menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan undang-undang kekuasaan kehakiman. Hakim dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum untuk menghasilkan putusan yang mengedepankan keadilan yang diharapkan masyarakat.
Kata Kunci: Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, AUPB, beschikking, konstruksi hukum, code of ethics, keputusan tata usaha negara.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)1 di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan, salah satunya penegasan pelaksanaan AUPB dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) yang menyatakan syarat sahnya suatu keputusan harus berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang- undangan dan AUPB. Selain itu, dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN 2004) juga mengatur AUPB dapat dijadikan sebagai alasan bagi penggugat untuk memasukkan gugatannya di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila hak-haknya dirugikan oleh adanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Sebelumnya, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN 1986) tidak secara eksplisit mengatur mengenai AUPB.
Dengan dimasukkannya AUPB ke dalam UU PTUN 2004, terlihat adanya keseriusan pembentuk undang-undang dalam menempatkan PTUN sebagai alat kontrol tindakan
1Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan) menjelaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
3 pemerintah dari tindakan atau perbuatan sewenang-wenang, penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan lainnya yang merugikan hak-hak warga negara.2 Sejalan dengan hal tersebut, di dalam UU Administrasi Pemerintahan memberikan legitimasi yuridis kepada Hakim untuk menerapkan AUPB sebagai alat uji Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). UU Administrasi Pemerintahan juga mengakui kekuatan mengikat dari AUPB sehingga keberadaan AUPB dalam aturan tersebut tidak hanya sebatas asas atau prinsip, akan tetapi menjadikan AUPB sebagai sebuah norma tertulis.3
Setiap lembaga negara/pejabat tata usaha negara dalam membuat kebijakan/keputusan harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan AUPB sebagaimana terdapat dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Menurut Jazim Hamidi, konsep AUPB merupakan nilai etik yang hidup serta berkembang dalam lingkaran hukum administrasi negara, AUPB memiliki fungsi sebagai pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, dan juga merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan (penetapan) administrasi negara oleh pejabat administrasi serta sebagai dasar pengajuan gugatan bagi masyarakat atau pihak penggugat.4
Upaya untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB, perlu adanya lembaga independen (pengadilan) yang akan menguji dan menyelesaikan perselisihan antara pemerintah dengan masyarakat sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang dalam membuat kebijakan yang berdampak terhadap kerugian kelompok masyarakat.5 Lembaga independen (pengadilan) sebagaimana dimaksud di Indonesia yaitu lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan secara hierarki berada di bawah Mahkamah Agung yang bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.6 Artinya, PTUN
2Cekli Setya Pratiwi, et al., Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2016), hlm. 23.
3Ghalang Reza Fahlevi, Adrian E. Rompis, Zainal Muttaqin, “Analisa Hukum Penerapan Asas Pengharapan yang Wajar (Legitimate Expectation) Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Kertha Semaya 11, No. 2 (2023), hlm 421-435.
4Jazim Hamidi, Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 24
5Khalid Dahlan dan Anna Erliyana Chandra, “Kedudukan Peradilan Administrasi Negara Sebagai Upaya Dalam Mendorong Terbentuknya Pemerintahan Yang Baik”, Jurnal Justisia 6, No. 1 (2021), hlm.
12.
6Lihat Pasal 24 ayat (2) Bab IX Kekuasaan Kehakiman pada UUD NRI 1945.
4 sebagai benteng terakhir dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya harus mampu menegakkan hukum dan keadilan. PTUN harus mampu menjadi lembaga kontrol secara yuridis (judicial control) atas tindakan penyelenggara pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (maladministration) dan merupakan lembaga penilai perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).7
PTUN pada hakikatnya diharapkan mampu mendorong perwujudan negara demokrasi dan ‘rule of law’ sebagaimana dikemukakan oleh Friederich Julius Stahl8 tentang pentingnya keberadaan peradilan administrasi negara. Oleh karena itu, sejalan dengan pemikiran Baharuddin Lopa,9 dalam perkembangannya hubungan antara aparatur tata usaha negara dengan warga negara diharapkan serasi, selaras, seimbang, dan teratur, sehingga mampu mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) diantaranya membentuk pemerintahan Indonesia yang melindungi hak setiap warga negara, meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat.10
Salah satu tolok ukur untuk menilai perbuatan administrasi negara sejalan dengan konsep negara hukum, yaitu keberadaan AUPB guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Prinsip AUPB yang digunakan oleh Hakim berdasarkan rasionalitas dan intelektualitasnya berperan sangat penting terutama dalam menggali dan menemukan hukum ketika menghadapi sengketa TUN yang belum jelas pengaturannya dalam UU dan/atau pengaturannya masih bersifat multitafsir (kabur).11 Akan tetapi, saat ini masih terdapat keragaman istilah AUPB yang ditemukan dalam perundang-undangan di Indonesia, maupun yang digambarkan oleh para pakar Hukum Administrasi Negara.
Keragaman ini di satu sisi telah menambah kekayaan dan aset keilmuan, serta sumber
7Cekli Setya Pratiwi, et al., Penjelasan Hukum Asas-Asas …, hlm.20.
8Stahl dalam bukunya yang berjudul Philosophie des Rechts mengemukakan unsur-unsur negara hukum terdiri dari: a. perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; b. pemisahan kekuasaan (scheiding van machten); c. pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan d. adanya peradilan administrasi negara (administratief rechtspraak). Lihat juga Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Penerbit Alumni, Bandung, 2004, hlm. 112.
Bandingkan dengan Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakartaa; PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 8.
9Baharuddin Lopa dan Andi Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1991), hlm. 2
10Disarikan dari Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945.
11Pasal 5 ayat (1), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan Hakim dan Hakim Konstitusi menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
5 kajian yang sangat diperlukan bagi perkembangan AUPB sebagai prinsip yang bersifat dinamis dan terbuka. Akan tetapi, di sisi lain keragaman istilah AUPB tersebut juga mempengaruhi pencapaian kepastian hukum, keadilan, maupun kemanfaatan hukum jika penerapannya oleh Hakim dalam memutus perkara tidak dirumuskan atau dikonstruksikan secara logis dan cermat berdasarkan indikator-indikator yang jelas, sehingga menimbulkan kerancuan dalam penafsiran antara asas yang satu dengan asas lainnya.
Pada hakikatnya, asas memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan hukum atau kekaburan hukum. Oleh karena itu, keberadaan AUPB sangatlah penting manakala Hakim PTUN memeriksa sebuah perkara di mana landasan hukumnya belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan (kekosongan hukum/vacuum of norm) atau manakala pengaturannya ada tetapi sangat sumir (kekaburan hukum/vague of norm). Dalam hal ini, pengakuan AUPB sebagai norma hukum positif akan sangat bermanfaat bagi Hakim dalam menjalankan kemerdekaan dan kekuasaan kehakiman untuk menguji segala tindakan pemerintah yang dianggap telah sewenang-wenang, bertentangan dengan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan akurat dengan indikator yang jelas dan dengan mengedepankan aspek kepastian hukum. Keberadaan AUPB lainnya yang tidak tertulis juga sangat penting guna mewujudkan aspek keadilan dan kemanfaatan dari putusan Hakim.12
Oleh karena itu, untuk memberi makna terhadap reformasi regulasi di bidang PTUN, sangat menarik untuk mengkaji secara mendalam mengenai keseriusan Hakim dalam menempatkan AUPB sebagai pedoman dalam menguji keabsahan tindakan pemerintah dalam memutus perkara di PTUN. Penelitian ini akan menganalisis lebih lanjut perihal kedudukan AUPB sebagai alat uji dalam memutus perkara tata usaha negara serta hambatan dan tantangan penerapan AUPB sebagai alat uji dalam memutus perkara tata usaha negara.
12Lihat Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
6 1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan AUPB sebagai alat uji dalam memutus perkara tata usaha negara?
2. Bagaimana hambatan dan tantangan penerapan AUPB sebagai alat uji dalam memutus perkara tata usaha negara?
1.3. Metode
Penulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal yang memfokuskan penelitian pada doktrin yang memadukan aturan, asas, norma, serta nilai-nilai. Sebagai langkah awal penelitian ini, dilakukan identifikasi terhadap sumber hukum yang akan diteliti, kemudian dilakukan penafsiran dan analisis terhadap sumber hukum tersebut.13 Berdasarkan definisi penelitian doktrinal yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki,14 penelitian ini akan berusaha memberikan penjelasan secara sistematis terkait aturan yang mengatur tentang AUPB, kemudian menganalisis aturan-aturan tersebut, dan menjelaskan area permasalahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analitis15 yaitu dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan hukum yang bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus menganalisis penerapannya dalam praktik serta dalam putusan-putusan hukum.16
Penelitian ini juga menggunakan jenis data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan, sehingga metode pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku, artikel, dan jurnal, serta pendapat ahli yang berkaitan dengan eksistensi AUPB sebagai alat uji dalam penanganan perkara tata usaha negara. Pengumpulan data sekunder yang digunakan dalam penelitian
13P. Ishwara Bhat, Idea and Methods of Legal Research, (Oxford: Oxford University Press, 2019), hlm. 28.
14Peter Mahmud Marzuki, dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum, mendefinisikan penelitian doktrinal sebagai penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antarperaturan, menjelaskan area permasalahan, dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 35
15P. Ishwara Bhat, Idea and Methods…, hlm. 29
16Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), hlm. 206-207.
7 ini difokuskan pada: (a) bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tema penelitian; dan (b) bahan hukum sekunder, berupa buku referensi, artikel, dan jurnal terkait dengan tema penelitian dan menguraikan lebih lanjut bahan hukum primer dalam konteks dikotomi teoritik dan implementasi. Data yang terkait dengan eksistensi AUPB sebagai alat uji dalam penanganan perkara tata usaha negara dianalisis secara deskriptif kualitatif.
2. PEMBAHASAN
2.1. Kedudukan AUPB Sebagai Alat Uji Dalam Memutus Perkara Tata Usaha Negara
Pada negara hukum, setiap kebijakan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menilai apakah tindakan pemerintah sejalan dengan asas negara hukum atau tidak, dapat menggunakan AUPB sebagai alat uji kebijakan atau keputusan pemerintah.17 AUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dapat dijadikan sebagai pijakan utama dan proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sopan, adil, dan terhormat, serta terbebas dari pelanggaran peraturan perundang-undangan serta tindakan sewenang-wenang.
Penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh bagaimana pemerintah bekerja tetapi juga ditentukan oleh setiap kebijakan yang diambil dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakatnya.18 Oleh karena itu, Pemerintah dalam membentuk segala kebijakan atau keputusan harus berpedoman kepada AAUPB sehingga kebijakan yang dibentuk menjadi tepat sasaran dan tidak keluar dari batasan-batasan kewenangannya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mana dapat merugikan masyarakat.
AUPB telah dikenal lama oleh beberapa negara, akan tetapi fokus terhadap AUPB tersebut baru mulai meningkat pada pertengahan abad ke-20. Di Belanda misalkan, AUPB disebut dengan istilah Algemene Beginselen van Berhoorlyk Bestuur, sedangkan di Perancis dikenal dengan istilah les principles du droit constumeir publique. AUPB memiliki beragam rumusan disebabkan oleh AUPB yang merupakan konsep terbuka serta
17Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 242.
18Michael Chi Man Ng, “Are Globalization and Governance Interrelated? Evidence among World Economies,” Journal of Globalization Studies 7, No. 2, November, (2016), hlm. 49.
8 lahir dari suatu proses masa lalu.19 Crince Le Roy menyatakan ada sebelas asas umum pemerintahan yang baik dalam lingkungan hukum administrasi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan di Belanda diantaranya adalah asas:
1. kepastian hukum (principle of legal security);
2. keseimbangan (principle of proportionality);
3. persamaan dalam setiap keputusan (principle of equalty);
4. bertindak cermat (principle of carefulness);
5. motivasi dalam setiap keputusan (principle of motivation);
6. larangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non-misuse of competence);
7. permainan yang layak (principle of fairplay);
8. keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of arbitrariness);
9. bersikap wajar terhadap penghargaan (principle of meeting raised expectation);
10. meniadakan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the consequence of unnudell edcision); dan
11. perlindungan terhadap pandangan hidup masing-masing (principle of protecting the personal way of life).20
Sementara itu, Kuncoro Purbopranoto mengatagorikan AUPB kedalam tiga belas asas diantaranya: asas kepastian hukum (principle of legal security), asas keseimbangan (principle of proporcionalitas), asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality), asas cermat dalam bertindak (principle of carefulness), asas keputusan yang memotivasi (principle of motivation), asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of nonmisuse of Competence), asas perlakuan yang baik (principle of fair play), asas keadilan (principle of reasonableness or prohition of arbitrariness), asas bersikap wajar terhadap penghargaan (principle of meeting raised expectation), asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision), asas adanya jaminan terhadap perbedaan pandangan hidup (principle of protecting the personal way of live), asas kebijaksanaan (sapientia), dan asas pengutamaan kepentingan umum (principle of public service). 21
19Khalid Dahlan dan Anna Erliyana Chandra, “Kedudukan Peradilan Administrasi Negara ..., hlm.16.
20Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 158
21Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi Negara, Jilid II, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 29.
9 AUPB tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat perbedaan istilah dan definisi. Namun demikian, meskipun berbeda-beda tetap menunjukkan sebagai AUPB.22 AUPB dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
No. Peraturan Perundang- Undangan
AUPB
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 53
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Pasal 3
Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan 7. Asas Akuntabilitas.
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 53
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Penjelasan Pasal 53 Ayat (2) Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas:
- kepastian hukum;
- tertib penyelenggaraan negara;
22Cekli Setya Pratiwi, et al., Penjelasan Hukum Asas-Asas …, hlm 23.
10 - keterbukaan;
- proporsionalitas;
- profesionalitas;
- akuntabilitas,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Pasal 3
Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan:
a. kepatutan;
b. keadilan;
c. non-diskriminasi;
d. tidak memihak;
e. akuntabilitas;
f. keseimbangan;
g. keterbukaan; dan h. kerahasiaan.
Penjelasan Umum:
Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek Maladministrasi antara lain terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur Penyelenggara Negara dan pemerintahan dan penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik dan penegakan hukum diperlukan keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara efektif mampu mengontrol tugas Penyelenggara Negara dan pemerintahan.
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 3
Tujuan undang-undang tentang pelayanan publik adalah:
b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
11 Pasal 4
Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Bagian Kedua
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasal 58
Penyelenggara Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggara negara;
c. kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efisiensi;
i. efektivitas; dan j. keadilan.
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 10
AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan h. pelayanan yang baik.
8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
Pasal 2
Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas:
12 a. kepastian hukum;
b. profesionalitas;
c. proporsionalitas;
d. keterpaduan;
e. delegasi;
f. netralitas;
g. akuntabilitas;
h. efektif dan efisien;
i. keterbukaan;
j. nondiskriminatif;
k. persatuan dan kesatuan;
l. keadilan dan kesetaraan; dan m. kesejahteraan.
Tabel 1.1.
AUPB dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Penerapan AUPB di lingkungan PTUN sudah dipraktikkan sejak berlakunya UU PTUN 1986 atau jauh sebelum UU PTUN 2004 disahkan. Para Hakim ketika menerapkan AUPB merujuk pada Pasal 14 jo. Pasal 27 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Butir V Diktum 1 Petunjuk Mahkamah Agung (Juklak) tanggal 24 Maret 1992 Nomor: 052/Td.TUN/II/1992 yang menyebutkan
“Apabila Hakim mempertimbangkan adanya AAUPB sebagai landasan pembatalan penetapan, maka tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusan melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebut asas-asas mana dari AAUPB yang dilanggar”.23
Sayangnya, seiring dengan reformasi PTUN, pemberlakuan juklak tersebut masih dipertahankan sampai sekarang. Padahal, UU PTUN 2004 dan UU Administrasi Pemerintahan 2014 secara lebih eksplisit telah menempatkan AUPB sebagai norma hukum positif dan menempatkan AUPB sebagai alasan atau dasar gugatan. Sementara itu, dalam Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi 2008) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI tahun 2008 (halaman 69, angka 6) dinyatakan apabila terbukti ada pelanggaran terhadap AUPB, AUPB dimaksud harus dicantumkan dalam diktum putusan sebagai norma yang membatalkan Keputusan TUN yang digugat. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin pencapaian kepastian hukum, pelanggaran AUPB tidak cukup hanya dimasukkan dalam
23Lihat Bedner, W. Adriaan, 2010. Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Sebuah Studi Sosiolegal, Penerjemah Indra Krisnamurti, Ed.1. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLVJakarta, hlm. 128.
Lihat juga, Marbun, S. F., 1988. Peradilan Tata Usaha Negara. Liberty.
13 pertimbangan-pertimbangan hukum, tetapi penting disebutkan dalam diktum putusan.
Pada hakikatnya, asas memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan hukum atau kekaburan hukum. Oleh karena itu, keberadaan AUPB sangatlah penting manakala Hakim PTUN memeriksa sebuah perkara di mana landasan hukumnya belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan (kekosongan hukum/vacuum of norm) atau manakala pengaturannya ada tetapi sangat sumir (kekaburan hukum/vague of norm). Dalam hal ini, pengakuan AUPB sebagai norma hukum positif akan sangat bermanfaat bagi Hakim dalam menjalankan kemerdekaan dan kekuasaan kehakiman untuk menguji segala tindakan pemerintah yang dianggap telah sewenang-wenang, bertentangan dengan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan akurat dengan indikator yang jelas dan dengan mengedepankan aspek kepastian hukum. Keberadaan AUPB lainnya yang tidak tertulis juga sangat penting guna mewujudkan aspek keadilan dan kemanfaatan dari putusan Hakim.24
AUPB terbentuk dari proses penyelenggaraan pemerintahan dari masa ke masa.
Mulanya AUPB bertujuan sebagai sarana perlindungan hukum (rechtsbescherming) serta dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan perlindungan hukum (verhoodge rechtsbescherming) bagi warga dari tindakan pemerintah, kemudian AUPB disamping dijadikan sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan juga dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi.25 AUPB tidak hanya menjadi pegangan pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang baik melalui kebijakan-kebijakannya, AUPB juga dapat dipedomani oleh kelompok masyarakat dan pengadilan dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik. Dalam perkembangannya, AUPB memiliki arti penting yaitu:
1. dalam hal administrasi negara, dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap kebijakan-kebijakan yang sama/tidak jelas;
2. terhadap masyarakat, dalam mencari keadilan, AUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan;
3. bagi Hakim Tata Usaha Negara, AUPB dapat dijadikan sebagai alat uji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara;
24Lihat Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
25Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, hlm. 251.
14 4. AUPB juga bermanfaat bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-
undang.
Rasionalitas dan intelektualitas Hakim dalam menggunakan prinsip AUPB berperan sangat penting terutama dalam menggali dan menemukan hukum ketika menghadapi sengketa TUN yang belum jelas pengaturannya dalam UU dan atau pengaturannya masih bersifat multitafsir (kabur).26 Eksistensi AUPB dalam pembentukan hukum menuntut kreativitas Hakim dalam menemukan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sementara itu, eksistensi AUPB dalam penerapan hukum membutuhkan kreativitas hakim dalam membangun konstruksi hukum yang konsisten dan terukur apabila hukum yang ada masih sangat kabur.
Pada dasarnya, penerapan hukum dimaknai sebagai penerapan peraturan hukum terhadap peristiwa konkret.27 Fungsi “penerapan hukum” selama ini sudah banyak dijalankan oleh para Hakim, sedangkan “penemuan hukum” masih sangat jarang dilakukan. Jon Z. Loudoe mengisyaratkan penemuan hukum dapat dilakukan melalui interpretasi, analogi, dan penghalusan hukum. Penemuan hukum terjadi karena penerapan ketentuan pada fakta dan ketentuan tersebut kadang kala masih harus dibentuk, sementara itu tidak selalu dapat diketemukan dalam Undang-Undang yang sudah ada.28 Di sinilah eksistensi AUPB sangat membantu Hakim dalam melakukan penemuan hukum sehingga dapat menghasilkan yurisprudensi tetap tentang AUPB.
2.2. Hambatan dan Tantangan Penerapan AUPB sebagai Alat Uji dalam Proses Penanganan Perkara Tata Usaha Negara
Salah satu aktualisasi penerapan AUPB dapat dijumpai dalam Putusan Pengadilan TUN Nomor 107/G/2022/PTUN-JKT29 mengenai sengketa pengumuman hasil akhir pasca sanggah pada seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021. Dalam putusan tersebut,
26UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) Hakim dan Hakim Konstitusi menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
27Sudikno Mertokosumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
Alumni,1983). Cet. Pertama. Hlm. 21-28. Lihat juga Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 2009:
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
28John Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta: Bina Aksara, 1995). Cet.
Pertama. Hlm. 69.
29Lihat Putusan PTUN Jakarta Nomor 107/G/2022/PTUN-JKT.
15 hakim menggunakan asas kecermatan dan asas pengharapan yang layak sebagai alat uji dalam mengabulkan gugatan yang dilayangkan Yudha Agung Pratama, M.Sc. melawan Ketua Tim Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021. Dalam putusannya, hakim menyatakan tidak sah Pengumuman Nomor 6164/A.A3/KP.01.00/2022 tentang Pengumuman Hasil Akhir Pasca Sanggah Pada Seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021 tertanggal 20 Januari 2022, khususnya pada Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III atas nama Yudha Agung Pratama. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadian Tinggi TUN Jakarta dalam tingkat banding30 dan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.31
Terdapat perbedaan pertimbangan Hakim mengenai AUPB yang dianggap telah dilanggar oleh Penggugat, dimana menurut Hakim di PTUN tingkat pertama, terdapat pelanggaran AUPB khususnya asas kecermatan dan asas pengharapan yang layak. Akan tetapi, pertimbangan Hakim di Pengadilan Tinggi TUN menyatakan AUPB yang dilanggar adalah asas kecermatan (tidak disinggung sama sekali mengenai asas pengharapan yang layak) dan di Mahkamah Agung sama sekali tidak memasukkan pelanggaran AUPB dalam pertimbangannya. Di sisi lain, yaitu Penggugat, mengajukan eksepsi sebagai pejabat negara telah mengambil keputusan dengan menerapkan AUPB yaitu asas kepastian hukum, asas ketidakberpihakan (asas keadilan), asas kecermatan, dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan.
Berdasarkan pada contoh kasus tersebut, pada praktiknya memang masih terjadi pemaknaan yang berbeda terhadap AUPB diantara pejabat pemerintahan dan Hakim di PTUN, bahkan diantara Hakim PTUN itu sendiri. Konsistensi dan kesungguhan Hakim dalam merumuskan fakta-fakta hukum, kemudian menyusun pertimbangan- pertimbangan hukum untuk mengidentifikasi dan merumuskan AUPB, serta cara Hakim dalam menghubungkan dan memaknai indikator pada masing-masing asas AUPB dalam setiap putusannya, menjadi tantangan bagi Hakim PTUN dalam mencapai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum secara proporsional.
Setelah lahirnya UU PTUN 2004, dalam perkara TUN yang diputus oleh PTUN sebagian besar Penggugat telah mendalilkan AUPB sebagai dasar gugatan. Dalam
30Lihat Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta Nomor 317/B/2022/PT.TUN.JKT.
31Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/TUN/2023.
16 beberapa kasus di mana Penggugat mendalilkan lebih dari satu pelanggaran AUPB, dijumpai pula pembuktian unsur-unsur dari pelanggaran asas yang didalilkan kurang dikonstruksi secara sungguh-sungguh dan mendalam dari fakta-fakta yang mendasarinya.32
Ketidakcermatan dalam perumusan, maupun pengumpulan fakta-fakta hukum di persidangan untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan mengenai pelanggaran AUPB, banyak dipengaruhi oleh tidak adanya panduan mengenai indikator-indikator atau contoh-contoh pelanggaran AUPB yang dapat dirujuk oleh Hakim TUN dalam memutus perkara sehinggaa adakalanya pertimbangan hukum Majelis Hakim dirasa kurang lengkap menggambarkan pelanggaran masing-masing asas terkait. Beberapa asas dalam AUPB juga sering kali diberikan makna yang rancu oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya, misalnya kerancuan antara penggunaan asas proporsionalitas dan asas perlakuan yang sama, atau kerancuan antara penggunaan asas kepastian hukum dan asas profesionalitas.33
Belum adanya satu pedoman atau panduan yang mengatur mengenai indikator masing-masing asas dalam AUPB menyebabkan masih adanya perbedaan penafsiran dalam membuktikan pelanggaran AUPB oleh Hakim PTUN di dalam praktiknya. Oleh karena itu, perlu kiranya Mahkamah Agung untuk merumuskan indikator masing-masing asas AUPB, sehingga dapat dijadikan rujukan bagi Hakim TUN di semua tingkatan peradilan dalam memutus perkara.
Butir V diktum 1 Juklak tanggal 24 Maret 1992 Nomor: 052/Td.TUN/II/1992 menyebutkan, “apabila Hakim mempertimbangkan adanya AAUPB sebagai landasan pembatalan penetapan, maka tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusan melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebut asas- asas mana dari AAUPB yang dilanggar”. Arahan yang menyatakan pelanggaran AUPB cukup diuraikan dalam pertimbangan hukum ini, sudah sepatutnya dikaji ulang. Ketentuan ini sudah tak lagi relevan dengan adanya ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU PTUN 2004 yang telah menempatkan AUPB sebagai norma hukum tertulis dan dasar gugatan dalam perkara TUN. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI sebaiknya memastikan penerapan Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi
32Cekli Setya Pratiwi, et al., Penjelasan Hukum Asas-Asas …, hlm.17.
33Ibid., hlm. 18-19.
17 2007, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI pada tahun 2008. Di dalamnya ditentukan kewajiban Hakim untuk tidak hanya menyebutkan pelanggaran AUPB dalam pertimbangan hukumnya, melainkan untuk secara tegas menyebutkan asas AUPB yang dilanggar oleh badan dan atau pejabat TUN dalam diktum atau amar putusan, sehingga lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum.34
3. SIMPULAN
Berdasarkan telaah atas peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum terkait AUPB, dapat disimpulkan (1) Kedudukan AUPB sebagai norma hukum positif telah menempatkan AUPB sebagai asas yang mengikat kuat; (2) AUPB sebagian besar telah menjadi norma hukum tertulis dan sebagian lainnya merupakan prinsip yang tidak tertulis; (3) AUPB telah memiliki kedudukan sebagai dasar atau alasan bagi Penggugat untuk mendalilkan gugatan dalam perkara TUN di pengadilan; (4) AUPB merupakan alat uji bagi hakim TUN untuk menguji keabsahan atau pembatalan sebuah Keputusan TUN sehingga konsekuensinya dalam hal terjadi pelanggaran terhadap AUPB dapat disebutkan secara tegas oleh Hakim dalam amar putusan; (5) AUPB dapat dijadikan dasar bagi Hakim dalam memaknai kekaburan Hukum di bidang Hukum Administrasi Negara, asalkan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan akurat, dengan indikator-indikator yang jelas, serta didukung oleh fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Mengingat putusan Hakim adalah mahkota peradilan, serta wujud dari peradilan yang merdeka dan tidak memihak, maka dalam membuat putusan, khususnya dalam perkara TUN menyangkut pelanggaran AUPB, hendaknya Hakim memiliki pemahaman yang mendalam tentang AUPB serta indikator-indikatornya, sehingga pelanggaran- pelanggaran AUPB dapat dikonstruksi secara logis, fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan hukum dapat dirumuskan secara jelas, serta kesimpulan- kesimpulan yang tepat dihasilkan. Hal ini akan membuat putusan-putusan yang dihasilkan benar-benar berkualitas, memenuhi aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, serta melahirkan yurisprudensi tetap tentang penerapan masing-masing AUPB.
Bagaimanapun, kedudukan AUPB sangat penting dalam mendorong gagasan reformasi di bidang yudikatif, khususnya bagi terciptanya PTUN yang profesional dan
34Ibid.
18 independen, serta menjamin dan menegakkan perlindungan HAM, dan akhirnya mampu menciptakan pemerintahan Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Good Governance. Dengan demikian, perlu kiranya Mahkamah Agung untuk merumuskan indikator masing-masing asas AUPB, sehingga dapat dijadikan rujukan bagi Hakim TUN di semua tingkatan peradilan dalam memutus perkara.
19 DAFTAR RUJUKAN
A. Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 5 Tahun 1986. LN Tahun 1986 No. 77 TLN No. 3344.
Undang-Undang Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU Nomor 28 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 75 TLN No. 3851.
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 9 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No.
35 TLN No. 4380.
Undang-Undang Tentang Ombudsman. UU Nomor 37 Tahun 2008. LN Tahun 2008 No.
139 TLN No. 4899.
Undang-Undang Tentang Pelayanan Publik. UU Nomor 25 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 112 TLN No. 5038.
Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 48 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 157 TLN No. 5076.
Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 244 TLN No. 5587.
Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan. UU Nomor 30 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 292 TLN No. 5601.
Undang-Undang Tentang Aparatur Sipil Negara. UU Nomor 20 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 141 TLN No. 6897.
B. Peraturan atau Kebijakan lainnya
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Keputusan MA Nomor KMA/032/SK/IV/2007.
C. Putusan Pengadilan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Putusan Nomor 107/G/2022/PTUN-JKT. Yudha Agung Pratama, M.Sc. melawan Ketua Tim Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Putusan Nomor 317/B/2022/PT.TUN.JKT. Yudha Agung Pratama, M.Sc. melawan Ketua Tim Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021.
Mahkamah Agung. Putusan Nomor 300 K/TUN/2023. Yudha Agung Pratama, M.Sc.
melawan Ketua Tim Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021.
D. Buku
Adriaan, W. Bedner. Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Sebuah Studi Sosiolegal, Penerjemah Indra Krisnamurti. Ed.1. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV Jakarta, 2010.
Bhat, P. Ishwara. Idea and Methods of Legal Research. Oxford: Oxford University Press, 2019.
20 Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah.
Bandung: Penerbit Alumni, 2004.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008
Hamidi, Jazim. Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999.
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakartaa; PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing, 2007.
Lopa, Baharuddin dan Andi Hamzah. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika, 1991.
Loudoe, John Z. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta. Cet. Pertama. Jakarta:
Bina Aksara, 1995.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Mertokosumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Cet. Pertama.
Bandung: Alumni, 1983.
Pratiwi, Cekli Setya, et al.. Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2016.
Purbopranoto, Kuntjoro. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Jilid II. Bandung: Alumni, 1981.
S. F., Marbun. Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Liberty, 1988.
Sibuea, Hotma P. Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Jakarta: Erlangga, 2002.
E. Jurnal/Artikel
Fahlevi, Ghalang Reza, Adrian E. Rompis, Zainal Muttaqin, “Analisa Hukum Penerapan Asas Pengharapan yang Wajar (Legitimate Expectation) Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Kertha Semaya 11, No. 2 (2023). Hlm 421-435.
Dahlan, Khalid dan Anna Erliyana Chandra. “Kedudukan Peradilan Administrasi Negara Sebagai Upaya Dalam Mendorong Terbentuknya Pemerintahan Yang Baik”, Jurnal Justisia 6, No. 1 (2021). Hlm. 12.
Ng, Michael Chi Man. “Are Globalization and Governance Interrelated? Evidence among World Economies,” Journal of Globalization Studies 7, No. 2, November, (2016). Hlm. 49.