• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSTRADISI DALAM ILMU HUKUM PERDATA

N/A
N/A
Elsa Dame

Academic year: 2023

Membagikan "EKSTRADISI DALAM ILMU HUKUM PERDATA "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EKSTRADISI

Ariyanti, SH.,MH.,LL.M

(2)

Definisi Ekstradisi

◦Pasal 1 (a) Harvard Research Draft Convention on Extradition “Extradition is the formal surrender of a person by a State to another state for prosecution of punishment.” (Terjemahan bebas: Ekstradisi adalah penyerahan sevara resmi seseorang oleh suatu negara kepada negara lainnya untuk menjalani hukuman).

◦Pasal 44 United Nations Convention against Corruption menyebutkan definisi ekstradisi sebagai berikut: “extradition is present in the territory of the requested state party, provided that the offence for which extradition is saught is punishable under the domestic law of both the requesting state party and the requested state party.” (Terjemahan bebas: Ekstradisi hadir di wilayah teritorial negara yang diminta, dengan ketentuan bahwa kejahatan/pelanggaran dimana ekstradisi itu diminta merupakan suatu kejahatan/pelanggaran yang dapat dihukum oleh hukum nasional negara yang meminta dan negara yang dimintakan ekstradisi).

(3)

◦I Wayan Parthiana--“Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari Negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya

◦Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi memberikan definisi sebagai berikut: ”penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang mengadili dan menghukumnya.”

(4)

Kesimpulan

Ekstradisi menjadi sarana atau cara yang efektif untuk menghukum pelaku tindak pidana yang melarikan diri setelah melakukan perbuatannya untuk kemudian dibawa dan diadili di negara yang berwenang.

Tetapi terdapat permasalahan mendasar dimana belum ada ketentuan hukum internasional yang mengharuskan tiap negara untuk membuat perjanjian ekstradisi dengan negara lain.

Lalu timbul sebuah pertanyaan mengenai dampak mengikat suatu perjanjian ekstradisi. Apakah hanya dengan perjanjian ekstradisi si pelaku tindak pidana dapat diadili? Apakah lalu berarti tanpa adanya perjanjian ekstradisi si pelaku dapat menghindar atau melarikan diri dari hukuman atas kejahatan yang ia lakukan?

Dari praktek negara-negara, terdapat negara yang bersedia menyerahkan pelaku tindak pidana, kendatipun belum terdapat perjanjian ekstradisi. Sebagai contoh adalah Afrika Selatan, Kanada, dan Kolumbia.240 Sebaliknya, Negara- negara yang hanya berkenan menyerahkan pelaku tindak pidana setelah ada perjanjian ekstradisi adalah Belanda, Ethiopia, Israel, dan Turki

(5)

Indonesia sendiri memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain, seperti:

1. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia yang telah diratifikasi melalui Undang-undang nomor 9 tahun 1974;

2. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina 1976, yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 1976;

3. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand 1978, yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 2 tahun 1978;

4. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia yang telah diratifikasi melalui Undang-undang nomor 8 tahun 1994; dan

5. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Hongkong yang telah diratifikasi melalui Undang-undang nomor 1 tahun 2001.

(6)

ASAS-ASAS HUKUM EKSTRADISI

1. Asas Kejahatan Rangkap (Double Criminality Principle)

Pada hakekatnya, asas ini mensyaratkan suatu perbuatan pelaku yang dimintakan ekstradisi harus terkualifikasi sebagai suatu tindak pidana, baik menurut hukum pidana Negara yang meminta (Requesting State) dan Negara yang diminta (Requested State). Mengingat perbedaan sistem hokum, terdapat perbedaan dalam pengistilahan dan perumusan unsur-unsur tindak pidana. Namun apabila baik Negara yang meminta dan Negara yang diminta telah sama- sama mengkualifikasikan suatu perbuatan pelaku sebagai tindak pidana, maka syarat asas ini sepenuhnya terpenuhi.

- Dalam prakteknya, untuk menghindari perbedaan penafsiran dan ketidakjelasan rumusan, Negara-negara yang mengadakan perjanjian ekstradisi memuat daftar tindak pidana yang dapat diekstradisi yang tercantum dalam lampiran perjanjian ekstradisi tersebut. Di Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 4 Undang-undang Ekstradisi No. 1 tahun 1979.

(7)

2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality)

◦Berdasarkan asas ini, seorang pelaku yang telah diekstradisi hanya dapat diadili atau dihukum berdasarkan tindak pidana yang dijadikan alasan oleh Negara peminta untuk mengekstradisi pelaku tersebut. Sehingga Negara peminta tidak boleh mengadilinya atas kejahatan lain di luar dari kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk pengekstradisiannya.

◦Sebagai contoh, apabila Indonesia ingin mengekstradisi si A karena kasus korupsi, maka ketika Thailand setuju mengekstradisi, maka Indonesia harus mengadili atau menghukum si A tadi dengan kasus korupsi, bukan kasus/kejahatan lainnya.

◦Di Indonesia, asas kekhususan ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa” Permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau ditahan karena melakukan kejahatan lain daripada kejahatan yang karenanya ia dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan izin Presiden

(8)

3. Asas tidak menyerahkan warga negara (Non-extradition of Nationals)

Asas ini menyebutkan bahwa Negara yang diminta (requested state) dapat menolak permintaan ekstradisi pelaku tindak pidana apabila ternyata pelaku tersebut adalah warga negara dari Negara yang diminta tadi. Asas ini didasarkan pada pemikiran bahwa Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga Negara berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya.

Dalam Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 tahun 1979, hal ini diatur dalam pasal 7.

Apabila negara yang diminta menolak permintaan ekstradisi, negara tersebut tetap berkewajiban mengadili atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.

(9)

4. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (Non-extradition of Political Criminal) Pada hakekatnya, negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaa ekstradisi apabila kejahatan yang didasarkan sebagai alasan permintaan ekstradisi oleh negara yang meminta (requesting state) adalah kejahatan politik. Di Indonesia, pasal 5 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979 mengatur ketentuan ini. Namun belum terdapat kesepahaman diantara para ahli, maupun praktek negara-negara mengenai definisi kejahatan politik, serta unsur-unsur yang mengikat didalamnya.

(10)

5. Asas non bis in idem atau ne bis in idem

◦Asas ini mensyaratkan bahwa pelaku kejahatan tidak boleh diadili atau dihukum lebih dari sekali untuk suatu kejahatan yang sama. Terkait dengan ekstradisi, jika pelaku kejahatan yang dimintakan diekstradisi ternyata sudah pernah diadili untuk kejahatan tersebut baik di wilayah negara yang meminta (requesting state) ataupun negara ketiga,dan telah berkekuatan hokum tetap, maka negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaan ekstradisi ini. Di Indonesia, ketentuan ini terdapat dalam pasal 10 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979.

(11)

6. Asas Daluwarsa (Lapse Time)

◦Asas ini mensyaratkan bahwa apabila pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan alasan permintaan ekstradisi atas seorang pelaku sudah daluwarsa, berdasarkan hukum dari salah satu atau kedua belah pihak, maka negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaan ekstradisi.250 Di Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 12 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979.

(12)

TERIMAKASIH

Referensi

Dokumen terkait

18 Asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan (ekstradisi) adalah merupakan kejahatan atau peristiwa

Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu

Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut masalah tindak pidana korupsi yang ditahan

Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kenegara peminta dapat yang dilakukan secara formal baik

Cara yang penting dan yang paling sering terjadi dalam masyarakat adalah memperoleh hak milik melalui penyerahan (levering). Penyerahan adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik

Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kenegara peminta dapat yang dilakukan secara formal baik

Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kenegara peminta dapat yang dilakukan secara formal baik

Undang-Undang Ekstradisi, Prinsip Penolakan Ekstradisi karena Orang yang Diminta Sedang Diproses di Indonesia Pasal 9 Undang-Undang Ekstradisi, Prinsip Non bis in idem Pasal 10