• Tidak ada hasil yang ditemukan

Endoparasit pada Ternak Ruminansia dan Dampaknya

N/A
N/A
Wahyudi Himawan Sutanto

Academic year: 2025

Membagikan "Endoparasit pada Ternak Ruminansia dan Dampaknya"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Wahyudi Himawan Sutanto

NIM : 247040003

Mata Kuliah : Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Dosen Pengampu : Dr. Usman Budi S.Pt., M.Si.

ENDOPARASIT

Kelompok penyakit yang sangat merugikan kesehatan ternak adalah kelompok penyakit parasiter yang sering kalibersifat kronis, dengan tingkat kerugian berupa penurunan berat badan, produksi susu dan kualitas daging, kulit dan jeroan serta bahayaakan penyakit zoonosis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia (Arifin, 2011). Saat ini penggembalaan sapi di lapangan dengan keadadaan rumput yang di penuhi hutan sehingga sapi banyak yang tergangu kesehatannya,kemudian jugakendala yang dihadapi para peternak adalah penyebabpenyakit yang perlu ditanggulangiseperti parasit.Karena parasit merupakansuatu organisme lebih kecil yang hidup menempel pada tubuh organisme yang lebih besar yang disebut inang atau host (Khairana, 2017).

Parasit terdiri dari 2 jenis yaitu ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar tubuhinang, sedangkan endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh inang.

Padaumumnya endoparasit akan menyeebabkan cacingan. Endoparasit dapat ditemukan pada otak, hati, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, otot, darah, dan saluran pencernaan.Hewan ternak yang terinfeksi endoparasit biasanya lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan bisa mengakibatkan kematian.Sedangkan ektoparasitdisebut parasit datang pergi karena parasite mengunjungi hospesnya hanya pada waktu tertentu saja,contoh ektoparasit adalah lalat, caplak dan nyamuk (Dwiyani, et al., 2014). Diantaranya adalah jenis nematoda gastointernal atau acacing gilik yang terdapat dalam saluran percernaan.

A. HELMINTHIASIS

Helminthiasis pada sapi adalah kondisi yang disebabkan oleh infeksi parasit cacing, yang dikenal sebagai cacing nematoda/round worm (cacing gelang/gilig), cacing cestoda/tape worm

(2)

(cacing pita) atau cacing trematoda/flat worm (cacing hisap/pipih). Gejala helminthiasis pada sapi dapat bervariasi tergantung pada jenis cacing, tingkat infeksi, usia sapi, kondisi kesehatan, dan faktor lingkungan. Helminthiasis atau cacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit cacing pada ternak. Penyakit ini dapat menyerang berbagai organ ternak, seperti hati, paru- paru, ginjal, otot, dan alat pencernaan.

Beberapa gejala umum yang mungkin terjadi pada sapi yang terinfeksi helminthiasis meliputi:

1. Penurunan berat badan: Infeksi cacing dapat menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan pada sapi. Sapi yang terinfeksi cacing mungkin tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik dari makanannya karena cacing yang menempel pada dinding usus dan merusak jaringan.

2. Kehilangan nafsu makan: Infeksi cacing dapat menyebabkan sapi kehilangan nafsu makan karena peradangan dan kerusakan pada saluran pencernaan.

3. Penampilan fisik yang buruk: Sapi yang terinfeksi helminthiasis dapat menunjukkan tanda- tanda fisik yang buruk seperti bulu kusam, tubuh kurus, dan postur yang tidak normal.

4. Diare: Beberapa infeksi cacing dapat menyebabkan diare pada sapi. Diare dapat menjadi cairan dan berbau busuk, tergantung pada jenis cacing yang menyebabkannya.

5. Anemia: Beberapa cacing parasit, seperti cacing pita, bisa mengisap darah dari saluran pencernaan sapi, menyebabkan anemia atau rendahnya jumlah sel darah merah.

(3)

6. Anak sapi yang kurang berkembang dengan baik: Jika sapi muda terinfeksi cacing, mereka mungkin mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan karena cacing mengganggu penyerapan nutrisi.

7. Depresi dan kelemahan: Infeksi cacing yang berat dapat menyebabkan sapi menjadi lemah, depresi, dan kurang aktif.

8. Edema: Beberapa jenis cacing parasit, seperti Fasciola gigantica (cacing hati besar), dapat menyebabkan edema atau pembengkakan di beberapa bagian tubuh sapi.

Gejala

Sapi Tubuh kurus dan lemah, nafsu makan dan minum berkurang, sering mencret Kambing Kurus, bulu berdiri dan kusam, nafsu makan berkurang, kotoran lembek

sampai diare, terlihat pucat Anjing dan

kucing

Batuk, perut buncit, bulu kusam dan rontok, pertumbuhan terganggu, kurus, kadang muntah dan diare, kotoran mata banyak, lemah, nafsu makan

berkurang

Penting untuk diingat bahwa gejala helminthiasis pada sapi dapat mirip dengan kondisi kesehatan lainnya, dan diagnosis yang tepat harus dilakukan oleh seorang dokter hewan yang berkualifikasi. Pencegahan dan pengobatan helminthiasis melibatkan manajemen sanitasi yang baik, pembersihan lingkungan yang teratur, karantina hewan yang baru datang, dan penggunaan antihelmintik yang tepat sesuai petunjuk dokter hewan.

(4)

Untuk mengatasi penyakit ini:

Memberikan obat cacing secara rutin setiap 3 bulan sekali

Meningkatkan manajemen dan sanitasi

Menjaga lingkungan ternak agar tidak kotor, becek, dan lembab

B. HAEMONCHOSIS

Haemonchosis adalah salah satu penyakit parasit paling signifikan pada ternak di seluruh dunia, yang merupakan penyebab utama kerugian produksi dan kesehatan yang buruk pada domba dan kambing. Penyakit ini disebabkan oleh Haemonchus contortus ( H. contortus ), parasit nematoda pada abomasa ruminansia. Ini adalah salah satu nematoda patogen terbesar, yang dikenal sebagai 'cacing tiang tukang cukur atau cacing perut merah atau cacing kawat' pada ruminansia kecil, yang menghuni abomasum. Bentuk penyakit akut dan kurus kering umumnya terlihat pada hewan muda, sedangkan hewan dewasa lebih tahan terhadap infestasi (Onyenwe et al., 2005).

Tanda-tanda klinis yang umum adalah asites, penurunan berat badan, anemia, edema sub- mandibular, dan kematian. Infeksi dengan H. contortus menyebabkan pengurangan yang signifikan pada jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan volume sel padat (PCV) dan peningkatan signifikan sel darah putih (WBC) dan eosinofil, juga menghasilkan pengurangan signifikan pada total protein, kalsium dan zat besi (Alam et al., 2020). 

Karakteristik Cacing

Secara makroskopis, cacing H. contortus mudah terlihat bahkan di antara serpihan di abomasum yang terbuka, warnanya merah cerah. Cacing betina memiliki ovarium putih dan uterus terpilin secara spiral di sekitar usus merah berisi darah (tampilan seperti tiang tukang cukur atau kawat).

Cacing jantan berukuran 15–20 mm, sedangkan cacing betina berukuran panjang 24–30 mm.

Secara mikroskopis, ujung anterior menunjukkan kapsul bukal kecil yang berisi lanset kecil dan sepasang papila serviks berbentuk baji. Bursa jantan berkembang dengan baik dan terdiri dari dua lobus lateral, didukung oleh sinar dorsal berbentuk Y yang khas, dan spikula panjang, sama,

(5)

berwarna kecoklatan, dan berujung dengan ujung berduri. Vulva betina ditutupi dengan flap (Linguiform atau berbonggol) atau tidak (halus) (Onyenwe et al., 2005).

Menunjukkan pemeriksaan mikroskopis H. contortus  (Onyenwe et al., 2005). (A) Ujung anterior menunjukkan kapsul bukal kecil (panah) dan papila serviks (kepala panah), (B) Bursa jantan dengan 2 lobus lateral, sinar dorsal

berbentuk Y dan spikula, (C, D&E) Vulva betina berbentuk liguliform, berbonggol dan halus (A 100x & B, C, D, E 40x).

Epidemiologi Cacing

Lingkungan yang hangat dan lembap diperlukan agar tahap hidup bebas H. contortus dapat bertahan hidup dan berkembang di luar inang. Jika kondisi yang sesuai hadir di musim apa pun, haemonchosis dapat terjadi (Waller et al., 2004). Di zona iklim tropis antara 23,5° Utara dan Selatan, seperti Asia Tenggara, India Selatan, Afrika Tengah, dan Amerika serta Amerika Selatan Bagian Utara, H. contortus bertahan hidup dengan baik dan prevalensi penyakitnya paling tinggi.

Wilayah subtropis tepat di utara dan selatan 23,5° LU dan 23,5° LS, termasuk sebagian Australia, Afrika Selatan, Amerika Utara Bagian Selatan, Amerika Selatan, dan Cina Tenggara memiliki curah hujan yang hangat, lembap, dan dominan di musim panas, yang menyediakan lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup H. contortus . Daerah beriklim hangat di luar garis lintang 40° di Selandia Baru, Eropa Utara, Skandinavia, Asia Utara, dan Amerika Utara memiliki kondisi yang cocok di musim panas dan musim gugur yang basah untuk kelangsungan hidup larva, sementara daerah beriklim antara garis lintang 45° dan 65° di Swedia, Prancis, Denmark, dan Belanda terlalu dingin hampir sepanjang tahun untuk memungkinkan kelangsungan hidup dan

(6)

perkembangan larva. Hemonkosis jarang terjadi di daerah kering di dunia karena tidak ada cukup kelembaban untuk tahap larva H. contortus yang hidup bebas . Namun, peningkatan curah hujan atau irigasi dapat memungkinkan larva untuk bertahan hidup di daerah kering yang lebih hangat.

Selain itu, yang penting adalah kemampuan tahap larva keempat H. contortus  untuk menjalani hipobiosis (perkembangan terhambat), yang berkontribusi pada kemampuan mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang dingin atau kering (Flay et al., 2022).

Kondisi optimal untuk penetasan telur H. contortus  dan perkembangan larva terjadi pada suhu mikro vegetasi sekitar 22 hingga 26 °C dan kelembaban mendekati 100%. Selama cuaca kering, larva dapat tetap berada di feses yang kering dan keluar setelah hujan, yang menyebabkan lonjakan infeksi. Jika kondisi lingkungan ideal tersedia, perkembangan dari telur menjadi larva tahap ketiga yang infektif (L3) dapat terjadi dalam waktu empat hari, jika tidak, waktu perkembangan larva lebih bervariasi. Kelembaban rendah dan kekeringan dengan cepat membunuh telur dan larva (Getachew et al., 2007).

Siklus hidup

Siklus hidup H. contortus dimulai ketika cacing jantan dan betina dewasa bereproduksi secara seksual di abomasum inang dengan hasil yang mengesankan per cacing betina

diperkirakan sebesar 5.000 hingga 15.000 telur/hari.

Siklus hidup perkembangan parasit H. contortus pada kambing (Ehsan et al., 2020).

(7)

Telur tersebut berembrio menjadi larva tahap pertama (L1) dan larva tahap kedua-remaja (L2) dalam waktu empat hingga enam hari dan mulai memakan bakteri dalam kotoran. Dalam kondisi optimal 24–29°C, larva L2 berganti kulit menjadi tahap ketiga (L3), tetapi mereka mempertahankan kutikula dari pergantian kulit sebelumnya. Selama merumput, larva tahap infektif L3 mencapai abomasum, melepaskan kutikula mereka, dan menggali ke dalam lapisan internal abomasum dan bekas sarung ke tahap L4 (pra-dewasa), biasanya dalam waktu 48 jam, dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa awal (L5) dan kemudian cacing dewasa akhir, yang mulai memakan darah. Selama tahap larva L3 infektif atau awal L4, parasit tidak langsung melanjutkan ke tahap berikutnya; sebaliknya, mereka tetap berada di kelenjar lambung abomasum.

Fenomena ini disebut developmental arrest (hipobiosis/diapause), dan digambarkan sebagai "tahap perkembangan di mana parasit menjadi dorman, tidak menyebabkan penyakit, dan secara metabolik tetap tidak aktif". Jika kondisi di luar inang tidak menguntungkan untuk perkembangan parasit, porsi cacing hipobiotik biasanya lebih tinggi sehingga telur yang dilepaskan ke lingkungan tidak mungkin berkembang dan bertahan hidup. Mekanisme umum dari banyak cacing parasit ini, termasuk H. contortus , bergantung pada faktor eksternal dan respons imun inang juga, dan juga gen yang terlibat dalam fenomena ini dapat berfungsi sebagai antigen kunci untuk target obat/vaksin baru dalam pengendalian dan pencegahan infeksi H. contortus (Ehsan et al., 2020).

Tahapan parasit H. contortus

Setelah tertelan oleh domba yang rentan, L3 berdiferensiasi, dan pada hari ketiga setelah infeksi, menyelesaikan ekdisis parasit pertama (pengelupasan kutikula), menjadi tahap larva keempat (L4). Pada hari ketujuh hingga kesembilan, L4 dapat mencapai panjang 5 mm dan ekdisis kedua telah terjadi, membentuk tahap larva kelima (L5). Sekitar hari kesepuluh hingga kesebelas, tepat sebelum ekdisis terakhir, L5 yang belum dewasa mengembangkan lanset di rongga mulut mereka dan menggali melalui lapisan lendir pada permukaan abomasum ke dalam lubang lambung mukosa abomasum. Begitu berada di lubang lambung, L5 menggunakan lanset untuk memotong jaringan abomasum dan menyebabkan pendarahan sebelum menelan darah yang bocor (Tehrani et al., 2012). Larva L5 kemudian tumbuh menjadi bentuk dewasa, terus makan, dan memulai diferensiasi dan reproduksi seksual. Betina dewasa H. contortus  mulai menghasilkan telur pada hari ke-12 hingga ke-15 dan memiliki potensi biotik yang tinggi (Flay et al., 2022).

(8)

Tanda klinis

Hewan yang terinfeksi juga menunjukkan berbagai tanda klinis, termasuk diare, kelemahan dan kelumpuhan, anemia, dan penurunan berat badan. Beberapa kambing menunjukkan edema submandibular (rahang botol). Beberapa hewan mengalami pendarahan pada mukosa abomasa, dan cacing terdeteksi selama pemeriksaan postmortem. Lebih jauh, terjadinya hemonchosis pada hewan yang diperiksa secara signifikan dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin hewan serta musim. Kambing yang berusia 1 tahun atau lebih berisiko lebih tinggi daripada yang berusia di bawah 1 tahun. Mengenai jenis kelamin, jantan lebih banyak terkena hemonchosis daripada betina (Gareh et al., 2021).

Penampakan makroskopis abomasa setelah pemeriksaan postmortem dengan cacing dewasa (Gareh et al., 2021).

Tanda-tanda klinis muncul pada hewan yang diperiksa termasuk konjungtiva pucat, rahang botol, kelemahan, dan kelemahan fisik (Gareh et al., 2021)

(9)

Karena mengandung sejumlah cacing yang bervariasi, abomasum memiliki lesi kasar seperti penebalan lipatan mukosa, perdarahan petekie, dan perkembangan nodul yang lebih terlihat pada daerah fundus pada domba dan kambing yang terinfeksi. Lesi seperti itu lebih menonjol pada kambing daripada pada domba (Abosse et al., 2022).

Abomasum kambing yang terinfeksi 10.000 L3 H. controtus  (Abosse et al., 2022)

(A) sejumlah besar cacing dewasa; (B) lipatan mukosa menebal dan kasar (panah), (C) lesi nodular (bilah) dan perdarahan petekie (panah) di daerah fundus.

Perubahan histopatologi pada fundus abomasum kambing yang terinfeksi H. contortus  dengan perbesaran rendah (10x) (gareh et al., 2022). (A) epitel permukaan yang terkelupas dengan lubang lambung yang rusak, (B) infiltrasi seluler yang tinggi dan submukosa hemoragik, (C) potongan jaringan cacing doweling (W) yang dikelilingi oleh

infiltrasi seluler (panah); (pewarnaan HE); Di mana A, B, dan C berturut-turut dari kiri ke kanan.

(10)

Perubahan histopatologi pada fundus abomasum kambing (I dan II) dan domba (III dan IV) yang terinfeksi H.

contortus  (Abosse et al., 2022). (A) sejumlah eosinofil berwarna merah muda di lamina propria dan submukosa, (B) sel parietal yang rusak/degenerasi, (C) sel chief utuh, (D) neutrofil dan limfosit (juga tanda panah di I) di

submukosa, (E) badan kelenjar abomasum; Pewarnaan HE, perbesaran 40x.

Pengobatan

Ada beberapa golongan obat anthelmintik yang efektif terhadap Haemonchus ; termasuk benzimidazole (misalnya, albendazole), imidazothiazole (misalnya, levamisol), makrosiklik lakton (misalnya, ivermectin), salisilanida (misalnya, closantel), turunan amino-asetonitril (misalnya, monepantel), sporoindol (misalnya, derquantel). Sediaan yang tersedia secara komersial dapat mencakup bahan aktif tunggal atau dalam kombinasi (Arsenopoulos dan Fthenakis, 2021).

Cara pengendalian non-kimia

Protokol untuk pengendalian haemonchosis dengan cara non-farmasi meliputi (a) manajemen penggembalaan, dengan penekanan pada penggembalaan bergilir, (b) modifikasi pola makan hewan, yang secara langsung memengaruhi respons sistem imun hewan terhadap haemonchosis (Strain dan Stear, 2001), (c) pemilihan hewan yang secara genetik resisten terhadap Haemonchus spp. dan d) pemberian berbagai produk kepada hewan, misalnya, jamur nematofagus, tanin atau senyawa polifenol (Arsenopoulos dan Fthenakis, 2021).

(11)

Manajemen penggembalaan, penggembalaan sel atau rotasi, berkontribusi untuk meminimalkan masuknya larva Haemonchus spp. yang infektif oleh domba yang rentan dan juga membatasi kontaminasi berlebihan padang penggembalaan dengan telur parasit, sehingga mengurangi risiko infeksi. Studi tentang pendekatan ini mengonfirmasi efek menguntungkan dari penggembalaan rotasi terhadap haemonchosis, meskipun diperlukan jadwal yang berbeda sesuai dengan berbagai lingkungan. Kemungkinan kegagalan dalam mengendalikan infeksi melalui manajemen penggembalaan dapat disebabkan oleh kemungkinan kurangnya kesadaran akan potensinya, serta karena alasan praktis, karena pergerakan hewan ditentukan oleh ketersediaan nutrisi (Arsenopoulos dan Fthenakis, 2021).

Kemampuan ruminansia untuk melawan infeksi parasit ketika mereka dipelihara dalam status gizi yang baik (manajemen gizi) telah dikonfirmasi. Telah ditetapkan bahwa domba yang diberi diet rendah protein tampaknya lebih rentan terhadap infeksi Haemonchus spp. dibandingkan dengan hewan yang diberi protein tambahan. Oleh karena itu, ada hubungan antara manajemen gizi dan resistensi terhadap haemonchosis, yang dapat bermanfaat ketika direncanakan dengan mempertimbangkan epidemiologi cacing dan diterapkan sendiri atau dikombinasikan dengan strategi pengendalian lainnya (Torres-Acosta et al., 2012).

Vaksinasi

Baru-baru ini, vaksin telah tersedia terhadap infeksi Haemonchus . Vaksin yang efektif terhadap H. contortus  telah diproduksi untuk digunakan pada domba, menggunakan antigen laten H11, yang merupakan protein dari saluran pencernaan H. contortus , dan H-gal-GP, yang diekstraksi dari H. contortus dewasa . Uji klinis telah mengonfirmasi kemanjuran vaksin, yang dikembangkan di Moredun Research Institute di Edinburgh; misalnya, perlindungan yang signifikan terhadap H. contortus  pada domba diindikasikan setelah pemberian berulang dengan interval tiga minggu, meskipun temuan tidak mengonfirmasi kemanjuran penuh pada domba betina setelah infeksi eksperimental yang parah. Vaksin ini sekarang diproduksi di Australia, di mana ia telah dilisensikan untuk penggunaan komersial pada akhir 2014 (Emery et al., 2016).

C. NEMATODOSIS

Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing gilik (Klas: Nematado). Di dalam saluran pencernaan cacing ini merampas sari makanan yang diperlukan oleh tubuh ternak

(12)

(hospes), penghisap darah/cairah tubuh ternak atau makanan jaringan tubuh ternak. Dalam jumlah banyak menyebabkan penyumbatan (obstruksi) usus dan menyebabkan terjadinya berbagai macam reaksi tubuh yang diakibatkan oleh racun (toksin) yang dihasilkan oleh cacing.

Nematoda Gastrointestinal (cacing gilik) yang sudah diketahui sampai saat ini lebih kurang spesia yang meliputi, diantaranya:

1. Ascaris Vitulorum (cacing gelang) 2. Oesophagusomium spp (cacing bungkul) 3. Bunostomum sp. (cacing kait)

4. Angiuostomum sp. (cacing kait) 5. Haemonchus contortus (cacing kawat) 6. Trichostrongylus sp.

7. Ostertagia sp. (cacing lambung) 8. Cooperasi sp.

9. Chabertia sp.

10.Trichuris sp.

Cacing Gilik dapat menyerang berbagai tenak terutama ternak ruminansia (Sapi, Kerbau, Kambing dan Domba), pada jenis tertentu dapat menyerang manusia

(13)

Daur hidup Hemonhus Contortus, Trichostrongylis sp, Ostertadgia sp, Cooperia sp adalah sama yaitu:

Penularan pada Ascariasis terjadi bila telur-telur cacing yang efektif tertelan atau dapat melalui kolostrum. Pada Hemonchus Contortus, Trichostrongylus sp, Ostertagia sp, cooperia sp, Oesophagustomum sp, Chabertia sp, Trichuris spp. Penularannya melalui tertelannya larva yang infektif, sedangkan untuk Bunostomum sp., larvanya juga bisa menembus kulit.

Gelaja yang ditimbulkan ole penyakit ini adalah meliputi:

Cacing Gelang: gejala yang tampak diare, kekurusan, tercium bau asam butirat, kulit kering dan hewan mati karena karena komplikasi gelaja ini umumnya ditemukan pada anak sapi umur 2-20 minggu.

Cacing Bungkul: gejala tidak begitu jelas, hanya kurus, tinja hitam, lunak bercampur lendir dan kadang-kadang bercampur darah segar.

Bunostomum sp.: gejala yang tampak terutama anemia, kurus, kulit kasar, kadang- kadang dijumpai adanya busung di bawah rahang (botle jaw), diare berwarna coklat tua.

Cacing Lambung: gejalanya mirip di atas tetapi berhubung cacingnya berada di aomasum, maka gejala diare jarang terjadi. Pada infeksi berat akan terjadi konstipasi.

(14)

Diagnosa bisa dilakukan dengan pemeriksaan telur cacing pada feses dengan Uji Apung dan Metode Wiscounsin. Untuk pengambilan spesimen dapat diambil feses langsung dari rectum dan diawetkan dalam Formalin 10 persen.

Pengobatan bisa dilakukan dengan cara : 1. Piperzine (dosis tunggal)

2. Sapi dan kerbau 275 mg/kg berat badan 3. Kambing dan domba 400 mg/kb berat badan 4. Levamisol 8 mg/kg berat badan

5. Pyrantel pamoat 5 mg/kg berat badan

D. TREMATODIASIS

Trematodosis merupakan penyakit utama dan umum dijumpai pada sapi di seluruh dunia (Fromsa et al. 2011). Trematodosis pada ternak menimbulkan kerugian ekonomi karena menurunkan produktivitas ternak (Satyawardana, 2018). Cacing trematoda menyebabkan kerugian ekonomi yang besar berupa penurunan bobot ternak, bobot karkas, produksi daging, produksi susu, serta pengafkiran organ yang tidak layak konsumsi dan biaya pengobatan (Jaja et al. 2017). Infeksi Fasciola sp. yang menyerang liver juga berimbas pada penurunan metabolisme lemak, protein dan karbohidrat sehingga penyerapan makanan terganggu, gangguan pertumbuhan, anemia, dan pada beberapa kasus dapat berakibat fatal (Hambal et al. 2013). Fasciola sp. menimbulkan penyakit fascilosis yang menimbulkan gangguan metabolism lemak, protein dan karbohidrat sehingga mengganggu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup, anemia dan kematian (Hambal et al, 2013).

Infeksi Paramphistomum sp. Dalam jumlah sedikit tidak menyebabkan gejala klinis pada ternak tetapi pada infeksi yang berat dapat mengakibatkan gastroenteritis dan mengakibatkan kematian yang tinggi, terutama pada ternak muda yang dikenal dengan penyakit paramphistomiasis (Melaku and Addis, 2012).

(15)

Hasil identifikasi telur trematoda pada sapi potong di Kecamatan Kasiman Bojonegoro (pembesaran 100X ) (a) Fasciola sp dan (b) Paramphistome (Satyawardana et al., 2018)

Cacing yang terdapat pada hati sapi

Trematodosis adalah penyakit parasit pada ternak yang disebabkan oleh infeksi cacing trematoda atau cacing pipih. Penyakit ini sering menyerang ternak seperti sapi, kambing, domba, dan kerbau, terutama di daerah dengan lingkungan basah atau lahan berawa yang menyediakan tempat berkembang biak bagi siput air tawar yang berperan sebagai inang perantara. Berikut adalah beberapa detail mengenai penyakit ini:

Penyebab

Trematodosis disebabkan oleh cacing trematoda dari genus Fasciola (seperti Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica) serta Paramphistomum. Cacing ini menggunakan siput air tawar sebagai inang perantara untuk menyebar ke hewan ternak yang mengonsumsi tumbuhan atau air yang terkontaminasi larva cacing.

Gejala

Gejala trematodosis bervariasi, tergantung tingkat infeksi dan jenis trematoda. Beberapa gejala umum pada ternak yang terinfeksi antara lain:

(16)

1. Penurunan berat badan

2. Anemia (karena perdarahan di jaringan yang diserang cacing)

3. Pembengkakan pada bagian bawah rahang (biasa disebut bottle jaw atau edema submandibular)

4. Diare atau feses yang tidak normal 5. Lesu atau lemas

Pada kasus yang parah, terutama jika tidak diobati, infeksi trematoda dapat menyebabkan kematian pada ternak.

Siklus Hidup

Cacing trematoda memiliki siklus hidup yang melibatkan inang perantara (biasanya siput) dan inang definitif (ternak). Larva cacing yang keluar dari tubuh siput dapat bertahan di tanaman air atau genangan air. Ketika ternak memakan tanaman atau minum air yang terkontaminasi larva, mereka akan terinfeksi.

(17)

Pencegahan dan Pengobatan

Beberapa langkah untuk mengontrol dan mengobati trematodosis pada ternak meliputi:

1. Pengobatan: Obat anthelmintik khusus untuk cacing hati, seperti triclabendazole, biasanya efektif untuk mengobati infeksi Fasciola.

2. Manajemen Lahan: Menghindari padang rumput atau sumber air yang berpotensi mengandung siput pembawa larva.

3. Vaksinasi: Beberapa penelitian telah berupaya mengembangkan vaksin untuk trematodosis, tetapi vaksin yang efektif masih dalam tahap pengembangan.

4. Karantina dan Kontrol Siput: Pengendalian populasi siput dengan cara mengeringkan lahan basah atau menggunakan bahan kimia tertentu untuk membunuh siput inang perantara juga dapat mengurangi risiko infeksi.

Penanganan penyakit ini sangat penting karena dapat berdampak signifikan pada kesehatan dan produktivitas ternak.

Berikut beberapa jenis cacing yang umumnya banyak menginfeksi pada ternak:

1. Cacing Nematoda/Gelang (Round Worm):

(18)

· Telur – Telur nematoda dikeluarkan dari feses sapi

· Larva – Telur akan berkembang biak di lingkungan menjadi larva tahap pertama (L1) kemudian menjadi larva tahap kedua (L2) dengan membentuk perlindungan kutikula.

Kemudian larva (L2) berubah menjadi larva tahap ketiga (L3) tetap berkutikula dan bercabang ganda atau tahap infektif. Apabila larva infektif yang menempel dilingkungan (rumput) termakan oleh sapi, maka (L3) yang tertelan akan menetas pada saluran cerna sapi.

· Dewasa – Setelah 10 – 14 hari, L3 akan berkembang biak pada saluran cerna sapi menjadi cacing dewasa.

2. Cacing Cestoda/Pita (Tape Worm):

Telur – cestoda bereproduksi seksual, lalu menghasilkan dan menyimpan telur pada proglotid-nya. Segmen proglotid yang matang kemudian "rontok" bersamaan dengan telur- telur yang dikandungnya. Telur ini keluar melalui kotoran inang primer dan dimakan oleh inang perantara (sapi, babi, dll.).

Onkosfer (en: oncosphere) – Dalam tubuh inang perantara, telur menetas menjadi onkosfer, yaitu larva heksakant (en: hexacanth) yang masih dibungkus oleh lapisan embrionik.

Larva heksakant – Onkosfer menjadi larva heksakant yang mampu menembus dinding saluran pencernaan dan terbawa menuju otot.

Sista sistiserkus (en: cysticercus) – larva heksakant yang telah berada di otot kemudian membungkus diri menjadi sistiserkus. Sistiserkus ini bisa bertahan beberapa tahun pada hewan (inang perantara), kemudian akan terbawa ke inang primer (inang definitif) apabila termakan bersamaan dengan daging hewan.

(19)

Cacing pita muda - sistiserkus yang berada di usus inang primer akan menempel dan mulai tumbuh menjadi dewasa.

Cacing pita dewasa - cacing dewasa menempel pada usus dengan skoleks dan mulai melakukan reproduksi seksual, proglotid cacing pita mulai terisi dengan telur yang berjumlah puluhan sampai ratusan ribu per segmen proglotid. Hebatnya, cacing pita bisa memiliki 1.000 - 2.000 segmen.

Proglotid rontok - ketika sudah matang dan berisi telur, segmen-segmen proglotid yang penuh dengan telur mulai berguguran dan terbawa melalui kotoran.

3. Cacing Trematoda/Hisap (Flat Worm):

Telur – Telur trematoda dikeluarkan dari feses sapi.

Larva mirasidium - Telur menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium (en: miricidium), yang akan menginfeksi inang perantara pertama (siput air tawar).

Sporosista - Dalam tubuh siput air tawar, mirasidium berkembang menjadi kantong memanjang yang disebut sporosista (en: Sporocyst). Sporosista dapat berkembang menjadi lebih banyak sporosista, atau menjadi larva tahap berikutnya.

Larva redia - Sporosista berkembang menjadi larva dengan mulut penghisap yang disebut redia. Redia dapat berkembang menjadi lebih banyak redia, atau menjadi larva tahap berikutnya (siput air tawar)

Larva serkaria - Redia berkembang menjadi larva seperti kecebong yang disebut serkaria (en: cercaria) (siput air tawar).

(20)

Metaserkaria - Metaserkaria (en: metacercaria) merupakan bentuk serkaria yang berubah menjadi sista dan dorman yang menempel pada lingkungan (rumput) kemudian termakan oleh sapi dan menjadi cacing dewasa di hati sapi.

Dewasa - Cacing dewasa ini akan bertelur di saluran empedu, dan telurnya akan terbawa ke usus sapi, sehingga telur kembali akan terbawa oleh feses, kemudian siklus akan berulang kembali.

Daur hidup parasit seperti cacing gelang, cacing pita, dan cacing hisap dapat bervariasi tergantung pada jenisnya. Berikut adalah beberapa contoh daur hidup umum dari beberapa jenis cacing:

(21)
(22)

DAFTAR PUSTAKA

Abosse, JS, Terefe, G., Teshale, BM, 2022. Studi perbandingan tentang perubahan patologis pada domba dan kambing yang terinfeksi Haemonchus Contortus secara eksperimental. Surgical and Experimental Pathology 5, 14.

Alam, RT, Hassanen, EA, El-Mandrawy, SA, 2020. Infeksi Heamonchus Contortus pada Domba dan Kambing: perubahan penanda hematologi, biokimia, imunologi, elemen jejak, dan stres oksidatif. Jurnal Penelitian Hewan Terapan 48, 357-364.

Alonso-Díaz, M., 2012. Manipulasi nutrisi pada domba dan kambing untuk mengendalikan nematoda gastrointestinal dalam kondisi tropis yang panas dan lembap. Small Ruminant Research 103, 28-40.

Arifin, C. S. (2011). Parasit Ternak dan Cara Penanggulangannya. PT. Penebar Swadaya. Jakarta .

Arsenopoulos, KV, Fthenakis, GC, 2021. Haemonchosis: Infeksi Parasit yang Menantang pada Domba dan Kambing. 11.

Dwiyani, N. P., Setiati, N., & Widyaningrum, P. (2014). Ektoparasit pada ordo artiodactyla di Taman Margasatwa Semarang. Life Science, 3(2).

Ehsan, M., Hu, R.-S., Liang, Q.-L., Hou, J.-L., Song, X., Yan, R., Zhu, X.-Q., Li, X., 2020.

Kemajuan dalam Pengembangan Vaksin Anti-Haemonchus contortus: Tantangan, Peluang, dan Perspektif. Vaccines 8, 555.

Emery, DL, Hunt, PW, Le Jambre, LF, 2016. Haemonchus contortus: dulu dan sekarang, dan bagaimana kelanjutannya? Jurnal Internasional Parasitologi 46, 755-769.

Flay, KJ, Hill, FI, Muguiro, DH, 2022. Tinjauan: Infeksi Haemonchus contortus pada Sistem Produksi Domba Berbasis Padang Rumput, dengan Fokus pada Patogenesis Anemia dan Perubahan Parameter Hematologi. Animals 12, 1238.

Fromsa A, Meharenet B, Mekibib B. 2011. Major Trematode Infections of Cattle Slaughtered at JimmaMunicipality Abattoir and the Occurrence of the Intermediate Hosts in Selected Water Bodies of the Zone. Journal of Animal and Veterinary Advances.10(12):1592–1597.

Gareh, A., Elhawary, NM, Tahoun, A., Ramez, AM, El-Shewehy, DM, Elbaz, E., Khalifa, MI, Alsharif, KF, Khalifa, R., Dyab, AK, 2021. Studi epidemiologi, morfologi, dan morfometri pada Haemonchus spp. yang diperoleh dari kambing di Mesir. Frontiers in Veterinary Science, 1201.

(23)

Getachew, T., Dorchies, P., Jacquiet, P., 2007. Tren dan tantangan dalam pengendalian infeksi Haemonchus contortus yang efektif dan berkelanjutan pada domba. Tinjauan. Parasite 14, 3- 14.

Hambal, M., Arman, S., Agus, D. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar.Jurnal Medika Veterinaria. 7:52.

Jaja IF, Mushonga B, Green E, Muchenje V. 2017. Seasonal prevalence, body condition score and risk factors of bovine fasciolosis in South Africa. Veterinary and Animal Science. 4(6): 1–7.

Khairana, A. A. (2017). Identifikasi Parasit Gastrolintestinal Pada Anoa (Bubalus spp.) Di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado.

Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Melaku, S., Addis, M. 2012. Prevalence and intensity of Paramphistomum in ruminants slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Global Veterinaria. (8)3:315- 319.

Satyawardana W, Ridwan Y, Satrija F. 2018. Trematodosis pada Sapi Potong di Wilayah Sentra Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Acta Veterinaria Indonesiana. 6(2): 1–7.

Strain, S., Stear, M., 2001. Pengaruh suplementasi protein pada respons imun terhadap Haemonchus contortus. Imunologi parasit 23, 527-531.

Torres-Acosta, J. F. J., Sandoval-Castro, C. A., Hoste, H., Aguilar-Caballero, A. J., Cámara- Sarmiento, R., & Alonso-Díaz, M. A. (2012). Nutritional manipulation of sheep and goats for the control of gastrointestinal nematodes under hot humid and subhumid tropical conditions.

Small Ruminant Research, 103(1), 28-40.

Tehrani, A., Javanbakht, J., Jani, M., Sasani, F., Solati, A., Rajabian, M., Khadivar, F., Akbari, H., Mohammadian, M., 2012. Studi histopatologi Haemonchus contortus pada domba Herrik abomasum. J.Bakteriol. Parasitol 3, 144.

Onyenwe, IW, Onwe, C., Onyeabor, A., Onunkwo, JI, 2005. Studi di Rumah Potong Hewan tentang kerentanan dua ras kambing yang terinfeksi secara alami terhadap Haemonchus contortus di Daerah Nsukka, Negara Bagian Enugu, Nigeria. Animal Research International 2, 342-345.

Waller, P., Rudby-Martin, L., Ljungström, B., Rydzik, A., 2004. Epidemiologi nematoda abomasum pada domba di Swedia, dengan referensi khusus mengenai strategi bertahan hidup selama musim dingin. Parasitologi veteriner 122, 207-220.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mengetahui sumberdaya untuk mendukung pengembangan ternak ruminansia, menganalisis penambahan populasi ternak ruminansia dan wilayah basis

Sementara, berdasarkan hasil kalkulasi kebutuhan ternak ruminansia per satuan ternak, kapasitas daya dukung ternak ruminansia dari limbah pertanian di Kabupaten

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) ternak ruminansia, khususnya ruminansia kecil, memiliki dukungan sumberdaya wilayah yang memadai untuk pengembangan

Sementara, berdasarkan hasil kalkulasi kebutuhan ternak ruminansia per satuan ternak, kapasitas daya dukung ternak ruminansia dari limbah pertanian di Kabupaten

Penelitian ini bertujuan mengetahui sumberdaya untuk mendukung pengembangan ternak ruminansia, menganalisis penambahan populasi ternak ruminansia dan wilayah basis

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ini menyajikan langkah-langkah dan metode pembelajaran untuk materi Limbah Padat Ternak Ruminansia pada mata pelajaran Agribisnis Ternak Ruminansia Pedaging di SMK Negeri 6

Dalam rangka menunjang produktivitas ternak ruminansia dan untuk melihat proyeksi pengembangan ternak ruminansia diwilayah yang sesuai dengan ketersediaan pakan hijauan, diperlukan

Modul agribinsis pakan ternak ruminansia digunakan untuk mempermudah proses belajar mengajar mengenai pengujian kualitas bahan pakan dan pakan ternak